Daftar Blog Saya

Sabtu, 12 November 2022

WANITA. PEREMPUAN. PERSPEKTIF KITAB SUCI

 



“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Karena pria dan wanita sama-sama diciptakan menurut citra Allah, mereka mempunyai martabat yang sama yang diberikan oleh Allah Pencipta. Wanita mempunyai martabat yang sama dengan pria kendati secara seksual berbeda dari pria dalam susunan fisik dan psikologisnya. Wanita dan pria diciptakan dan saling menginginkan (Kej 2:18-24). Di dalam perkawinan, pria dan wanita disatukan menjadi “satu daging” (Kej 2:24). Katekismus menggaris bawahi persamaan martabat wanita dengan mengaitkannya pada citra ilahi yang ditanamkan baik kepada pria maupun wanita:

Terutama, fakta bahwa manusia adalah pribadi-pribadi perlu ditekankan: “Manusia bersifat pribadi; itu berlaku baik untuk pria maupun wanita, karena keduanya diciptakan menurut citra dan keserupaan dengan Allah pribadi” (Yohanes Paulus II, Muliereis Dignitatem 6). Kesetaraan martabat mereka sebagai pribadi-pribadi diwujudkan dalam sifat-sifat yang saling melengkapi baik fisik, psikologis maupun ontologis, sehingga menghasilkan suatu hubungan harmonis “kesatuan-dua pribadi”, yang hanya mungkin dipertentangkan oleh dosa dan “struktur-struktur dosa” yang terdapat dalam kebudayaan (Kongregasi Ajaran Iman, “Surat Kepada Para Uskup Gereja Katolik tentang Kerjasama Pria dan Wanita dalam Gereja dan di Dunia, art 8) (KGK 369-373; 2331-2335).  

 

I. WANITA DALAM PERJANJIAN LAMA

Dunia Perjanjian Lama untuk sebagian besar adalah dunia laki-laki, patriakal. Kitab Kejadian menunjukkan betapa wanita tunduk kepada pria sebagai konsekuensi dari Jatuh dalam Dosa: “engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej 3:16). Bahwa wanita dikuasai pria menurut kitab Kejadian adalah disebabkan oleh dosa, bukan dimaksudkan demikian pada awalnya dalam penciptaan.

      Pada umumnya, wanita dalam dunia kuno berada di bawah pria baik secara sosial maupun hukum. Dalam kebudayaan-kebudayaan Timur Dekat, ada kesenjangan hak-hak yang meluas kepada setiap aspek hidup di antara pria dan wanita. Seorang wanita hanya mempunyai sedikit hak dan selalu berada di bawah kewenangan tertentu dari pria, entah itu ayah dari keluarganya, saudara lelakinya, atau suaminya. Jika seorang wanita menjadi janda, ia dialihkan ke dalam perlindungan saudara lelakinya, atau kerabat lelaki terdekat. Jika ia menjanda sebelum punya anak, ia dikembalikan kepada keluarga asalinya. Para wanita yang tidak mempunyai anggota keluarga laki-laki jadi terlantarkan, dan pelacuran atau perbudakan merupakan jalan keluar mereka.

      Dalam Hukum Musa, wanita juga mendapat kedudukan setelah pria, namun mereka mempunyai perlindungan hukum. Seorang suami diizinkan menceraikan isterinya, tetapi ia tidak boleh kawin lagi dengan wanita yang sama jika wanita itu menikah lagi setelah diceraikan (Ul 24:1-4). Namun, seorang wanita tidak diperkenankan mengajukan gugatan cerai, dan seorang wanita yang telah menikah secara hukum sama dengan hak milik suaminya (Kej 12:12-20; 20:2; Kel 20:17; Hak 19:24-27). Di pihak lain, dalam hal hukum keagamaan, wanita mempunyai banyak hak yang sama dengan pria, sekalipun disisihkan dari jabatan imam.

      Sekalipun statusnya lebih rendah, wanita menikmati kedudukan yang mendatangkan kehormatan besar berkat penghargaan kebudayaan pada keibuan. Ini merupakan cerminan dari pentingnya suatu keluarga di dalam masyarakat Ibrani, sekaligus juga merupakan kesetiaan pada ajaran dasar kitab Kejadian mengenai kerjasama peran pria dan wanita untuk “bertambah-banyak” dan “memenuhi” bumi (Kej 1:28), serta tugas perutusan khusus wanita untuk menjadi “penolong” laki-laki (Kej 2:18). Maka tidak mengherankan, kebanyakan rujukan pada wanita dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan ibu-ibu atau keibuan, dan status wanita bergantung pada kemampuannya untuk mendatangkan keturunan di dalam keluarga (Kej 30:20; 1 Sam 1:2-8). Sebaliknya, mandul dianggap sebagai bencana (Kej 30:1-2; 1 Sam 1:5; 2 Sam 6:20-23) dan sering dianggap sebagai tanda bahwa Allah tidak berkenan.

      Sastra kebijaksanaan menyampaikan ajaran-ajaran tentang bimbingan menuju suatu hidup yang baik, dan menemukan seorang isteri yang cocok merupakan salah satu keputusan yang paling penting bagi seorang pria. Dalam suatu puisi akrostik dalam Ams 31:10-31 dikatakan bahwa seorang isteri yang baik adalah yang “berbuat baik kepada suaminya dan tidak akan berbuat jahat” (Ams 31:12; bdk Sir 26:1-18). Seorang isteri niscaya juga akan lebih dihargai karena cakap, rajin, bijaksana dan pantas disayang lebih dari sekedar kecantikan atau kemolekannya (Ams 31:30). Kecantikan, keluh sajak itu, adalah “lancung” dan “sia-sia”. Amsal juga memberi peringatan mengenai wanita jalang, atau perempuan asing, sebab wanita pezina dapat membawa orang yang diundangnya pada dunia orang mati (Ams 5:3-5; 6:24-35; 9:13-18).

      Ibu dituntut merawat anak-anak di dalam keluarganya dan mengatur seluruh rumahtangga. Dalam kehidupan sosial, para wanita ikut serta secara aktif dalam perayaan-perayaan (Hak 21:19-21) dan perayaan kemenangan (kel 15:20; Hak 11:34; 1 Sam 18:6-7; Mzm 68:25).

      Kendati para wanita tidak menonjol, Perjanjian Lama menceritakan kegiatan banyak wanita yang hebat kecerdasannya, keberaniannya dan dedikasinya kepada Tuhan. Para pahlawan wanita yang paling banyak diingat adalah Debora, Ester dan Yudit (Abigail, Hagar, Lea, Mikhal, Rahel, Rahab, Ribka, Rizpa dan Rut).

 

II. WANITA DALAM PERJANJIAN BARU

Status sosial dan legal para wanita di dalam Kekaisaran Roma kadang lebih baik dan kadang lebih buruk dibanding dengan wanita Yahudi. Wanita di Mesir yang dikuasai Roma misalnya, mempunyai hak dan kesempatan di luar lingkup rumahnya, sedang wanita-wanita di Yunani pada zaman Romawi dibelit oleh kekangan-kekangan yang sama dengan kendala-kendala yang dialami wanita Yahudi Palestina. Walaupun iman Kristen tidak serta merta mengubah status sosial para wanita sepenuhnya, namun iman Kristen mengakui wanita sebagai pribadi dalam citra ilahi dan merupakan calon yang setara bagi baptis dan keanggotaan di dalam Gereja Kristus.

      Yesus tidak berkeberatan bicara dengan para wanita, Ia juga tidak mencegah mereka bicara padaNya atau menghormati diriNya (mat 26:6-13; Mrk 14:3-9). Perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria dalam Yoh 4:4-42 menunjukkan sikap baru yang mengejutkan. Bukan saja karena yang ditemuiNya adalah seorang wanita; dia seorang wanita Samaria pula; namun Yesus berbicara dengannya seolah-olah wanita itu muridNya.

      Yesus tidak hanya menentang kendala-kendala tradisional yang ditimpakan pada wanita, namun Ia memandang wanita sebagai penerima rahmat karunia yang sama setara. Misalnya, Ia tidak membeda-bedakan ketika melakukan mujizat – penyembuhan mertua Petrus (Mat 8:14; Mrk 1:29-31; Luk 4:38), anak yairus, wanita yang mengalami pendarahan (Mat 9:18-26; Mrk 5:21-43; Luk 8:40-56), wanita yang bungkuk punggungnya (Luk 13:10-17) dan janda Nain dan anaknya (Luk 7:11-17). Ia juga menerima dukungan lebih dari seorang penyumbang (Luk 8:1-3) dan menjalin hubungan erat dengan para wanita dari komunitas pengikutNya yang perdana (misalnya Marta dan Maria, Luk 10:38-42).  Para wanita pun menunjukkan keberanian dan bakti dengan berdiri di dekat Dia yang mengalami sengsara maut (Mat 27:55-56; Mrk 15:40) dan menyiapkan pemakaman tubuhNya sesudah wafat (Mrk 16:1-3; Luk 23:55). Terutama sekali, para wanitalah yang menemukan makamNya sudah kosong (Mat 28:1-10; Mrk 16:1-8; Luk 24:1-10; Yoh 20:1).

      Kesetaraan sepenuhnya dalam pemuridan yang ditekankan Yesus dalam karyaNya berlanjut terus dalam Gereja Perdana, sebagaimana kita lihat dalam Kisah Para Rasul (Kis 1:14; 12:12; 16:14-15; 17:4), di mana para wanita diterima sebagai anggota yang aktif dalam komunitas. Priskila (bersama suaminya, Akwila) merupakan pemeran serta yang menonjol dalam misi Paulus (Kis 18:18; Rm 16:3-4; bdk 1 Kor 16:19; 2 Tim 4:19). Kita juga mendengar sekurangnya tentang seorang diakon wanita, Febe (Rm 16:1-2).

      Paulus, seperti Yesus, memandang rahmat karunia Tuhan bekerja melaksanakan penebusan bukan saja pada pribadi-pribadi perorangan, tetapi juga pada hubungan-hubungan, khususnya perkawinan. Pendekatan Paulus membuat suatu hubungan langsung di antara misteri Paskah dengan hati pasangan-pasangan Kristiani yang, berkat rahmat karunia, mengatasi dosa dan tidak perlu lagi mengikuti Hukum Musa dalam hal perceraian (bdk Mat 19:3-9).

      Bagi Paulus, perkawinan merupakan pemberian timbal balik, suatu kesempatan untuk melayani daripada dilayani. Perkawinan merupakan suatu gambaran yang hidup dari hubungan antara Kristus dengan GerejaNya, dengan kasih perhatian dan penghiburan dari pasangannya.

      Di satu tingkat, Paulus meneguhkan struktur tradisional perkawinan Yahudi dengan tekanan kepada pria sebagai kepala rumahtangga (Ef 5:22-31; Kol 3:18-25; 1 Kor 11). Di tataran yang lain, “tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Ia berulang kali menekankan peranan wanita di dalam komunitas Kristen (1 Kor 11:5; 16:19; Rm 16:1.3.7; Flp 4:2-3).

      Peranan wanita di dalam keluarga juga diteguhkan, namun juga dipandang dalam terang pemulihan berkat Salib. Perkawinan merupakan bagian dari tata-ciptaan: perkawinan itu ada lebih dahulu daripada Hukum Musa (1 Kor 11:13-15), namun jatuh terpuiruk akibat dosa. Akibat dari dosa adalah keruskan total situasi asali antara Adam dan Hawa, dan di antara hukuman yang dihadapi Hawa adalah sakit bersalin dan tunduk kepada suami (Kej 3:16; bdk 2 Kor 11:3; 1 Tim 2:13). Di dalam iman, perkawinan diubah melalui Kristus dan ketaatan wanita pada suaminya menjadi sikap sukarela, tidak lagi disebabkan oleh dosa dan perbudakan (Kol 3:18; Tit 2:5; 1 Ptr 3:1). Paulus meneguhkan saling ketergantungan dan persamaan antara wanita dan pria dalam 1 Kor 11:11-12: “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”

            Perkawinan bagi orang Kristen dipandang dengan mata iman dan di dalam pengakuan atas daya kuasa Kebangkitan. Suami isteri adalah mitra yang setara yang sama-sama berbagi dalam kebebasan dari dosa dan dalam sukacita dan pemberian diri timbal balik perkawinan (bdk LG art 56; Yohanes Paulus II, Mulieris Dignitatem 6-10) (KGK 1601—1642) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar