Kitab Ayub adalah salah satu Kitab dalam ragam Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama; puisi dramatis yang penuh pengajaran, terutama dalam dialog di antara Ayub dan teman-temannya. Kitab ini menggambarkan seorang yang tidak bersalah mengalami penderitaan dan mengajukan pertanyaan yang sulit: Bagaimana orang yang hidupnya baik dan benar bisa menderita, jika Allah itu adil? Pada akhirnya, hanya keyakinan iman kepada Allah dan penyerahan diri kepada kehendakNya (bukannya pengertian yang lengkap mengenai fenomena yang dialami, yang justru mustahil) yang akan memuaskan. Ini merupakan tanggapan yang tepat dari manusia atas misteri penderitaan.
I. PENULIS DAN WAKTU PENULISAN
Penulisnya tidak diketahui. Menurut tradisi Yahudi di dalam
Talmud, Musalah yang menjadi pengarangnya, dan pendapat ini diikuti oleh
beberapa penulis Kristen awal. Tetapi karena tidak ada bukti yang dapat
diandalkan, maka tidak mungkinlah menyebutkan sesuatu nama pengarang dengan
pasti. Para ahli menduga kitab ini berasal dari suatu rentang waku mulai dari
zaman Salomo, sampai pada pertengahan abad ketiga SM; taksiran yang paling umum
adalah antara tahun 600 SM dan 400 SM.
II. ISI
1. Pembukaan (1:1-2:13)
2. Siklus Percakapan Pertama (Bab 3-14)
A. Keluhan Ayub (3:1-26)
B. Elifas : Ayub berdosa (4:1-5:27)
C. Jawaban Ayub (6:1-7:21)
D. Bildad: Ayub Harus bertobat (8:1-22)
E. Jawaban Ayub (9:1-10:22)
F. Zofar: Ayub Mengalami Hukuman
(11:1-20)
G. Jawaban Ayub (12:1 – 14:22)
3. Siklus Percakapan Kedua (Bab 15-21)
A. Elifas Bicara (15:1-35)
B. Jawaban Ayub (16:1 – 17:16)
C. Bildad : Allah menghukum Orang Fasik
(18:1-21)
D. Jawaban Ayub (19:1-29)
E. Zofar : Kefasikan Dihukum (20:1-29)
F. Jawaban Ayub (21:1-34)
4. Siklus Percakapan Ketiga (Bab 22-28)
A. Elifas : Ayub adalah Fasik (22:1-30)
B. Ayub Menjawab (23:1-24:25)
C. Bildad: Pembenaran (25:1-6)
D. Ayub Menjawab (26:1 – 27:23)
E. Kebijaksanaan yang Tak Terjangkau
(28:1-28)
5. Ayub Membela Diri (29:1 – 31:37)
6. Elihu Bicara (32:1 – 37:24)
7. Allah Menjawab (38:1 – 42:6)
8. Epilog (42:7-17).
III. MAKSUD DAN TEMANYA
Cerita dan maksud Kitab Ayub ditentukan dari kerangka
pendahuluan (Ayb 1:1 – 2:13), dan epilog kitab (Ayb 42:7-17). Di dalam
pendahuluan, Ayub dilukiskan sebagai seorang yang kaya dan besar pengaruhnya di
tanah Us, seorang yang “saleh dan jujur, ia takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan” (Ayb 1:1). Adegan berlanjut di surga, di mana Allah menyatakan Ia
berkenan kepada Ayub. Iblis, yang menghadap Allah, berkata bahwa kesetiaan Ayub
timbul karena ia tidak membutuhkan apa-apa. Jika Allah menghancurkan
kebahagiaan Ayub dan mengambil semua berkat karuniaNya, kata iblis, Ayub yang
dikira saleh itu akan berbalik melawan dan menghujat Allah. Iblis diizinkan
mencobai keutamaan Ayub, dan Ayub mengalami serangkaian kemalangan, termasuk
hilangnya harta benda, kena penyakit dan mengalami penghinaan. Bahkan
teman-teman dan isterinya sendiri menuduh dirinya tidak mau mengakui, bahwa
semua kemalangan ini adalah akibat dari dosanya. Namun Ayub tetap menjadi abdi
yang setia pada Allah, dengan senantiasa memuji Allah dan menyatakan kerelaan
hatinya, bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, dan Allah berhak mengambil
kembali semuanya itu darinya, “terpujilah nama Tuhan!” (Ayb 1:21). Di dalam
bagian epilog, Ayub yang tidak bersalah dipulihkan, Allah memberikan kepada
Ayub “dua kali lipat dari segala kepunyaannya dulu” (Ayb 42:10).
Keyakinan
umum konvensional pada masa itu adalah bahwa Allah mengganjar orang yang benar
dan menghukum orang jahat. Tetapi Ayub yang benar, ternyata menderita. Dialog
yang membahas misteri ini disampaikan dalam tiga siklus. Ayub bercakap-cakap
dengan masing-masing dari teman-temannya, Elifas, Bildad dan Zofar.
Teman-temannya menyampaikan pandangan tradisional, menyatakan bahwa Ayub menanggung
derita karena ia telah berdosa. Tetapi Ayub menyangkal teman-temannya,
menyatakan bahwa nalar mereka keliru, dan menyatakan bahwa pangkal sebab
penderitaannya itu adalah Tuhan. Keluh-kesahnya begitu kuat dan paling mengesan
dalam Perjanjian Lama. Ayub menyalahkan Allah yang diam membiarkan semua
kejadian yang menimpanya (Ayb 9:2), namun ia tetap memohon belas kasihan dan
pertolongan Allah. Ia menantang Allah dan berseru, “Hendaklah Yang Mahakuasa
menjawab aku!” (Ayb 31:35), namun ia juga tetap setia beriman kepada Allah dan
yakin, bahwa pada akhirnya Allah akan memulihkan dirinya. “Aku tahu: Penebusku
hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga setelah kulit tubuhku
sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan
melihat memihak kepadaku, mataku sendiri akan menyaksikanNya dan bukan orang
lain” (Ayb 19:25-27).
Setelah
mematahkan dalih teman-temannya, Ayub masih harus berhadapan dengan seorang
penantang lain yang masih muda, Elihu. Turut masuk dalam percakapan, Elihu
mengulang lagi sebagian besar dalih yang sama dengan Elifas, Bildad dan Zofar.
Akhirnya,
Allah sendiri muncul dan menjawab Ayub. Dari dalam badai Ia berbicara (Bab
38-42), menghujani Ayub dengan serangkaian pertanyaan retoris yang menunjukkan
celah yang tak terduga besarnya di antara Allah Sang Pencipta dan mahluk
ciptaanNya. Rendah hati karena apa yang dialaminya, Ayub mengakui kesalahannya karena
sempat meragukan dan menanyai Allah. Tetapi permohonannya dikabulkan: Yang
Mahakuasa memberikan jawaban kepadanya.
Jawaban
Allah bukanlah hiburan palsu atau jawaban yang mudah. Kehadiran Allah yang
terasakan di mana-mana, kekuasaanNya yang mahabesar, kebijaksanaanNya,
kemuliaanNya, dan tata-penyelanggaraanNya, sungguh di luar jangkauan pemahaman
manusia. Penyerahan diri Ayub bukannya berasal dari ketakutan, tetapi dari
kerendahan hati baru yang hanya mungkin terbentuk setelah mengalami Allah :
“Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
dan yang tidak kuketahui. FirmanMu: ‘Dengarlah maka Akulah yang akan berfirman;
Aku akan menanyai engkau supaya engkau memberitahu Aku.’ Hanya dari kata orang
saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi mataku sendiri sekarang memandang
Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk
dalam debu dan abu” (Ayb 42:3-6). Jawaban atas persoalan dan misteri tentang
penderitaan manusia yang dinyatakan dalam Kitab Ayub terletak dalam misteri
tentang Allah sendiri, yang memberikan cobaan dan penderitaan kepada kita untuk
meminta bukti komitmen kita, dan membawa kita kepadaNya dengan berlutut.
Paus
Yohanes Paulus II menyatakan pada tahun 1988:
“Kita bisa berkata bahwa tokoh kuno Ayub, orang saleh yang
mengalami penderitaan besar, yang berdasarkan nalar manusia tidak tepat
disandangnya itu, mewakili pertanyaan besar dari manusia segala zaman. Manusia
terus menerus bertanya mengenai alasan-alasan penderitaan dan mencari maknanya
dalam konteks hidup di dunia. Ayub adalah pertanyaan yang dijawab secara
langsung oleh Allah. Injil memberi jawabannya. Kristus selalu dekat pada mereka
yang mengalami penderitaan; Kristus, yang pada akhirnya memikul salib di
pundakNya, suatu tanda yang nista, untuk kemudian wafat di kayu salib itu – Dia
sendiri adalah jawaban. Dalam Dia Allah menjawab Ayub Perjanjian Lama, dan
menjawab semua Ayub dari segala zaman dan angkatan-angkatan sesudahnya. Jawaban
ini sekalipun masih samar, namun sekaligus kuat dan pasti”. (Homili, 7 Februari
1988).
Ayub disajikan kepada umat dalam petikan bacaan pertama dalam Misa Harian dalam pekan biasa ke XXVI Tahun C.Genap.
Bambang Kussriyanto.
Bahan: Scott Hahn.