Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Statuta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Statuta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Oktober 2022

KHK Buku I Norma Umum Kan 35 – Kan 95

 



Tentang Tindakan Admnistratif; Dekrit dan Perintah (Instruksi); Reskrip; Privilegi; Dispensasi; Statuta dan Tertib-Acara

JUDUL IV TINDAKAN-TINDAKAN ADMINISTRATIF UNTUK KASUS DEMI KASUS

BAB I NORMA-NORMA UMUM

Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewe-nangannya oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 76, § 1.

Kan. 36 - § 1. Tindakan administratif harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri dan pemakaiannya yang lazim; dalam keraguan, tindakan administratif yang menyangkut sengketa, atau ancaman hukuman atau hukuman yang harus dijatuhkan, atau yang membatasi hak-hak seseorang, atau yang merugikan hak-hak yang telah diperoleh pihak lain, atau yang berlawanan dengan undang-undang yang menguntungkan orang-perorangan, harus ditafsirkan secara ketat; semua yang lain harus ditafsirkan secara luas.

§ 2. Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada kasus-kasus lain selain yang disebut.

Kan. 37 - Tindakan administratif yang menyangkut tata-lahir harus diberikan secara tertulis; demikian juga tindakan pelaksanaannya kalau diberikan dalam bentuk dipercayakan-kepada-perantara.

Kan. 38 - Tindakan administratif, biarpun mengenai reskrip yang diberikan dalam bentuk Motu Proprio, tidak mempunyai efek sejauh merugikan hak yang telah diperoleh pihak lain, atau bertentangan dengan undang-undang atau kebiasaan yang telah diakui, kecuali otoritas yang berwenang dengan jelas mencantumkan suatu klausul yang menguranginya.

Kan. 39 - Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali, asalkan.

Kan. 40 - Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah melaksana-kan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu.

Kan. 41 - Pelaksana tindakan administratif yang hanya ditugaskan untuk melaksanakannya, tidak dapat menolak pelaksanaan tindakan itu, kecuali jelas bahwa tindakan itu tidak sah, atau karena alasan lain yang berat tidak dapat dipertahankan, atau syarat-syarat yang dicantumkan dalam tindakan administratif itu sendiri tidak terpenuhi; tetapi kalau pelaksanaan tindakan administratif itu nampak tidak pada tempatnya karena alasan keadaan orang atau tempat, pelaksana hendaknya menunda tindakan itu; dalam kasus-kasus itu hendaknya otoritas yang mengeluarkan tindakan itu segera diberitahu.

Kan. 42 - Pelaksana tindakan administratif harus bertindak menurut norma mandat; tetapi kalau syarat pokok yang dicantumkan dalam surat tidak dipenuhinya dan bentuk hakiki dari prosedur tidak ditepatinya, pelaksanaan itu tidak sah.

Kan. 43 - Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya, kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kuali fikasi pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.

Kan. 44 - Pelaksanaan tindakan administratif dapat juga dilakukan oleh pengganti pelaksana dalam jabatan, kecuali pelaksana tersebut sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya.

Kan. 45 - Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam pelak-sanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi.

Kan. 46 - Tindakan administratif tidak berhenti dengan berakhirnya hak orang yang menentukannya, kecuali dalam hukum dengan jelas dinyata-kan lain.

Kan. 47 - Pencabutan tindakan administratif dengan tindakan administratif lain dari otoritas yang berwenang memperoleh efek hanya sejak saat hal itu diberitahukan secara legitim kepada orang yang bersangkutan.



BAB II DEKRET DAN PERINTAH UNTUK KASUS DEMI KASUS

Kan. 48 - Yang dimaksud dengan dekret untuk kasus demi kasus ialah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh otoritas eksekutif yang berwenang; sesuai dengan norma hukum tindakan itu memberikan keputusan atau pengaturan untuk kasus partikular yang menurut hakikatnya tidak mengandaikan permohonan dari seseorang.

Kan. 49 - Perintah untuk kasus demi kasus ialah suatu dekret yang secara langsung dan legitim mewajibkan seseorang atau orang-orang tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; hal itu diberikan terutama untuk mendorong pelaksanaan undang-undang.

Kan. 50 - Sebelum mengeluarkan dekret untuk kasus demi kasus, otoritas yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya dapat dirugikan.

Kan. 51 - Dekret harus diberikan secara tertulis; jika menyangkut suatu keputusan, alasan-alasannya harus dinyatakan sekurang-kurangnya secara ringkas.

Kan. 52 - Dekret untuk kasus demi kasus mempunyai kekuatan hanya mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret itu; tetapi dekret itu mewajibkan mereka di manapun, kecuali pasti lain.

Kan. 53 - Kalau dekret-dekret bertentangan satu sama lain, dekret khusus harus diutamakan di atas dekret umum dalam hal-hal yang dirumuskan secara khusus; kalau sama-sama khusus atau umum, dekret yang kemudian mengubah dekret yang mendahuluinya, sejauh bertentangan dengannya.

Kan. 54 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya.

§ 2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum.

Kan. 55 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir.

Kan. 56 - Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang bersang-kutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menanda-tanganinya.

Kan. 57 - § 1. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk menge-luarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus diterima, kecuali dalam Undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.

§ 2. Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih lanjut.

§ 3. Jawaban yang diandaikan negatif tidak membebaskan otoritas yang berwenang dari kewajibannya untuk mengeluarkan dekret, bahkan juga untuk memberi ganti rugi yang mungkin timbul, sesuai dengan norma kan. 128.

Kan. 58 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang berwe-nang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksa-naannya diberikan dekret itu.

§ 2. Perintah untuk kasus demi kasus yang tidak diberikan dengan dokumen legitim berhenti dengan berakhirnya hak pemberi perintah itu.



BAB III RESKRIP

Kan. 59 - § 1. Reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang.

§ 2. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai reskrip berlaku juga untuk pemberian izin dan kemurahan yang dibuat secara lisan, kecuali pasti lain.

Kan. 60 - Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang.

Kan. 61 - Kecuali pasti lain, reskrip dapat diperoleh untuk orang lain, juga tanpa persetujuannya, dan berlaku sebelum penerimaannya, dengan tetap berlaku klausul-klausul yang berlawanan.

Kan. 62 - Reskrip yang diberikan tanpa pelaksana mempunyai efek sejak saat surat diberikan; yang lain-lain sejak saat pelaksanaannya.

Kan. 63 - § 1. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran menghalangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyata-kan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.

§ 2. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang dikemu-kakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar.

§ 3. Dalam reskrip tanpa pelaksana alasan yang menjadi motif untuk memberinya haruslah benar pada waktu reskrip itu diberikan; dalam reskrip yang lain, pada waktu pelaksanaannya.

Kan. 64 - Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas lain yang berwenang dibawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang mulai menanganinya.

Kan. 65 - § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2 dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu, kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama.

§ 2. Kemurahan yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal, tidak dapat diberikan dengan sah oleh seorang Vikaris lain dari Uskup yang sama, walaupun alasan-alasan penolakan itu telah diperoleh dari Vikaris yang menolaknya.

§ 3. Adalah tidak sah kemurahan, yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal dan kemudian diperoleh dari Uskup diosesan tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi kemurahan, yang telah ditolak oleh Uskup diosesan, tidak dapat diberikan dengan sah oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopalnya tanpa persetujuan Uskup diosesan, walaupun penolakan itu disebutkan.

Kan. 66 - Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.

Kan. 67 - § 1. Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan diatas reskrip umum.

§ 2. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang mendahului diutamakan diatas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat.

§ 3. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu.

Kan. 68 - Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelaksana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperolehnya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa.

Kan. 69 - Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktunya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat.

Kan. 70 - Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu dipercayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara hatinya.

Kan. 71 - Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya.

Kan. 72 - Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.

Kan. 73 - Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang berten-tangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain.

Kan. 74 - Walaupun kemurahan yang diberikan secara lisan dapat digunakan orang dalam tata-batin, ia wajib membuktikannya untuk tata-lahir, setiap kali hal itu secara legitim diminta dari padanya.

Kan. 75 - Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispensasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati.



BAB IV PRIVILEGI

Kan. 76 - § 1. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.

§ 2. Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan.

Kan. 77 - Privilegi harus ditafsirkan menurut norma kan. 36, § 1; tetapi selalu harus digunakan penafsiran yang sedemikian sehingga mereka yang menerima privilegi sungguh-sungguh memperoleh suatu kemurahan.

Kan. 78 - § 1. Privilegi diandaikan bersifat tetap, kecuali dibuktikan kebalikannya.

§ 2. Privilegi personal, yakni yang mengikuti persona, terhenti bersama dengan matinya persona itu.

§ 3. Privilegi real terhenti dengan kehancuran total benda atau tempatnya; tetapi privilegi lokal (atas tempat) hidup kembali, kalau tempat itu dibangun lagi dalam waktu limapuluh tahun.

Kan. 79 - Privilegi terhenti dengan pencabutan oleh otoritas yang berwenang menurut norma kan. 47, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 81.

Kan. 80 - § 1. Tiada privilegi yang terhenti karena seseorang melepaskannya, kecuali hal itu diterima oleh otoritas yang berwenang.

§ 2. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri.

§ 3. Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain.

Kan. 81 - Dengan berbentinya hak pemberi, privilegi itu sendiri tidak terhenti, kecuali diberikan dengan klausul ad beneplacitum nostrum (atas perkenan kami) atau klausul lain yang senilai.

Kan. 82 - Dengan tidak digunakannya atau digunakannya secara bertentangan, privilegi yang tidak merupakan beban bagi orang lain, tidak terhenti; sedangkan privilegi yang merupakan beban bagi orang lain, hilang kalau sudah kedaluwarsa secara legitim.

Kan. 83 - § 1. Privilegi terhenti kalau waktunya telah lewat atau telah terpenuhi jumlah kasus untuknya privilegi itu diberikan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 142, § 2.

§ 2. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.

Kan. 84 - Kalau seseorang menyalahgunakan kuasa yang diberikan kepadanya dengan privilegi, selayaknya privilegi itu dicabut dari padanya; karena itu kalau Ordinaris telah memperingatkan pemilik privilegi itu dengan sia-sia, hendaklah ia mencabut privilegi yang telah diberikannya sendiri dari orang yang menyalahgunakannya secara berat; kalau privilegi itu diberikan oleh Takhta Apostolik, Ordinaris berwajib memberitahukan kepadanya.

BAB V DISPENSASI

Kan. 85 - Dispensasi atau pelonggaran dari daya-ikat Undang-undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batasbatas kompetensi-nya, dan juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim.

Kan. 86 - Tidak dapat diberikan dispensasi dari undang-undang sejauh undang-undang itu merumuskan unsur-unsur yang secara hakiki konsti-tutif dari lembaga atau tindakan yuridis.

Kan. 87 - § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepen-tingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun parti-kular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain.

§ 2. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi direser-vasi Takhta Suci, asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.

Kan. 88 - Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari undang undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup.

Kan. 89 - Pastor-paroki dan imam-imam lain atau diakon tidak dapat memberi dispensasi dari undang-undang universal dan partikular, kecuali kuasa itu dengan tegas diberikan kepadanya.

Kan. 90 - § 1. Jangan diberikan dispensasi dari undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan memperhatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.

§ 2. Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan, dispensasi diberikan dengan sah dan licit.

Kan. 91 - Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan dispen-sasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya, terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya; dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri.

Kan. 92 - Penafsiran sempit berlaku bukan hanya untuk dispensasi menurut norma kan. 36, § 1, melainkan juga untuk kuasa itu sendiri dalam memberikan dispensasi untuk kasus tertentu.

Kan. 93 - Dispensasi yang memiliki penerapan berturut-turut terhenti dengan cara-cara yang sama seperti halnya privilegi, dan juga dengan terhentinya secara pasti dan menyeluruh alasan yang menjadi motif dispensasi itu.



JUDUL V STATUTA DAN TERTIB-ACARA

Kan. 94 - § 1. Statuta dalam arti sebenarnya ialah peraturanperaturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya.

§ 2. Yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok orang hanyalah orang yang secara legitim adalah anggotanya; yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok benda ialah para pengurusnya.

§ 3. Ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan atas dasar kuasa legislatif, diatur dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.

Kan. 95 - § 1. Tertib-acara ialah aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditepati dalam sidang-sidang, baik yang ditentukan oleh otoritas gerejawi maupun yang diadakan dengan bebas oleh umat beriman kristiani, dan juga dalam perayaan-perayaan lain, di dalamnya dirumus-kan hal-hal yang berhubungan dengan penataan, kepemimpinan dan tata-kerja.

§ 2. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.


Dipetik untuk keperluan studi dari Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi terjemahan Bahasa Indonesia, KWI 2005.