Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Fusi Partai Kattolik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fusi Partai Kattolik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2022

1972 Gemuruh Pembangunan dan Pembaruan 1972

 


Bambang Kussriyanto

Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970

 

BAB I

GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN

(1970-1979)

Kemajuan yang sejati terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI, Populorum Progressio 86)

 

1972

Paus menyampaikan pesan perdamaian kepada umat katolik dan kepada dunia setiap awal tahun baru sejak 1968. Ini merupakan tradisi pengharapan baru akan perdamaian sejak diterbitkannya Ensiklik Pacem in Terris oleh Paus Yohanes XXIII pada 1963, dan Ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI pada 1967. Untuk tahun 1972 pesan Paus Paulus VI pada Hari Perdamaian Sedunia menyampaikan tantangan: “Jika Anda menginginkan damai, perjuangkanlah keadilan”. Sebab, “bukankah merupakan bagian integral dari keadilan tugas yang memungkinkan setiap negara memajukan pembangunannya sendiri dalam kerangka kerjasama yang bebas dari maksud-maksud atau niat tersembunyi untuk melakukan dominasi, entah ekonomi atau pun politik?

Memang masalah keadilan sangat serius dan rumit; namun janganlah kita membuatnya lebih parah, atau memecahkannya sambil lalu saja. Sebab justru dari sinilah tepatnya bahwa undangan yang kami sampaikan dalam rangka perayaan Perdamaian mengumandangkan ajakan untuk melaksanakan Keadilan: “Di mana ada keadilan di situ tumbuh damai sejahtera” (bdk Yes 32:17). Hari ini agar lebih menantang dan dinamis kami sampaikan ulang dalam frasa : ‘Jika Anda menginginkan damai, perjuangkanlah keadilan’.

Undangan ini sama sekali tidak meremehkan kesulitan dalam melaksanakan keadilan, dalam merumuskannya dan kemudian terutama dalam mewujudkannya, sebab untuk itu selalu dituntut pengorbanan dalam hal gengsi dan kepentingan diri: Mungkin lebih diperlukan kebesaran jiwa demi menghasilkan cara-cara untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian ketimbang pergumulan menuntut terpenuhinya hak-hak terhadap pihak lawan, entah itu benar atau salah. Kami sungguh percaya pada daya kuasa yang terkait dengan cita-cita akan keadilan dan perdamaian dalam buncahan energi moral manusia modern untuk mewujudkannya, sehingga kami yakin bahwa kemenangan berangsur-angsur akan dicapai. Sesungguhnya kami menaruh harapan lebih besar bahwa dengan caranya sendiri manusia modern dalam memahami jalan-jalan menuju perdamaian, telah cukup memampukannya menjadi perintis keadilan yang membuka jalan-jalan dan menyiapkan keluarga manusia untuk menempuhnya dengan berani dan penuh pengharapan akan masa depan” (Pesan Paus Paulus VI pada Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 1972).

 

Belum lama berlalu dalam Sinode Uskup Sedunia bulan November 1971 pesan untuk memerjuangkan keadilan disampaikan Gereja kepada umat Allah dan kepada dunia. Adalah perutusan umat Allah untuk memajukan keadilan di dunia (JIW 1). “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam merombak dunia adalah dimensi hakiki pewartaan Injil, atau dengan kata lain, perutusan Gereja dalam penebusan umat manusia meliputi pembebasan mereka dari setiap situasi (penindasan) yang tidak adil (JIW 6). “Hendak;ah umat kristiani yakin, bahwa mereka masih akan menuai buah-buah kodrat serta usaha mereka sendiri, yang kini sedang disediakan oleh Allah bagi mereka” (JIW 75).

Salah satu sarana yang disediakan Allah adalah rukun hidup dan rukun iman umat Allah yang disebut paroki, di mana pembinaan pengertian dan perilaku adil melalui pembaruan hati dilaksanakan terus menerus (JIW 51-54). Maka harapan akan keadilan yang membuahkan damai sejahtera juga menyertai pendirian paroki-paroki baru di Indonesia. Dalam tahun 1972 setidaknya tercatat didirikannya paroki-paroki baru antara lain paroki Pejompongan, hasil pemekaran dari paroki Petamburan di Keuskupan Agung Jakarta; paroki Dirjadipuran Surakarta, hasil pemekaran dari paroki Purbayan dari Keuskupan Agung Semarang; paroki Magetan, hasil pemekaran dari paroki Madiun dari Keuskupan Surabaya; paroki Langsep, Kota Malang, hasil pemekaran dari paroki Kayutangan atas permintaan para imam Lazaris (CM) untuk praktek pelayanan pastoral para calon imam mereka di Keuskupan Malang; paroki Dumai, hasil pemekaran paroki Pekanbaru di Keuskupan Padang; paroki Ngabang, hasil pemekaran paroki Pahauman dari Keuskupan Agung Pontianak; paroki Serengkah, hasil pemekaran paroki Tumbang Titi dari Keuskupan Ketapang; paroki Tuminting, hasil pemekaran paroki Ignatius (Yos Sudarso) Manado dari Keuskupan Manado; paroki Thomas More Maumere hasil pemekaran paroki St Yosef Maumere.

 

Di Keuskupan Agats Asmat, Irian Barat, didirikan pula paroki Yaosokor dan paroki Ayam, keduanya hasil pemekaran dari paroki Agats. Pada tahun 1970 dalam catatan statistik  jumlah umat di Keuskupan Agats Asmat tercatat 15.254 jiwa, tersebar  di 9 paroki, dilayani oleh 9 imam religius (OSC).

 

Pada tahun  1972 Gereja Katolik Indonesia mendapat bantuan tenaga misionaris dari Oblat Maria Imakulata (OMI) provinsi Australia, untuk ikut mengembangkan karya pastoral di Keuskupan Purwokerto. Pada hari Natal 1970, Provinsial OMI Australia yang baru, Pastor John Hannah OMI, mengumumkan bahwa sebuah perjanjian antara OMI dengan Uskup Purwokerto, Mgr. W.M. Schoemaker MSC telah dicapai. Pada tanggal 20 Oktober 1971, empat misionaris Oblat dari Australia, yaitu John Kevin Casey, Patrick Moroney, David Shelton dan Patrick Slaterry berangkat menuju Indonesia. Mereka kemudian mengadakan penyesuaian dan persiapan seperlunya. OMI berkarya di dua paroki, yaitu (1) Paroki St. Yosep, Purwokerto Timur (1972), (2) Paroki St.Stephanus, Cilacap (1972). Berangsur-angsur kemudian OMI pun bekerja di Keuskupan Semarang dan Keuskupan Jakarta (1974). OMI termasuk tarekat yang tergolong muda dalam pekerjaan pastoral di Indonesia.

Karena dinamika moneter akibat penurunan nilai dollar AS dibanding emas, maka pada 20 Januari 1972 enam negara pengekspor minyak  yaitu Venezuela, Iraq, Saudi Arabia, Iran, Kuwait dan Libia menuntut kenaikan harga minyak (Resolusi OPEC XXV.140) pada perusahaan-perusahaan minyak,  dan disetujui  kenaikan rata-rata 10% atau naik rata-rata AS $ 0.200 – 0.300 per barel untuk semua jenis minyak.  Indonesia menjadi anggota OPEC sejak 1962 dan mendapat keuntungan dari kenaikan harga ini walau tidak segera. Penerimaan negara dari minyak bertambah dan itu berarti dana yang tersedia untuk pembangunan akan semakin besar.  Karena harga minyak oleh negara-negara produsen dikaitkan dengan harga emas, sejak itu komoditi minyak bum disebut emas hitam.

Produksi minyak bumi Indonesia 0,89 juta barel minyak per hari pada 1971 dan 1,08 juta barel minyak per hari pada 1972. Ekspor minyak pada 1971 sebanyak 273 juta barel, pada 1972 sebanyak 275 juta barel. Harga ekspor minyak Indonesia pada tahun 1971 rata-rata AS$ 2,40 per barel; pada 1972 rata-rata AS$ 2,95 per barel. Dalam tahun 1972 pendapatan negara dari sektor minyak Rp 241 milyar, menyumbang 38% lebih dari total pendapatan negara. Seluruh penerimaan negara dalam anggaran 1971/1972 Rp 324 milyar, realisasinya Rp 428 milyar; dalam anggaran 1972/1973 Rp 374 milyar, realisasinya Rp 590 milyar.  Karena mendapat “windfall profit”, memeroleh laba tanpa usaha sendiri dari harga minyak bumi dunia yang meningkat, Indonesia mulai mengalami “berkah minyak”, yang antara lain menyumbang peningkatan perbaikan dan pendirian berbagai prasarana kesehatan, pendidikan dan rumah ibadah.

Dunia Katolik dikejutkan oleh peristiwa “Minggu Berdarah” ketika  13 umat Katolik Roma yang tak bersenjata ditembak mati oleh Tentara Inggris di Derry, Irlandia Utara. Peristiwanya terjadi ketika pada tanggal 30 Januari 1972 terjadi demonstrasi damai 10.000 umat Katolik di Londonderry (Derry) Irlandia Utara,  menyuarakan hak-hak sipil mereka, menuntut pembebasan anggota Tentara Irlandia Utara (IRA) yang ditahan tanpa diadili oleh Tentara Inggris, dan menuntut agar Tentara Inggris ditarik mundur dari Irlandia Utara. Pihak tentara Inggris pada 1 Februari 1972 menerbitkan pembelaan diri mereka, menyatakan bahwa para pendemo melempari pasukan mereka dengan batu dan melepaskan tembakan pertama. Insiden “Minggu Berdarah” menyebabkan umat Katolik di beberapa negara Skandinavia memrotes kedutaan besar Inggris dengan marah. Penyelidikan berlangsung bertahun-tahun dan berakhir pada 2018 ketika Perdana Menteri Tony Blair akhirnya menyatakan bahwa berdasarkan berkas penyelidikan setebal lebih dari 5000 halaman, mereka yang tewas (menjadi 14 orang, karena dari 14 lainnya yang terluka dan dirawat akibat tembakan, seorang akhirnya meninggal juga)  tidak bersenjata dan tidak bersalah. Bahwa kesaksian tentang adanya tembakan dari pihak para pendemo juga tidak terbukti. Walaupun demikian demo hak-hak sipil yang dilakukan secara damai itu dipastikan ilegal, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Kepada para korban diberikan santunan uang.

Ketika memberi sambutan dalam Sidang MAWI akhir 1971, Menteri Agama HA Mukti Ali memuji dan menghargai ajaran-ajaran Konsili Vatikan II yang relevan dengan situasi Indonesia, terutama yang berkaitan dengan menghormati dan menjaga integritas martabat manusia. “Sikap itu bukan hanya agung menurut anggapan kita bersama, makin mendalam kita merenungkannya, makin haru kita dibuatnya”. “Sikap yang demikian itu, kami rasa bukan hanya harus dihayati dan dilaksanakan oleh umat Katolik dan Kristen, tetapi sikap yang sedemikian itu perlu dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama, apalagi di Indonesia ini”.

Ia mengingatkan dalam era pembangunan ini kerukunan umat beragama secara individu dan kelompok sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama, bukannya malah bikin masalah. “Pembangunan di Indonesia banyak sekali tergantung pada sikap agama terhadapnya, dan juga sangat tergantung pada kerukunan umat bergama. Tanpa kerukunan, pembangunan di Indonesia hanya akan menjadi impian sekalipun indah”.

Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 9 Pebruari 1972 menangguhkan berlakunya keputusan Menteri Agama No 269 tahun 1970 beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya, dan menyatakan berlakunya kembali Keputusan Menteri Agama No. 114 tahun 1969 tentang Struktur Organisasi, Tugas-kewajiban, Wewenang dan Tata Kerja Departemen Agama Pusat.

Tugas pokok Departemen Agama ialah : 1. Melaksanakan azas negara seperti yang terkandung dalam pasal 29 Undang-undang Dasar 1945; 2. Memelihara dan melaksanakan falsafah Negara Panca Sila dengan jalan membina, memelihara dan melayani rakyat Indonesia agar supaya menadi bangsa yang beragama. 3. mengikis habls mental dan faham ateis dan komunis serta dekadensi moral; 4. Turut aktif dalam penyusunan peraturan perundangan terutama yang berhubungan dengan soal-soal agama dan keagamaan.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut  1. Departemen Agama melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. Mengatur dan mengurus pendidikan Agama pada sekolah-sekolah serta mengurus dan membimbing perguruan perguruan Agama tingkat rendah dan menengah. b. Mengikuti dan memperhatikan serta membina segala hal  yang bersangkut-paut dengan Agama dan keagamaan yang penting bagi masyarakat dan negara serta mengurus dan membimbing hal•hal yang bertalian dengan soal-soal pernikahan, wakaf, zakat, ibadah sosial dan peribadatan; c. Memberi penerangan dan penyuluhan Agama. d. Mengurus dan mengatur peradilan Agama serta penyelesaian masalah yang berhubungan dengan Agama; e. Mengurus dan mcmperkembangkan perguruan-perguruan Tinggi Agama serta mengatur pcndidikan Agama pada Perguruan Tinggi. f. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah Haji dan pembinaannya serta perlawatan ke tempat-tempat suci bagi Agama-agama lain. 2. Fungsi-fungsi pada ayat (1) diatas dilaksanakan oleh Direktorat JenderaI c.q. Direktorat-Direktorat menurut bidangnya masing-masing.

Tiap-tiap Direktorat terdiri dari : a. Pimpinan ialah Direklur yang dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Tata-Usaha; b. Pelaksana-pelaksana ialah Sub-sub Direktorat.

Direktorat pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, ialah Direktorat Urusan Agama Katolik yang terdiri dari: a. Sub Direktorat Urusan Agama Katolik; b. Sub Direktorat Pendidikan Agama Katolik; c. Sub Direktorat Penerangan Agama Katolik.

Tugas pokok Direktorat Jenderal ialah melaksanakan tubas-tugas Departemen dalam bidang masing-masing, berdasarkan kebijaksanaan umum yang ditentukan oleh Menteri Agama.

Di dalam melaksanakan tugas-pokoknya Direktur Jenderal bertugas dan berwenang : 1. mempersiapkan dan melaksanakan tugas-tugas pokoknya ; 2. menyiapkan dan membina organisasi pelaksanaan; 3. menyiapkan dan memberikan pembinaein teknis kepada tenaga kerja pelaksana; 4. merencanakan anggaran keuangan dan bertanggung-jawab atas kebijaksanaan penggunaan anggaran tersebut, sesuai dengan peraturan yang berlaku; 5. menyiapkan, memelihara, menggunakan dan bertanggung-jawab alat eralatan dan kebutuhan materiil dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya Direktur Jenderal berkewajiban 1. mengadakan kerjasama seerat-eratnya dan berkonsultasi dengan Sekretaris Jenderal dan dengan Direktur-Jenderal Direktur-Jenderal lainnya dalam lingkungan Departemen Agama; 2. memberikan bahan-bahan atau laporan tehnis kepada Sekretaris-Jenderal untuk kepentingan pencatatan, penelitian dan penyusunan iaporan; 3. memberikan bimbingan. petunjuk dan pengawasan tehnis atas pelaksanaan tugas-tugas yang menurut sifatnya berada dalam lingkungan wewenangnya.

Tugas kewajiban Direktorat Urusan Agama Katolik, ialah 1. memelihara dan meresapkan ajaran Panca Sila dalam masyarakat Katolik; 2. memelihara hubungan baik antara Lemhaga-lembaga Katolik dengan penjabat-penjabat Agama lainnya; 3. menyalurkan bantuan-bantuan, baik. dari Pemerintah maupun sumber lain kepada Lembaga keagamaan Katolik, 4. menyelidiki adat-istiadat dan turut memperkembangkan kebudayaan dalam masyarakat Katolik; 5. memberikan fasilitas-fasilitas dan bantuan kepada ummat Katollk termasuk fasilitas bantuan bagi perlawatan ke tempat suci menurut agama Katolik: 6. mengurus, memberi bantuan dan bimbingan kepada Lembaga pendidikan Agama Katolik; 7. mengurus pendidikan Agama Katolik mulai pra sekolah sampai dengan Perguruan Tinggi; 8. mengurus penyelenggaraan pendidikan guru Agama dan tenaga ahli Agama Katolik; 9. menyelenggarakan penerangan dan penyuluhan Agama serta rawatan rohani terhadap masyarakat Katolik; 10. mengumpuikan dan menyusun statistik., dokumentasi serta perpustakaan sesuai dengan tugasnya; 11. menterjemah dan mengawasi Kitab-kitab Suci.

Pada tahun 1972 Kitab Suci Perjanjian Baru terjemahan bahasa Indonesia dicetak 20.000 eksemplar hasil kerjasama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Tahun sebelumnya telah dicetak dan diedarkan 10.000 eksemplar. Sedangkan Kitab Suci lengkap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru pada tahun 1972 masih dalam proses persiapan, khususnya yang memuat kitab-kitab Deuterokanonik untuk umat Katolik. Diharapkan edisi Kitab Suci lengkap itu dapat diselesaikan dalam tahun 1973.

Pemimpin RRT Mao Zedong menerima kunjungan Presiden AS Richard Nixon pada 21 Februari 1972. Ini merupakan kunjungan pertama Presiden AS di RRT. Umumnya mereka diberitakan bicara tentang masalah filsafat dalam sehari, namun gambar kedekatan mereka berdua mengubah keseimbangan geopolitik Perang Dingin di Asia Timur. Jabat tangan yang sangat signifikan. Dalam tujuh hari lainnya Presiden Nixon ditemani Perdana Menteri Zhou Enlai (22-27 Februari 1972) dan pers menyebutnya “pekan yang mengubah dunia”, ditandai dengan “Komunike Shanghai” (27 Februari) yang memerikan kepentingan masing-masing dan kepentingan bersama AS-RRT. Mereka secara informal membicarakan Perang Vietnam, Uni Soviet, politik satu China dalam hubungan dengan Taiwan, dan tentang peluang peningkatan relasi  bisnis, militer, budaya, dan hubungan antar perorangan kedua bangsa. Pertemuan model turisme ini di kemudian hari melahirkan tak kurang dari 30 dokumen rinci menyangkut perbaikan hubungan kedua negara.

Konstelasi Indochina berubah segera. Pada 29 Februari 1972. AS mengurangi beban ekonomi dalam Perang Vietnam. Karenanya Korea Selatan menarik diri dari Vietnam. Kehadiran Korea Selatan di Vietnam adalah sebagai sekutu AS. Mula-mula sebagai brigade sipil “Pasukan Merpati”  pada tahun 1965 sebanyak 15.000 orang yang meliputi pekerja teknis konstruksi sipil dan tenaga kesehatan. Tenaga sipil  Korea Selatan di Vietnam yang menerima gaji dari AS mencapai 100.000 orang pada 1971. Mereka membantu rakyat Vietnam membangun jembatan (lebih dari 3000), sekolah, klinik kesehatan dan fasilitas umum lainnya (lebih dari 3 juta unit) selama 9 tahun. Di balik pekerja sipil ini dikirimkan juga tentara sebagai pasukan cadangan bagi tentara AS. Pada tahun 1965 tentara Korea Selatan di Vietnam hanya 50.000 namun berkembang jadi 350.000 pada 1971. Mereka ini seperti tentara sewaan (mercenaries) mendapat perlengkapan tentara modern dan  gaji dari AS juga. Pada awal jelas tampak motif ekonomi dan pra sarana militer taktis dalam kehadiran Korea Selatan di Vietnam. Selain menangguk dollar dari jasa para relawan perang, Korea Selatan juga berkepentingan atas pelbagai  bantuan dana pembangunan AS dalam penerimaan Anggaran Belanja Negara di dalam negeri . Bantuan alih teknologi menjadi incaran Korea Selatan yang mengamati dengan iri perkembangan pesat industri tetangga mereka, Jepang. Penarikan pasukan Korea Selatan meninggalkan masalah sosial di Vietnam, yaitu generasi  anak-anak Vietnam yang terlahir dari ayah Korea yang disebut generasi peranakan Lai Dai Han.

Di sebelah barat Vietnam pada  10 Maret  Jendral Lon Nol menjadi President dan  Pangeran Sirik Matak Perdana Menteri  Kampuchea. Lon Nol adalah menteri pertahanan Kampuchea di bawah Pangeran Norodom Sihanouk pada tahun 1969. Tetapi dia juga yang memimpin penggulingan pemerintahan Norodom Sihanouk pada 1970. Ia menggantikan kebijakan sikap netral  Norodom Sihanouk dalam Perang Vietnam, dan menjadi sekutu baru AS dan Vietnam Selatan melawan Vietnam Utara. Lon Nol memberi jalan dan fasilitasi kepada pasukan gabungan AS dan Vietnam Selatan melalui wilayah Kampuchea menyerang Vietnam Utara dari barat. Perubahan sikap ini menimbulkan perlawanan kelompok komunis di dalam negeri Kampuchea dan membangkitkan kelompok bersenjata Khmer Merah yang didukung Vietnam Utara.

Club of Rome menerbitkan laporan tentang Batas Pertumbuhan ( "Limits to Growth") pada 1 Maret 1972. The Club of Rome adalah suatu wadah pemikiran ilmiah global (global think tank). Mereka sejak 1970 menyusun model yang memetakan konsekuensi  di masa depan dari laju pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan dan polusi yang  tinggi atas sumber daya alam yang terbatas. Dalam seratus tahun ke depan (artinya 2072) jika kecenderungan dibiarkan apa adanya maka kapasitas bumi untuk menanggungnya akan runtuh. Club of Rome menyarankan kebijakan pengurangan, pembatasan, pengendalian berbagai sektor indikator pertumbuhan internasional.


Dalam beberapa masalah kritis, pemikiran Club of Rome tentang Limits to Growth juga berkenaan dengan kebijakan pemerintah kita. Dalam perkembangannya, kebijakan kemandirian pangan telah mewarnai kebijakan Pemerintah Indonesia dalam bidang pertanian sejak tahun 1970-an. Hal ini dapat dilihat dari kondisi penyediaan pangan yang sebagian besar berasal dari produksi komoditas pangan domestik. Bayangan kemiskinan, ledakan jumlah penduduk dan semakin beratnya kehidupan ekonomis merupakan tantangan tersendiri bagi keluarga-keluarga muda berhadapan dengan moralitas. Program Keluarga Berencana yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi persoalan itu diminati banyak umat Katolik. Tetapi cara-cara pencegahan kehamilan yang ditawarkan relatif berseberangan dengan Ensiklik Humanae Vitae (1968). Sikap pastoral para Waligereja dalam hal ini menyerahkan keputusan kepada hati nurani umat (1972). Ini menyebabkan gesekan dengan Vatikan.

Suatu denting nada sumbang dari Mahmilub G30S 1965 masih terdengar mendesir di hati. Supono Marsudidjojo alias Pono, Pimpinan Biro Khusus PKI, divonis mati dengan Putusan Mahkamah No. PTS-035/MLB-III/SM/1972, tanggal 8 Maret 1972.

Berita getir terdengar lagi selang dua hari. Setelah 11 tahun menjadi Uskup Keuskupan Ruteng, Flores, Mgr. Wilhelmus van Bekkum, SVD  pada  10 Maret 1972  pensiun ketika usianya baru 62 tahun dan digantikan Mgr Vitalis Djebarus  SVD pada 5 Mei 1973.  Rumor sekitar “pensiunnya” Mgr. van Bekkum adalah bahwa ia “dipaksa” pensiun lebih cepat karena terlalu agresif memajukan soal Indonesianisasi. Namun bahwa penggantinya adalah seorang putera Indonesia, merupakan penghiburan dan buah upaya nyata dari proses Indonesianisasi.

Indonesianisasi merupakan arus dinamika baru dalam Gereja Katolik Indonesia yang meminta perhatian khusus. Sidang MAWI 1971 membahas Indonesianisasi juga. Bahkan disebut adanya panitia Indonesianisasi. Di satu pihak bangsa dan negara Indonesia semakin mengharapkan bahwa pemimpin Gereja adalah orang Indonesia, di pihak lain persiapan perlu dilakukan secara sistematis dan bertahap dengan menunjukkan kesungguhan. Masalahnya bukan sekedar kuantitas bahwa klerus Indonesia jumlahnya baru seperempat. Tetapi juga kualitatif calon-calon pengganti harus dipersiapkan “sempurna” agar diterima pihak-pihak.  Perlu pembedaan kemampuan, antara kemampuan representatif “keluar” seperti pada fungsi Uskup, dan kemampuan yang berorientasi meresapkan pengaruh “kedalam” menanamkan rasa perasaan, pembinaan watak, pola pikir dan cara kerja Indonesia ke dalam tubuh korps semisal untuk para pimpinan tarekat. Menyiapkan semua itu perlu proses dan waktu untuk pembinaan dan memberi pengalaman, yang meminta kesabaran. Jangan sampai Indonesianisasi dipaksakan pihak luar, tetapi juga perlu segera disiapkan prosesnya dengan seksama.

Dalam bidang politik kemunduran Partai Katolik dalam Pemilihan Umum 1971 menyisakan pertanyaan. Apakah peran organisasi-organisasi Katolik cukup dihargai? Terutama karena fakta bahwa sekarang terjadi perubahan, bahwa banyak orang katolik bergerak di luar organisasi-organisasi Katolik. Alih-alih saling curiga yang merugikan, koordinasi dan kerjasama lebih diharapkan untuk kebaikan bersama. Dalam Sidang MAWI akhir 1971 muncul refleksi bahwa sebagai Gereja seluruhnya perlu kebersamaan dalam menghadapi perubahan yang besar dan mendasar dengan mencegah sisi-sisi yang negatif dan mengarahkan perkembangan ke arah yang baik. Gereja perlu memberikan sumbangan yang bersifat kualitatif untuk menjadi garam dunia. Dan untuk itu tidak mutlak harus di dalam dan melalui organisasi-organisasi politik. Sementara itu di luar MAWI   diperlukan waktu cukup lama untuk dapat mewujudkan kesepakatan pengelompokan partai-partai, khususnya tentang “Ketentuan-Ketentuan Pokok Kelompok Demokrasi Pembangunan”, di antara para pemimpin kelima partai: PNI, Murba, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI pada  8 Maret 1972. Ini merupakan hasil optimal dari serangkaian pertemuan Panitia Lima tanggal 3 dan 10 November 1971 serta 15 dan 16 Desember 1971, kemudian pertemuan pimpinan parpol 15 dan 26 November 1971 serta 3 dan 14 Januari 1972, dan 8 Februari 1972.

Pada 17 Maret 1972 berhasil dibentuk suatu organ kepemimpinan tingkat pusat dari Kelompok Demokrasi Pembangunan yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP). Sebagai ketuanya adalah Isnaeni, sementara wakil ketua Sukarmadidjaja. Anggota-anggota unsur pimpinan terdiri dari Sukarmadidjaja, Hasjim Ning dan AP Tanri (IPKI), Ben Mang Reng Say, FC Palaunsoeka dan R.G Duriat (Partai Katolik), JCT Simorangkir, ZJ Manusama dan A. Wenas (Parkindo), dan Isnaeni, Sunawar Sukowati dan Hardjantho Sumodisastro (PNI). Sementara Sekjen Wignyosumarsono (Partai Katolik) dan Sabam Sirait Wakil (Parkindo) sekjen, dengan tiga orang anggota lain yang nantinya secara bergiliran menjadi sekretaris dan wakil sekretaris, masing-masing WA Chalik (IPKI), John Pakan (Murba), dan A. Madjid (PNI). Dibentuk 4 biro, masing-masing Biro Politik, Biro Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Biro Kesra, dan Biro Umum.

Indonesia memasuki tahun ketiga Pembangunan Lima Tahun I pada 1 April 1972. Salah satu kegiatan yang penting diperhatikan adalah Transmigrasi. Dasar hukum penyelenggaraan transmigrasi adalah UU Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketransmigrasian. Penyelenggaraan Transmigrasi di Indonesia berawal dari jaman kolonisasi yaitu pada tahun 1905 ditandai dengan penempatan pertama sebanyak 155 Kepala Keluarga (KK) dari Kedu Jawa Tengah ke Gedong Tataan Provinsi Lampung. Istilah transmigrasi sendiri pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno pada tahun 1927 dalam harian Soeloeh Indonesia. Selanjutnya dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang Yogyakarta, bersamaan dengan Rapat Panitia Siasat Ekonomi tangal 3 Februari 1946 Wakil Presiden Mohammad  Hatta menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Jawa. Orientasi pembangunan transmigran masih mengacu pada penyebaran penduduk untuk keseimbangan penyebaran penduduk Indonesia, dari Pulau Jawa yang padat ke pulau lain yang relatif kurang penduduknya, sebesar-besarnya. Program transmigrasi ternyata juga membantu penyebaran iman Katolik, dibawa oleh para transmigran yang beragama katolik ke daerah-daerah baru mereka. Perkembangan keuskupan Tanjungkarang, misalnya, sangat dibantu oleh peran para transmigran dari Jawa yang beragama Katolik.

Dalam menyambut babak pembangunan tahun ketiga Pelita I tahun 1972 melalui suratnya Ketua MAWI Kardinal Yustinus Darmoyuwana pada akhir 1971 mengingatkan “umat manusia yang ingin membangun suatu dunia baru, mendapat rintangan di mana-mana.” Kardinal menyebutkan ekses-ekses bahwa dalam masa peralihan dan perkembangan mudah sekali timbul keguncangan dan ketidak-adilan. Kerukunan bangsa terancam oleh korupsi. Hak umum dianggap milik pribadi. Timbul jurang antara yang kaya berkelimpahan dan yang miskin, kelaparan dan serba menderita. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang tega memeras rakyat yang tidak berdaya dan merampas hak miliknya. Para tahanan politik tidak diperhatikan dan keluarga mereka pecah berantakan. Terjadi pemerasan dengan dalih penertiban hukum. Para pengajar dan pendidik tidak bertanggungjawab sehingga anak-anak berhenti belajar di tengah jalan.  “Tetapi kita tidak boleh putus asa. Sesuai dengan petunjuk para pemimpin Gereja dan bersama-sama dengan semua orang yang berkehendak baik, kita harus memenuhi panggilan Tuhan, supaya dengan menjalankan tugas masing-masing dengan semangat Injil, kita bekerja dari dalam, sebagai ragi penyucian dunia. “ Beliau mengutip Pedoman Kerja Umat Katolik 1970. Pemerintah sedang berusaha menegakkan hukum dan membangun suatu kemakmuran yang lebih merata. Kita tidak boleh menggantungkan usaha memperbaiki masyarakat hanya pada usaha pemerintah saja. Dari bawah pun, artinya dari rakyat, diharapkan pula usaha, inisiatif, kontrol-sosial yang bersifat mambangun. Umat katolik tidak boleh tinggal diam, terpaku di tempat kita sendiri. Kita dapat ikut serta menegakkan keadilan melalui sikap dan tindakan kita sendiri, dan melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang sangat luas dan penting. Janganlah kita hanya menjadi penonton saja. “Kita masing-masing sebagai warga Gereja dan masyarakat dituntut  ikut melibatkan diri dalam pergolakan, ikut memecahkan masalah-masalah masyarakat di tempat kita hidup”.

Sehubungan dengan keterlibatan umat Katolik dalam pembangunan, dalam tahun 1972 akan diselenggarakan Musyawarah Kerja Umat Katolik Seluruh Indonesia (MUKSI) yang akan melibatkan utusan-utusan dari seluruh keuskupan di Indonesia, bertolak dari Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) 1970.

Pada 10 April 1972 Konvensi Senjata Biologis PBB yang diikuti AS, Uni Soviet dan 70 negara lainnya mencapai kesepakatan untuk melarang penggunaan senjata biologis. Penggunaan senjata biologis menyebarkan penyakit organisme atau racun yang merusak atau membunuh manusia, hewan dan tanaman.  Senjata biologis sangat mematikan dan menular dengan cepat.  Penyakit yang berasal dari senjata ini menyebar dengan cepat melintasi batas negara hingga ke seluruh dunia. Akibat dari penggunaan kuman atau racun biologis entah oleh negara atau pelaku mana pun akan sangat menyedihkan. Selain menghilangkan nyawa secara tragis, penggunaan senjata biologis juga menyebabkan kekurangan pangan, bencana lingkungan hidup, kerugian ekonomis yang terlalu besar dan penyebaran penyakit, ketakutan dan panik di mana-mana. Konvensi Senjata Biologis PBB melarang pengembangan, produksi, perolehan, pemindahan, penimbunan, dan penggunaan senjata racun dan kuman biologis. Konvensi ini merupakan perjanjian multilateral pertama yang melarang semua jenis senjata biologis pemusnah masal.

Bendungan Karang Kates Malang, Jawa Timur, diresmikan pada 2 Mei 1972. Bendungan Karangkates yang dinamai Bendungan Sutami karena dibangun oleh Menteri PU Sutami,  terletak di desa Karangkates, kecamatan Sumberpucung, pada ketinggian 297 dpl. Bendungan ini mulai dibangun tahun 1965, tetapi terhenti karena kesulitan dana, dan diteruskan lagi pada 1967. Bendungan ini mempunyai area penampungan air (area permukaan 15 km2, kedalaman 31m, daya tampung 300 juta m3) dari sungai Brantas. Tujuan pembangunan bendungan ini adalah untuk pengendalian air baik mencegah banjir, menjadi sumber air tanah daerah sekitar sepanjang tahun, irigasi pertanian, dan untuk membangkitkan listrik. Suatu  Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 35.000 kWh dijadwalkan akan beroperasi setahun kemudian (1973) di Karangkates, Malang. Rencananya akan dibangun bertahap hingga seluruhnya tiga unit PLTA dengan kapasitas yang sama (3 x 35.000 kWh).

Sementara Ceylon menjadi Republik Sri Lanka dan Konstitusinya diubah pada 22 Mei Presiden AS Richard Nixon mengunjungi Moskow. AS dan Uni Soviet Union menandatangani perjanjian  Anti-Ballistic Missile (ABM, anti peluru kendali balistik) dan suatu perjanjian antar-waktu setelah dilakukannya perundingan pembatasan senjata strategis (Strategic Arms Limitations Talks, SALT I). Nixon mewakili AS dan Leonid Brezhnev Perdana Menteri Uni Soviet melakukan negosiasi pengendalian senjata di antara kedua negara. Perjanjian ABM membatasi pemilikan kompleks ABM baik AS maupun Uni Soviet pada 2 lokasi saja masing-masing dengan 100 peluru kendali anti-ballistic. Sedang Perundingan SALT I membatasi jumlah peluru kendali balistik antar-benua (intercontinental ballistic missiles, ICBM), kapal selam peluncur peluru kendali balistik (SLBM), dan peluncur peluru kendali balistik strategis. Dunia agak lega dengan surutnya ancaman perang peluru kendali.

Tetapi pada akhir bulan Mei dunia dikejutkan oleh insiden Tel Aviv di mana tiga orang teroris Front Pembebasan Palestina asal Jepang melakukan aksi yang menewaskan 24 orang, dan melukai 72 orang lainnya di Bandara Internasional Tel Aviv, Israel.

Konferensi Internasional (PBB) untuk Lingkungan Hidup diselenggarakan pada 5  Juni 1972. Sebelumnya, untuk situasi yang lebih baik di bumi, atas permintaan Maurice Strong, deputi Sekjen PBB dari Canada waktu itu, ekonom berpengaruh Margaret Ward (yang memimpin  International Institute of Environment and Development) dan ahli mikrobiologi Rene Dubos (yang menemukan kata-kata “Berpikir secara Global Bertindak secara Lokal, Think Globally and Act Locally”) menulis buku yang mengingatkan bahwa  kita hanya punya satu bumi, sebuah planet kecil yang perlu dipelihara [Barbara Ward and Rene Dubos (1972), Only One Earth: the care and maintenance of a small planet]. Dikatakan bahwa sementara kerusakan lingkungan bumi di negara industri disebabkan oleh pola-pola produksidan konsumsi, kerusakan lingkungan bumi di tempat-tempat lain terutama disebabkan oleh keterbelakangan dan kemiskinan. Maka diserukan agar negara-negara kaya menyumbangkan dana untuk membantu negara-negara miskin supaya dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang layak dan karenanya juga dapat memelihara lingkungan alam buminya, yang tentunya juga akan menguntungkan negara-negara maju juga sebab merekalah yang akan menangguk hasil alam negara-negara itu melalui impor. Para penulis di dalam bukunya menorehkan nada optimis, bahwa manusia dapat bersama-sama mengatasi tantangan kerusakan alam bumi yang dihadapi.  Pada Kata Pengantar bukunya, Barbara Ward menulis bahwa PBB harus memberikan tugas kepada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang akan diselenggarakan di Stockholm untuk merumuskan apa yang harus dilakukan untuk membuat bumi tempat tinggal yang menyenangkan bukan hanya sekarang, tetapi juga untuk generasi-generasi mendatang. Kata-kata ini menjadi inspirasi bagi konsep “pembangunan berkelanjutan” 17 tahun berikutnya (Komisi Brundtland) dan tahun-tahun selanjutnya.

Jika kita kenang kembali, sebenarnya perhatian pada bumi sudah menggejala ketika dunia mulai  merasakan kerusakan bumi sejak akhir tahun 1960-an. Yaitu ketika derap rekonstruksi dan  pembangunan marak di mana-mana, dalam usaha mengganti kerusakan kota-kota dan aneka prasarana yang parah akibat Perang Dunia II. Sementara itu perang-perang kecil berkecamuk di mana-mana, ketika di mana-mana timbul nasionalisme, dan bangsa-bangsa yang terjajah berusaha memerdekakan diri. Di mana pun perang, walau dalam skala kecil, selalu menghancurkan dan memporak-porandakan, termasuk wilayah bumi setempat. Apalagi perang besar. Bumi sudah mengalami kerusakan hebat dari dua kali Perang Dunia. April 1961-Oktober 1962 konfrontasi Cuba-A.S. menyeret Uni Soviet ke dalam kancah sehingga dua kekuatan nuklir dunia berhadap-hadapan.

Di dunia kemudian ternyata ada banyak  upaya-upaya perbaikan di bidang ekonomi di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang, terutama melalui Revolusi Hijau, untuk menggenjot peningkatan hasil pertanian, dengan penggunaan luas pupuk kimia, pestisida, herbisida, fungisida, insektisida dan sebagainya, serta perubahan besar-besaran tata-guna tanah. Di balik usaha itu ada promosi penggunaan teknologi dan produk-produk teknologi kimia yang semena-mena terhadap bumi. Beban penderitaan bumi bertambah. Zat-zat kimia merusak tanah. Tanah menjadi kedap pada air. Pestisida dan insektisida mengorbankan banyak keragaman hayati. Tidak mudah dicerna, terbawa air, masuk ke sungai dan mencemarinya. Mematikan biota sungai. Penderitaan bumi berdampak kepada berkurangnya kesejahteraan manusia. Kekeringan terjadi di mana-mana, wabah penyakit meluas; banjir terjadi di tempat lain, juga hama tanaman yang menyebabkan kegagalan panen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, sedang barang-barang langka.

Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat didirikan pada masa Presiden Nixon pada 1970. Berlanjut nanti di tahun 1972 ketika di AS diundangkan UU Federal tentang Insektisida, Fungisida dan. Peristiwa-peristiwa itu diyakini dipicu oleh sebuah buku berjudul ‘Silent Spring’  oleh Rachel Carson  yang menyoroti dampak wilayah tanah dan dampak pada manusia yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Mula-mula dimuat sebagai artikel bersambung di majalah The New Yorker, Juni, 1962, ulasan Carson menyebabkan Presiden  John F. Kennedy memerintahkan penelitian dengan cermat yang hasilnya adalah dikeluarkannya larangan atas dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT) dan pestisida kimia lainnya .

Sejak itu meluaslah perhatian kepada bumi lingkungan alam. Terlebih ketika di bumi terjadi bencana yang meminta banyak korban jiwa, seperti topan Bhola mengamuk di Pakistan Timur (waktu itu, sekarang Bangladesh) sehingga sekitar 350.000 jiwa menjadi korban pada tahun 1970.

Sekitar 20.000 orang  menjadi korban gunung runtuh HuascarĂ¡n yang disebabkan oleh gempa Ancash di Peru.

Hujan dan banjir tak dapat ditahan tanggul dan bendungan sehingga jebol.  Sekitar 100.000 jiwa menjadi korban dalam banjir bandang Hanoi dan Delta Red River, Vietnam Utara, 1971. Bencana alam bukan saja merusak dan mengubah kontur  fisik bumi, melainkan lebih-lebih merupakan penderitaan manusia.

KTT Bumi (Earth Summit) pertama yang diselenggarakan PBB tahun 1972 mengusung tema “Hanya Satu Bumi” sebagai Lingkungan Hidup Manusia (Human Environment), di Stockholm, Swedia,  pada 5 sampai 16 Juni 1972, dengan peserta 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 Inter Government Organisation dan 258 Non Government Organisation (Ornop= Organisasi non pemerintah). Satu-satunya pembicara kunci adalah  Perdana Menteri India, Indira Gandhi, yang mengemukakan kaitan antara perhatian kepada lingkungan hidup dan upaya pengentasan kemiskinan. Enam topik bahasan dalam konferensi adalah (1). Pemukiman Manusia. (2). Pengelolaan Sumber Daya Alam. (3). Identifikasi Zat Pencemaran. (4). Pendidikan dan Informasi. (5). Pembangunan dan Lingkungan. (6). Implikasi Keorganisasian. Para peserta dibagi dalam tiga komisi, yang masing-masing bertugas membahas dua topik, yaitu : (a). Komisi I membahas topik nomor 1 (satu) dan 4 (empat). (b). Komisi II membahas topik nomor 2 (dua) dan 5 (lima). (c). Komisi III membahas topik nomor 3 (tiga) dan 6 (enam).

KTT kemudian menggabungkan hasil-hasil bahasan dan mensintesiskannya dalam

1. Deklarasi Stockholm, yang terdiri dari 7 pernyataan dan keyakinan akan  26 prinsip sekitar tanggungjawab manusia dan negara-negara, untuk memelihara, menjaga dan memerbaiki lingkungan hidup manusia, baik yang alami maupun buatan manusia sendiri secara seimbang, demi menopang generasi sekarang dan generasi masa depan.

2. 109 Rencana Aksi.

3. Rekomendasi mengenai Kelembagaan dan Keuangan.

Kemudian, konferensi ini menyepakati beberapa hal, a.l : (1). Ditetapkannya 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. (2). keluarnya resolusi pembentukan Badan Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme – UNEP). KTT Stockholm 1972 sering dikaitkan dengan kristalisasi sejumlah prinsip lingkungan yang penting, dan juga menyediakan dasar bagi perkembangan hukum internasional berikutnya. Konferensi Stockholm merupakan titik awal pengembangan hukum lingkungan internasional modern.  Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB menindaklanjuti KTT Bumi yang diprakarsai PBB dalam bidang lingkungan dan pembangunan dengan mengeluarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang pertama nanti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.

Tahun sebelumnya (1971) Gereja sudah menyerukan ajakan untuk memerhatikan kondisi lingkungan hidup. Walau singkat dan terselip dalam sekian banyak teks, seruan itu sangat penting untuk diperhatikan, dan diharapkan melahirkan tindakan yang selaras. “Sementara cakrawala manusia mengalami perubahan menurut gambaran yang dipilihnya, transformasi lain juga berlangsung sebagai akibat yang dramatis dan tak terduga dari tindakan manusia. Tiba-tiba saja manusia menyadari bahwa akibat eksploatasi alam yang acak-acakan timbullah risiko kehancuran alam, dan manusia sendiri menjadi korban perusakan itu. Selain degradasi lingkungan materiil terus menerus merupakan ancaman - pencemaran dan sampah, penyakit-penyait baru dan daya-daya penghancur, - sesungguhnya kerangka kerja yang manusiawi tidak lagi di bawah kendali manusia, sehingga   menciptakan lingkungan hidup untuk masa depan mungkin sekali tak akan tertanggungkan. Itulah soal sosial yang sangat luas cakupannya, yang sedang memprihatinkan segenap keluarga manusia. Umat Kristiani harus memperhatikan pandangan baru ini dan memikul tanggung jawab bersama dengan semua pihak lain, agar sejak sekarang membangun keadaan masa depan  yang akan dihadapi bersama semua orang” (Octogesima Adveniens 21). “Kepada umat kristiani kami tujukan seruan baru untuk bertindak” (OA 48). “...dalam pengabdian kepada sesama, pada saat eksistensi dan masa depan mereka menjadi taruhan” (OA 51).

“Selain itu sedemikian besarnya kebutuhan negara-negara kaya – entah kapitalis atau sosialis – akan sumber daya dan energi dan sedemikian gawat akibat-akibat pembuangan limbah oleh mereka di lingkungan hidup dan di laut,  sehingga kerusakan unsur hakiki untuk hidup di bumi seperti udara dan air tak mungkin terpulihkan, apabila tingginya angka konsumsi dan pencemaran pada bangsa-bangsa itu makin bertambah dan meluas meliputi seluruh umat manusia (JIW 11)...

“Kami masih harus mengingatkan keprihatinan baru global, yakni soal perlindungan lingkungan hidup, yang akan dibahas untuk pertama kalinya dalam konferensi yang akan diselenggarakan pada bulan Juni 1972 di Stockholm. Tak dapat dimengerti, bagaimana bangsa-bangsa yang kaya bertahan  menuntut untuk tambahan material mereka sendiri, dengan akibat bangsa lain tetap hidup dalam keadaan yang menyedihkan, atau bahaya bahwa penghancuran dasar-dasar fisik hidup di dunia lebih dipercepat. Mereka yang sudah kaya seharusnya menerima gaya hidup yang kurang materialistis dan mengurangi penghamburan, menghindari jangan sampai warisan yang diberikan Allah dihancurkan, dan berdasar keadilan mutlak mereka wajib berbagi dengan semua anggota umat manusia lainnya” (JIW 70).

Paus Paulus VI dalam sambutannya di hadapan Sidang Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengingatkan potensi "bencana ekologis di bawah ledakan efektif peradaban industri ", dan menekankan "keperluan mendesak untuk perubahan radikal tindakan manusia ", karena "sekalipun kemajuan ilmiah yang paling luar biasa, kemampuan teknis yang paling menakjubkan, pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan, jika tidak disertai kemajuan sosial dan moral yang otentik, akan pasti berbalik melawan manusia " (Pidato untuk ulang tahun ke-25 FAO, 16 November 1970). Perhatian pada kerusakan bumi bukan hanya menyoroti sektor kegiatan pertanian saja, tetapi juga sektor usaha pertambangan dan industri oleh badan-badan usaha yang mencari keuntungan, yang merusak kontur bumi, menyerap hasilnya habis-habisan,  dan menyebabkan pencemaran. Paus Paulus VI juga menyebut keprihatinan ekologis pada masa itu sebagai "suatu konsekuensi tragis" dari aktivitas manusia yang tak terkendali (OA 21)..

Sambutan Paus Paulus VI pada Hari Pembukaan KTT Bumi Stockholm, 6 Jumi 1972:

Dewasa ini menguat kesadaran bahwa manusia dan lingkungannya semakin tak terpisahkan: lingkungan merupakan syarat mutlak kehidupan dan perkembangan manusia, sedangkan ia sendiri pada gilirannya menyempurnakan dan memuliakan lingkungannya dengan kehadirannya, kerjanya dan pemikirannya. Tetapi kemampuan kreatif manusia akan menghasilkan buah sejati dan lestari hanya sejauh manusia menghormati hukum yang mengatur kekuatan vital dan kemampuan regenerasi alam: keduanya saling bergantung dan mempunyai masa depan bersama. Dengan demikian, manusia diberi peringatan akan perlunya mengganti daya dorong kemajuan materiil yang seringkali buta dan brutal, bila dibiarkan pada kekuatannya sendiri, dengan rasa hormat pada biosfer sebagai pandangan menyeluruh bidang ini yang telah menjadi “satu bumi”, untuk mengutip semboyan bagus Konferensi ini.

Pertama-tama, akal budi dapat menerapkan penemuannya untuk perusakan seperti dalam kasus persenjataan atom, kimia dan biologis dan begitu banyak alat peperangan lain, besar dan kecil, yang membuat hati nurani hanya dapat merasa ngeri. Tetapi bagaimana kita dapat mengabaikan ketidak-seimbangan yang ada dalam biosfer dengan eksploitasi sumber daya alam planet kita, bahkan juga untuk menghasilkan sesuatu yang berguna, seperti limbah sumber daya alam tak terbarukan; pencemaran tanah, air, udara dan ruang dengan serangan terhadap hidup flora dan fauna? Segala hal itu mengakibatkan pemiskinan dan perusakan lingkungan hidup manusia bahkan sampai mengancam kelanjutan keberadaannya. Akhirnya, generasi kita harus dengan tegas menerima tantangan untuk mengatasi tujuan parsial dan langsung demi membangun bumi yang ramah bagi generasi mendatang.

Berkuasa atas ciptaan bagi umat manusia tak berarti merusaknya, melainkan menyempurnakannya, tidak mengubah dunia menjadi kekacauan, melainkan menjadi tempat tinggal yang indah dan teratur seraya menghormati setiap hal. Maka tak seorang pun boleh menguasai lingkungan hidup secara mutlak dan egoistis, yang bukan res nullius (bukan milik siapa pun), melainkan res omnium (milik semua), warisan umat manusia, sedemikian rupa sehingga mereka yang mempunyainya –privat atau publik–, harus mempergunakannya sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua orang. Manusia adalah kekayaan pertama dan paling sejati dari bumi. Maka dari itu usaha menawarkan kepada setiap orang kemungkinan akses berbagi secara adil sumber daya yang ada atau potensial dari planet kita, harus sungguh memperhatikan hati nurani orang yang berkehendak baik. Pembangunan, artinya, pengembangan manusia seutuhnya, mengemuka sebagai tema istimewa,...

Apakah terlalu muluk mengharapkan agar bangsa-bangsa muda, yang membangun upaya besar untuk masa depan yang lebih baik untuk rakyatnya, berusaha mengambil alih pemerolehan positif peradaban teknik, tetapi menolak ekses dan penyelewengannya, menjadi perintis pembangunan dunia baru, yang diharapkan berawal dengan Konferensi Stockholm? Tidaklah adil, menolak sarana untuk melakukannya, karena bukankah mereka sering tanpa bersalah harus menderita berat akibat degradasi dan pemiskinan warisan biologis bersama. Maka, daripada dalam perjuangan untuk lingkungan yang lebih baik melihat reaksi ketakutan kaum kaya, demi manfaat semua orang, perlu adanya peneguhan kepercayaan dan harapan mengenai tujuan keluarga manusia yang berhimpun untuk proyek solidaritas. 

Harga emas mencapai rekor baru AS$ 60 per ounce di London pada 6 Juni 1972. Emas pertama kali diperdagangkan sebagai benda investasi pada tahun 1717 dipatok pada tingkat harga AS$ 18 per ounce. Pergerakan harga emas sangat tipis hingga lebih dari 250 tahun. Setelah digunakan sebagai jangkar nilai tukar mata uang internasional dalam Perjanjian Bretton Woods 1944, harga emas naik drastis pada 1972 dari AS$ 44,3 per ounce menjadi AS$ 60 per ounce atau sekitar 40%. Tautan dengan emas akan memengaruhi juga harga minyak bumi yang disebut “emas hitam” dan memberikan efek positif pada penerimaan negara Indonesia.

OPEC pada 9 Juni bersedia membantu Irak sekadarnya berkenaan dengan permasalahan produksi minyaknya. Secara tiba-tiba dan dramatis pemerintah Irak pada 1 Juni 1972, melakukan nasionalisasi aset perusahaan minyak Iraq Petroleum Company (IPC), suatu konsorsium perusahaan minyak AS, Inggris, Belanda, dan Perancis yang bekerja di Irak utara. Nasionalisasi itu merupakan puncak  sengketa antara IPC dan pemerintah Irak yang berlangsung 11 tahun sejak 1961. Ada dua group perusahaan minyak serupa lainnya yang bekerja di Irak  Mosul Petroleum Company (MPC) dan Basrah Petroleum Company (BPC). Keduanya, yang lebih kecil hasilnya dari IPC, tidak mengalami nasionalisasi. Karena nasionalisasi, produksi IPC berhenti total dan menyebabkan Irak kehilangan penerimaan negara sekitar AS$ 500 juta setahun. Pendapatan negara dari kedua perusahaan MPC dan BPC yang lain sekitar AS$ 300 juta setahun. Irak membutuhkan pasar pembeli minyak hasil produksinya dan pinjaman untuk membiayai impor barang dan jasa, menggantikan porsi yang diterima dari IPC sebesar AS$ 500 juta per tahun. Kepentingan OPEC adalah menjaga besaran produksi minyak anggota agar tidak melampaui kuota yang telah ditetapkan untuk mensuplai kebutuhan dunia. Kesulitan Irak berasal dari besarnya ketergantungan anggaran negara dari produk minyak yang merupakan 40% dari penerimaan negara. Suatu pelajaran bagi kebijaksanaan anggaran negara Indonesia.

Pabrik penggilingan gandum PT Bogasari yang kedua di Surabaya diresmikan beroperasi pada 10 Juli 1972. Pabrik tepung terigu PT Bogasari resmi beroperasi sebagai pabrik penggilingan gandum pertama di Indonesia, yang berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 21 November 1971. Dalam rangka penyediaan bahan pangan yang mencukupi kebutuhan rakyat, pemerintah Indonesia mengimpor gandum melalui BULOG rata-rata 500.000 ton setiap tahun dari AS, Australia dan Canada.  Pada mulanya impor gandum Indonesia merupakan bagian dari program PL 480 AS dalam rangka bantuan pangan untuk melawan bahaya  kelaparan pada 1963-1964. Pada tahun 1966 Indonesia mengimpor beras dari Thailand sebesar AS$ 10 juta setahun dan memerlukan bantuan pendanaan. Pemerintah AS menjadi donor  100.000 ton beras setahun melalui PL 480, dengan cara mengirimkan gandum yang setara nilainya untuk diproses dan dijual di Indonesia, dan hasilnya digunakan untuk membayar impor padi Indonesia.  Australia menyusul dengan bantuan kiriman gandum setara dengan 1.600 ton biaya beras impor setahun. Ketika impor gandum tidak lagi diperlukan untuk menyangga persediaan pangan dalam mengatasi bahaya kelaparan, bantuan gandum dan hasil penjualannya di dalam negeri Indonesia dialihkan negara-negara donor Indonesia, IGGI, untuk membantu pelunasan utang-utang luar negeri Indonesia dan membiayai pembangunan sebagai bantuan proyek. Untuk mengolah gandum menjadi terigu itulah didirikan fasilitas pabrik-pabrik penggilingan seperti PT Bogasari Flour Mills. Bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, pabrik penyediaan terigu menunjang program diversifikasi pangan dan dengan demikian ikut membangun ketahanan pangan. Catholic Relief Service (CRS) sejauh ini masih merupakan tulang punggung penyaluran bantuan pangan PL 480 untuk Indonesia. Kegiatan mereka mengingatkan ajaran Konsili Vatikan II, “Umat kristen, yang secara aktif melibatkan diri dalam perkembangan sosial ekonomi zaman sekarang, serta membela keadilan dan cinta kasih, hendaknya menyadari, bahwa mereka dapat berjasa besar bagi kesejahteraan umat manusia dan perdamaian dunia. Dalam kegiatan-kegiatan itu hendaknya mereka masing-masing maupun sebagai kelompok memberi teladan yang cemerlang. Dengan kemahiran serta pengalaman yang mereka peroleh dan memang sungguh dibutuhkan...” (GS 72). Juga ajaran sosial yang lain, “Kami juga mendesak orang-orang untuk menjajagi cara-cara yang konkret dan praktis untuk mengatur dan mengkoordinasi usaha-usaha mereka, sehingga sumber-sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan bersama; dengan demikian diharapkan akan terjalin ikatan-ikatan antar-bangsa... berakar dalam persaudaraan manusiawi dan adikodrati manusia, dan mencakup tiga kewajiban: 1) solidaritas timbal-balik – bantuan yang oleh bangsa-bangsa yang lebih kaya harus diberikan kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang; 2) keadilan sosial – usaha membereskan hubungan-hubungan niaga antara bangsa-bangsa yang kuat dan yang lemah; 3) cinta kasih yang meliputi semua orang – usaha membangun persekutuan global yang lebih manusiawi, yang memungkinkan semua orang untuk memberi dan menerima, sehingga kemajuan pihak-pihak tertentu tidak diperoleh dengan merugikan pihak-pihak lain... seruan ini kami tujukan kepada putera-puteri kami. Pada bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan di negeri-negeri lain umat awam harus memandang sebagai tugas mereka: memperbaiki tata-dunia. Sedangkan hirarki berperan mengajar dan menjalankan kewenangannya menafsirkan hukum-hukum moril serta peraturan-peraturan yang berlaku di bidang itu, umat awam wajib menggunakan prakarsa mereka dan mengambil tindakan di bidang itu pula – tanpa secara pasif menunggu-nunggu pedoman-pedoman dan perintah-perintah pihak lain. Mereka harus mencoba meresapkan semangat Kristiani ke dalam pandangan dan perilaku umat sehari-hari, ke dalam hukum-hukum dan struktur-struktur masyarakat sipil” (PP 43-44.81).

Pabrik Petrokimia Gresik yang memeroleh pasokan bahan dari Pertamina untuk memproduksi pupuk yang penting bagi pertanian pangan diresmikan beroperasi pada 10 Juli 1972. PT Petrokimia Gresik memproduksi pupuk urea, ZA, SP-36, Phonska, DAP, NPK, ZK, Petroganik, KCL, Rock Phosphate, TSP dan industri kimia lainnya.


Pada tanggal 16 Juli 1972 para-peserta Rapat Kerja Kesehatan Katolik tiba di Wisma Samadi, Klender, Jakarta,  di antara mereka 3 observer dari DGI, Fr James Tong SJ., Executive Director dari Catholic Hospital Association India sebagai “konsultan” (atas bantuan Catholic Relief Service), dan 14 peninjau. Rapat berlangsung selama 6 hari dan berhasil membentuk organisasi “Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia” (PERDHAKI) yang meliputi 109 unit karya kesehatan katolik di seluruh Indonesia. Beberapa poin tentang organisasi ini dari anggaran dasarnya: Persatuan ini berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Maksud dan tujuan : a. Meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pelayanan dan koordinasi di antara para anggota; b. Meningkatkan, mewujudkan dan memperhatikan terutama segi-segi spiritual, moral, kesehatan, perawatan, pendidikan dan sosial. Usaha : elaksanakan koordinasi dan meningkatkan kerjasama antara anggota; Merintis dan memelihara kerjasama dengan pemerintah dan semua badan-badan yang bertujuan sama; Memberi pelayanan-pelayanan antara lain penerangan-penerangan, baik ke dalam maupun keluar, alat-alat atau obat-obat, tenaga kerja, meningkatkan pendidikan dan lain-lain.

Presiden Ferdinand Marcos pada 23 September 1972 dengan proklamasi no. 1081 mengumumkan keadaan darurat dan memberlakukan jam malam di seluruh Filipina. Kondisi itu menanggapi insiden-insiden pemboman yang terjadi di Manila dan bermaksud mengakhiri meningkatnya tindak kekerasan dan gangguan ketertiban. Dengan berlakunya keadaan darurat mulailah kekuasaan absolut atas pemerintahan terpusat di tangan Presiden Marcos sendiri, menghabisi fraksi-fraksi politik di Filipina. Pemerintahan otoriter Presiden Ferdinand Marcos akan berlangsung selama 14 tahun. 

Filipina menjadi tempat di mana didirikan  Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) pada 1970. Ketika itu 180 Uskup Asia berkumpul menyambut kunjungan apostolik Paus Paulus VI. FABC adalah asosiasi berdasarkan ikatan sosio-historis dan kultural dari konferensi para uskup di Asia, yang didirikan dengan persetujuan Tahta Suci. Kendati perbedaan-perbedaan, disadari adanya pertalian spiritualitas, nilai-nilai moral dan keagamaan tradidional serta pengalaman sosio politik dan ekonomi yang erat dan berdekatan, yang dapat dibagikan untuk menghadapi persoalan dan masalah bersama di Asia. Secara yuridis, keputusan federasi bersifat tidak mengikat, tetapi secara rekomendatif diterima sebagai ekspresi tanggung jawab kolegialitas para gembala di Asia. FABC dirintis dalam beberapa sidang para uskup Asia pada dekade 60-an. Didahului pertemuan  yang mengulas masalah sosial-ekonomi di Hong Kong (1965), dan di Roma (1967); kemudian pada 1969, di Baguio City, para uskup Asia bermufakat untuk membentuk jalinan kerja sama formal. Paus Paulus VI dalam kunjungan apostolik di Manila, Filipina, pada 1970, meneguhkan inisiatif para uskup Asia ini. Kardinal pertama Indonesia Justinus Kardinal Darmojuwono ikut membidani lahirnya FABC bersama Mgr Teopisto Alberto dari Filipina, Mgr Patrick D’Souza dari India, Mgr Francis Hsu dari Hongkong, dan Kardinal Stephen Kim Sou Hwan dari Korea, pada tahun 1971 menyusun rencana kegiatan, struktur dan statuta. Pada 1972, statuta FABC secara resmi disahkan Tahta Suci Vatikan.

Federasi Konferensi Uskup Asia (Federation of Asian Bishops' Conferences, FABC) merupakan himpunan sukarela konferensi uskup di Asia  yang dimaksudkan untuk meningkatkan solidaritas di antara para anggota dan tanggungjawab bersama atas kesejahteraan Gereja dan masyarakat di Asia.  Keputusan Federasi tidak mengikat secara yuridis, penerimaannya mengungkapkan tanggungjawab kolegialitas.

FABC mempunyai fungsi: (1) memelajari cara dan sarana memajukan kerasulan, terutama dalam terang Konsili Vatikan II dan dokumen-dokumen pasca Konsili menurut kebutuhan Asia. (2) Mengusahakan dan mengintensifkan kehadiran dinamis Gereja dalam perkembangan total bangsa-bangsa Asia.  (3) Membantu memelajari soal kepentingan bersama Gereja Asia dan mencari peluang-peluang solusi dan tindakan yang terkoordinasi. (4) Memajukan komunikasi dan kerjasama di antara Gereja-gereja lokal dan para Uskup Asia. (5) Melayani konferensi para Uskup di Asia untuk dengan lebih baik memenuhi kebutuhan Umat Allah. (6) Mendorong perkembangan organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan di dalam Gereja pada level internasional secara lebih baik. (7) Memajukan komunikasi ekumenis dan kerjasama antar umat beragama.      

Fungsi FABC dilaksanakan melalui struktur hirarkis yang terdiri dari Sidang Pleno, Pengurus Pusat, Panitia Pelaksana dan Sekretariat Pusat. Sidang Pleno dilaksanakan regular empat tahun sekali dan merupakan hirarki tertinggi, terdiri dari para Ketua Konferensi Waligereja atau wakil yang ditunjuk, para Uskup utusan yang dipilih masing-masing Konferensi Waligereja, dan para anggota Panitia Pelaksana. Pengurus Pusat terdiri dari para Ketua Waligereja masing-masing atau Uskup yang ditunjuk mewakili, bertugas melaksanakan resolusi dan instruksi-instruksi Sidang Pleno, mengadakan pertemuan setiap dua tahun.

Panitia Pelaksana terdiri dari lima Uskup yang dipilih dari lima kawasan yang berbeda di Asia, bertugas melaksanakan resolusi dan instruksi Pengurus Pusat. Panitia Pelaksana memberi petunjuk dan dukungan kepada Sekretariat Pusat dan organ-organ lain dalam FABC. Sekretariat Pusat merupakan badan pelayanan utama dan alat koordinasi dalam FABC dan dengan badan-badan dan lembaga-lembaga lain di luar FABC. Untuk membantu Sekretariat Pusat dibentuk beberapa Biro yang masing-masing mengurus bidang kepentingan atau pelayanan khusus: (1) Biro Pengembangan Manusia; (2) Biro Komunikasi Sosial (3) Biro Awam (4) Biro Teologi  (5) Biro Pendidikan dan Reksa Rohani Mahasiswa (6) Biro Hubungan Ekumenis dan Antar-Agama (7) Biro Evangelisasi dan (8) Biro Imam. (9) Biro Hidup Bakti.

Indonesianisasi merupakan suatu kata penting dalam Gereja Katolik Indonesia sepanjang 1970-an. Kendati menyusul pemaksaan pensiun Uskup Ende Mgr Gabriel Manek SVD, Uskup Ruteng van Bekkum pada 1972 juga dipaksa pensiun karena penolakan atas usaha Indonesianisasi, di Seminari Ledalero pekan studi diisi dengan penyampaian risalah para imam baru tentang aspek-aspek Indonesianisasi hingga tahun kelima pasca tahbisan antara 1970–1975. Risalah mereka dimuat dalam majalah Pastoralia. Para imam diosesan yang tergabung dalam Unio memberi tanggapan setelah dua kali pertemuan yaitu Diskusi di Wisma Retret Sangkal Putung Klaten 1-15 Maret 1972 dan Konferensi Pastoral Unio 18-21 April 1972. Indonesianisasi bukan sekedar soal pergantian petugas pastoral, tetapi menyangkut perspektif teologis dan sikap dasar atas karya Gereja di Indonesia kini dan masa depan menurut skala prioritas dan kebijaksanaan ambeg paramarta dengan konsekuensi-konsuensinya pada struktur dan pola partisipasi dan kerjasama dalam pengarahan dan pelaksanaan karya-karya Gereja, termasuk pendidikan para calon imam, pembinaan para imam, kesejahteraan seluruh umat Allah dan kesejahteraan para imam. Para imam diosesan dalam Unio menyarankan peningkatan pemberdayaan struktur-struktur pastoral yang mengalirkan  semangat, pola pikir, dan tata kerja gotong royong partisipatif dan dialog musyawarah khas Indonesia dalam karya-karya Gereja yaitu: (1) Dewan Paroki, di mana semua wakil umat baik kategorial maupun teritorial dihimpun dan bekerjasama dalam peranserta pada tugas Kristus; (2) Dewan Regional yang merupakan forum konsultasi dan koordinasi beberapa Dewan Paroki yang berdekatan; (3) Dewan Pastoral Keuskupan dan (4) Dewan Imam.

Struktur Kevikepan yang di Keuskupan Agung Ujung Pandang telah dirambah Mgr. Schneiders pada tahun 1970 dan menunjuk Pastor Karl Noldus CICM sebagai Vikep, terhenti setelah Pastor Karl Noldus pulang kembali ke Eropa. Selanjutnya, seluruh KAUP dibagi ke dalam 5 wilayah yang disebut Regio (Makassar, Soppolmas, Tana Toraja, Luwu dan Sulawesi Tenggara). Di setiap Regio para imam memilih seorang di antara mereka sebagai Ketua Regio. Ketua Regio tidak memiliki wewenang eksekutif. Dia hanya berfungsi sebagai koordinator.

Di bidang politik proses konsolidasi Sekber Golkar tidak berjalan sederhana sebab meskipun tokoh-tokohnya berafiliasi dengan militer, sebagian besar perwira itu adalah Sukarnois. Selain itu, keanggotaan Golkar banyak berasal dari politisi dan intelektual yang terkadang menunjukkan sikap independen. Maka kemudian diadakan restrukturisasi Sekber Golkar ke dalam tujuh kelompok organisasi induk (Kino) yaitu Kosgoro, MKGR, Soksi, Ormas Hankam, Gakari, Karya Profesi, dan Karya Pembangunan. Yang terakhir adalah organisasi baru yang menampung kaum intelektual dan politisi Orde Baru yang modernis dan berpikiran reformis. Kemudian di Sekber Golkar dibentuk Electoral Machine yang disebut Badan Pengendalian Pemilihan Umum. Tugas badan ini adalah memperluas pengaruh Golkar ke seluruh negeri. Berkat bantuan fasilitas jaringan intelejen operasi khusus (Opsus) politik monoloyalitas yang diatur Mendagri ke semua pegawai negeri, dan penugasan perwira militer sebagai pengelola cabang-cabang lokal sekber Golkar di seluruh negeri, menjadikan pengaruh Golkar makin tersebar dalam masyarakat di seluruh Indonesia.

Musyawarah Umat Katolik Seluruh Indonesia (MUKSI) diselenggarakan pada 2-9 September 1972 bertema Partisipasi Umat Katolik di Dalam Pembangunan. Musyawarah diprakarsai oleh sejumlah tokoh umat Katolik seperti Dr SWJ Soeradi, Drs AR Abdisa, RG Doeriat, Dr J. Riberu, Kardinal Yustinus Darmoyuwana dan Mgr Leo Soekoto SJ, diikuti utusan-utusan dari semua Keuskupan di Indonesia itu. Diusahakan untuk menghimpun dan merumuskan pemikiran-pemikiran baik dari umat Katolik maupun bukan mengenai apa yang dapat disumbangkan umat Katolik bagi pembangunan Indonesia mengikuti dokumen Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia 1970. MUKSI menggeluti tiga bidang prioritas yaitu sosio-edukasi, sosio-politik, dan sosio-ekonomi. Hasil musyawarah yang bersifat rapat kerja itu merupakan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan masih perlu dikonkretkan berhadapan dengan situasi riil.

Semacam upaya paralel yang lebih konkret dilaksanakan ketika suatu Konsorsium Internasional dibentuk melalui seminar tentang prioritas-prioritas pembangunan yang digerakkan umat katolik melalui lembaga-lembaga swadaya dan memerlukan kerja sama dana dari lembaga-lembaga donor luar negeri, yang diselenggarakan di Bandungan-Semarang pada 6-8 September 1972. Pada kesempatan itu hadir perwakilan dari lembaga donor internasional CIDSE, Misereor, Vastenaktie, Cebemo, Catholic Relief Service dan Australian Catholic Relief. Sementara dari MAWI hadir wakil dari PWI PSE, LPPS, Yayasan Purba Danarta, PWI Pendidikan, wakil dari Majelis Perguruan Tinggi Katolik, Ikatan Petani Pancasila, Ikatan Buruh Pancasila dan Perdhaki. Selain soal prioritas, juga dibahas mengenai struktur-struktur dan sistem-sistem yang operasional di Indonesia. Hasil pemikiran akan diserahkan kepada para Uskup dalam MAWI untuk mendapatkan restu.

Partisipasi umat Katolik dalam pembangunan didasarkan pada prinsip pembangunan bebas manusia yaitu individu dan keluarganya dari lapisan yang paling bawah, agar berkembang integral dan selaras dengan kepribadian nasional. Bentuk yang dipandang sesuai untuk itu adalah “Usaha Bersama” dan proyek-proyek mikro. Sumber daya termasuk dana yang digerakkan diutamakan sumber daya dan dana yang sudah ada agar dihimpun dan dikembangkan, jika kurang baru dicarikan tambahannya dari luar baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ciri usaha bersama itu pertama-tama regional dan fungsional, namun dikembangkan agar semakin lebih fungsional. Struktur utama yang akan difungsionalkan adalah Aksi Puasa, sedang sistemnya akan disusun bersama-sama, dan pelaksanaannya dipercayakan kepada LPPS. Untuk itu LPPS diharapkan menjadi suatu badan legitim dengan bentuk Yayasan.

Seiring waktu bergulir, dalam Sidang Pleno PWI Sosial Ekonomi MAWI di Pacet, Jawa Timur, dalam bulan  September 1972, istilah “Aksi Puasa” dibakukan menjadi “Aksi Puasa Pembangunan” (APP), seperti yang kita kenal sekarang.

APP menjadi suatu wujud keberpihakan Gereja yang berupa kegiatan amal bersama bagi sesama yang berkekurangan. Sebenarnya, kegiatan amal seperti ini tidak diwajibkan oleh Gereja Katolik Universal, tetapi menjadi sikap khas Gereja Katolik di Indonesia. Boleh jadi, kegiatan amal bersama ini tidak dilakukan oleh Gereja Katolik di negara lain selama Masa Prapaskah. Oleh karena itu, APP merupakan inisiatif khas Gereja Katolik Indonesia.

Dalam ajaran Gereja Katolik Universal, tradisi Masa Prapaskah diisi dengan praktik-praktik ungkapan rasa tobat secara pribadi, yakni dengan doa, puasa, pantang, matiraga, dan amal. Semangat pertobatan dihidupi secara personal dan menjadi ungkapan pembaruan diri setiap anggota Gereja selama Masa Prapaskah. Jika Gereja Indonesia mengisi Masa Prapaskah dengan APP, inilah visi keberpihakan Gereja lokal yang ditradisikan untuk menjawab kebutuhan umat yang dilayani.

Pesta olahraga dunia Olimpiade di Muenchen Jerman Barat dinodai oleh petualangan politik brutal ketika 11 atlet Israel tewas tertembak. Dua orang ditembak di asrama mereka pada 5 Oktober 1972 ketika melawan penculik yang terdiri dari 8 orang bersenjata anggota kelompok Black September. Sembilan lainnya ditawan dan dijadikan sandera. Para sandera akan dibebaskan jika 234 teman-teman mereka yang ditawan pemerintah Israel dan dua orang di Jerman Barat karena tindakan teror dibebaskan oleh kedua negara. Mereka meminta disediakan suatu pesawat untuk membawa teman-teman mereka yang dibebaskan ke Mesir. Pemerintah Israel menolak tuntutan Black September. Pemerintah Jerman Barat bersedia memenuhi tuntutan demi keselamatan para sandera. Namun semua usaha gagal ketika rombongan teroris menembak semua sandera di Bandara Furstenfeldbruck ketika menuju Jet 727 yang sedang menunggu, sementara mereka dihujani peluru para petugas keamanan.  Lima anggota Black September tewas, tiga ditangkap, dan seorang polisi tewas dalam usaha pembebasan sandera.

 Pada 10 Oktober 1972 para reporter Washington Post membongkar kisah skandal Watergate. Mereka mengisahkan pembobolan dan pencurian dokumen-dokumen pemilihan presiden di Watergate sebagai bagian dari aksi politik kampanye hitam yang dilakukan para petugas dan pemimpin organisasi kampanye untuk pemilihan ulang Richard Nixon.  Laporan mereka menimbulkan keraguan besar dan pertanyaan atas kemenangan dan pengangkatan kembali Richard Nixon sebagai Presiden untuk kali kedua pada 7 November 1972, bagaikan tanah longsor, kemerosotan politik terbesar dalam sejarah politik AS.

Pada sidang pleno Komisi Internasional Teologi 10-11 Oktober 1972 di Roma, disepakati suatu teks tentang “Kesatuan Iman dan Pluralisme Teologi”.  Disadari bahwa kesatuan dan pluralitas ungkapan iman pada dasarnya berasal dari misteri Kristus yang sama, yang sekaligus suatu misteri rekonsiliasi dan kepenuhan universal (Ef 2:11-22) melampaui semua bentuk ungkapan pada masa mana pun dan masih bergerak menuju ungkapan yang paling sempurna. Kesatuan dan perbedaan Perjanjian Lama dan Baru sebagai pernyataan historis yang mendasar dari iman kristiani, merupakan titik tolak yang konkret dari kesatuan dan pluralisme iman yang sama. Dinamika iman kristiani dan ciri perutusan di dalamnya memerlukan narasi rasional; iman bukan filsafat namun memberi arah pada pemikiran manusia. Kebenaran iman terkait dengan gerak maju sepanjang sejarah, mulai dari Abraham sampai pada Kristus, dan dari Kristus hingga akhir zaman. Maka kemurniannya tidak tertuang pada sistem tertentu melainkan suatu “sharing” dalam gerak maju iman dan karenanya dalam Gereja di mana iman itu berada, identik sepanjang zaman dan dituangkan dalam Kredo. .. Pulralisme dalam moral terutama nampak dalam semua penerapan prinsip umum pada situasi konkret, dan menegaskan kontak di antara budaya-budaya kita, yang satu dengan yang lain berbeda, atau karena perubahan yang terjadi dengan cepat dalam masyarakat. Sekalipun demikian kesatuan fundamental diwujudkan dalam penghargaan yang sama atas martabat manusia yang membawa norma imperatif bagi perilaku manusiawi. Suara hati setiap orang menyatakan sejumlah tuntutan fundamental (Rm 2:14), yang pada zaman kita kita kenali sebagai ungkapan umum hak-hak asasi manusia. Kesatuan moral kristiani didasarkan pada prinsip yang tetap dan tidak berubah, yang terdapat dalam Kitab Suci, diterangi Tradisi, dan disampaikan kepada tiap generasi oleh Kuasa Mengajar Gereja. Kita kenangkan tekanan utamanya, yaitu ajaran dan teladan Putera Allah yang mengungkapkan hati Bapa, ketaatanNya hingga wafat dan kebangkitanNya; (dan) hidup dalam Roh di dalam Gereja, dalam iman, harapan dan kasih, sedemikian hingga kita diperbarui menurut citra Allah.  Pentingnya kesatuan iman dan persekutuan bukan penghalang bagi diversifikasi panggilan dan preferensi pribadi sejauh bersesuaian dengan misteri Kristus dan kehidupan.  Kebebasan kristiani (Gal 5:13), jauh dari pengandaian pluralisme tanpa batas, menuntut usaha keras menuju kepenuhan kebenaran obyektif dengan penuh kesabaran dan dengan kesadaran nurani yang kokoh (bdk. Rm 14:15; 1Kor 8). Hormat pada otonomi nilai-nilai manusia dan tanggungjawab yang sah dalam bidang ini membawa peluang untuk berbagai analisis dan pilihan yang berlainan  atas hal-hal yang sifatnya sementara bagi umat Kristiani. Keberagaman ini selaras dengan totalitas ketaatan dan kasih (bdk. GS 43).

Wawasan teologis ini menguatkan baik asas “bhinneka tunggal ika” maupun norma perilaku kristiani yang memancar dari Injil di dalam pergumulan hidup berhadapan dengan situasi setempat di mana pun.

Sidang MAWI diselenggarakan pada tanggal 13–23 November 1972 di Gedung MAWI Jakarta. MAWI menyetujui adanya Kurikulum Nasional Agama Katolik pada SD, SLTP, SLTA, Universitas. Disetujui oleh sidang bahwa PWI Kateketik yang mengerjakannya.

Korea Utara mengesahkan Konstitusi baru dan Kim Il-song menjadi presiden Korea Utara pada akhir Desember  1972. Pada dasarnya Korea Utara adalah negara ateis.  Pada tahun 1920, para rahib Biara St Benedictus mewujudkan Vicariat Apostolik Wonsan dan sekitar 40 rahib tinggal di Tokwon. Pada 1927-1928, mereka mendirikan seminari menengah dan tinggi untuk mendidik imam-imam diosesan bumiputera.  Antara 1929–1931 sebuah gereja bergaya neo-Roman didirikan dan komunitas setempat mulai merekrut anggota baru.  Pada 1940, Biara Keabasan Tokwon didirikan, meliputi wilayah  Wonsan (di mana Tokwon terletak) dan Munchon serta kota-kota kecil Anbyon, Chonnae dan Kowon. Abbas Tokwon, Bonifasius Sauer menjadi ordinarius wilayah sebagai administratur apostolik untuk vikariat apostolik Hamhung. Ketika Perang Dunia II berakhir, Biara Tokwon dikuasai pasukan Soviet. Walau sebagian gedung digunakan untuk markas tentara, kegiatan biara tetap boleh berjalan biasa.  Ketika pasukan Soviet ditarik meninggalkan daerah itu pada 1949, ada sekitar 60 rahib di Biara Tokwon (25 di antaranya adalah putra Korea dan ada 20 suster di Tutzing dekat Wonsan.

Pada bulan Mei 1949 ketika Kim Il-sung memerintah, Kementerian Pertahanan Korea Utara menyita biara, menangkap semua rahib dan suster dan memenjarakan mereka. Pada bulan Juli 1950, Biara  Tokwon hancur terkena bom Amerika di awal Perang Korea. Dari 1949 hingga 1952 14 rahib dan dua suster dihukum mati setelah disiksa. 17 rahib dan dua suster lainnya dibiarkan mati kelaparan. Abbas-Uskup Bonifasius Sauer wafat 1 Februari 1950, di penjara Pyongyang, sebelum dilakukan eksekusi atas semua rahib tua pada bulan Oktober 1950. Pada Januari 1954, seumlah 42 rahib Jerman dan suster penyintas di kembalikan ke Jerman dengan kereta api Trans-Siberian Railway. Pada 2007 nanti dimulai proses beatifikasi para martir Biara Tokwon, Abbas Uskup Bonifasius Sauer OSB, Benediktus Kim OSB dan kawan-kawannya.