Dawn Beutner. https://www.catholicworldreport.com/2023/01/23/on-st-francis-de-sales-and-handling-the-news-like-a-saint/
Pada
tanggal 24 Januari, Gereja Katolik merayakan Santo Fransiskus de Sales, uskup
Jenewa yang terkenal dan santo pelindung pers Katolik. Tetapi mengapa seorang imam
yang terkenal dengan nasihat spiritualnya dianggap pelindung mereka yang
bekerja di bidang berita?
Keasyikan kita
dengan "berita" baru dimulai pada 1960-an dengan televisi, atau mungkin
dengan program berita radio beberapa dekade sebelumnya. Orang-orang selalu
ingin tahu tentang peristiwa terkini dari dekat dan jauh, terutama tentang
orang kaya, terkenal, dan tragis.
Misalnya,
Tuhan kita menginterupsi khotbah-Nya pada suatu ketika (lihat Luk 12:54-13:10)
untuk mengangkat berita yang tampaknya sudah diketahui umum. Ada delapan belas
orang di kota Siloam mati ketika suatu menara runtuh menimpa mereka.1) Yesus
bertanya kepada para pendengarnya apakah menurut mereka orang-orang yang telah
mati kecelakaan adalah pendosa berat di kota Yerusalem? Sementara Yesus jelas
berusaha mengalihkan perhatian orang kembali dari rasa ngeri mereka karena suatu
berita kepada tema utama-Nya—perlunya pertobatan—insiden itu menunjukkan keterikatan
kita pada berita, berita, dan lebih banyak lagi berita.
Seandainya
tragedi itu terjadi di zaman sekalarang, kita dapat langsung membaca nama-nama korban
yang mati, menonton video jatuhnya menara, dan mengisi dompet sumbangan yang
dibuka sehubungan dengan itu. Ada asumsi, bahwa kematian delapan belas orang itu
saja sudah cukup menjadi dasar kelayakan untuk menyampaikan berita itu pada
kita.
Namun ada
tiga orang kudus yang dirayakan dalam bulan Januari yang mengajar kita
(termasuk saya sendiri) bagaimana mengendalikan kecenderungan tidak sehat dalam
konsumsi berita.
Salah satu
bahaya utama akses tanpa henti pada peristiwa baru-baru ini adalah fakta bahwa timbul
kecenderungan untuk cemas, khawatir dan
takut. Ketika kita terus-menerus diberi asupan bencana dari seluruh dunia, seolah-olah
semua peristiwa itu terjadi di depan pintu kita sendiri.
Emosi cemas,
khawatir, takut bisa membantu, memotivasi kita untuk merespon ancaman dengan
cepat. Tetapi mengonsumsi berita bencana secara terus-menerus — terutama
tentang peristiwa yang tidak dapat kita kendalikan atau ubah — menyebabkan kegalauan
rasa yang tidak sehat. Ada suatu penawar dari kehidupan Santa Genoveva
(422-500).
Genoveva, yang
dikenang Gereja setiap 3 Januari adalah seorang perawan dari Paris. Ia terkenal
karena mujizat dan nubuat-nubuatnya, termasuk bangsa Hun akan menyerang Paris.
Ketika nubuatnya jadi kenyataan dan Paris dikepung, ia mendorong warga terus
berdoa memohon bantuan Tuhan agar kota tidak jatuh dan pengepungan berlangsung
lama. Ketika kepungan lawan membuat penduduk hampir kelaparan, Genoveva rupanya
satu-satunya orang yang tidak lumpuh karena ketakutan. Kendati berbahaya, dia
mengatur dan diam-diam memimpin sekelompok relawan menyusup keluar kota, mendapatkan
perbekalan, dan kembali dengan membawa makanan untuk penduduk. Kepemimpinan,
kebijaksanaan, dan keberaniannya menyelamatkan kota Paris. Lebih tepatnya, imannya
yang mendalam pada Tuhan lebih kuat daripada rasa takut dan memampukan dirinya
menjadi sarana Tuhan menyelamatkan kota.
Gambaran
situasi pada berita harian juga menghasilkan efek samping yang lainnya:
kemarahan. Pembuat berita memanfaatkan fakta bahwa adalah mudah dan
menyenangkan membangkitkan rasa marah kepada orang yang telah menyakiti dan
merugikan sesama, dan media menyalurkan kemarahan itu untuk keuntungan
finansial.
Santo
Wulfstan (c. 1008-1095), yang diperingati pada 20 Januari, adalah seorang imam, pengkhotbah,
pertapa, dan uskup Worchester, Inggris. Ketika William Sang Penakluk dan
pasukan Normandia menyerbu dan menaklukkan Inggris pada tahun 1066, Wulfstan
sudah menjadi uskup. Meskipun Raja William mengganti sebagian besar uskup Saxon
dengan uskup dari Normandia segera setelah itu, dia mengizinkan Wulfstan, entah
apa alasannya, untuk tetap menjadi uskup.
Inggris Anglo-Saxon
tidak senang atas perubahan pemerintahan
ini. Ketika mereka mengeluh kepada Wulfstan tentang penindasan berkelanjutan
yang mereka alami dari orang Normandia, Wulfstan tidak membalas dengan
kemarahan, meskipun itu bisa dibenarkan. Sebaliknya, dia berulang kali
mengingatkan orang-orang bahwa, “Ini adalah salib Tuhan atas dosa-dosa kita,
yang harus kita tanggung dengan sabar.”2)
Saat berbagai
peristiwa ketidakadilan membanjiri kita melalui berita-berita, mungkin wajar bagi
kita untuk merasa marah atas ketidakadilan tersebut. Tetapi jika Allah sendiri
lambat untuk marah,3) dan jika, seperti yang ditulis oleh Santo Yakobus,
“kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah,”4) bagaimana
bisa benar atau bermanfaat untuk terus-menerus menyulut kemarahan? Seperti Santo
Wulfstan, kita harus berusaha rendah hati untuk menyadari bahwa kita juga telah
melakukan dosa, yang kadang mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan di
luar kendali kita. Dalam jangka panjang, kita akan lebih bahagia dan lebih suci
jika kita dapat berharap, seperti yang dikatakan Tuhan pada Jumat Agung, bahwa
mereka yang melakukan dosa serius benar-benar tidak tahu akan apa yang mereka perbuat.5)
When
Francis traveled to the Chablais region (areas in modern France and
Switzerland) in 1594, he was a young, well-educated priest from a noble family.
He had accepted this assignment from his bishop despite his father’s vehement
warnings. Francis’ father was right about the danger; Francis narrowly survived
assassination attempts and attacks by wolves during his time in the Chablais.
Santo Fransiskus
dari Sales (1567-1622) bukan seorang reporter. Tapi dia pelindung jurnalis
karena caranya menangani aspek lain yang terdapat dalam berita kontemporer:
kebohongan.
Ketika menjelajah
ke wilayah Chablais (daerah di Prancis modern dan Swiss) pada tahun 1594, Fransiskus
dari Sales adalah seorang imam muda yang terpelajar dari keluarga bangsawan.
Dia bersedia menerima penugasan ini dari uskupnya kendati peringatan keras
ayahnya. Ayah Fransiskus benar tentang bahaya yang dikatakannya; Fransiskus mengalami
upaya pembunuhan dan serangan serigala selama berada di Chablais namun selamat.
Chablais adalah
wilayah Protestan garis keras. Ajaran Katolik diejek dan difitnah, dan umat
Katolik diancam dengan kekerasan dan kalah jumlah. Fransiskus menanggapi
tantangan ajaran Protestan dengan berkhotbah dan melakukan perjalanan ke
seluruh kawasan, kadang-kadang harus tidur di ladang daripada membahayakan umat
Katolik yang memberi dia tumpangan. Dia juga menulis pamflet yang dengan
hati-hati menjelaskan ajaran Katolik dan menyangkal gambaran iman katolik yang salah
kaprah.
Dalam waktu
singkat, banyak orang di Chablais telah kembali kepada iman Katolik atau pindah
agama menjadi katolik. Bagaimana Fransiskus membuat begitu banyak orang
bertobat? Kebajikan pribadinya, termasuk kelembutan, kecerdasan, dan
kedermawanannya, tentu membantu. Tapi, yang terpenting, Fransiskus efektif
karena dia berpegang teguh pada kebenaran. Alih-alih menggunakan serangan
langsung pada nama-nama tertentu (ad hominem), ganti menjelekkan iman
lawan, kompromis dalam menyikapi kebenaran, atau sekadar mengejek
lawan-lawannya, dia bekerja keras untuk menjelaskan kebenaran iman Katolik
dengan cara yang persuasif dan jujur.
Membaca
berita tidak perlu membuat kita mulas karena cemas/takut, geram dan murka oleh
amarah, atau mencerca mereka yang tidak sependapat dengan kita. Kita tidak boleh
sepenuhnya mengabaikan berita, meskipun sebagian besar dari kita mungkin akan
mendapat manfaat dari usaha mengurangi asupan berita dengan hanya menerima
berita dari sumber berita andalan kita.
Jika kita sadari
suatu prediksi mengerikan akan menyebabkan kita merasa cemas/takut, bahwa
kata-kata kontroversial terbaru dari seorang tokoh masyarakat menimbulkan lebih
banyak kekesalan, atau bahwa acara berita favorit kita menghabiskan lebih
banyak waktu untuk mencemooh orang lain daripada menjelaskan beritanya, kita
dapat memilih untuk berhenti. Kita dapat mengenali rasa cemas/takut kita, dan dengan
doa yang sungguh-sungguh menyerahkan situasi yang sulit itu ke tangan Tuhan.
Kita bisa melepaskan diri dari amarah, dan meminta rahmat Tuhan untuk mengasihi
mereka yang tidak kita setujui. Kita selalu dapat melakukan sesuatu yang lebih baik,
bersikap rasional dan jujur, bahkan terhadap mereka yang tidak masuk akal dan
tidak jujur.
Itulah yang
dilakukan orang-orang kudus, karena bagaimanapun juga, itulah yang dilakukan
oleh Tuhan kita.
Catatan
akhir:
1) Karena konteksnya,
mungkin ke-18 orang itu memang bersalah melakukan pelanggaran pidana sepeti
orang-orang Gagilea yang dihukum mati Pontius Pilatus (Luk 13:1).
2) Herbert
J. Thurston, S.J., dan Donald Attwater, Butler’s Lives of the Saints,
Complete Edition, Volume I (Notre Dame: Christian Classics, 1956), 122.
3) Ada
sepuluhan ayat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah “lamban untuk
marah”. Misalnya Kel. 34:6, Mzm. 86:15, dan Ams. 19:11.
4) Yak.
1:20
5) Luk
23:34.