Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label 24 Januari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 24 Januari. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Januari 2023

Santo Fransiskus dari Sales Pelindung Wartawan

 


Dawn Beutner. https://www.catholicworldreport.com/2023/01/23/on-st-francis-de-sales-and-handling-the-news-like-a-saint/

Pada tanggal 24 Januari, Gereja Katolik merayakan Santo Fransiskus de Sales, uskup Jenewa yang terkenal dan santo pelindung pers Katolik. Tetapi mengapa seorang imam yang terkenal dengan nasihat spiritualnya dianggap pelindung mereka yang bekerja di bidang berita?

Keasyikan kita dengan "berita" baru dimulai pada 1960-an dengan televisi, atau mungkin dengan program berita radio beberapa dekade sebelumnya. Orang-orang selalu ingin tahu tentang peristiwa terkini dari dekat dan jauh, terutama tentang orang kaya, terkenal, dan tragis.

Misalnya, Tuhan kita menginterupsi khotbah-Nya pada suatu ketika (lihat Luk 12:54-13:10) untuk mengangkat berita yang tampaknya sudah diketahui umum. Ada delapan belas orang di kota Siloam mati ketika suatu menara runtuh menimpa mereka.1) Yesus bertanya kepada para pendengarnya apakah menurut mereka orang-orang yang telah mati kecelakaan adalah pendosa berat di kota Yerusalem? Sementara Yesus jelas berusaha mengalihkan perhatian orang kembali dari rasa ngeri mereka karena suatu berita kepada tema utama-Nya—perlunya pertobatan—insiden itu menunjukkan keterikatan kita pada berita, berita, dan lebih banyak lagi berita.

Seandainya tragedi itu terjadi di zaman sekalarang, kita dapat langsung membaca nama-nama korban yang mati, menonton video jatuhnya menara, dan mengisi dompet sumbangan yang dibuka sehubungan dengan itu. Ada asumsi, bahwa kematian delapan belas orang itu saja sudah cukup menjadi dasar kelayakan untuk menyampaikan berita itu pada kita.

Namun ada tiga orang kudus yang dirayakan dalam bulan Januari yang mengajar kita (termasuk saya sendiri) bagaimana mengendalikan kecenderungan tidak sehat dalam konsumsi berita.

Salah satu bahaya utama akses tanpa henti pada peristiwa baru-baru ini adalah fakta bahwa timbul  kecenderungan untuk cemas, khawatir dan takut. Ketika kita terus-menerus diberi asupan bencana dari seluruh dunia, seolah-olah semua peristiwa itu terjadi di depan pintu kita sendiri.

Emosi cemas, khawatir, takut bisa membantu, memotivasi kita untuk merespon ancaman dengan cepat. Tetapi mengonsumsi berita bencana secara terus-menerus — terutama tentang peristiwa yang tidak dapat kita kendalikan atau ubah — menyebabkan kegalauan rasa yang tidak sehat. Ada suatu penawar dari kehidupan Santa Genoveva (422-500).

Genoveva, yang dikenang Gereja setiap 3 Januari adalah seorang perawan dari Paris. Ia terkenal karena mujizat dan nubuat-nubuatnya, termasuk bangsa Hun akan menyerang Paris. Ketika nubuatnya jadi kenyataan dan Paris dikepung, ia mendorong warga terus berdoa memohon bantuan Tuhan agar kota tidak jatuh dan pengepungan berlangsung lama. Ketika kepungan lawan membuat penduduk hampir kelaparan, Genoveva rupanya satu-satunya orang yang tidak lumpuh karena ketakutan. Kendati berbahaya, dia mengatur dan diam-diam memimpin sekelompok relawan menyusup keluar kota, mendapatkan perbekalan, dan kembali dengan membawa makanan untuk penduduk. Kepemimpinan, kebijaksanaan, dan keberaniannya menyelamatkan kota Paris. Lebih tepatnya, imannya yang mendalam pada Tuhan lebih kuat daripada rasa takut dan memampukan dirinya menjadi sarana Tuhan menyelamatkan kota.

Gambaran situasi pada berita harian juga menghasilkan efek samping yang lainnya: kemarahan. Pembuat berita memanfaatkan fakta bahwa adalah mudah dan menyenangkan membangkitkan rasa marah kepada orang yang telah menyakiti dan merugikan sesama, dan media menyalurkan kemarahan itu untuk keuntungan finansial.

Santo Wulfstan (c. 1008-1095), yang diperingati pada 20  Januari, adalah seorang imam, pengkhotbah, pertapa, dan uskup Worchester, Inggris. Ketika William Sang Penakluk dan pasukan Normandia menyerbu dan menaklukkan Inggris pada tahun 1066, Wulfstan sudah menjadi uskup. Meskipun Raja William mengganti sebagian besar uskup Saxon dengan uskup dari Normandia segera setelah itu, dia mengizinkan Wulfstan, entah apa alasannya, untuk tetap menjadi uskup.

Inggris Anglo-Saxon tidak  senang atas perubahan pemerintahan ini. Ketika mereka mengeluh kepada Wulfstan tentang penindasan berkelanjutan yang mereka alami dari orang Normandia, Wulfstan tidak membalas dengan kemarahan, meskipun itu bisa dibenarkan. Sebaliknya, dia berulang kali mengingatkan orang-orang bahwa, “Ini adalah salib Tuhan atas dosa-dosa kita, yang harus kita tanggung dengan sabar.”2)

Saat berbagai peristiwa ketidakadilan membanjiri kita melalui berita-berita, mungkin wajar bagi kita untuk merasa marah atas ketidakadilan tersebut. Tetapi jika Allah sendiri lambat untuk marah,3) dan jika, seperti yang ditulis oleh Santo Yakobus, “kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah,”4) bagaimana bisa benar atau bermanfaat untuk terus-menerus menyulut kemarahan? Seperti Santo Wulfstan, kita harus berusaha rendah hati untuk menyadari bahwa kita juga telah melakukan dosa, yang kadang mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan di luar kendali kita. Dalam jangka panjang, kita akan lebih bahagia dan lebih suci jika kita dapat berharap, seperti yang dikatakan Tuhan pada Jumat Agung, bahwa mereka yang melakukan dosa serius benar-benar tidak tahu akan apa yang mereka perbuat.5)

When Francis traveled to the Chablais region (areas in modern France and Switzerland) in 1594, he was a young, well-educated priest from a noble family. He had accepted this assignment from his bishop despite his father’s vehement warnings. Francis’ father was right about the danger; Francis narrowly survived assassination attempts and attacks by wolves during his time in the Chablais.

Santo Fransiskus dari Sales (1567-1622) bukan seorang reporter. Tapi dia pelindung jurnalis karena caranya menangani aspek lain yang terdapat dalam berita kontemporer: kebohongan.

Ketika menjelajah ke wilayah Chablais (daerah di Prancis modern dan Swiss) pada tahun 1594, Fransiskus dari Sales adalah seorang imam muda yang terpelajar dari keluarga bangsawan. Dia bersedia menerima penugasan ini dari uskupnya kendati peringatan keras ayahnya. Ayah Fransiskus benar tentang bahaya yang dikatakannya; Fransiskus mengalami upaya pembunuhan dan serangan serigala selama berada di Chablais namun selamat.

Chablais adalah wilayah Protestan garis keras. Ajaran Katolik diejek dan difitnah, dan umat Katolik diancam dengan kekerasan dan kalah jumlah. Fransiskus menanggapi tantangan ajaran Protestan dengan berkhotbah dan melakukan perjalanan ke seluruh kawasan, kadang-kadang harus tidur di ladang daripada membahayakan umat Katolik yang memberi dia tumpangan. Dia juga menulis pamflet yang dengan hati-hati menjelaskan ajaran Katolik dan menyangkal gambaran iman katolik yang salah kaprah.

Dalam waktu singkat, banyak orang di Chablais telah kembali kepada iman Katolik atau pindah agama menjadi katolik. Bagaimana Fransiskus membuat begitu banyak orang bertobat? Kebajikan pribadinya, termasuk kelembutan, kecerdasan, dan kedermawanannya, tentu membantu. Tapi, yang terpenting, Fransiskus efektif karena dia berpegang teguh pada kebenaran. Alih-alih menggunakan serangan langsung pada nama-nama tertentu (ad hominem), ganti menjelekkan iman lawan, kompromis dalam menyikapi kebenaran, atau sekadar mengejek lawan-lawannya, dia bekerja keras untuk menjelaskan kebenaran iman Katolik dengan cara yang persuasif dan jujur.

Membaca berita tidak perlu membuat kita mulas karena cemas/takut, geram dan murka oleh amarah, atau mencerca mereka yang tidak sependapat dengan kita. Kita tidak boleh sepenuhnya mengabaikan berita, meskipun sebagian besar dari kita mungkin akan mendapat manfaat dari usaha mengurangi asupan berita dengan hanya menerima berita dari sumber berita andalan kita.

Jika kita sadari suatu prediksi mengerikan akan menyebabkan kita merasa cemas/takut, bahwa kata-kata kontroversial terbaru dari seorang tokoh masyarakat menimbulkan lebih banyak kekesalan, atau bahwa acara berita favorit kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencemooh orang lain daripada menjelaskan beritanya, kita dapat memilih untuk berhenti. Kita dapat mengenali rasa cemas/takut kita, dan dengan doa yang sungguh-sungguh menyerahkan situasi yang sulit itu ke tangan Tuhan. Kita bisa melepaskan diri dari amarah, dan meminta rahmat Tuhan untuk mengasihi mereka yang tidak kita setujui. Kita selalu dapat melakukan sesuatu yang lebih baik, bersikap rasional dan jujur, bahkan terhadap mereka yang tidak masuk akal dan tidak jujur.

Itulah yang dilakukan orang-orang kudus, karena bagaimanapun juga, itulah yang dilakukan oleh Tuhan kita.

 

Catatan akhir:

1) Karena konteksnya, mungkin ke-18 orang itu memang bersalah melakukan pelanggaran pidana sepeti orang-orang Gagilea yang dihukum mati  Pontius Pilatus (Luk 13:1).

2) Herbert J. Thurston, S.J., dan Donald Attwater, Butler’s Lives of the Saints, Complete Edition, Volume I (Notre Dame: Christian Classics, 1956), 122.

3) Ada sepuluhan ayat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah “lamban untuk marah”. Misalnya Kel. 34:6, Mzm. 86:15, dan Ams. 19:11.

4) Yak. 1:20

5) Luk 23:34.