Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Kitab Ayub. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Ayub. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 September 2022

Kitab Ayub

 


Kitab Ayub adalah salah satu Kitab dalam ragam Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama; puisi dramatis yang penuh pengajaran,  terutama dalam dialog di antara Ayub dan teman-temannya. Kitab ini menggambarkan seorang yang tidak bersalah mengalami penderitaan dan mengajukan pertanyaan yang sulit: Bagaimana orang yang hidupnya baik dan benar bisa menderita, jika Allah itu adil? Pada akhirnya, hanya keyakinan iman kepada Allah dan penyerahan diri kepada kehendakNya (bukannya pengertian yang lengkap mengenai fenomena yang dialami, yang justru mustahil) yang akan memuaskan. Ini merupakan tanggapan yang tepat dari manusia atas misteri penderitaan.

I.             PENULIS DAN WAKTU PENULISAN

Penulisnya tidak diketahui. Menurut tradisi Yahudi di dalam Talmud, Musalah yang menjadi pengarangnya, dan pendapat ini diikuti oleh beberapa penulis Kristen awal. Tetapi karena tidak ada bukti yang dapat diandalkan, maka tidak mungkinlah menyebutkan sesuatu nama pengarang dengan pasti. Para ahli menduga kitab ini berasal dari suatu rentang waku mulai dari zaman Salomo, sampai pada pertengahan abad ketiga SM; taksiran yang paling umum adalah antara tahun 600 SM dan 400 SM.

II.            ISI

1.            Pembukaan (1:1-2:13)

2.            Siklus Percakapan Pertama (Bab 3-14)

A.            Keluhan Ayub (3:1-26)

B.            Elifas : Ayub berdosa (4:1-5:27)

C.            Jawaban Ayub (6:1-7:21)

D.            Bildad: Ayub Harus bertobat (8:1-22)

E.            Jawaban Ayub (9:1-10:22)

F.            Zofar: Ayub Mengalami Hukuman (11:1-20)

G.           Jawaban Ayub (12:1 – 14:22)

3.            Siklus Percakapan Kedua (Bab 15-21)

A.            Elifas Bicara (15:1-35)

B.            Jawaban Ayub (16:1 – 17:16)

C.            Bildad : Allah menghukum Orang Fasik (18:1-21)

D.            Jawaban Ayub (19:1-29)

E.            Zofar : Kefasikan Dihukum (20:1-29)

F.            Jawaban Ayub (21:1-34)

4.            Siklus Percakapan Ketiga (Bab 22-28)

A.            Elifas : Ayub adalah Fasik (22:1-30)

B.            Ayub Menjawab (23:1-24:25)

C.            Bildad: Pembenaran (25:1-6)

D.            Ayub Menjawab (26:1 – 27:23)

E.            Kebijaksanaan yang Tak Terjangkau (28:1-28)

5.            Ayub Membela Diri (29:1 – 31:37)

6.            Elihu Bicara (32:1 – 37:24)

7.            Allah Menjawab (38:1 – 42:6)

8.            Epilog (42:7-17).

 



III.           MAKSUD DAN TEMANYA

Cerita dan maksud Kitab Ayub ditentukan dari kerangka pendahuluan (Ayb 1:1 – 2:13), dan epilog kitab (Ayb 42:7-17). Di dalam pendahuluan, Ayub dilukiskan sebagai seorang yang kaya dan besar pengaruhnya di tanah Us, seorang yang “saleh dan jujur, ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayb 1:1). Adegan berlanjut di surga, di mana Allah menyatakan Ia berkenan kepada Ayub. Iblis, yang menghadap Allah, berkata bahwa kesetiaan Ayub timbul karena ia tidak membutuhkan apa-apa. Jika Allah menghancurkan kebahagiaan Ayub dan mengambil semua berkat karuniaNya, kata iblis, Ayub yang dikira saleh itu akan berbalik melawan dan menghujat Allah. Iblis diizinkan mencobai keutamaan Ayub, dan Ayub mengalami serangkaian kemalangan, termasuk hilangnya harta benda, kena penyakit dan mengalami penghinaan. Bahkan teman-teman dan isterinya sendiri menuduh dirinya tidak mau mengakui, bahwa semua kemalangan ini adalah akibat dari dosanya. Namun Ayub tetap menjadi abdi yang setia pada Allah, dengan senantiasa memuji Allah dan menyatakan kerelaan hatinya, bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, dan Allah berhak mengambil kembali semuanya itu darinya, “terpujilah nama Tuhan!” (Ayb 1:21). Di dalam bagian epilog, Ayub yang tidak bersalah dipulihkan, Allah memberikan kepada Ayub “dua kali lipat dari segala kepunyaannya dulu” (Ayb 42:10).

                Keyakinan umum konvensional pada masa itu adalah bahwa Allah mengganjar orang yang benar dan menghukum orang jahat. Tetapi Ayub yang benar, ternyata menderita. Dialog yang membahas misteri ini disampaikan dalam tiga siklus. Ayub bercakap-cakap dengan masing-masing dari teman-temannya, Elifas, Bildad dan Zofar. Teman-temannya menyampaikan pandangan tradisional, menyatakan bahwa Ayub menanggung derita karena ia telah berdosa. Tetapi Ayub menyangkal teman-temannya, menyatakan bahwa nalar mereka keliru, dan menyatakan bahwa pangkal sebab penderitaannya itu adalah Tuhan. Keluh-kesahnya begitu kuat dan paling mengesan dalam Perjanjian Lama. Ayub menyalahkan Allah yang diam membiarkan semua kejadian yang menimpanya (Ayb 9:2), namun ia tetap memohon belas kasihan dan pertolongan Allah. Ia menantang Allah dan berseru, “Hendaklah Yang Mahakuasa menjawab aku!” (Ayb 31:35), namun ia juga tetap setia beriman kepada Allah dan yakin, bahwa pada akhirnya Allah akan memulihkan dirinya. “Aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga setelah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku, mataku sendiri akan menyaksikanNya dan bukan orang lain” (Ayb 19:25-27).

                Setelah mematahkan dalih teman-temannya, Ayub masih harus berhadapan dengan seorang penantang lain yang masih muda, Elihu. Turut masuk dalam percakapan, Elihu mengulang lagi sebagian besar dalih yang sama dengan Elifas, Bildad dan Zofar.



                Akhirnya, Allah sendiri muncul dan menjawab Ayub. Dari dalam badai Ia berbicara (Bab 38-42), menghujani Ayub dengan serangkaian pertanyaan retoris yang menunjukkan celah yang tak terduga besarnya di antara Allah Sang Pencipta dan mahluk ciptaanNya. Rendah hati karena apa yang dialaminya, Ayub mengakui kesalahannya karena sempat meragukan dan menanyai Allah. Tetapi permohonannya dikabulkan: Yang Mahakuasa memberikan jawaban kepadanya.

                Jawaban Allah bukanlah hiburan palsu atau jawaban yang mudah. Kehadiran Allah yang terasakan di mana-mana, kekuasaanNya yang mahabesar, kebijaksanaanNya, kemuliaanNya, dan tata-penyelanggaraanNya, sungguh di luar jangkauan pemahaman manusia. Penyerahan diri Ayub bukannya berasal dari ketakutan, tetapi dari kerendahan hati baru yang hanya mungkin terbentuk setelah mengalami Allah : “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. FirmanMu: ‘Dengarlah maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau supaya engkau memberitahu Aku.’ Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi mataku sendiri sekarang memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb 42:3-6). Jawaban atas persoalan dan misteri tentang penderitaan manusia yang dinyatakan dalam Kitab Ayub terletak dalam misteri tentang Allah sendiri, yang memberikan cobaan dan penderitaan kepada kita untuk meminta bukti komitmen kita, dan membawa kita kepadaNya dengan berlutut.

                Paus Yohanes Paulus II menyatakan pada tahun 1988:

“Kita bisa berkata bahwa tokoh kuno Ayub, orang saleh yang mengalami penderitaan besar, yang berdasarkan nalar manusia tidak tepat disandangnya itu, mewakili pertanyaan besar dari manusia segala zaman. Manusia terus menerus bertanya mengenai alasan-alasan penderitaan dan mencari maknanya dalam konteks hidup di dunia. Ayub adalah pertanyaan yang dijawab secara langsung oleh Allah. Injil memberi jawabannya. Kristus selalu dekat pada mereka yang mengalami penderitaan; Kristus, yang pada akhirnya memikul salib di pundakNya, suatu tanda yang nista, untuk kemudian wafat di kayu salib itu – Dia sendiri adalah jawaban. Dalam Dia Allah menjawab Ayub Perjanjian Lama, dan menjawab semua Ayub dari segala zaman dan angkatan-angkatan sesudahnya. Jawaban ini sekalipun masih samar, namun sekaligus kuat dan pasti”. (Homili, 7 Februari 1988).


Ayub disajikan kepada umat dalam petikan bacaan pertama dalam Misa Harian dalam pekan biasa ke XXVI Tahun C.Genap.


Bambang Kussriyanto.

Bahan: Scott Hahn.