Bambang Kussriyanto
Saya dibaptis ketika remaja setelah Konsili Vatikan II selesai. Gereja di Indonesia praktis berjalan mengikuti hasil-hasil Konsili Vatikan II, dan di dalamnya, dengan sendirinya saya dikembangkan secara rohani sejalan dengan tuntunan Konsili Vatikan II, pertama-tama melalui Liturgi. Ketika itu Misa mengalami perubahan dari Bahasa Latin, berangsur-angsur sebagian demi sebagian hingga kemudian seluruhnya berbahasa Indonesia. Tata-letak juga diubah. Meja altar dipindah tidak lagi menempel dinding dan salib, namun di tengah panti suci. Pastor tidak lagi membelakangi umat, tetapi berhadapan dengan umat. Altar menjadi titik fokus pandangan dengan semua yang terjadi di atas dan sekelilingnya, khususnya sepanjang Doa Syukur Agung (dan konsekrasi). Khotbah bukan alat Pastor untuk menegur dan memarahi umat, tetapi forum katekese alkitabiah, di mana Pastor menerangkan maksud bacaan-bacaan Kitab Suci dan menunjukkan pokok-pokok penerapannya dalam sikap dan tindakan, untuk hidup sehari-hari. Umat ikut serta mengikuti doa-doa yang diucapkan Pastor dan memberikan tanggapannya, tidak lagi sibuk sendiri mendaras rosario sementara Pastor sibuk di altar. Liturgi makin nyata menjadi kerja bersama Pastor dan umat, sebagai perayaan iman.
Tahun ini kita diajak bertanya pada diri sendiri, setelah sekian lama berjalan, dari tahun ke tahun, dari dasawarsa yang satu ke dasawarsa berikutnya, pengalaman-pengalaman apa yang menarik dan "membaca kembali pengalaman-pengalaman itu lebih mendalam": sukacita apa yang ditimbulkan? Kesulitan dan hambatan yang ditemui? Luka apa yang ditunjukkan? Wawasan apa yang diperoleh? Kita diajak mengumpulkan buah-buah untuk dibagikan: di mana dalam pengalaman-pengalaman itu, suara Roh bergema? Apa yang diminta Roh dari kita? Poin-poin apa yang diteguhkan, prospek-prospek perubahan, langkah-langkah apa yang harus diambil? Di mana kita catatkan kesepahaman kita? Jalan apa yang terbuka bagi kita?