Miskin artinya dilucuti dari
kekayaan dan kesejahteraan oleh berbagai keadaan: sosial, politik dan ekonomi.
Kemiskinan banyak terdapat di dunia Kitab Suci karena seringnya peperangan,
kelaparan dan kekeringan, serta praktek yang berlaku mengenai utang-piutang dan
perbudakan. Perhatian pada kaum miskin adalah amanat yang dibebankan pada
Israel dalam Perjanjian Lama dan pada umat Kristen dalam Perjanjian Baru.
Selain kemiskinan material, Gereja juga mengenali situasi kemiskinan rohani dan
budaya.
Hukum Musa membeberkan beberapa ketetapan
untuk perlindungan kaum miskin dan mereka yang malang hidupnya, termasuk yang berhubungan
dengan Tahun Yobel di mana utang-utang mendapat pengampunan, larangan
mengenakan bunga atas pinjaman serta pengaturan soal agunan, hak untuk gresek
anggur dan jelai/gandum di ladang (Im 25; Ul 15:7-10; 23:19-20;
24:10-15.19-22): “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam
negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah
engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang
miskin di negerimu” (Ul 15:11; bdk Tb 4:7-11; Sir 17:22). Penindasan atas kaum
miskin sangat dikecam para nabi (Am 2:6-7).
Yesus dilahirkan dari orangtua yang miskin
(Luk 2:24) di suatu kandang bersahaja (Luk 2:6-7) dan solider dengan kaum
miskin. Ia berkata bahwa Ia diutus untuk “memberitakan kabar baik kepada kaum
miskin” (Luk 4:18; 7:22), menyatakan bahwa mereka itu “berbahagia” (Luk 6:20)
dan menetapkan kasih pada kaum miskin sebagai salah satu prasyarat untuk masuk
ke dalam Kerajaan (Mat 25:31-46).
“Orang miskin selalu ada padamu,” kata
Yesus (Yoh 12:8). Oleh karena fakta itu, orang Kristen dituntut melakukan amal
kasih termasuk memberi bantuan kepada sesama, memberi makan yang kelaparan,
memberi tumpangan pada orang yang tak punya rumah, memberi pakaian mereka yang
telanjang, dan merawat yang sakit. Amal kasih dan sedekah berkenan pada Tuhan
karena merupakan pekerjaan keadilan (Mat 6:2-4; Luk 3:11; 11:41; Yak 2:15-16; 1
Yoh 3:17-18). Implikasi teologis dari kemiskinan dikemukakan oleh Kongregasi
Ajaran Iman dalam dokumen Libertatis conscientia art 68 sbb:
"Dalam aneka ragam bentuknya - kekurangan
material, ketidakadilan dan penindasan, penyakit jasmani dan rohani, dan
akhirnya kematian - penderitaan manusiawi adalah bukti nyata tentang keadaan
kelemahan bawaan dan perlunya keselamatan, di dalam mana manusia menemukan
dirinya sebagai akibat dosa asal. Karena itu, ia menggerakkan kerahiman
Kristus, Penebus, yang hendak menanggung penderitaan ini dan mengidentikkan
Diri dengan saudara-Nya yang paling hina. Karena itu, Gereja mengarahkan
pandangan kepada mereka semua, yang memprihatinkan itu, dengan cinta utama.
Gereja, yang sejak awal, tanpa memperhitungkan kelemahan dari banyak
anggotanya, bekerja tanpa henti-hentinya, supaya membantu, membela, dan
membebaskan yang tertindas. Ia melakukan itu melalui karya amal yang tidak
terhitung jumlahnya, yang masih dibutuhkan, selalu dan di mana-mana"
Jemaat Kristen Yerusalem sangat
memperhatikan kebutuhan kaum miskin di kota itu (Kis 2:44-45; 4:34-35) dan
Paulus dalam perjalanan misinya bekerja keras mengumpulkan dana bagi kaum
miskin Yerusalem (Rm 15:25-29; Gal 2:10). Paulus juga menulis secara detil
mengenai kemiskinan dalam Perjanjian Baru dalam suratnya yang kedua kepada
Jemaat Korintus, dengan membangun ajarannya di sekitar gagasan pokok: “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus,
bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu
menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8:9). Maka murid-murid
dipanggil untuk meneladan Kristus dengan bermurah hati membagikan berkat kita
pada mereka yang kekurangan atau sama sekali tak punya (Luk 14:33; 21:14; Mrk
8:35).