Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label imamat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label imamat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Desember 2022

IMAM - IMAMAT DALAM KITAB SUCI

 



Seorang imam adalah pengantara yang mendapat wewenang menyampaikan korban persembahan kepada Allah atas nama orang lain. Kristus adalah imam yang sempurna sebab Ia dipersatukan dengan Allah dalam kodrat ke-Allah-anNya, namun sepenuhnya satu dengan kita dalam kodratNya sebagai manusia.  Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

Segala sesuatu yang sudah ditandakan sebelumnya dalam imamat Perjanjian Lama, menemukan kepenuhannya dalam Yesus Kristus, yang adalah "pengantara antara Allah dan manusia" (1 Tim 2:5). Melkisedek, "imam Allah yang mahatinggi" (Kej 14:18), dipandang tradisi Kristen sebagai "pratanda" imamat Kristus, "imam besar satu-satunya menurut peraturan Melkisedek" (Ibr 5:10; 6:20). Kristus itu "kudus, tanpa salah, tanpa noda" (Ibr 7:26), dan "oleh satu kurban saja... Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan" (Ibr 10:14), yaitu oleh kurban di salib-Nya, satu kali untuk selamanya. (KGK 1544).

 

I. Imamat dalam Perjanjian Lama

A. Zaman Bapa Bangsa

B. Israel, Bangsa Imamat

C. Imamat Lewi

II. Imamat dalam Perjanjian Baru

A. Imamat Kristus

B. Imamat Umum Kaum Beriman

C. Imamat Jabatan

 

I. Imamat dalam Perjanjian Lama

Bisa kita lihat dua periode pokok keimaman di dalam Perjanjian Lama: pada masa para Bapa Bangsa dan imamat Lewi. Periode para Bapa Bangsa terutama dalam Kitab Kejadian, sedangkan periode imam-imam Lewi disajikan dalam bagian selebihnya dari Pentateukh dan terentang sampai Kristus datang.

 

A. Zaman Bapa Bangsa

Ada dua golongan imam sebagai profesi pada zaman sebelum imamat Lewi. Dasar agama para Bapa Bangsa adalah susunan keluarga biasa. Dalam konteks ini, wewenang dilimpahkan dari bapak kepada anak laki-kali, dan korban dipersembahkan bukan di tempat-tempat lain, melainkan di tempat yang dikehendaki Bapa Bangsa, yang menjalankan semacam agama alam. Tindakan suci meliputi pembuatan altar atau mezbah (Kej 12:8), menanam pohon (Kej 21:33), menyampaikan korban persembahan (Kej 8:20), dan mendirikan tugu peringatan (Kej 28:11-22).



      Asal-usul jabatan imam dengan demikian dapat dilacak dari wewenang rohani yang unik, fungsi perwakilan, dan pelayanan keagamaan yang dilakukan para bapa keluarga. Serentak dengan itu, jabatan rajawi terwujud dalam tugas kewajiban sekular para bapak keluarga, khususnya peranannya dalam memimpin dan mengatur keluarga atau puak. Dengan demikian imamat tidak terpisahkan dari posisi sebagai bapak (bdk Ayb 1:15).

      Bentuk tipologi awal dari imam-raja pada zaman para Bapa Bangsa adalah Melkisedek, raja (sekaligus) imam dari Salem (yaitu Yerusalem; Mzm 76:2). Tokoh misterius ini adalah orang pertama yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai imam (Kej 14:7-20); ia mempersembahkan roti dan anggur untuk Abram (Abraham) dan kemudian memberikan berkat kepada Abraham dan para pengiringnya.

 

B. Israel, Bangsa Imamat

Perjanjian Lama merunut perkembangan dosa dan dampaknya yang mengerikan pada keluarga manusia – sejak dari jatuhnya Adam sampai dengan perbudakan Israel di Mesir, yang digambarkan dalam permulaan kitab Keluaran. Kita lihat suatu pola yang terus menerus di sepanjang kisahnya: tragedi dan dosa membuat para putra sulung kehilangan hak warisnya (mis Kain, Ismael, Esau, Ruben, Er, Peres, Manasye). Pola-pola yang terdapat pada orang perorangan itu kemudian diulangi di dalam Israel sebagai suatu bangsa. Musa diberitahu di dekat semak yang bernyala: “Israel adalah anakKu yang sulung” (Kel 4:22). Pentingnya putera sulung diungkapkan pada waktu Paskah ketika anak-anak sulung Israel ditebus dengan darah anak-domba Paskah. Maka setelah itu putera-putera sulung harus dipersembahkan untuk melayani ibadat Tuhan (Kel 13:2; 22:29).



      Tuhan memerintahkan Israel, “anakNya yang sulung”, untuk melaksanakan panggilan dan tugas khusus menjadi suatu “bangsa yang kudus dan kerajaan imam”, menjadi pengantara antara Bapa dengan keluarga bangsa manusia. Namun status itu sepenuhnya bergantung pada syarat tertentu (seperti yang ditunjukkan dalam contah-contoh di depan mengenai anak-anak sulung yang kehilangan hak warisnya), yaitu pada kepatuhan Israel kepada Perjanjian: “jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri …. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Kel 19:5-6). Bangsa Israel cepat sekali melanggar kesetiaan mereka pada Tuhan dengan beribadat kepada lembu emas, dan berkat untuk anak sulung dengan demikian dialihkan kepada suku Lewi karena jasa mereka membalaskan murka Tuhan seperti yang diperintahkan Musa (Kel 32:25-29; Lewi). Kejadian ini menandai mulainya periode kedua imamat Perjanjian Lama, yaitu imamat Lewi.

 

C. Imamat Lewi

Seperti yang diungkapkan kitab Keluaran, kekejian Israel dengan insiden anak lembu emas di Sinai memerlukan pembaruan Perjanjian – mula-mula dengan Musa sendiri (Kel 33-34), tetapi kemudian meluas dengan Israel dengan perintah untuk membuat Kemah Pertemuan dan menahbiskan Harun sebagai imam besar (Kel 35-40). Tuhan kemudian hanya memerintahkan Musa berbicara mengenai macam-macam korban persembahan (bakaran, penebusan dosa, pendamaian) yang pelaksanaan persembahannya oleh Harun dan anak-anaknya atas nama umat Israel dan menurut Kode Hukum Imamat (Im 1-16). Akhirnya kode hukum kekudusan diberikan kepada para imam Lewi untuk diajarkan pada kedua belas suku Israel yang awam (Im 17-26).



      Hasilnya adalah suatu sistem pengantaraan imam yang sangat rinci berdasarkan tata susun hirarki Musa, Harun (dan anak-anak keturunannya), suku Lewi dan keduabelas suku Israel (imam besar, imam-imam keturunan Harun, dan Lewi) yang berlangsung terus (dengan beberapa variasi kecil) di seluruh sejarah Israel: pada masa padang gurun, penaklukan Kanaan, dan menetap di Kanaan, kerajaan, hingga masa sesudah Pembuangan.

      Dampak dari penyelewengan Israel yang kedua dalam penyembahan berhala di Bet-peor (Bil 25:1-3) adalah diberlakukannya perjanjian Ulangan (Deuteronomis) atas keduabelas suku di dataran Moab, tempat di mana mereka melakukan kekejian baru (Ul 3:29; 4:3). Ketika perjanjian Ulangan ini disahkan, suatu struktur dua  perjanjian diterapkan atas keduabelas suku Israel (yos 8:30-35). Dari ketentuan-ketentuannya, Israel ditempatkan di bawah supervisi administratif kaum Lewi (Ul 27:9-26). Pihak Lewi terikat dengan “perjanjian Lewi” (Yer 33:17-26; Mal 2:4-8) yang dibuat bagi mereka oleh Musa di Sinai sesudah peristiwa anak lembu emas. Perjanjian Lewi itu kemudian diperbarui lagi oleh cucu Harun, Pinehas, pada akhir pengembaraan Israel selama empat puluh tahun di padang gurun. Pinehas mendapatkan “suatu perjanjian imamat kekal” sebagai penghargaan atas kesungguhannya dalam membalaskan murka Tuhan pada praktek penyembahan berhala generasi kedua yang beribadat kepada Baal di Peor (Bil 25:13).

      Pada masa sesudah menetap di Kanaan, perjanjian yang diperbarui itu terus dilaksanakan dengan memengaruhi bentuk imamat Perjanjian Lama, yang memuncak dengan jatuhnya keluarga imam Eli (1 Sam 2:27-36), terusirnya Abiatar dari jabatan imam besar (1 Raj 2:26-35), dan kemudian naiknya imam Zadok sebgai imam besar di Yerusalem (1 Raj 2:35). Yang penting dalam perkembangan ini adalah bukti kepantasan keturunan dari Pinehas ada pada Zadok, tetapi lenyap dalam Eli dan Abiatar (1 Sam 22:9-20). Jabatan imam besar keturunan Zadok di Bait Allah Yerusalem menjadi salah satu ciri yang paling unik dari masa kerajaan Daud, di mana suku Lewi mendapat tugas-tugas yang semakin mengkhusus di dalam Bait Allah (musik ibadat, penyanyi, penjaga pintu, pengurus harta benda Bait Allah dan sebagainya, 1 Taw 9:22-34; 23:2-28).

      Pentingnya imam besar Israel sesudah zaman Pembuangan memberikan bayangan awal visiun Yehezkiel tentang pemulihan Yerusalem di bawah imam-imam besar (keturunan Zadok, Yeh 43-45). Situasi ini merupakan salah satu alat untuk menjelaskan uraian yang kurang pas dari Zakharia mengenai pemasangan mahkota raja yang dilakukan oleh imam besar Yosua (Za 6:9-13), bukan oleh Zerubabel keturunan Daud yang memainkan peran penting dalam pembangunan  kembali Bait Allah (Ezr 5:2).

      Selanjutnya pandangan ini tampaknya dipuji Sirakh dalam catatannya atas tokoh-tokoh dari Harun hingga imam besar pada zamannya, Simon, yang dihargai sebagai “pemimpin saudara-saudaranya dan kebanggaan bangsanya” (Sir 50:1). Sumber-sumber di luar Kitab Suci selanjutnya menggambarkan Mesias sebagai gabungan antara kualitas rajawi Daud dan wewenang imam agung (Pseudografia: T Slm 7.13; T Lev 2:10-11; 5:2; 8:2-15; bdk Mzm 110:1-4). Harapan dan pandangan Mesianik dalam abad pertama M di kalangan Yahudi Kristen kiranya dipengaruhi oleh pandangan ini, dan pengarang Surat Ibrani menjadikannya sebagai dasar dalihnya mengenai kedudukan imamat rajawi Kristus “menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 7).

      Jabatan imam besar keturunan Zadok berlangsung di Yerusalem sampai Antiokhus IV Epifanes (masa dinasti Seleukus) mendepak Onias II pada tahun 175 SM dan menggantikannya dengan Yason (bekerja pada 175-172 SM). Para penguasa Seleukus kemudian menunjuk imam-imam besar bukan dari keluarga Zadok sampai mereka dikalahkan pada tahun 153 SM oleh keluarga Hasmona, yang melanjutkan jabatan imam besar di luar keluarga Zadok sampai datangnya orang-orang Roma dalam abad pertama SM. Selanjutnya pengangkatan imam besar dilakukan hanya dengan persetujuan dinasti Herodes dan pejabat Roma. Kebiasaan ini berlangsung sampai Bait Allah Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 M. Dengan peristiwa itu sinar terakhir imamat Lewi – dan Perjanjian Lama – lalu padam (KGK 63.1539-1543).

 


II. Imamat dalam Perjanjian Baru

Dengan kedatangan Kristus sebagai Anak Sulung Allah (Ibr 1:6) dan Imam Agung rajawi (Ibr 2:2-17; 5:1-10), berakhirlah pemisahan kuasa antara imam dan raja. Dengan mendirikan GerejaNya sebagai “jemaat anak-anak sulung” (Ibr 12:23), Kristus menggabungkan lagi jabatan imam dan kuasa rajawi, dan memulihkan “kerajaan imam” (1 Ptr 2:9) dari umat Allah, yang sekarang menjadi “Israel Allah” (Gal 6:12).

      Imamat Yesus perlu dilihat dalam terang imamat Perjanjian Lama, dan pengertian yang sepenuhnya tentang imamat Perjanjian Baru niscaya berawal dari periode Bapa Bangsa dan tempat kedudukan anak sulung. Luk 2:7 menyebut Yesus sebagai “yang sulung” yang menunjukkan bahwa Yesus berhak menerima segala hak dan kedudukan sebagai anak sulung menurut Hukum Musa (bdk Kel 13:2; Ul 21:15-17). Mungkin penting sekali diperhatikan, bahwa ketika Yesus dipersembahkan di Bait Allah (Luk 2:23), uang tebusan sebesar lima syikal (dengan mana seorang Lewi menggantikan anak sulung dalam mengabdi Tuhan: Bil 8:15-16) tidak disebutkan. Jika demikian, sudah ditunjukkan bahwa Yesus dipersembahkan untuk melayani Allah dan tidak “ditebus kembali” oleh orangtuanya. Maka kemudian kita memandang Yesus dalam peranNya sebagai seorang imam dalam kaitan dengan kedudukanNya sebagai anak sulung dalam pengertian Bapa Bangsa.

 

A. Imamat Kristus

Surat Ibrani memberikan kepada kita bahasan lengkap mengenai keimaman Kristus di dalam Perjanjian Baru. Menurut pengarang Surat Ibrani, imamat Yesus dipahami sehubungan dengan imamat Lewi dari Harun, namun dalam segala hal imamat Yesus lebih unggul daripada imamat Lewi karena Yesus adalam imam yang tidak berdosa (Ibr 4:15), sementara imam-imam Harun adalah pendosa dan harus mempersembahkan korban bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain (Ibr 5:1-3). Yesus adalah imam yang kekal (Ibr 7:24), sementara imam-imam Harun adalah fana dan harus digantikan oleh rentetan orang-orang lain yang tidak ada habisnya (Ibr 7:23). Yesus adalah Imam Agung surga (Ibr 4:14; 8:1-2), sementara para imam Perjanjian Lama bekerja melayani di tempat suci dunia (Ibr 8:4-5). Yesus adalah imam rajawi yang dijanjikan dengan sumpah dalam |Mazmur Mesias, Mzm 110:4 (Ibr 5:6; 7:17) sementara para imam Lewi memangku jabatan tanpa sumpah sama sekali (Ibr 7:21).

      Sebagai imam yang lebih sempurna, Kristus mempersembahkan kepada Bapa korban yang lebih sempurna daripada yang dipersembahkan imam-imam Lewi: korban Kristus dipersembahkan sekali untuk selamanya (Ibr 10:10), berlainan dengan rangkaian korban yang terus menerus diharuskan menurut Perjanjian Lama (Ibr 10:11). Soalnya, korban Kristus sungguh mendatangkan penghapusan dosa (Ibr 9:11-14.28; 10:12-18) sebaliknya korban persembahan Lewi berfungsi mengingatkan akan dosa tanpa bisa membersihkan dosa itu (Ibr 10:4.11).



      Latar belakang pernyataan-pernyataan ini adalah keyakinan, bahwa Yesus bukan imam yang berasal dari peraturan Harun, melainkan dari zaman Bapa Bangsa menurut peraturan Melkisedek (Ibr 5:6; 6:20). Gagasan ini dikembangkan lagi dalam Ibr 7 dengan berdasarkan Mzm 110, yang memandang Mesias baik sebagai Raja yang bertahta (Mzm 110:1) maupun sebagai imam Melkisedek (Mzm 110:4). Gagasannya adalah bahwa Kristus berasal dari angkatan imamat asli yang dilaksanakan pada zaman sebelum imam-imam Lewi.

      Dari sini jelas mengapa pengarang Surat Ibrani begitu menekankan aspek keputeraan Yesus dalam hubungan dengan imamatNya (Ibr 2:10; 5:5-10). Secara khusus, ia menekankan bahwa Kristus adalah “Anak Sulung” dari Bapa (Ibr 1:6) yang mewakili umat beriman baik sebagai saudara (Ibr 2:11-12) maupun sebagai sosok Bapa (Ibr 2:13-14). Malah boleh jadi Melkisedek yang adalah pendahulu sekaligus gambaran awal, dipandang demikian oleh pengarang surat dan para pembacanya yang mengenal tradisi Yahudi, disamakan dengan Sem, anak sulung Nuh.

      Aspek lainnya dari imamat Melkisedek juga merujuk pada Kristus. Misalnya Melkisedek adalah imam-raja dari Salem (Ibr 7:1) yng adalah sebutan kuno untuk Yerusalem atau Sion (Mzm 76:2). Ciri-ciri imam-raja Melkisedek menjadi gambaran awal dari jabatan imam-raja Yesus di dalam “Yerusalem surgawi” (Ibr 12:22). Demikian juga, karena Melkisedek mempersembahkan roti dan anggur (Kej 14:18), renungan Kristen memandang hal itu sebagai gambaran purba dari Ekaristi, perjamuan korban Kristus bagi kaum beriman dalam rupa roti dan anggur (Mat 26:26-29).



 

B. Imamat Umum Kaum Beriman

Kristus sebagai Imam Agung dan pengantara, menjadikan Gereja “suatu kerajaan, imam–imam bagi Allah dan Bapa” (Why 1:6). Ia telah memulihkan dan memenuhi dalam dirinya imamat anak sulung keluarga, panggilan yang ditujukan pada Israel, dengan membagikan martabat keputeraan sulung dan imamat itu (bdk Kel 4:22; 19:6).

      Umat Allah dengan demikian ikut serta dalam martabat imamat Kristus melalui baptis, berpartisipasi dalam tugas perutusanNya sebagai imam, nabi dan raja berdasarkan panggilan masing-masing (1 Ptr 2:5-9). Karena rahmat, Gereja ikut serta dalam keputeraan Kristus, dan dengan demikian ikut serta pula dalam tugas perutusan imamatNya. Gereja dipercaya melaksanakan panggilan yang semula telah ditujukan bagi Israel di antara bangsa-bangsa.

 

C. Imamat Jabatan

Partisipasi yang kedua dari kaum beriman dalam imamat Kristus adalah melalui imamat jabatan hirarkis. Kedua bentuk partisipasi ditata sedemikian seperti yang diajarkan Lumen Gentium art 10, namun pada dasarnya keduanya berbeda (dalam jenisnya, bukan saja dalam derajatnya). Imamat umum kaum beriman dilaksanakan melalui rahmat pembaptisan, sedangkan imamat jabatan melayani dan menguduskan kaum beriman dan diberikan hanya melalui sakramen tahbisan imam.

      Yesus memilih kedua belas rasul untuk berfungsi sebagai kepala-kepala dari umat Allah (Mat 19:28; Why 21:12-14). Sebagai  partisipan dalam imamat Kristus yang satu yang berasal dari peraturan M|elkisedek, para rasul niscaya melayani sebagai imam-imam anak sulung, bertindak selaku saudara yang lebih tua dan bapa bagi jemaat yang dipercayakan kepada mereka (bdk Kis 15:23; 1 Kor 4:15). Sebaliknya, para rasul mengangkat pengganti-pengganti mereka sebagai penatua atau imam-imam atas jemaat yang telah mereka dirikan (Kis 14:23). Jelaslah, Perjanjian Baru tidak menyebut pelayan-pelayan jemaat Kristen sebagai “imam-imam” (Bahasa Yunani hieresis) namun sebagai “uskup-uskup” (Yunani episkopoi) dan presbiter (Yunani presbiteroi). Sekalipun demikian sebenarnya dari kata yang terakhir itulah, presbiter, muncul kata Inggris “priest”, artinya imam.

      Berkat rahmat sakramen tahbisan imamat, para imam bertindak dalam prbadi Yesus Kristus, Kepala Gereja. Seperti ditulis oleh St Tomas Aquinas, “Kristus adalah sumber segala imamat: imamat hukum lama merupakan gambaran dari Kristus, dan imam hukum baru bertindak dalam pribadi Kristus” (Summa theologiae III.22.4c). Para pelayan yang tertahbis menghadirkan Kristus sebagai Kepala Gereja menjadi tampak bagi jemaat. Paus Yohanes Paulus II menulis dalam Pastores Dabo Vobis:

Di dalam Gereja dan atas nama Gereja, imam-imam merupakan wakil sakramental dari Yesus Kristus, Kepala dan Gembala, yang berwenang mewartakan sabda, mengulang tindakan pengampunanNya berulang kali serta tawaran keselamatanNya khususnya Baptis dan Ekaristi, menunjukkan perhatian kasihnya hingga memberikan diri secara total kepada kawanannya.... Dengan kata lain, imam ada dan bertindak untuk menyatakan Injil kepada dunia dan membangun Gereja dalam nama dan pribadi Kristus, Kepala dan Gembala (art 15).

 

Dari sejak semula, para uskup dan imam jemaat Kristen memberikan sakramen-sakramen, mengajar dan menyampaikan ajaran yang benar, dan memimpin sebagai gembala-gembala. Berdasarkan tahbisan yang mereka terima, mereka ikut serta dalam tugas perutusan umum yang dipercayakan oleh Kristus kepada para rasul. Mereka diberdayakan bukan hanya untuk melayani jemaat setempat tetapi juga ikut serta dalam tugas perutusan menyelamatkan seluruh dunia (Kis 1:8). Pelaksanaan imamat jabatan selalu diukur menurut teladan yang tertinggi dari Kristus (Mrk 10|:43-45; 1 Ptr 5:3) (KGK 1544-1568).