Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Petunjuk Untuk Katekese 2020. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Petunjuk Untuk Katekese 2020. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Februari 2023

Katekese dalam Aneka Ragam Komunitas Kehidupan

 


Dipetik dari Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio per la Catechesi) dari Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru Roma, 23 Maret 2020

Katekese dalam Aneka Ragam Komunitas Kehidupan

224. Setiap orang yang dibaptis, yang dipanggil kepada kematangan iman, berhak atas katekese yang memadai. Maka, adalah tugas Gereja untuk menanggapinya secara memuaskan. Injil tidak ditujukan bagi manusia yang abstrak, tetapi bagi setiap manusia, yang riil, konkret, menyejarah, yang berakar dalam suatu situasi khusus dan ditandai dengan dinamika psikologis, sosial, kultural dan religius, karena «masing-masing tercakup dalam misteri penebusan.» Di satu sisi, iman bukanlah proses linear dan ia mengambil bagian dalam perkembangan pribadi, dan ini, pada gilirannya, mempengaruhi perjalanan iman. Tidak dapat dilupakan bahwa setiap fase kehidupan dihadapkan kepada tantangan-tantangan khusus dan harus menghadapi dinamika-dinamika yang selalu baru dalam panggilan Kristiani.

225. Maka, masuk akal untuk memberikan program katekese yang beragam berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda, usia subjek dan status hidup. Karena itu, pentinglah menghargai data-data antropologis-evolutif dan teologis-pastoral, dan mempertimbangkan ilmu-ilmu pendidikan. Untuk alasan itu, dalam proses katekese secara pedagogis penting untuk memberikan tekanan dan kekhususan untuk setiap tahap katekese. Terkait hal itu, hanya ditunjukkan beberapa unsur umum sebagai pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut untuk Petunjuk katekese gereja-gereja partikular dan Konferensi para Uskup.

 

1

KATEKESE DAN KELUARGA

226. Keluarga adalah suatu komunitas cinta kasih dan kehidupan, dibangun oleh suatu «kompleks hubungan-hubungan antarpribadi – hidup sebagai suami-istri, kebapaan dan keibuan, hubungan dengan anak dan persaudaraan. Melalui relasi-relasi itu setiap anggota diintegrasikan ke dalam keluarga manusia dan keluarga Allah, yakni Gereja.» Masa depan pribadi-pribadi, komunitas manusiawi dan komunitas gerejawi bergantung sebagian besar pada keluarga, sel dasar masyarakat. Berkat keluarga, Gereja menjadi keluarga dari keluarga-keluarga dan diperkaya oleh kehidupan dari Gereja-gereja rumah tangga ini. Maka, «dengan penuh suka cita batin dan penghiburan mendalam, Gereja memperhatikan keluarga yang tetap setia dengan ajaran Injil, mendorong dan berterima kasih kepada mereka karena kesaksian yang mereka berikan. Sesungguhnya, berkat kesaksian mereka muncul kepercayaan akan keindahan pernikahan yang tak terpisahkan dan setia terus-menerus.»

Lingkungan katekese keluarga

Katekese dalam keluarga

227. Keluarga merupakan pemakluman iman karena menjadi tempat alamiah di mana iman dapat dihayati dengan cara sederhana dan spontan. Keluarga «memiliki hak istimewa satu-satunya: meneruskan Injil dengan membuatnya berakar dalam konteks-konteks nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Atas dasar ini, inisiasi ke dalam hidup Kristen lebih mendalam: munculnya pengertian tentang Allah; langkah-langkah awal dalam doa; pendidikan moral suara hati; pembinaan dalam pemahaman Kristiani tentang cinta manusiawi, dimengerti sebagai pantulan cinta Allah Bapa, Pencipta. Singkat kata, ini adalah suatu pendidikan Kristen, yang lebih banyak dinyatakan melalui kesaksian daripada diajarkan, lebih insidental  daripada sistematis, lebih berkelanjutan dan sehari-hari daripada ter[1]struktur dalam periode-periode.»

228. Hidup perkawinan dan keluarga, yang dihayati menurut rencana Allah, dalam dirinya menjadi Injil, yang di dalamnya dapat dibaca cinta kasih Allah yang cuma-cuma dan sabar terhadap manusia. Pasangan-pasangan Kristiani berkat Sakramen Perkawinan mengambil bagian pada misteri kesatuan dan cinta yang subur yang ada di antara Kristus dan Gereja. Oleh karena itu, katekese dalam keluarga mempunyai tugas untuk membuat para pelaku dalam hidup berkeluarga, khususnya para pasangan dan orang tua, menemukan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka melalui Sakramen Perkawinan.

Katekese bersama keluarga

229. Gereja mewartakan Injil kepada keluarga. Komunitas Kristiani adalah keluarga dari keluarga-keluarga dan sekaligus menjadi keluarga Allah. Komunitas dan keluarga bagi satu sama lain menjadi referensi yang tetap dan timbal balik: sementara komunitas menerima dari keluarga suatu pemahaman iman yang langsung dan terkait secara alamiah dengan peristiwa-peristiwa kehidupan, keluarga pada gilirannya menerima dari komunitas suatu kunci yang jelas untuk menafsirkan ulang dalam iman pengalamannya sendiri. Sadar akan hubungan yang mendalam ini, Gereja, dalam perhatiannya untuk mengevangelisasi, mewartakan Injil kepada keluarga-keluarga, dengan membuat mereka mengalami bahwa Injil merupakan «sukacita yang mengisi hati dan seluruh hidup, karena di dalam Kristus kita telah dibebaskan dari dosa, kesedihan, kehampaan batin dan kesepian.»

230. Pada zaman sekarang, katekese bersama keluarga dialami dalam kerygma, sebab juga «di dalam dan di antara keluarga, pesan Injil harus selalu bergema; inti dari pesan ini yaitu kerygma, adalah hal yang paling indah, paling baik, paling menarik dan sekaligus paling diperlukan. Pesan ini hendaknya menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi.» Selain itu, dalam dinamika pertobatan misioner, katekese bersama keluarga ditandai oleh suatu gaya pemahaman yang rendah hati dan suatu pewartaan yang konkret, tidak teoretis dan terlepas dari problem-problem pribadi-pribadi. Komunitas, dalam tanggung jawab evangelisasi dan kateketisnya yang ditujukan di dalam keluarga-keluarga, mewujudkan perjalanan-perjalanan iman yang membantu keluarga-keluarga untuk memiliki kesadaran yang jelas akan jati diri dan misi mereka: oleh karena itu, komunitas mendampingi dan menyokong keluarga-keluarga dalam tugas meneruskan hidup, membantu mereka dalam pelaksanaan tugas utama mereka untuk mendidik dan mengembangkan spiritualitas keluarga yang autentik. Dengan demikian, keluarga menyadari perannya dan, di dalam dan bersama komunitas, menjadi pelaku aktif karya evangelisasi.

Katekese keluarga

231. Keluarga mewartakan Injil. Karena Gereja rumah tangga dilandaskan pada Sakramen Perkawinan yang juga memiliki suatu dimensi misioner, keluarga Kristiani mengambil bagian pada misi evangelisasi Gereja dan oleh karena itu menjadi pelaku katekese. «Upaya mewariskan iman kepada anak-anak, dalam arti memfasilitasi ungkapan dan pertumbuhannya, membantu keseluruhan keluarga dalam misi evangelisasi. Keluarga secara spontan akan mulai menyebarkan iman kepada orang-orang sekitar, bahkan kepada orang-orang di luar lingkaran keluarga.» Oleh karena itu, keluarga dipanggil, selain untuk pelayanan edukatif kodrati bagi anak-anak, juga untuk berkontribusi bagi pembangunan komunitas Kristiani dan untuk menyaksikan Injil di dalam masyarakat. «Sejauh pelayanan mewartakan Injil dan katekese Gereja rumah tangga berakar dalam dan berasal dari misi Gereja yang satu, serta tertujukan kepada pembangunan satu Tubuh Kristus, sejauh itu pula harus tetap berada dalam persekutuan yang erat dan kerja sama yang bertanggung jawab dengan semua kegiatan lainnya di bidang pewartaan Injil dan katekese, yang diselenggarakan dalam jemaat gerejawi pada tingkat keuskupan maupun paroki.» Maka, katekese keluarga akan menjadi sumbangan khusus yang diberikan oleh keluarga[1]keluarga kristiani, dengan kepekaan mereka sendiri, terhadap berbagai peziarahan iman yang ditawarkan oleh komunitas.

Petunjuk-petunjuk pastoral

232. Gereja dengan perhatian keibuannya mendampingi anak-anaknya sepanjang hidup mereka. Namun demikian, Gereja mengakui bahwa beberapa momen merupakan peralihan yang menentukan, di mana orang dapat dengan mudah membiarkan dirinya disentuh oleh rahmat Allah dan bersiap sedia untuk suatu perjalanan iman. Dalam peziarahan iman ini, tepatlah menghargai bantuan yang murah hati dan berharga dari pasangan-pasangan lain, yang sudah lama menjalani pengalaman hidup perkawinan. Komunitas akan memberikan perhatian lebih besar kepada beberapa momen yang ditunjukkan berikut ini.

a. Katekese orang-orang muda dan orang-orang dewasa yang sedang mempersiapkan diri untuk Perkawinan menyediakan pembinaan jangka panjang, jangka pendek dan yang langsung untuk perayaan Sakramen Perkawinan, yang ditampilkan sebagai satu panggilan sejati. Dalam perjalanan-perjalanan iman ini, yang bertahap dan berkelanjutan, sesuai dengan inspirasi katekumenal, «prioritas harus diberikan –bersamaan dengan pewartaan kerygma yang diperbarui–kepada isi, yang disampaikan dengan cara menarik dan bermanfaat, yang dapat membantu pasangan untuk menjalin komitmen sepanjang hidup. […] Hal ini menjadi semacam inisiasi menuju Sakramen Perkawinan, yang menyediakan bagi pasangan unsur-unsur yang mereka butuhkan untuk menerima sakramen dalam disposisi terbaik dan untuk memulai hidup keluarga dengan bulat hati.» Sebaiknya penamaan Kursus-kursus Persiapan Perkawinan, bila itu masih dipakai, hendaklah ditinggalkan guna mengembalikan arti formatif dan kateketis yang autentik kepada perjalanan ini.

b. Katekese pasangan-pasangan pada masa awal perkawinan adalah katekese yang diberikan dalam bentuk mistagogi kepada pasangan-pasangan baru setelah Perkawinan, untuk membimbing mereka untuk menemukan telah menjadi seperti apa mereka berkat sakramen yang dirayakan. Baiklah bahwa perjalanan-perjalanan pembinaan ini, dalam terang Sabda Allah, mengarahkan kehidupan pasangan-pasangan muda untuk lebih sadar akan anugerah dan misi yang diterima.

c. Katekese orang tua yang memohon Pembaptisan bagi anak-anak: komunitas, dalam diri para katekis, hendaklah mempunyai perhatian untuk menerima, mendengarkan dan memahami alasan-alasan permintaan orang tua, mempersiapkan suatu program yang tepat supaya mereka dapat membangkitkan rahmat karunia iman yang telah mereka terima. Baiklah bahwa bapak dan ibu baptis juga dilibatkan dalam program ini dan bahwa program ini dapat berlangsung dalam rentang waktu yang cukup.

d. Katekese orang-tua yang anak-anak mereka mengikuti program inisiasi Kristiani: komunitas membantu keterlibatan orang-tua dalam program inisiasi anak-anak mereka, yang bagi beberapa orang menjadi momentum untuk pendalaman iman, dan bagi mereka yang lain menjadi satu ruang autentik untuk pewartaan pertama.

e. Katekese antargenerasi memandang bahwa peziarahan iman merupa[1]kan suatu pengalaman pembinaan yang tidak diarahkan kepada usia tertentu, tetapi terbagi di antara berbagai generasi dalam suatu keluarga atau komunitas, dengan mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam tahun liturgis. Program ini meningkatkan pertukaran pengalaman iman di antara generasi, dengan mengambil inspirasi dari komunitas-komunitas Kristiani perdana.

 

f. Katekese dalam kelompok-kelompok pasangan suami-istri dan kelompok-kelompok keluarga mempunyai sebagai pelaku, pasangan-pasangan suami-istri itu sendiri. Proses katekese itu sendiri bermaksud mengembangkan suatu spiritualitas perkawinan dan keluarga, yang mampu membangun kembali semangat dan dorongan kepada hidup perkawinan, dengan menemukan kembali dimensi perkawinan dari perjanjian antara Allah dan manusia dan peran keluarga dalam pembangunan Kerajaan Allah.

Situasi baru dalam keluarga

233. Kerawanan dan ketidakpastian proses-proses sosial dan budaya yang sedang berlangsung telah mengubah, antara lain, pengertian dan realitas keluarga. Krisis perkawinan dan keluarga semakin meningkat, yang sering kali diselesaikan dengan «memunculkan relasi baru, pasangan baru, kesatuan baru dan perkawinan baru, dengan menciptakan situasi keluarga yang kompleks dan problematik bagi pilihan Kristiani.» Terlepas dari segala luka, pengosongan makna transendental dan kerapuhan-kerapuhan yang menjadi cirinya, namun masih ada semacam kerinduan akan keluarga, sebab ada banyak orang, yang merasakan nilainya, masih mencarinya dan ingin membangunnya kembali.

234. Dengan perhatian, rasa hormat dan perhatian pastoral, Gereja mau mendampingi anak-anaknya yang ditandai oleh cinta yang terluka, yang menemukan diri mereka dalam kondisi yang lebih rapuh, dengan memulihkan kembali kepercayaan dan pengharapan mereka. «Dalam perspektif pedagogi ilahi ini, Gereja menaruh kasih pada orang-orang yang berpartisiasi dalam hidupnya dengan cara yang belum sempurna: bersama mereka memohonkan rahmat pertobatan bagi mereka, mendorong mereka untuk berbuat baik, untuk saling memperhatikan dengan penuh kasih dan untuk melayani masyarakat di mana mereka tinggal dan bekerja.» Penting bahwa setiap komunitas Kristiani memandang secara realistis berbagai realitas keluarga, dengan terang dan bayang-bayang gelap mereka, agar dapat mendampingi mereka secara tepat dan mengenali kompleksitas situasi-situasi, tanpa menyerah pada bentuk-bentuk idealisme dan pesimisme. Pada dasarnya, «ini adalah soal menjangkau setiap orang, setiap orang harus dibantu menemukan jalannya sendiri untuk ambil bagian dalam komunitas Gereja karena ia merasa sebagai subjek belas kasih yang tidak semestinya diberikan, tanpa syarat dan cuma-cuma.»

235. Mendampingi dalam iman dan mengantar kepada kehidupan komunitas situasi-situasi yang tidak biasa «memerlukan adanya perhatian yang sungguh-sungguh kepada setiap orang dan rencana yang dimiliki Tuhan baginya» dengan suatu gaya kedekatan, sikap mendengarkan dan memahami. Selain pendampingan rohani pribadi, para katekis hendaklah menemukan jalan-jalan dan cara-cara untuk menyokong partisipasi saudara-saudara ini juga dalam katekese: dalam kelompok-kelompok khusus yang dibentuk oleh pribadi-pribadi yang berbagi pengalaman perkawinan atau keluarga yang sama; atau dalam kelompok-kelompok keluarga atau orang-orang dewasa yang sudah ada. Dengan demikian, mungkin dihindarkan bentuk-bentuk kesepian dan diskriminasi dan membangkitkan keinginan untuk menerima dan menjawab cinta kasih Allah.

2

KATEKESE BERSAMA ANAK-ANAK DAN KAUM REMAJA

236. «Tahap usia ini, yang secara tradisional dibedakan ke dalam masa kanak-kanak awal atau usia prasekolah dan masa kanak-kanak, dalam pandangan iman dan nalar, memiliki rahmat awal kehidupan», yang dicirikan dengan kesederhanaan dan penerimaan yang tulus. Santo Agustinus sudah menunjukkan masa bayi dan masa kanak-kanak  merupakan saat-saat belajar dialog dengan Sang Guru yang berbicara dalam hatinya. Sejak usia dini anak harus dibantu untuk mengenal dan

mengembangkan pemahaman tentang Allah dan intuisi alamiah tentang eksistensi-Nya (bdk. GE 3). Sesungguhnya antropologi dan pedagogi menegaskan bahwa anak mampu mengenal Allah dan bahwa pertanyaan[1]pertanyaannya tentang makna hidup juga muncul ketika orang tua kurang memperhatikan pendidikan agama. Anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pengertian yang terkait dengan penciptaan, identitas Allah, tentang mengapa ada kebaikan dan kejahatan dan mereka mampu bergembira di hadapan misteri kehidupan dan cinta kasih.

237. Studi-studi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial-psikologi-pedagogi dan komunikasi sangat membantu dalam menggambarkan ciri-ciri konkret anak-anak, yang memiliki situasi hidup yang sangat beraneka ragam dalam berbagai konteks geografis. Sesungguhnya, faktor-faktor sosial dan budaya sangatmempengaruhi kondisi anak-anak dan para remaja, persepsi ke[1]butuhan mereka oleh orang-orang dewasa, cara-cara untuk memahami dan menghidupi dinamika-dinamika keluarga, pengalaman sekolah, relasi dengan masyarakat dan hubungan dengan iman. Secara khusus, perlu dipertimbangkan kondisi digital natives (mereka yang lahir dan hidup dalam teknologi digital) yang menandai sebagian besar anak-anak di dunia. Ini adalah suatu fenomena global, yang konsekuensi-konsekuensinya belum dapat dipahami secara jelas, namun yang sudah tentu sedang mengubah cara-cara berpikir dan berelasi generasi-generasi baru, yang dengan cara tertentu juga mempengaruhi dorongan alami kepada pengalaman religius.

238. Sama pentingnya juga mempertimbangkan bahwa ada banyak anak dan remaja yang sangat terdampak oleh rapuhnya ikatan-ikatan dalam keluarga, meskipun dalam situasi kesejahteraan ekonomi yang baik; yang lain, sebaliknya, saat ini masih hidup dalam keadaan lingkungan yang sangat ditandai dengan kemiskinan, kekerasan dan ketidakstabilan. Anak[1]anak ini, yang karena berbagai alasan menderita kekurangan acuan yang aman untuk kehidupan, sering kali kemungkinan untuk mengenal dan mengasihi Allah juga berkurang. Komunitas gerejawi hendaklah mampu berdialog dengan para orang tua jika mungkin, dengan mendukung mereka dalam tugas pendidikan mereka; disamping itu, hendaklah ia hadir dan selalu siap sedia untuk memberikan kepedulian keibuan dan perhatian-perhatian konkret lainnya: inilah pewartaan yang pertama dan mendasar tentang kebaikan yang diselenggarakan Allah.

239. Masa kanak-kanak awal, atau usia prasekolah, adalah waktu yang menentukan untuk menemukan realitas religius, di mana dipelajari dari orang tua dan dari lingkungan kehidupan suatu sikap keterbukaan, penerimaan, atau antipati dan ketertutupan terhadap Allah. Juga dipelajari pengetahuan-pengetahuan awal tentang iman: suatu penemuan pertama akan Bapa yang ada di surga, yang baik dan menyelenggarakan hidup, yang kepada-Nya diarahkan hati dan suatu sikap cinta kasih dan penghormatan; nama Yesus dan Maria dan beberapa cerita tentang momen-momen utama kehidupan Tuhan Yesus; tanda-tanda, simbol-simbol dan sikap-sikap religius. Dalam konteks ini jangan dipandang rendah nilai perayaan[1]perayaan utama dari tahun liturgi, misalnya, dengan membuat gua natal di dalam keluarga-keluarga sebagai persiapan untuk Natal, dapat memungkinkan anak mengalami bentuk katekese melalui partisipasi langsung dalam misteri inkarnasi. Ketika seorang anak sejak kecil, di dalam keluarga atau dalam lingkungan lain perkembangannya, berkontak dengan berbagai aspek hidup kristiani, ia menerima dan menginternalisasi suatu bentuk awal sosialisasi religius sebagai persiapan kepada sosialisasi selanjutnya dan kepada perkembangan suara hati moral Kristiani. Lebih dari katekese dalam pengertiannya yang sebenarnya, pada usia ini menyangkut evangelisasi pertama dan pewartaan iman dalam bentuk pendidikan yang lebih tinggi, menaruh perhatian untuk mengembangkan rasa percaya, kemurahan hati, pemberian diri, doa permohonan dan partisipasi, sebagai kondisi manusiawi di mana ditanamkan kekuatan iman yang menyelamatkan.

240. Masa kanak-kanak (6-10 tahun) sesuai tradisi yang sudah lama diterima di banyak negara, merupakan periode di mana inisiasi Kristiani  yang dimulai dari Pembaptisan dilaksanakan di paroki. Proses perjalanan seluruh inisiasi Kristiani bertujuan untuk memperkenalkan peristiwa[1]peristiwa utama dari sejarah keselamatan yang akan menjadi objek refleksi yang lebih dalam pada usia-usia selanjutnya dan untuk menyadari secara bertahap identitasnya sendiri sebagai orang yang dibaptis. Dengan katekese inisiasi Kristiani dimaksudkan untuk pengenalan awal iman (pewartaan pertama) dan dengan proses inisiasi anak-anak diantar ke dalam kehidupan Gereja dan kepada perayaan sakramen-sakramen. Katekese, yang tidak terpisah-pisah tetapi disampaikan berkesinambungan sepanjang proses perjalanan yang menawarkan dalam bentuk mendasar semua misteri kehidupan Kristiani dan pengaruh misteri-misteri itu dalam suara hati moral, memperhatikan juga kondisi-kondisi kehidupan anak-anak dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang makna. Sesungguhnya, sepanjang proses perjalanan inisiasi diwartakan suatu pengajaran tentang kebenaran iman yang diperkuat dengan kesaksian komunitas, partisipasi dalam liturgi, perjumpaan dengan sabda Yesus dalam Kitab Suci, permulaan karya cinta kasih. Konferensi para Uskup memiliki wewenang menetapkan rentang waktu dan cara-cara pelaksanaan proses inisiasi ke dalam hidup Kristiani dan pemberian sakramen-sakramen.

241. Masa kanak-kanak juga merupakan tahap memasuki dunia sekolah dasar. Anak, yang kemudian menjadi remaja, masuk dalam suatu komunitas yang lebih besar dari keluarga, di mana ia memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual, emosional, dan relasional. Ternyata, di banyak negara di dunia, di sekolah diberikan pengajaran khusus agama dan, dalam beberapa kasus, terdapat peluang untuk melaksanakan katekese inisiasi ke dalam hidup Kristiani dan sakramen-sakramen di sekolah, menurut petunjuk-petunjuk dan arahan Uskup setempat. Dalam konteks-konteks seperti itu, kerja sama di antara katekis-katekis dan guru-guru merupakan sumber daya pendidikan yang penting dan kesempatan yang menguntungkan untuk membuat suatu komunitas orang-orang dewasa tampil sebagai saksi-saksi iman.

242. Kebutuhan untuk membuat proses inisiasi Kristiani sebagai pengantar pengalaman autentik kepada keseluruhan hidup beriman, membuat kita memandang katekumenat sebagai sumber inspirasi yang sangat penting. Sangat tepatlah suatu inisiasi Kristiani yang direncanakan menurut model formatif katekumenat namun dengan kriteria, isi dan metodologi yang sesuai bagi anak-anak. Penyampaian pengembangan proses inisiasi Kristiani bagi anak-anak remaja yang diilhami oleh masa katekumenat mempertimbangkan waktu, ritus-ritus masa peralihan dan partisipasi aktif pada meja Ekaristi yang menjadi puncak proses inisiasi. Dalam pelaksanaannya katekis-katekis bertanggung jawab membalikkan pandangan tradisional yang lebih memandang anak sebagai objek pelayanan dan perhatian pastoral komunitas, dan mengambil perspektifuntuk mendidik anak secara bertahap, menurut kemampuan-kemampuannya, agar menjadi pelaku aktif di dalam dan di luar komunitas. Selain itu, inspirasi katekumenal memungkinkan untuk mempertimbangkan kembali peran utama keluarga dan seluruh komunitas terhadap anak-anak, dengan mengaktifkan proses-proses evangelisasi timbal balik di antara berbagai subjek gerejawi yang terlibat.

243. Setiap Gereja lokal, melalui kantor-kantor dan badan-badan yang dibentuk, diminta untuk memperhitungkan situasi di mana anak-anak tinggal dan mempelajari cara-cara dan proses inisiasi dan kateketis yang lebih tepat untuk membuat mereka lebih sadar akan keberadaan mereka sebagai anak-anak Allah dan sebagai anggota-anggota Gereja, keluarga Allah, yang pada hari yang dipersembahkan kepada Tuhan berkumpul untuk merayakan Paskah-Nya.

3

KATEKESE DALAM REALITAS KAUM/ORANG MUDA

244. Ada suatu hubungan mendalam antara kemungkinan usulan pembaruan iman kepada orang muda dan kesiapsediaan Gereja untuk memudakan dirinya, untuk mengusahakan tetap dalam proses pertobatan spiritual, pastoral dan misioner. «Kemampuan [dari orang-orang muda] untuk membawa pembaruan, mendesak, menuntut konsistensi dan kesaksian, untuk kembali bermimpi dan menciptakan hal-hal baru» dapat membantu komunitas gerejawi untuk memahami perubahan-perubahan budaya pada zaman kita dan untuk menumbuhkan kepercayaan dan pengharapan. Seluruh komunitas mempunyai tugas meneruskan iman dan memberi kesaksian tentang kemungkinan untuk berjalan dalam hidup bersama Kristus. Kedekatan Tuhan Yesus bersama dengan dua murid dari Emaus, perjalanan bersama-Nya, sambil berdialog, mendampingi dan membantu untuk membuka mata mereka, merupakan sumber inspirasi untuk berjalan bersamadengan orang-orang muda. Dalam dinamika[1]dinamika ini, Injil harus diwartakan kepada dunia orang muda dengan keteguhan hati dan kreativitas, hendaklah diusulkan jugahidup sakramental dan pendampingan spiritual. Berkat perantaraan Gereja, orang-orang muda akan dapat menemukan cinta pribadi Bapa dan persaudaraan dengan Yesus Kristus dan menghayati fase hidup ini, yang amat «pantas untuk cita[1]cita yang besar, heroisme yang murah hati, tuntutan-tuntutan pikiran dan tindakan yang koheren.»

245. Katekese dalam dunia orang muda selalu perlu diperbarui, diperkuat dan dilaksanakan dalam konteks pelayanan pastoral orang muda yang lebih luas. Katekese orang muda perlu memiliki ciri: dinamika-dinamika pastoral dan relasional dari sikap mendengarkan, hubungan timbal balik, tanggung jawab bersama dan pengakuan kepada orang muda sebagai pelaku utama. Meskipun tidak ada batasan-batasan yang jelas dan pendekatan[1]pendekatan khas tiap-tiap budaya sangat menentukan, bergunalah mem[1]bedakan usia orang muda antara usia praremaja, remaja, muda dan dewasa-muda. Sangat pentinglah untuk mendalami studi tentang dunia orang muda, dengan menggunakan sumbangan-sumbangan penelitian ilmiah dan mempertimbangkan situasi di berbagai negara. Suatu per[1]timbangan umum berkaitan dengan pertanyaan tentang bahasa orang[1]orang muda. Pada umumnya, generasi-generasi baru sangat ditandai oleh media sosial dan apa yang disebut dunia virtual. Media sosial menawarkan kesempatan-kesempatan yang tidak dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya, namun pada saat yang sama mendatangkan risiko-risiko. Sangat penting mempertimbangkan bagaimana pengalaman tentang relasi-relasi yang dimediasi secara teknologis membentuk konsep tentang dunia, realitas dan hubungan-hubungan antarpribadi. Maka, ditegaskan perlunya kegiatan pastoral untuk menyesuaikan katekese dengan orang-orang muda, yang mampu menerjemahkan pesan Yesus ke dalam bahasa mereka.

Katekese bersama anak-anak praremaja (10-14 tahun)

246. Ada banyak tanda yang menganggap masa praremaja sebagai suatu tahap kehidupan yang dicirikan dengan dinamika peralihan dari suatu situasi yang telah dikenal dan aman kepada sesuatu yang baru dan belum dijelajahi. Hal itu di satu pihak dapat menimbulkan kegairahan dan antusiasme, namun di lain pihak bisa membangkitkan perasaan kekacauan dan kebingungan. Masa praremaja dicirikan tepatnya dengan campuran emosi-emosi yang kontradiktif dan berubah-ubah, yang sebenarnya muncul dari kebutuhan untuk mengukur diri sendiri, mencoba-coba, menguji diri sendiri, untuk mendefinisikan ulang– sebagai pelaku utama dan mandiri –jati diri yang ingin dilahirkan kembali. Sesungguhnya, dalam periode ini, yang disertai oleh perkembangan kuat dalam dimensi fisik dan emosi, mulai terbentuk proses personalisasi individu yang perlahan dan melelahkan.

247. Masa praremaja juga merupakan waktu yang di dalamnya diolah kembali gambaran tentang Allah yang diterima pada masa kanak-kanak: untuk ini, penting bahwa katekese mendampingi dengan hati-hati masa peralihan yang sulit ini demi kemungkinan perkembangannya di masa

mendatang, juga dengan menggunakan penelitian-penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan dan sarana-sarananya. Dengan tidak takut mengarahkan pada  hal yang esensial, penyampaian iman bagi anak-anak praremaja hendaknya memberi perhatian untuk menabur di dalam hati mereka benih-benih visi tentang Allah yang selanjutnya akan menjadi matang: kerygma akan menceritakan secara khusus tentang Yesus Kristus sebagai Saudara yang mengasihi, Teman yang membantu untuk menghayati dengan lebih baik relasi-relasi, tidak menghakimi, setia, menghargai kemampuan-kemampuan dan mimpi-mimpi, dengan memenuhi kerinduan-kerinduan akan keindahan dan kebaikan. Selain itu, katekese diundang untuk mengakui peran utama dari anak-anak praremaja, untuk menciptakan lingkungan relasi-relasi kelompok yang bermakna, untuk memberi ruang kepada pengalaman, untuk menciptakan suasana yang di dalamnya diterima pertanyaan[1]pertanyaan yang memampukannya berinteraksi dengan penyampaian Injil. Anak-anak praremaja dapat masuk dengan lebih mudah dalam dunia pengalaman Kristiani sambil menemukan bahwa Injil menyentuh dinamika relasional dan afektif yang sangat peka baginya. Katekis, yang mampu untuk percaya dan berharap, memperhatikan dengan sungguh-sungguh kebimbangan-kebimbangan dan kecemasan-kecemasan anak-anak pra[1]remaja, dengan menjadipendamping yang bijaksana namun tetap hadir bersama mereka.

Katekese bersama kaum remaja

248. Masa remaja merupakan satu periode kehidupan yang berlangsung dari kira-kira usia 14 sampai dengan 21 tahun dan yang kadang-kadang berlangsung lebih lama daripada itu. Masa ini dicirikan dengan dorongan kepada kemandirian dan, pada saat yang sama, dengan rasa takut untuk mulai mengambil jarak dari lingkungan keluarga; masa ini menentukan pergolakan terus-menerus antara luapan antusiasme dan keinginan kembali ke masa sebelumnya. «Para remaja berada dalam perjalanan, dalam peralihan. […] Mereka benar-benar mengalami ketegangan ini, pertama-tama dalam diri mereka sendiri dan kemudian dengan siapa saja di sekitarnya», tetapi «masa remaja bukanlah suatu patologi yang harus kita perangi. Masa ini menjadi bagian dari pertumbuhan yang normal, alamiah dari kehidupan anak-anak kita.» Dengan demikian, komunitas dan katekis akan memperhatikan untuk mengembangkan ruang batin untuk pencarian kebebasan dari para remaja, tanpa penghakiman dan dengan semangat mendidik yang tulus, dengan mulai menyalurkannya kepada suatu rencana hidup yang terbuka dan berani.

249. Dalam perjalanan iman mereka, para remaja perlu didampingi oleh saksi-saksi yang meyakinkan dan menarik. Salah satu dari tantangan-tantangan katekese adalah justru berkaitan dengan kurangnya kesaksian iman yang dihayati di dalam keluarga-keluarga dan lingkungan-lingkungan masyarakat dari mana mereka berasal. Di samping itu, ketidaktertarikan yang sering terjadi dalam kehadiran di Gereja pada usia remaja tidak terlalu bergantung pada kualitas dari apa yang telah diberikan pada usia kanak-kanak –meskipun semua ini penting–tetapi terutama adanya program yang menggembirakan dan bermakna bagi usia remaja. Pada saat yang sama, para remaja sangat menekankan keaslian figur-figur dewasa dan membutuhkan imam-imam, orang-orang dewasa dan orang-orang muda yang lebih dewasa yang memperlihatkan iman yang dihidupi dengan kegembiraan dan konsistensi. Akan menjadi tanggung jawab komunitas untuk memilih orang-orang yang lebih bersedia untuk menyelaraskan diri dengan dunia para remajademi pelayanan katekese, dengan meneranginya dengan cahaya dan kegembiraan iman. Pentinglah bahwa katekese hendaknya dilaksanakan dalam pelayanan pastoral kaum muda dan dengan nuansa pendidikan dan panggilan yang kuat, dalam konteks komunitas Kristiani dan lingkungan-lingkungan kehidupan lain dari para remaja.

Katekese bersama orang-orang muda

250. Perubahan budaya dan sosial yang cepat juga berdampak bagi orang[1]orang muda. Di beberapa bagian dunia, pengkondisian-pengkondisian masyarakat konsumeristis dan meritokratis mendorong banyak orang untuk mencapai tingkat studi spesialisasi untuk mencapai tujuan-tujuan profesional berkualitas. Inilah sebabnya banyak orang muda merasa perlu pindah untuk menjalani pengalaman-pengalaman kerja dan studi yang lebih khusus. Namun sebaliknya, banyak orang muda yang lain karena kekurangan pekerjaan, jatuh ke dalam perasaan tidak aman, yang dengan mudah menimbulkan kekecewaan dan kebosanan dan, kadang-kadang, sampai kepada kesedihan yang mendalam dan depresi. Sebaliknya di negara-negara yang ditandai oleh keterbelakangan ekonomi yang berkepanjangan dan oleh konflik-konflik, yang menyebabkan gerakan-kerakan migrasi yang besar, orang-orang muda merasakan kehilangan pengharapan untuk masa depan mereka dan dipaksa masuk dalam kondisi kehidupan yang sering kali memalukan.

251. Dari sudut pandang pengalaman religius, ada variasi yang sangat besar. Banyak orang muda menunjukkan suatu dorongan kepada pencarian akan makna, solidaritas dan tanggung jawab sosial. Mereka seringkali terbuka kepada praktik-praktik religius dan peka akan berbagai spiritualitas. Terkait dengan pengalaman gerejawi, dalam fase kehidupan ini, banyak yang menjauhkan diri dari Gereja atau menunjukkan sikap acuh tak acuh atau skeptis terhadapnya. Di antara sebab-sebab yang ada, perlu dipertimbangkan kurangnya kesaksian, kredibilitas, dukungan spiritual dan moral dari pihak keluarga, atau katekese yang kurang mencukupi dan komunitas Kristiani yang kurang berarti. Meskipun demikian, benar juga bahwa banyak orang muda secara aktif dan dengan antusiasme mengambil bagian pada kehidupan Gereja, pada semua pengalaman misioner dan pelayanan Gereja dan mereka menjalankan suatu kehidupan doa yang autentik dan intens.

252. Tuhan Yesus, yang «telah menguduskan masa muda dengan fakta bahwa Ia telah menghidupinya sendiri», dengan menjumpai orang-orang muda dalam perjalanan pelayanan publik-Nya, menunjukkan kepada mereka kebaikan Bapa, berbicara kepada mereka dan mengundang mereka kepada kehidupan yang penuh. Gereja, dengan menunjukkan perhatian yang sama dari Yesus, ingin mendengarkan orang-orang muda dengan  kesabaran, memahami kecemasan-kecemasan mereka, berdialog dengan setulus hati, mendampingi mereka dalam membuat disermen atas rencana hidup mereka. Maka, pelayanan pastoral orang muda dari Gereja akan menjadi, pertama-tama, animasi yang bersifat manusiawi dan misioner, mampu mengenali dalam pengalaman manusiawi tanda-tanda cinta kasih Allah dan panggilan-Nya. Dalam terang iman, pencarian akan kebenaran dan kebebasan, keinginan untuk mencintai dan dicintai, aspirasi-aspirasi pribadi dan komitmen yang menggairahkan untuk orang lain dan dunia menemukan makna sejatinya. Dalam membantu orang-orang muda untuk menemukan, mengembangkan dan menghidupi rencana hidup mereka menurut Allah, pelayanan pastoral orang muda akan tahu mengambil gaya-gaya dan strategi-strategi yang baru. «Reksa pastoral orang muda perlu menjadi lebih fleksibel dan mengajak orang-orang muda untuk mengikuti berbagai acara yang memberi mereka ruang tidak hanya untuk belajar, tetapi juga memungkinkan mereka untuk membagikan hidup, bergembira, bernyanyi, mendengarkan kesaksian nyata dan mengalami perjumpaan komunitas dengan Allah yang hidup.» Maka, katekese bersama orang-orang muda juga akan didefinisikan ulang dengan nada gaya pastoral ini.

253. Setiap program pembinaan, yang berkaitan dengan pembinaan liturgis, spiritual, doktrinal dan moral, akan «terpusat pada dua pokok utama: pertama adalah pendalaman kerygma, pengalaman mendasar perjumpaan dengan Allah melalui Kristus yang mati dan bangkit. Yang lain adalah pertumbuhan dalam kasih persaudaraan, dalam hidup komunitas, dalam pelayanan.» Maka, katekese akan menyajikan pewartaan tentang Paskah Kristus, kemudaan dunia yang sesungguhnya, sebagai inti makna untuk membangun jawaban panggilan di sekitarnya. Dimensi panggilan dari katekese orang muda menuntut bahwa program pembinaan hendaknya dilakukan dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman hidup. Perlu diapresiasi fakta bahwa seringkali perjalanan iman orang-orang muda dihubungkan juga oleh keanggotaannya pada suatu perkumpulan atau pada suatu gerakan gerejawi. Sesungguhnya, dinamika kelompok memungkinkan bagi katekese untuk tetap berkaitan erat dengan pengalaman konkret.

254. Selain proses-proses kateketik yang teratur dan terstruktur, hendaklah dikembangkan juga katekese yang kadang dilakukan di lingkungan kehidupan orang-orang muda: sekolah, universitas, perkumpulan budaya dan rekreatif. Di antara pengalaman-pengalaman untuk disampaikan, selain acara-acara di tingkat keuskupan, nasional dan benua, hendaklah diingat Hari Orang Muda Sedunia, yang merupakan kesempatan untuk menyapa banyak orang muda yang tidak terjangkau dengan cara lain. Baik bahwa, dalam rangka persiapan Hari Orang Muda Sedunia dan pelaksanaannya, para imam dan katekis hendaknya mengembangkan program-program yang memungkinkan untuk menghidupi pengalaman iman ini secara penuh. Dan janganlah dilupakan daya tarik yang diberikan oleh ziarah Hari Orang Muda Sedunia kepada begitu banyak orang muda: bergunalah jikalau peristiwa ini dihayati sebagai momen katekese.

255. Haruslah dihargai sumbangan, kreativitas dan tanggung jawab bersama yang diberikan oleh orang-orang muda untuk katekese. Pelayanan katekese kepada orang-orang yang lebih kecil adalah suatu dorongan untuk pertumbuhan mereka dalam iman. Hal ini mengajak komunitas Kris[1]tiani memberi perhatian khusus kepada pembinaan katekis-ketekis muda: «Perlu juga pembaruan komitmen para katekis, yang sering kali adalah orang muda melayani orang muda lain, yang hampir seusia. Sangatlah penting memperhatikan dengan tepat pendampingan mereka serta membuat agar pelayanan mereka itu semakin diakui oleh komunitas.»

256. Sekarang Gereja menaruh perhatian lebih besar kepada peralihan dari usia muda kepada usia dewasa. Dibandingkan dengan masa lalu yang masih cukup baru, bagi banyak orang muda, masuknya ke dalam masa dewasa kehidupan terjadi selalu lebih terlambat, terutama di beberapa konteks sosial. Transisi ini menunjukkan bahwa sering kali kita mendapati diri berhadapan dengan pribadi-pribadi yang, meskipun memiliki semua persyaratan untuk menjalani kehidupan dewasa (usia, gelar pendidikan, kehendak untuk menampilkan diri), tidak menemukan keadaan yang menguntungkan untuk mewujudkan keinginan mereka secara efektif, dan mereka tidak menikmati kondisi pekerjaan dan ekonomis yang stabil yang memungkinkan untuk membentuk keluarga. Tentu situasi ini berdampak pada dunia batiniah dan emosional mereka. Maka, harus dipikirkan cara[1]cara baru dari kegiatan pastoral dan katekese yang dapat membantu komunitas Kristiani untuk berinteraksi bersama orang-orang muda dewasa, dengan menyokong mereka dalam proses perkembangan mereka.

4

KATEKESE BERSAMA ORANG-ORANG DEWASA

257. Kondisi orang dewasa sekarang ini amat kompleks. Dibandingkan dengan masa lampau, umur hidup ini dimengerti tidak lagi sebagai keadaan yang sudah mencapai kemapanan, tetapi sebagai suatu proses restrukturisasi terus menerus yang memperhitungkan evolusi sensibilitas pribadi, jalinan relasi-relasi, tanggung jawab yang menjadi panggilan pribadi tersebut. Dalam dinamisme yang hidup ini yang di dalamnya tercakup faktor-faktor keluarga, budaya dan sosial, orang dewasa merumuskan kembali terus-menerus jati dirinya sendiri, dengan menanggapi secara kreatif berbagai momen peralihan yang ditemukan untuk dihayati. Dinamika menjadi dewasa secara tak terelakkan mau tak mau juga meliputi dimensi religius, karena tindakan iman sebagai proses batiniah terkait erat dengan kepribadiannya. Sesungguhnya, dalam tahap-tahap umur dewasa, iman itu adalah panggilan untuk mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda, untuk mengembangkan dan mematangkannya supaya menjadi tanggapan autentik dan berkelanjutan terhadap tantangan-tantangan kehidupan. Oleh karena itu, setiap kemungkinan proses perjalanan iman bersama orang-orang dewasa menuntut bahwa pengalaman-pengalaman hidup bukan hanya dipertimbangkan, tetapi direfleksikan dalam terang iman sebagai kesempatan dan, karena itu, diintegrasikan ke dalam proses pembinaan.

258. Kaitan antara orang-orang dewasa dengan persoalan iman amat bervariasi dan benar bahwa setiap orang hendaklah diterima dan didengarkan sesuai dengan kekhasannya. Tanpa mengurangi kekhasan setiap situasi, dimungkinkan untuk mempertimbangkan beberapa tipe orang-orang dewasa yang menghidupi iman dengancara yang berbeda-beda:

- orang-orang beriman dewasa yang menghayati iman mereka dan ingin mendalaminya;

- orang-orang dewasa, meskipun dibaptis, tidak dibina secara memadai atau tidak menyelesaikan seluruh inisiasi kristiani dan mereka itu dapat disebut quasi katekumen;

- orang-orang dewasa yang dibaptis yang, meskipun biasanya tidak menghayati imannya, mereka masih mengupayakan hubungan dengan komunitas gerejawi pada beberapa momen khusus kehidupan mereka;

- orang-orang dewasa yang berasal dari denominasi kristen lain atau pengalaman agama-agama lain;

- orang-orang dewasa yang kembali kepada iman Katolik setelah mendapat pengalaman dari gerakan-gerakan religius baru;

- orang-orang dewasa yang belum dibaptis, kepada siapa ditujukan katekumenat yang sebenarnya.

259. Tugas untuk mematangkan iman pembaptisan menjadi tanggung jawab pribadi yang terutama harus dirasakan oleh orang dewasa sebagai prioritas, karena ia dilibatkan dalam suatu proses pembentukan identitas pribadinya yang berkelanjutan. Tugas ini, sebagai tugas setiap orang, dalam masa dewasa diperhadapkan dengan berbagai tanggung jawab di dalam keluarga dan masyarakat sebab untuk itu juga ia dipanggil dan bahwa semua tanggung jawab itu dapat menimbulkan saat-saat krisis, bahkan yang mendalam. Karena itu, juga dalam usia dewasa ini dan dengan penekanan-penekanan tertentu, pendampingan dan pertumbuhan dalam iman sangat perlu bagi orang dewasa supaya mematangkan kebijaksanaan spiritual yang menerangi dan menyatukan banyak pengalaman dalam kehidupan pribadi, keluarga dan sosialnya.

260. Oleh karena itu, katekese bersama orang-orang dewasa merupakan suatu proses pembelajaran personal dan komuniter, yang bertujuan untuk memperoleh suatu mentalitas iman «sampai mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus» (Ef 4:13). Karena itu, tujuan utamanya adalah pembinaan dan pematangan hidup dalam Roh, menurut prinsip-prinsip kebertahapan dan progresivitas, agar warta Injil diterima dalam dinamika transformatifnya dan, karena itu mampu mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial. Pada akhirnya, katekese bersama orang-orang dewasa mencapai tujuannya jika memampukan mereka mengambil pengalaman imannya sendiri dan bersemangat untuk terus berjalan dan bertumbuh.

261. Tugas umum katekese dengan orang-orang dewasa meminta supaya disusun dengan mengacu kepada beragam tipe pribadi dan pengalaman-pengalaman religius orang-orang yang dituju katekese itu. Sesungguhnya, tugas-tugas khusus selanjutnya, yang juga dapat menjawab suatu tahap

kronologis, sebenarnya menunjukkan usaha terus-menerus dari pihak komunitas gerejawi untuk menempatkan diri di hadapan orang-orang dewasa, dengan berusaha memahami situasi kehidupan konkret mereka dan mendengarkan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan yang riil.

Oleh karena itu, tugas-tugas khusus katekese bersama dengan orang-orang dewasa:

a. membangkitkan iman, dengan mendukung suatu awal baru pengalaman beriman dan tahu menghargai sumber-sumber daya manusiawi dan spiritual yang tak pernah padam dalam jiwa setiap pribadi, dilihat sebagai pemulihan kembali yang bebas dan personal motivasi awal dalam kondisi-kondisi ketertarikan, antusiasme dan kehendak;

b. memurnikan iman dari gambaran-gambaran religius yang parsial, menyesatkan atau salah, dengan membantu para subjek untuk terutama mengakui kelemahan-kelemahan gambaran-gambaran itu dan memutuskan untuk mencari sintesis iman yang lebih autentik demi perjalanan menuju kepenuhan hidup seturut panggilan Injil;

c. memelihara iman berkat menghidupi pengalaman relasi-relasi gerejawi yang bermakna, dengan mengembangkan pembentukan suara hati Kristiani yang matang, yang mampu memberikan penjelasan tentang pengharapan pribadi dan bersiap untuk suatu dialog yang tenang dan cerdas dengan budaya kontemporer;

d. membantu membagikan dan menyaksikan iman, dengan menyiapkan ruang-ruang untuk berbagi bersama dan pelayanan dalam Gereja dan dalam dunia sebagai pemenuhan tugas mewujudkan Kerajaan Allah.

Ringkasnya, katekese bersama orang-orang dewasa memiliki tugas untuk mendampingi dan mendidik pembentukan karakter-karakter khas orang Kristiani dewasa dalam iman, murid Tuhan Yesus, di dalam suatu komunitas Kristiani yang mampu mewujudkan diri keluar, yakni komunitas yang masuk ke dalam realitas sosial dan budaya demi kesaksian iman dan perwujudan Kerajaan Allah.

262. Supaya katekese bersama orang-orang dewasa bermakna dan mampu mencapai tujuan-tujuannya, pentinglah mempertimbangkan beberapa kriteria berikut ini.

a. Sangat penting bahwa katekese ini, yang diilhami oleh pengalaman misioner katekumenat, hendaknya menjadi ekspresi komunitas gerejawi secara keseluruhan, sebagai rahim yang melahirkan iman. Karena komunitas Kristiani merupakan unsur struktural dari proses katekese orang dewasa dan bukan sekadar ruang lingkupnya, perlulah bahwa katekese ini mampu membarui, dengan memungkinkannya menjangkau dan membangkitkan kepekaan orang-orang dewasa zaman sekarang, selain mampu menerima, hadir, dan mendukung.

b. Karena katekese orang-orang dewasa digambarkan sebagai suatu proses pendidikan kehidupan kristiani secara keseluruhan, penting bahwa katekese ini memberikan pengalaman-pengalaman hidup iman yang nyata dan berkualitas (pendalaman Kitab Suci dan doktrin; momen spiritualitas, perayaan-perayaan liturgis dan praktek kesalehan umat; pengalaman akan persaudaraan gerejawi; praktik misioner amal kasih dan kesaksian dalam dunia …), yang menjawab berbagai kebutuhan manusia seutuhnya, yakni afeksi, pikiran dan relasi.

c. Orang-orang dewasa tidak dipandang sebagai penerima katekese, melainkan pelaku bersama-sama para katekis sendiri. Maka, pentinglah dilakukan penerimaan penuh hormat kepada orang dewasa sebagai pribadi yang telah mengembangkan pengalaman-pengalaman dan keyakinan juga di tingkat iman dan yang mampu menjalankan kebebasannya sendiri, dan menjadi matang dalam dialog keyakinan baru. (dengan mematangkan keyakinan-keyakinan baru dalam dialog)

d. Katekese dengan orang-orang dewasa hendaknya sungguh-sungguh mengenali situasi mereka sebagai perempuan dan laki-laki, dengan mempertimbangkan kekhasan setiap orang dalam menghayati pengalaman imannya; selain itu, penting memperhatikan kondisi sebagai awam dari orang-orang dewasa, yang dipanggil dengan Pembaptisan untuk «mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah» (LG 31).

e. Pentinglah menjaga koordinasi katekese bersama orang-orang dewasa, khususnya dengan karya pastoral keluarga dan orang muda dan dengan dimensi-dimensi lain kehidupan iman – pengalaman liturgis, pelayanan amal kasih, dimensi sosial-budaya – untuk mengembangkan suatu kesatuan organis/koherensi karya pastoral gerejawi.

263. Dalam katekese bersama orang-orang dewasa figur katekis itu menentukan, ia tampil sebagai pendamping, dan, pada saat yang sama, seorang pendidik yang mampu membantu mereka juga dalam proses-proses pertumbuhan pribadi. Pendamping orang-orang dewasa, meskipun ada dalam relasi persaudaraan yang tulus, mempertahankan dengan sadar fungsi edukatif terhadap mereka dengan maksud memfasilitasi di dalam diri mereka relasi yang dewasa dengan Tuhan, relasi-relasi gerejawi yang berarti dan pilihan-pilihan sebagai saksi-saksi Kristiani di dalam dunia. Pada saat yang tepat, pendamping mampu melepaskan diri, dengan demikian mendukung subjek-subjek itu untuk mengambil tanggung jawab mereka sendiri dalam perjalanan imanmereka. Maka, penting bahwa para katekis untuk orang-orang dewasa hendaknya dipilih dengan cermat dan dimampukan untuk menjalankan pelayanan yang sulit ini melalui suatu pembinaan khusus.

264. Katekese bersama orang-orang dewasa disajikan dalam aneka ragam bentuk yang sangat banyak dan dengan penekanan yang berbeda-beda:

- katekese sebagai inisiasi yang benar dan tepat ke dalam iman, yakni pendampingan para calon Baptis dan sakramen-sakramen inisiasi melalui pengalaman katekumenat;

- katekese sebagai inisiasi baru ke dalam iman, yakni pendampingan bagi mereka yang meskipun telah dibaptis, belum menyelesaikan inisiasi atau belum dievangelisasi;

- katekese sebagai penemuan kembali iman melalui «pusat-pusat konsultasi» atau bentuk-bentuk lain, yakni suatu program evangelisasi yang ditujukan kepada mereka yang disebut orang-orang yang jauh;

- katekese untuk pewartaan iman di lingkungan-lingkungan ke[1]hidupan, pekerjaan, rekreasi atau pada kesempatan perwujudan[1]perwujudan kesalehan umat atau ziarah di tempat-tempat suci;

- katekese bersama pasangan-pasangan nikah pada kesempatan penerimaan Sakramen Pernikahan/Perkawinan atau perayaan sakramen-sakramen bagi anak-anak, yang sering kali menjadi titik tolak untuk pengalaman-pengalaman kateketis yang lebih tinggi/jauh;

- katekese untuk pendalaman iman yang bertolak dari Kitab Suci atau dari suatu dokumen Magisterium atau dari riwayat hidup orang[1]orang kudus dan para saksi iman;

- katekese liturgis, yang bertujuan untuk mengambil bagian secara sadar dalam perayaan-perayaan komuniter;

- katekese tentang tema-tema moral, budaya atau sosio-politik yang bertujuan untuk mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat, yang hendaknya aktif dan diilhami oleh iman;

- katekese dalam konteks pembinaan khusus para pelaku pastoral, yang merupakan kesempatan istimewa untuk peziarahan iman.

265. Akhirnya, perlu diakui sumbangan untuk pembinaan Kristiani bagi orang-orang dewasa yang diberikan oleh berbagai perkumpulan, Gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok gerejawi yang menjamin pendampingan yang berkelanjutan dan beraneka. Sangatlah berarti fakta bahwa seringkali realitas ini menampilkan kehidupan Kristiani sebagai perjumpaan personal dan eksistensial dengan Yesus Kristus, dalam konteks pengalaman dalam kelompok dan dalam relasi-relasi persaudaraan. Sesungguhnya, kelompok-kelompok kecil, karena memungkinkan secara lebih mudah pertukaran pengalaman hidup dan pembangunan relasi-relasi persaudaraan dan persahabatan, menjadi kesempatan berharga untuk penyebaran iman dari pribadi ke pribadi.

5

KATEKESE BERSAMA KAUM/ORANG LANJUT USIA

266. Orang lanjut usia adalah harta pusaka ingatan dan sering kali menjadi penjaga nilai-nilai suatu masyarakat. Pilihan-pilihan sosial dan politik yang tidak mengakui martabat orang lanjut usia sebagai pribadi-pribadi berbalik melawan masyarakat itu sendiri. «Gereja tidak dapat dan tidak ingin berkompromi dengan mentalitas intoleransi, dan apalagi dengan mentalitas ketidakpedulian dan pengabaian, terhadap orang-orang lanjut usia.»30 Sebaliknya, Gereja memandang orang-orang lanjut usia sebagai suatu anugerah Allah, kekayaan komunitas, dan memandang pelayanan pastoral bagi mereka sebagai tugas penting.

267. Kepada orang lanjut usia hendaklah diberikan katekese yang tepat, yang memperhatikan aspek-aspek tertentu kondisi iman mereka. «Seorang lanjut usia mungkin telah mencapai usia ini dengan iman yang kaya dan kokoh. Dalam hal ini, katekese dalam arti tertentu, membawa kepada kepenuhan perjalanan iman yang dilakukan dalam sikap penuh syukur dan penantian penuh harapan. Yang lain menghayati iman yang kurang lebih meredup dan kurangnya penghayatan hidup Kristiani. Dalam hal ini, katekese menjadi suatu momen cahaya baru dan pengalaman religius. Kadang-kadang orang tua mencapai usia lanjut dengan luka-luka yang dalam pada jiwa dan badan. Katekese dapat menolong mereka menjalani situasi ini dengan sikap doa, pengampunan dan kedamaian batin. Bagaimanapun, keadaan kaum/orang lanjut usia membutuhkan suatu katekese pengharapan, yang berasal dari kepastian perjumpaan definitif dengan Allah. Oleh karena itu, pentinglah mempertimbangkan berbagai kondisi personal dan sosial, yang sering ditandai dengan kesepian dan perasaan tidak berguna sehingga katekese yang mampu membuat mereka merasa diterima dan diakui dalam komunitas perlu digalakkan/dimulai.»

268. Kitab Suci memperlihatkan orang beriman lanjut usia sebagai simbol pribadi yang kaya dengan kebijaksanaan dan rasa takut akan Allah, dan dengan demikian menjadi penjaga pengalaman hidup yang intensif, yang dengan cara tertentu membuat dia menjadi katekis alami dalam komunitas. Usia lanjut adalah waktu berahmat, di mana Tuhan membarui panggilanNya untuk menjaga dan meneruskan iman; untuk berdoa, secara khusus dalam bentuk doa permohonan; untuk berada dekat dengan siapa yang membutuhkan. Orang-orang lanjut usia, dengan kesaksian mereka, meneruskan kepada orang-orang muda makna hidup, nilai tradisi dan beberapa praktik keagamaan dan budaya; mereka memberikan martabat  atas ingatan dan pengorbanan-pengorbanan generasi masa lalu; memandang dengan pengharapan melampaui kesulitan-kesulitan sekarang. Gereja, dengan mengakui nilai orang lanjut usia, membantu mereka menempatkan diri untuk pelayanan komunitas. Secara khusus, mereka dapat mengambil peran-peran kateketis bagi anak-anak, orang-orang muda dan orang-orang dewasa, sambil berbagi secara sederhana kekayaan harta pusaka kebijaksanaan dan iman yang mereka miliki. Dari pihaknya, komunitas hendaknya menunjukkan terima kasih atas kehadiran yang berharga ini dan mendorong dialog antargenerasi di antara orang lanjut usia dan orang muda. Dengan demikian, dinyatakan hubungan antara ingatan dan masa depan, tradisi dan pembaruan, yang menciptakan suatu rantai sejati untuk penerusan iman dari generasi ke generasi.

6

KATEKESE BERSAMA ORANG-ORANG DIFABEL

269. Perhatian Gereja kepada orang-orang difabel bersumber dari tindakan Allah. Dengan mengikuti prinsip inkarnasi Putra Allah, yang menghadirkan diri-Nya dalam setiap situasi manusiawi, Gereja mengakui dalam diri orang-orang difabel panggilan kepada iman dan hidup yang baik dan penuh makna. Tema difabilitas sangat penting untuk evangelisasi dan pembinaan Kristiani. Komunitas-komunitas dipanggil bukan hanya untuk memperhatikan orang-orang yang paling rentan, tetapi juga untuk mengenal kehadiran Yesus yang menyatakan diri-Nya secara khusus dalam diri mereka. Ini «menuntut perhatian ganda: kesadaran akan kemampuan pendidikan iman orang difabel, juga mereka yang cacat berat dan yang terberat; dan kehendak untuk mempertimbangkan orang difabel sebagai subjek aktif dalam komunitas di mana dia hidup.» Namun, pada tingkat budaya, tersebar pemikiran tentang hidup yang sering kali bersifat narsistik dan utilitarian, yang tidak memahami aneka ragam kekayaan manusiawi dan spiritual pada orang-orang difabel, dan melupakan bahwa kerapuhan  merupakan bagian dari hakikat manusia dan itu tidak menghalangi orang untuk merasa bahagia dan untuk mengaktualisasikan diri sendiri.»

270. Orang-orang difabel adalah peluang untuk pertumbuhan komunitas gerejawi, dan dengan kehadiran mereka, komunitas gerejawi didorong untuk mengatasi prasangka-prasangka budaya. Sesungguhnya, difabilitas dapat menimbulkan rasa malu karena memperlihatkan kesulitan untuk menerima keragaman; itu juga dapat membangkitkan ketakutan, khusus[1]nya jika ditandai dengan sifat tetap, sebab difabilitas itu merujuk pada situasi kelemahan radikal setiap orang, yakni penderitaan dan akhirnya kematian. Karena kaum difabel menjadi saksi-saksi kebenaran hakiki hidup manusia, mereka harus diterima sebagai karunia yang besar. Komunitas, yang diperkaya oleh kehadiran mereka, lebih menyadari misteri salib Kristus yang menyelamatkan dan, dengan menjalani relasi-relasi timbal balik penerimaan dan solidaritas, menjadi pencipta kehidupan yang baik dan seruan bagi dunia. Maka, katekese akan membantu orang-orang yang dibaptis untuk menafsirkan misteri penderitaan manusiawi dalam terang wafat dan kebangkitan Kristus.

271. Merupakan tugas Gereja-Gereja lokal untuk membuka diri kepada penerimaan dan kehadiran biasa orang-orang difabel dalam program[1]program katekese, dengan mendorong budaya inklusi melawan logika membuang. Orang-orang difabel secara intelektual menghayati relasi dengan Allah dalam kecepatan intuisi mereka dan seharusnya dan sewajarnya mereka didampingi dalam hidup iman. Ini meminta para katekis mencari saluran-saluran komunikasi baru dan metode-metode yang lebih sesuai untuk mempermudah perjumpaan dengan Yesus. Maka, penting dinamika-dinamika dan bahasa-bahasa berdasarkan pengalaman yang melibatkan pancaindra dan jalan-jalan naratif yang mampu melibatkan semua subjek dengan cara pribadi dan bermakna. Untuk pelayanan ini, baiklah kalau beberapa katekis mendapat pembinaan khusus. Para katekis juga harus dekat dengan keluarga-keluarga orang-orang difabel, dengan mendampingi mereka dan mendorong integrasi penuh mereka ke dalam komunitas. Keterbukaan kepada kehidupan dari keluarga-keluarga ini merupakan suatu kesaksian yang sangat layak dihormati dan dikagumi.

272. Orang-orang difabel dipanggil kepada kepenuhan hidup sakramental, bahkan juga dengan adanya gangguan-gangguan berat. Sakramen[1]sakramen adalah anugerah Allah dan liturgi, bahkan sebelum dipahami dengan akal budi, mendesak untuk dihayati: maka tak seorang pun dapat menolak sakramen-sakramen untuk orang-orang difabel. Komunitas yang tahu menemukan keindahan dan kegembiraan iman yang dialami saudara[1]saudara difabel ini, menjadi lebih kaya. Maka, penting pastoral inklusi dan pelibatan dalam kegiatan liturgis, khususnya hari minggu.35 Orang-orang difabel dapat mewujudkan dimensi iman yang tinggi yang mencakup hidup sakramental, doa dan pewartaan Sabda. Sesungguhnya, mereka tidak hanya menjadi penerima katekese, tetapi pelaku evangelisasi. Diharapkan bahwa mereka sendiri dapat menjadi katekis-katekis dan, dengan kesaksian mereka, mereka dapat meneruskan iman dengan cara yang lebih efektif.

7

KATEKESE BERSAMA ORANG-ORANG MIGRAN

273. Fenomena migrasi adalah fenomena yang mendunia; menarik jutaan orang dan keluarga, yang terlibat dalam migrasi-migrasi internal di dalam tiap-tiap negara, pada umumnya dalam bentuk urbanisasi, atau juga dalam peralihan, yang kadang-kadang berbahaya, ke negara-negara dan benua-benua baru. Sebab-sebab migrasi di antaranya adalah konflik perang, kekerasan, penganiayaan, pelanggaran kebebasan dan martabat manusia, kemiskinan, perubahan iklim dan mobilitas para pekerja akibat globalisasi. «Fenomena ini mengejutkan karena banyaknya orang yang terlibat, persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang meningkat, serta tantangan-tantangan berat yang dihadapkannya pada masyarakat nasional dan internasional.» Semua Gereja partikular terlibat di dalamnya, karena menjadi bagian dari negara-negara asal, persinggahan atau tujuan para migran. Dalam tidak sedikit kasus, proses migrasi membawa serta bukan hanya problem-problem kemanusiaan yang berat, melainkan sering kali juga pengabaian akan praktik religius dan krisis keyakinan-keyakinan iman.

274. Gereja, sebagai «ibu tanpa batas dan perbatasan», menerima para migran dan pengungsi, sambil berbagi dengan mereka karunia iman. Gereja terlibat dalam struktur-struktur solidaritas dan penerimaan, dan menaruh perhatian juga dalam konteks-konteks untuk mewartakan/menyaksikan Injil. «Gereja menggerakkan/mengembangkan program-program evangeli[1]sasi dan pendampingan para migran dalam seluruh perjalanan mereka, sejak berangkat dari negara asal melalui negara-negara transit sampai ke negara penerima, dengan perhatian khusus untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka melalui katekese, liturgi dan perayaan sakramen-sakramen.» Katekese bersama para migran pada saat penerimaan pertama mempunyai tugas untuk mendukung kepercayaan kepada kedekatan dan penyelenggaraan dari Bapa, agar berbagai kecemasan dan pengharapan orang yang sedang berjalan diterangi oleh iman. Dalam katekese bersama komunitas penerima diberikan perhatian untuk memotivasi kewajiban untuk bersolidaritas dan memerangi prasangka-prasangka negatif. «Katekese ini […] tidak dapat tidak merujuk kepada masalah-masalah berat yang mendahului dan mengiringi fenomena migrasi, seperti persoalan demografis, pekerjaan dan kondisi-kondisinya (fenomena pekerjaan ilegal), perawatan banyak orang jompo, dunia kriminal, eksploitasi» dan perdagangan manusia. Dapat berguna juga memperkenalkan komunitas Katolik lokal pada beberapa bentuk khusus iman, liturgi dan devosi para migran, yang dapat melahirkan pengalaman kekatolikan Gereja.

 

275. Sedapat mungkin, pemberian katekese yang mempertimbangkan cara-cara untuk memahami dan mempraktikkan iman yang khas negara[1]negara asal memberikan suatu dukungan yang berharga untuk kehidupan Kristiani para migran, terutama untuk generasi pertama. Sangat penting menggunakan bahasa ibu sebab merupakan bentuk pertama ungkapan jati diri seseorang. Gereja mempunyai pelayanan pastoral khusus bagi para migran, yang memperhitungkan karakteristik khas budaya dan agama mereka. Akan menjadi tidak adil menambahkan banyak kehilangan yang pernah mereka alami, juga hilangnya ritus-ritus dan identitas keagamaan mereka. Di samping itu dengan menghayati iman mereka, para migran Kristiani menjadi pewarta Injil di negara-negara penerima, dengan demikian memperkaya tatanan spiritual Gereja lokal dan memperkuat misinya dengan tradisi budaya dan agama mereka.

276. Untuk menjamin perhatian pastoral di bidang kateketis yang lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus para migran, yang sering kali menjadi anggota berbagai Gereja sui iuris dengan tradisi teologis, liturgis dan spiritualnya sendiri, sangat diperlukan adanya dialog dan kerja sama seerat mungkin antara Gereja asal dan Gereja penerima. Kerja sama ini memungkinkan mereka untuk menerima bahan katekese dalam tradisi dan bahasa ibu dan membantu dalam persiapan para katekis yang cocok untuk tugas mendampingi para migran dalam perjalanan iman. Hendaknya diikuti Kitab Hukum Kanonik dan Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur.

8

KATEKESE BERSAMA ORANG-ORANG EMIGRAN

Bantuan religius di negara-negara emigrasi

277. Hubungan-hubungan antara Gereja-Gereja asal dengan anak-anaknya sendiri tidak dapat diputuskan dengan berakhirnya proses migrasi dan  menetapnya di suatu tempat yang berbeda, di dalam atau di luar batas[1]batas negara. Hubungan-hubungan itu berlanjut dengan berbagai cara melalui pembentukan tempat-tempat kapelan, kegiatan-kegiatan misi atau bentuk-bentuk lain bantuan spiritual di tempat-tempat penerima. Untuk menjamin para emigran kemungkinan untuk mempertahankan iman yang dihayati di negeri asal mereka dan untuk memberikan bantuan spiritual dan material, beberapa keuskupan mengirim ke luar para imam, biarawan[1]biarawati dan awam yang dijiwai dengan semangat misioner, untuk mengikuti dan mengumpulkan umat beriman yang berasal dari negara mereka sendiri. Kegiatan ini dikembangkan dalam berbagai cara, seturut kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh hukum. Kegiatan ini sering kali mencakup pemberian kursus-kursus kateketis untuk inisiasi Kristiani dan bina lanjut, yang dilaksanakan dalam bahasa dan menurut tradisi-tradisi Gereja-Gereja asal. Hal itu menjadi suatu sarana berharga untuk hidup Kristiani komunitas-komunitas emigran, dan juga untuk kekayaan spiritual Gereja-Gereja penerima. Namun demikian, katekese harus diatur dan dijalankan dalam persetujuan penuh dengan Uskup setempat, sehingga katekese dikembangkan selaras dengan perjalanan Gereja partikular dan tahu menggabungkan rasa hormat terhadap identitas dan komitmen untuk integrasi.

Katekese di negara-negara asal

278. Kembalinya para emigran untuk waktu yang singkat ke tempat asalnya sering kali bertepatan dengan pesta-pesta tradisional setempat, yang kerap kali ditandai dengan ungkapan-ungkapan kesalehan umat yang penuh semangat. Meskipun bersifat sesekali, keadaan itu harus dihargai untuk menunjukkan iman, sambil menjelaskan masalah-masalah yang mungkin dapat ditimbulkan oleh kondisi para emigran terkait iman dan moral. Dalam situasi demikian, sering kali diminta untuk dapat merayakan beberapa sakramen bagi diri mereka sendiri atau untuk anak-anak karena alasan kerinduan untuk berbagi kegembiraan dengan orang-orang terkasih. Baiklah ditegaskan kembali bahwa penerimaan sakramen-sakramen menuntut suatu persiapan kateketis, yang seharusnya dijamin di negara-negara emigrasi dan ketersediaannya juga harus dipastikan oleh pastor paroki, juga meminta dokumentasinya. Jika tidak ada, pastor paroki akan memberikan persiapan yang diperlukan.

9

KATEKESE BERSAMA ORANG-ORANG TERPINGGIRKAN

279. Yang dimaksud dengan orang-orang terpinggirkan atau orang-orang marjinal adalah mereka yang hampir atau yang sudah jatuh dalam situasi terpinggirkan; di antara mereka itu adalah orang-orang miskin, termasuk para pengungsi, pengembara, orang-orang tunawisma, orang-orang sakit kronis, para pecandu narkoba, para narapidana, para budak pelacuran, dan lain-lain. Gereja memandang «secara istimewa kepada bagian kemanusiaan yang menderita dan menangis, sebab ia mengetahui bahwa orang-orang seperti ini menjadi miliknya karena hukum Injil.» «Gereja harus selalu waspada dan siap untuk mengenali karya-karya baru belas kasih dan melaksanakannya dengan kemurahan hati dan antusiasme» sebab ia menyadari bahwa kredibilitas pesannya sangat bergantung pada kesaksian karya-karyanya. Sabda Yesus (bdk. Mat 25:31-46) mendukung dan menggerakkan komitmen orang-orang yang berkarya untuk Tuhan dalam pelayanan bagi orang-orang yang terkecil.

280. Di samping itu, Gereja mengakui bahwa «diskriminasi terburuk yang diderita orang-orang miskin adalah kurangnya pelayanan rohani»; karena itu «keberpihakan istimewa kita pada orang-orang miskin terutama harus diterjemahkan ke dalam pelayanan iman yang istimewa dan diberi prioritas.» Pewartaan iman kepada orang-orang yang terpinggirkan hampir selalu terjadi dalam konteks dan lingkungan informal dan dengan cara-cara yang sesekali saja, karena kemampuan untuk menjumpai orang-orang dalam situasi di mana mereka berada, kesiapsediaan untuk menerima tanpa syarat dan kemampuan untuk menghadapi mereka dengan realistis dan belas kasihan memainkan peran yang menentukan. Berkenaan dengan pewartaan awal dan katekese, maka penting mempertimbangkan keragaman situasi, dengan memahami kebutuhan[1]kebutuhan dan pertanyaan-pertanyaan setiap orang dan memberdayakanrelasi antarpribadi. Komunitas dipanggil untuk mendukung dengan semangat persaudaraan para relawan yang mengabdikan dirinya dalam pelayanan ini.

Katekese di penjara

281. Penjara, yang secara umum dipandang sebagai suatu tempat terbatas, menjadi tanah misi autentik untuk evangelisasi, tetapi juga laboratorium perbatasan untuk pelayanan pastoral yang memperkirakan petunjuk[1]petunjuk kegiatan gerejawi. Dengan mata iman, dimungkinkan melihat Allah berkarya di antara para narapidana, juga di tengah situasi yang secara manusiawi tidak berpengharapan. Sesungguhnya, Allah berbicara kepada hati manusia di mana saja, dengan memberikan kebebasan, dan terampas[1]nya kebebasan itu «merupakan bentuk hukuman lebih berat yang harus ditebus, sebab hal itu mengenai pribadi itu dalam lubuk hatinya yang terdalam.» Maka, membangkitkan dalam hati saudara-saudara «kerinduan akan kebebasan sejati merupakan suatu tugas yang tidak dapat ditolak oleh Gereja», dengan mengomunikasikan tanpa ragu-ragu kebaikan dan belas kasihan Allah yang cuma-cuma.

 

282. Isi mendasar katekese untuk para narapidana, yang sering kali bersifat sesekali dan eksperiensial, adalah kerygma keselamatan dalam Kristus, yang dimengerti sebagai pengampunan dan pembebasan. Pewartaan iman terjadi berkat perjumpaan langsung dengan Kitab Suci, yang penerimaannya dapat menghibur dan menyembuhkan hidup yang telah dirusak oleh dosa, juga membuka ruang untuk pendidikan ulang dan rehabilitasi. Bersamaan dengan ini, relasi yang dijalin oleh para narapidana dengan para petugas pastoral itulah yang membuat orang merasakan kehadiran Allah dalam tanda-tanda dari penerimaan yang dikondisikan dan sikap mendengarkan yang penuh perhatian. Relasi persaudaraan ini menampakkan kepada para narapidana wajah keibuan dari Gereja, yang seringkali dalam penjara menerima pertobatan atau penemuan kembali iman dari banyak anak-anaknya, yang memohon untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi Kristiani. Perhatian Gereja juga menyertai mereka yang mengakhiri masa penahanannya dan mendampingi keluarga mereka.

Lihat juga postingan terdahulu:

-        PELAKUKATEKESE

-        PROSESKATEKESE. TIGA PEDAGOGI

-        KATEKISMUS GEREJA KATOLIK DAN KOMPENDIUMNYA


Minggu, 29 Januari 2023

KATEKISMUS GEREJA KATOLIK DAN KOMPENDIUMNYA

   

Dipetik dari Bab VI Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio per la Catechesi) dari Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru Roma, 23 Maret 2020

1.             1. KATEKISMUS GEREJA KATOLIK

Catatan sejarah

182. Gereja, sejak zaman tulisan-tulisan perjanjian baru, telah membuat rumusan-rumusan pendek dan ringkas untuk mengakui, merayakan dan menyaksikan imannya. Sudah dari abad keempat, kepada para Uskup diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih luas tentang iman melalui sintesis dan kompendium. Dalam dua momentum historis, sesudah Konsili Trente dan tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, Gereja telah menganggap pantas untuk memberikan uraian terperinci dan tersusun tentang iman melalui Katekismus yang bersifat universal, yang merupakan alat persekutuan gerejawi dan juga titik acuan untuk katekese (Bdk. Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum 11 Oktober 1992, I; KGK 11).

183. Pada tahun 1985, selama Sinode Luar Biasa Para Uskup, yang dirayakan pada kesempatan ulang tahun kedua puluh penutupan Konsili Vatikan II, banyak Bapa Sinode mengungkapkan keinginan perlunya disusun suatu Katekismus atau suatu kompendium ajaran Katolik mengenai iman dan moral. Katekismus Gereja Katolik diumumkan secara resmi pada tanggal 11 Oktober 1992 oleh Yohanes Paulus II, diikuti dengan editio typica  (edisi contoh) dalam bahasa Latin pada tanggal 15 Agustus 1997. Ini merupakan hasil kerja sama dan konsultasi dari seluruh keuskupan Katolik, banyak institut teologi dan kateketik dan banyak ahli dan spesialis dalam berbagai disiplin ilmu. Maka, Katekismus ini merupakan karya kolegial dan buah dari Konsili Vatikan II.

Identitas, tujuan dan penerima Katekismus Gereja Katolik

184. Katekismus adalah «teks resmi dari Magisterium Gereja, yang dengan otoritas mengumpulkan dalam satu bentuk yang tepat, sebagai suatu sintesis organis, peristiwa-peristiwa dan kebenaran-kebenaran mendasar yang menyelamatkan, yang mengungkapkan iman bersama dari Jemaat Allah dan yang merupakan acuan dasar yang sangat penting bagi katekese.» Katekismus Gereja Katolik merupakan ungkapan ajaran iman sepanjang masa, namun berbeda dari dokumen-dokumen Magisterium lainnya, karena tujuannya adalah memberikan suatu sintesis sistematis dari warisan iman, spiritualitas dan teologi sejarah gereja. Meskipun berbeda dari Katekismus-katekismus lokal, yang melayani bagian tertentu dari umat Allah, Katekismus Gereja Katolik, merupakan teks acuan yang pasti dan autentik untuk persiapan Katekismus-katekismus lokal, sebagai «sarana fundamental untuk tindakan terpadu dari Gereja mengomunikasikan seluruh isi iman.» (Paus Fransikus, Ensiklik Lumen Fidei 29 Juni 2013, 46).

185. Katekismus Gereja Katolik telah dipublikasikan pertama-tama untuk para Pastor dan umat beriman, dan di antara semua ini, secara khusus untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan katekese di dalam Gereja. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu «norma yang pasti tentang pengajaran iman.»(Paus Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum 11 Oktober 1992, IV). Untuk ini ia memberikan jawaban yang jelas dan dapat dipercaya terhadap hak yang sah dari semua orang dibaptis untuk memiliki akses kepada penyajian iman Gereja dalam keutuhannya dan dalam bentuk yang sistematis serta dapat dipahami. Katekismus, justru karena menjelaskan Tradisi Katolik, dapat mendorong dialog ekumenis dan dapat berguna bagi semua, juga yang bukan Kristiani, yang ingin mengetahui iman Katolik.

186. Katekismus Gereja Katolik, karena memiliki perhatian pertama yakni kesatuan Gereja dalam satu iman, maka ia tidak dapat mempertimbangkan konteks-konteks budaya khusus. Namun demikian, «dari teks ini setiap penyelenggara katekese akan dapat menerima suatu bantuan yang bermanfaat untuk menjembatani di tingkat lokal warisan iman satu-satunya dan abadi, dan dengan bantuan Roh Kudus, berusaha untuk memadukan secara bersama kesatuan yang mengagumkan antara misteri Kristiani dengan keragaman kebutuhan dan situasi para penerima pewartaannya.» (Paus Yohanes Paulus II, Surat apostolik Laetamur magnopere 15 Agustus 1997). Inkulturasi akan menjadi perhatian penting katekese dalam berbagai konteks.

Sumber dan susunan Katekismus Gereja Katolik

187. Katekismus Gereja Katolik diberikan kepada seluruh Gereja «untuk suatu katekese yang diperbarui pada sumber-sumber iman yang hidup.» (Paus Yohanes Paulus II, Konstitusi apostolik Fidei depositum 11 Oktober 1992, I). Di antara sumber-sumber ini, yang terutama adalah Kitab-kitab suci yang diilhami secara ilahi, dirangkum menjadi satu buku saja, yang di dalamnya Allah «hanya mengatakan satu perkataan saja: Sabda-Nya satu-satunya, dan di dalamnya Dia mengungkapkan segenap diri-Nya» (KGK 102), dengan mengikuti pandangan patristik bahwa «hanya ada satu percakapan Allah yang berkembang dalam seluruh Kitab suci dan hanya satu Sabda yang bergema di mulut semua penulis suci.» (Agustinus dari Hippo, Enaratio in Psalmum 103, 4, 1: CCL 40, 1521 (PL, 37, 1378)).

188. Selain itu, Katekimus Gereja Katolik menimba pada sumber Tradisi, yang dalam bentuk tertulisnya mencakup berbagai macam rumusan kunci tentang iman, yang diambil dari tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, berbagai  Pengakuan iman, Konsili-konsili, Magisterium kepausan, ritus liturgi timur dan barat, demikian juga dari kitab hukum kanonik. Ditemukan pula sangat banyak kutipan yang diambil dari amat banyak tulisan gerejawi, orang-orang kudus dan para pujangga Gereja. Selanjutnya, catatan-catatan historis dan unsur-unsur hagiografis memperkaya penjelasan doktrinal, yang diperkuat juga oleh ikonografi.

189. Katekismus Gereja Katolik disusun dalam empat bagian di sekitar dimensi-dimensi fundamental hidupakristiani, yang memiliki asal dan dasar dalam cerita Kisah para Rasul: «Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa» (Kis 2:42). Di sekitar dimensi-dimensi ini disusun pengalaman masa katekumenat Gereja purba, kemudian disusun penyampaian iman dalam berbagai Katekismus sepanjang sejarah, meskipun dengan penekanan dan cara yang berbeda-beda. Dimensi-dimensi itu adalah: pengakuan iman (Simbol, Syahadat), liturgi (sakramen-sakramen iman), hidup kemuridan (10 perintah), doa Kristiani (Bapa Kami). Dimensi-dimensi ini merupakan pilar-pilar katekese dan paradigma untuk pembentukan ke dalam hidup Kristiani. Sesungguhnya, katekese membuka iman kepada Allah yang Esa dan Tritunggal dan kepada rencana keselamatan-Nya; mendidik dalam kegiatan liturgis dan menginisiasi hidup sakramental Gereja; mendukung jawaban kaum beriman kepada rahmat Allah; mengantar kepada praktek doa kristiani.

Arti teologis-kateketis Katekismus Gereja Katolik

190. Katekismus Gereja Katolik sendiri bukanlah suatu usulan metode katekese, juga tidak memberikan petunjuk-petunjuk tentang hal itu, dan tidak dikacaukan dengan proses katekese, yang selalu memerlukan suatu mediasi.(KGK 24). Meskipun demikian, strukturnya «mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja.»(Paus  Benediktus XVI, Surat apostolik, Porta fidei 11 Oktober 2011, 11). Katekismus Gereja Katolik, dengan mengacu pada keseluruhan hidup kristiani, mendorong proses pertobatan dan pendewasaan. Katekismus menyelesaikan karyanya, apabila pemahaman akan kata-kata mengacu pada keterbukaan hati, tetapi juga sebaliknya, apabila rahmat keterbukaan hati menimbulkan keinginan untuk mengenal dengan lebih baik Dia yang di dalam-Nya orang beriman menaruh iman-kepercayaannya. Maka, pengetahuan yang dirujuk dalam Katekismus Gereja Katolik ini tidak abstrak: sesungguhnya strukturnya dalam empat bagian mengharmoniskan iman yang diakui, dirayakan, dihidupi dan didoakan, dengan demikian membantu untuk berjumpa dengan Kristus, meskipun secara bertahap. Bagaimanapun juga, program kateketis tidak harus mengikuti aturan/tata susun bagian-bagian Katekismus Gereja Katolik.

191. Struktur Katekismus Gereja Katolik yang harmonis dapat dilihat dalam hubungan teologis antara isi dan sumber-sumbernya, dan dalam interaksi antara Tradisi Barat dan Tradisi Timur. Selain itu, struktur ini mencerminkan kesatuan misteri Kristiani dan perputaran kebajikan-kebajikan teologis dan menyatakan keindahan harmonis yang menjadi ciri kebenaran Katolik. Pada saat yang sama, ia memadukan kebenaran sepanjang masa ini dengan aktualitas gerejawi dan sosial. Jelaslah bahwa Katekismus Gereja Katolik yang tersusun demikian, meningkatkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam penyampaian iman.

192. Isi Katekismus Gereja Katolik disajikan dengan cara sedemikian rupa untuk menunjukkan pedagogi Allah. Pemaparan doktrin menghormati sepenuhnya jalan-jalan Allah dan manusia dan mewujudkan kecenderungan sehat pembaruan katekese pada abad kedua puluh. Narasi iman dalam Katekismus Gereja Katolik menyediakan tempat yang sangat istimewa kepada Allah dan karya rahmat, yang menduduki tempat terbesar dalam penyebaran materi, yakni pewartaan katekese itu sendiri. Sejalan dengan hal itu, semua kriteria lain yang sudah disampaikan sebagai hal yang perlu demi berhasilnya suatu pewartaan Injil juga diungkapkan secara tidak langsung: sentralitas trinitaris dan kristologis, cerita tentang sejarah keselamatan, ekklesialitas dari pesan, hierarki kebenaran, pentingnya keindahan. Dalam semua itu dapat dibaca bahwa tujuan Katekismus Gereja Katolik adalah untuk membangkitkan kerinduan akan Kristus, dengan menampilkan Allah yang patut dirindukan yang menghendaki kebaikan bagi manusia. Maka, Katekismus Gereja Katolik bukan merupakan suatu ungkapan ajaran yang statis, melainkan suatu instrumen yang dinamis, yang layak menginspirasi dan menguatkan perjalanan iman untuk kehidupan setiap orang dan, dengan demikian, tetap berlaku bagi pembaruan katekese.

2. KOMPENDIUM KATEKISMUS GEREJA KATOLIK

193. Kompendium Katekismus Gereja Katolik merupakan sarana yang berisi kekayaan Katekismus Gereja Katolik dalam bentuk yang sederhana, langsung dan mudah diakses untuk semua orang. Kompendium merujuk kepada struktur Katekismus Gereja Katolik dan isinya. Sesungguhnya, Kompendium merupakan «suatu sintesis yang setia dan pasti dari Katekismus Gereja Katolik. Secara ringkas Kompendium mengandung semua unsur esensial dan fundamental iman Gereja, sedemikian rupa sehingga membentuk […] semacam “vademecum” (buku petunjuk praktis), yang memungkinkan orang-orang, yang beriman dan yang tidak beriman, untuk menerima, dalam pandangan keseluruhan, seluruh gambaran iman Katolik.»( Paus Benediktus XVI, Motu proprio untuk persetujuan dan penerbitan Kompendium Katekismus Gereja Katolik 28 Juni 2005). Sifat khas Kompendium adalah bentuk dialogalnya. Sesungguhnya, disarankan «dialog ideal antara guru dan murid, melalui serangkaian pertanyaan yang terus-menerus, yang melibatkan pembaca dan mengundangnya untuk terus menggali penemuan aspek-aspek yang selalu baru dari kebenaran imannya.»(Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Pengantar dari Kardinal Joseph Ratzinger 20 Maret 2005, 4). Selain itu, berhargalah kehadiran gambaran-gambaran yang menegaskan struktur teks. Berkat kejelasan dan keringkasannya, Kompendium Katekismus Gereja Katolik juga ditampilkan sebagai bantuan sah untuk menghafalkan isi-isi dasariah iman.