Diaspora bahasa Yunani, diterjemahkan dalam kata bahasa Inggris dispersion (tersebar).
Nama itu digunakan untuk semua komunitas-komunitas Yahudi yang tinggal di luar
Palestina. (Bahasa Indonesia mengenal istilah padanan: “dalam perantauan”).
Diaspora berawal dari akibat deportasi (pembuangan) yang dilakukan Asyur (abad kedelapan SM)
dan kemudian Babilon (abad keenam SM). Setelah ditaklukkannya Galilea dan
Samaria oleh Asyur kurang lebih pada tahun 732 dan 722 SM, sisa-sisa bangsa
Israel dipindahkan keluar dari Palestina. Deportasi (pembuangan) yang kedua terjadi di bawah
Babilonia setelah Nebukadnezar menguasai Yerusalem pada tahun 586 SM.
Orang-orang Israel yang dideportasi dari Samaria tidak pernah pulang secara
besar-besaran, tetapi orang Yahudi yang berasal dari Babilonia pulang
bersama-sama, dan mereka kemudian menjadi inti bagi pemugaran Bait Allah dan
tradisi keagamaan Yahudi di Yudea setelah repatriasi diizinkan di bawah
pemerintahan raja Persia Koresy Agung.
Pemukiman Yahudi didirikan tersebar di mana-mana pada abad keenam SM,
terutama di Mesir. Lari dari amukan Nebukadnezar, suatu kelompok besar pengungsi
dari Yehuda memasuki Mesir, sambil membawa serta nabi Yeremia dengan mereka
(Yer 43:5-7). Dinasti Ptolemeus yang memerintah Mesir dari abad keempat hingga
abad pertama SM menerima imigrasi itu dengan baik. Sungguh, penduduk Yahudi di
Mesir – terutama di Aleksandria, di mana seperempat bagian dari kota itu
seluruhnya adalah Yahudi – menjadi komunitas Yahudi yang paling kaya dan
berpengaruh di luar Palestina, sambil terus menjalin hubungan erat dengan
Yerusalem. Komunitas-komunitas Yahudi lainnya muncul di seluruh dunia yang
berbudaya Yunani (Helenis) dan kemudian dunia Kekaisaran Roma, termasuk di
Antiokhia, kemudian menyeberang ke pulau-pulau Laut Tengah, lalu memasuki
Italia dan Roma. Ada sinagoga-sinagoga di kebanyakan kota-kota besar dunia
Romawi, dan orang-orang Yahudi dari kekaisaran dan di luarnya melakukan
peziarahan ke Yerusalem (Kis 2:9-10).
Bangsa Yahudi Diaspora
pada umumnya makmur, pekerja keras, dan suka damai, dan negara-negara
Helenis dan terutama pemerintahan kekaisaran Roma memberikan simpati besar pada
mereka. Mereka adalah pedagang-pedagang dan pebisnis yang terhormat, dan mereka
menikmati toleransi keagamaan, kebebasan, serta hak-hak politik terbatas;
banyak di antara mereka, misalnya Paulus, adalah warga negara Roma dan mendapat
hak-hak istimewa. Selain itu, bangsa Yahudi dibebaskan dari wajib militer
karena alasan-alasan keagamaan dan juga diizinkan membayar pajak Bait Allah di
Yerusalem. Setiap komunitas Diaspora mempunyai sinagoga sendiri, dan ketika
mulai mewartakan Injil, para rasul membuat sinagoga-sinagoga ini menjadi forum
pertama bagi misi penyebaran Kabar Gembira.
Lihat juga: Pertobatan Paulus
Sekalipun sudah lama diterima sebagai pemeran-serta yang
produktif dalam kehidupan ekonomi dan budaya pada masa itu, orang-orang Yahudi
Diaspora tetap menghadapi sikap yang tidak bersahabat. Huru-hara sering terjadi
di Aleksandria, terdorong oleh kecemburuan bangsa-bangsa lain yang tidak suka
pada kemakmuran orang-orang Yahudi Aleksandria. Keberhasilan mereka, bersama
dengan sikap eksklusif masyarakat Yahudi, memicu sikap bermusuh di beberapa
tempat lain, seperti yang kita baca dalam tulisan-tulisan Cicero, Seneca, dan
Tacitus. Penganiayaan formal di Aleksandria dilancarkan oleh Kaisar Gayus Caligula, yang juga meminta agar gambarnya dipasang di Bait Allah. Huru-hara
yang lebih besar berhasil dicegah dengan kematian Caligula pada tahun 41 M karena
dibunuh. Pada tahun 49 orang Yahudi diusir keluar kota Roma oleh Kaisar Claudius sebagai bagian dari tentangannya yang lebih luas terhadap agama-agama asing (Kis 18:2). Tetapi mereka segera
kembali lagi bersama dengan sebagian besar penganut agama-agama lain yang
dicoba direnggut akarnya oleh Claudius.
Perang Yahudi (tahun
66-70 dan 132-135)
membuat orang Yahudi Diaspora lebih dicurigai di mata para pejabat Roma.
Sesudah Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 M, tinggal orang-orang Yahudi
Diaspora-lah yang melanjutkan terus tradisi Yahudi, dan akhirnya membangun
ulang agama Yahudi sedemikian, sehingga pelajaran Hukum Taurat menggantikan
ibadat di Bait Allah, sebagai pusat agama Yahudi yang bercorak rabinik.