Septuaginta
Bhs Latin, artinya
“tujuh-puluh”. Terjemahan yang paling kuno dan penting dari Perjanjian Lama ke
dalam bahasa Yunani. Dilakukan antara abad ketiga hingga abad pertama SebM. Para
ahli Kitab Suci menyebut hasil terjemahan itu Septuaginta atau LXX (huruf
Romawi untuk tujuh puluh), sebab ada tujuh puluh penterjemah yang melaksanakan
pekerjaan itu.
Septuaginta terutama
merupakan suatu kumpulan teks Kitab Suci. Seluruh kitab dalam Kitab Suci Ibrani
ada di sana (dari kitab Kejadian sampai kitab Maleakhi); juga kitab-kitab
deuterokanonik yang diterima sebagai Kitab Suci oleh Katolik dan Ortodoks
(Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, 1-2 Mak, serta tambahan Ester dan
Daniel); serta beberapa kitab yang dianggap kanonik hanya oleh gereja-gereja
Ortodoks Timur (1 Esdras/Ezra, 3 dan 4 Makabe,
yang di dalam beberapa edisi Kitab Suci Ortodoks dijadikan Lampiran
Tambahan).
II. ASAL-USUL
Asal-usul Septuaginta
merupakan persoalan sejarah yang sulit. Tradisi Yahudi dan Kristen berdasarkan
suatu karya dari abad kedua SM yang disebut Surat Ariestas percaya bahwa
raja Mesir Ptolemeus II Filadelfia meminta dibuatkan salinan Kitab Suci Yahudi
untuk disimpan di perpustakaannya yang terkenal di Aleksandria (sekitar tahun
250 SebM). Karena tidak mengerti bahasa Ibrani, raja itu mendatangkan tujuh puluh
dua ahli dari Palestina ke Aleksandria
untuk membuat terjemahan dari Taurat Ibrani di suatu pulau lepas pantai yang
disebut Pharos. Sesudah terjemahan diselesaikan. Orang Aleksandria menerima hasilnya
dengan semangat. Cerita tradisi tentang terjemahan ini masih tersimpan dalam
bentuk aslinya (menurut Yosephus), walaupun ada yang menambahkan unsur mujizat
(misalnya Philo meyatakan bahwa para penerjemah itu bekerja sendiri-sendiri
tetapi semua menghasilkan terjemahan yang persis sama), sedang yang lain
memperbaiki detilnya (misalnya Talmud Babilonia menyatakan bahwa karya itu
dikerjakan oleh tujuh puluh penerjemah, bukan tujuh puluh dua).
Banyak ahli menolak kesejarahan tradisi ini, walau yang lain
menerima pokok ceritanya yang dianggap bisa dipercaya. Teori alternatif melacak
adanya kebutuhan akan terjemahan Yunani, bukan dari raja Ptolemeus dari Mesir
yang ingin tahu, melainkan dari masyarakat Yahudi sendiri. Sebab di masa Yunani
dan Romawi ada banyak sekali pemukiman Yahudi di kawasan-kawasan Laut Tengah
menggunakan bahasa Yunani sehari-hari, dan pengetahuan tentang bahasa Ibrani
klasik terus menerus merosot, sehingga timbul kebutuhan mendapatkan edisi Kitab
Suci Yahudi dalam bahasa sehari-hari untuk berkhotbah dan mengajar di
sinagoga-sinagoga diaspora. Ini tentu benar, dan boleh jadi merupakan suatu
faktor yang mendorong penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani,
tanpa mengurangi makna tradisi lama lainnya. Dari berbagai sudut, tetap ada ketidakpastian,
dan para ahli kiranya masih akan terus memperdebatkan asal-usul Septuaginta ini
hingga beberapa masa yang akan datang.
III. PENERIMAAN
Bukti menunjukkan bahwa
Septuaginta Yunani diterima dengan hangat dan dihormati dalam kalangan
masyarakat Yahudi abad pertama SebM dan M. Namun
tidak jelas, apakah terjemahan itu juga mendapat penghargaan yang sama
di Palestina, dan bagaimanapun kita tahu bahwa beberapa ahli Yahudi menemukan
berbagai kesalahan di dalamnya. Sesungguhnya, ketidakpuasan atas terjemahan
Septuaginta menyebabkan adanya usaha untuk membuat terjemahan baru teks Ibrani
oleh beberapa ahli Yahudi seperti Akwila dan Teodosianus dari abad kedua M.
Upaya ini menimbulkan ketegangan di antara orang Yahudi dan umat Kristen
sehubungan dengan tafsir atas teks-teks yang menyangkut Mesias sebagaimana yang
disampaikan dalam Septuaginta. Teks Kitab Suci Ibrani sendiri semakin menjadi
normatif baku sekitar masa itu, sehingga terjemahan baru dari Perjanjian Lama diperlukan
agar semakin mencerminkan tek Kitab Suci yang diterima sebagai autoritatif oleh
kalangan agama Yahudi Rabinik.
Umat Kristen perdana menerima Septuaginta sebagai Perjanjian Lama mereka.
Ini sudah tentu merupakan keputusan praktis karena hanya gereja-gereja di
Palestina saja yang dapat menggunakan Perjanjian Lama berbahasa Ibrani. Di luar ini,
penghargaan pada Septuaginta di kalangan Yahudi diaspora membuat tindakan para
rasul yang mengandalkan Septuaginta ketika menjelaskan Kitab Suci di dalam
karya misi mereka menjadi wajar-wajar saja. Bahwa rasul-rasul dan pengajar
Kristen menggunakan Septuaginta jelas sekali : sebagian besar kutipan
Perjanjian Lama yang terdapat dalam Perjanjian Baru jelas diambil langsung dari
Septuaginta. Sedikit saja kutipan yang diangkat para penulis Perjanjian Baru
merupakan usaha terjemahan mereka atas Teks Ibrani.
Pengaruh Septuaginta tetap kuat pada abad-abad pertama
Kekristenan. Secara rutin Septuaginta digunakan para Bapa bangsa dan dalam
Konsili-konsili awal. Banyak teolog zaman bapa gereja yakin bahwa Septuaginta
diterjemahkan dengan bimbingan Roh Kudus dan karena itu melampaui Kitab Suci
Ibrani sendiri sebagai edisi yang berwibawa sebagai Perjanjian Lama bagi Umat
Kristen (mis St Agustinus, Civitate Dei, [Kota Tuhan], 18.43).
Bagaimanapun hanya beberapa saja ahli kuno seperti Origenes dan Santo Hieronimus
yang berkemampuan untuk secara langsung menangani teks Ibrani secara langsung.
Gereja-gereja Ortodoks Timur meyakini ilham ilahi dan autoritas kanonik dari
Septuaginta hingga sekarang.
IV. DI MASA SEKARANG
Para ahli masih terus
menyelidiki dan melakukan penilaian atas Septuaginta berdasarkan beberapa
alasan:
1. Septuaginta mungkin memuat – setidaknya di beberapa tempat –
suatu bentuk Perjanjian Lama yang lebih aseli ketimbang yang ada pada Kitab Suci Ibrani baku
(misalnya Teks Masora atau MT). Ini bukan saja karena terjemahan Yunani itu
dibuat sebelum zaman Kristen, jauh lebih awal daripada manuskrip Ibrani yang
paling luas, tetapi juga karena teks Kitab Suci yang ditemukan di antara
Gulungan Laut Mati kadang-kadang lebih cocok pilihan katanya dengan Septuaginta
ketimbang dengan Teks Masora. Maka Septuaginta merupakan saksi yang penting
untuk rekonstruksi teks Perjanjian Lama, walau kegunaannya bervariasi dari kitab yang satu
ke kitab yang lain, dan para ahli masih terus mendiskusikan pentingnya
Septuaginta bagi [metode telaah] kritik teks.
2. Sejauh setiap terjemahan dalam derajat tertentu membutuhkan
tafsir, Septuaginta memberikan gambaran atas pengertian Yahudi mengenai Kitab
Suci di abad pertama SebM. Di beberapa tempat diungkapkan perbedaan sudut pandang
Agama Yahudi Helenistik dengan sudut pandang Agama Yahudi Palestina.
3. Dengan demikian telaah atas Septuaginta merupakan bagian
dari penelitian Perjanjian Baru. Penggunaan Septuaginta oleh para penulis Injil
dan para rasul membutuhkan penyelidikan untuk memahami wawasan penafsiran dan
teknik mereka. Sama pentingnya karena kosa-kata teologis Perjanjian Baru sangat
bergantung pada bahasa Septuaginta. Yang paling menyolok adalah contoh-contoh
mengenai kata-kata Yunani, yang dikenal dan digunakan pada masa klasik, lalu
mendapatkan lapisan makna baru yang lain yang berasal dari [dialog dengan] kata
Ibrani yang diterjemahkan. Untuk semua ini dan berbagai alasan lainnya
Septuaginta masih tetap merupakan suatu monumen yang secara historis dan
teologis sangat penting di zaman modern ini.