Dalam Injil Lukas 11:6-13 yang dibacakan hari ini, Yesus mengajarkan doa Bapa Kami. Antara lain memohon kepada Bapa, "datanglah KerajaanMu". Artikel tentang Kerajaan menurut Kitab Suci ini relatif panjang. Silakan dibaca berdikit-dikit sesuai kesempatan yang tersedia. Semoga berguna.
Kerajaan
Sebentuk masyarakat dengan pemerintahan monarki yang
dikepalai seorang raja atau ratu. Dalam Perjanjian Baru, sebutan “kerajaan”
biasanya merujuk pada “Kerajaan Allah”. Istilah dan konsep itu mempunyai suatu
latar belakang yang kaya, karena “kerajaan” merupakan suatu tema dan gambaran
yang penting di seluruh Kitab Suci. Adam berperan bagaikan raja atas alam
ciptaan. Kemudian Tuhan menjanjikan kepada Abraham bahwa akan timbul raja-raja
dari antara keturunannya. Israel, umat Tuhan, mula-mula di bentuk menjadi suatu
kerajaan oleh Saul, yang dengan cepat digantikan oleh Daud dan keturunannya.
Kerajaan Israel di bawah Daud dan para pewarisnya menjadi bayangan awal
Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru – sesungguhnya, Kerajaan Allah dapat
dipahami dalam arti tertentu sebagai perubahan kerajaan Daud. Namun kerajaan
itu dapat disamakan dengan (1) Kristus sendiri, atau (2) pemerintahan Kristus
di hati kaum beriman, atau (3) Gereja, himpunan kaum beriman dan tubuh Mistik
Kristus.
I. Kerajaan Dalam Kitab Suci, dari Kejadian hingga Wahyu
II. Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru
A.
Istilah Kerajaan Allah
B. Tiga
Dimensi Teologis dari Kerajaan Allah
C.
Kerajaan Allah sebagai Pemenuhan Tipologis Kerajaan Perjanjian Lama.
I. Kerajaan Dalam Kitab Suci, dari kitab Kejadian hingga kitab
Wahyu
Dorongan arah menuju suatu Kerajaan sudah ada dalam kisah
Penciptaan dalam kitab Kejadian. Tuhan menciptakan manusia “menurut gambar dan
keserupaan denganNya”. Kata yang pertama, “gambar”, bahasa Ibraninya “Selem”,
terutama sangat kaya dengan konotasi kerajaan. Adalah umum bagi para raja Timur
Dekat kuno untuk menempatkan gambar ukiran (patung, Ibrani: selamim) dari diri
mereka di seluruh batas geografis kerajaan mereka sebagai tanda kehadiran kekuasaan
politik mereka di kawasan itu. Maka, Kej 1-2 mau menyatakan bahwa seluruh alam
ciptaan adalah ruang Kerajaan Allah, dan manusia ditempatkan dalam ruang itu
sebagai wakil Tuhan yang menghadirkan kekuasaan Tuhan. Ini selanjutnya
diteguhkan dengan suatu mandat penciptaan kepada Adam dan Hawa supaya
“berkuasa” (bahasa Ibrani rada) atas bumi, suatu istilah yang digunakan di
mana-mana untuk melukiskan pelaksanaan kuasa raja (1 Raj 4:24; Mzm 72:8;
110:2). Adam merupakan puncak tertinggi hirarki ciptaan dan de fakto raja di
antara segala mahluk. Maka, kisah penciptaan menyajikan suatu situasi paradigma
ideal di mana tatanan seluruh ciptaan adalah suatu kerajaan yang dikuasai manusia
atas nama Tuhan.
Selanjutnya
di dalam sejarah keselamatan Nuh adalah sosok seorang “Adam baru” yang sekali
lagi ditempatkan de fakto sebagai manusia yang merajai seluruh ciptaan (bdk Kej
9:2). Dorongan arah menuju kerajaan itu juga ditemukan dalam hubungan dengan
Abraham. Dalam Kej 14, Abraham mengalahkan gabungan raja-raja Timur Dekat dan itu menjadikannya pemimpin militer negeri itu,
sehingga punya dasar untuk menyatakan diri sebagai raja. Namun sebaliknya,
Abraham malah mengakui wewenang rajawi dari imam-raja misterius Melkisedek dari
Salem (yaitu Yerusalem). Namun di kemudian hari keturunan Abraham sendiri akan
menjadi raja Yerusalem – suatu petunjuk dari hal ini diberikan dalam Kej 17:6,
yang menjanjikan raja-raja yang timbul dari antara keturunan Abraham sebagai
bagian dari perjanjian Tuhan dengan Abraham.
Janji
ini mengerucut pada satu garis keturunan Abraham dalam Kej 49:8-10, yang
menjanjikan “anak singa” dan “tongkat kerajaan” kepada Yehuda, yang akan
menerima ketundukan bukan saja dari suku-suku Israel selebihnya, tetapi juga
dari bangsa-bangsa yang bukan Israel.
Melalui
Musa, Tuhan memberikan pemerintahan gabungan, kesatuan antara imam dan raja
kepada bangsa Israel, dengan syarat agar mereka setia kepada perjanjian Sinai:
“jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada
perjanjian-Ku, ….Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus”
(Ibrani mamleket kohanim; Yunani basileion hierateuma; Kel 19:5). Namun bangsa
Israel tidak menaati perjanjian mulai dari insiden anak lembu emas dan
melanjutkan pemberontakan selama berputar-putar di padang gurun. Janji
pemerintahan sebagai raja untuk keturunan Abraham perlu diwujudkan dengan cara
yang berbeda.
Setelah
pemerintahan Saul dari suku Benyamin yang berakhir buruk, nubuat Yakub atas
Yehuda mendapatkan kepenuhannya di dalam dinasti raja-raja Yehuda yang
didirikan oleh Daud (2 Sam 5:3).
Kerajaan
Daud merupakan tipe atau gambar awal Perjanjian Lama atas Gereja dan
strukturnya. Untuk itu baik jika ciri-ciri utamanya dipaparkan:
1. Kerajaan Daud didirikan atas suatu perjanjian ilahi (bahasa
Ibrani berit, bahasa Yunani diatheke), satu-satunya kerajaan insani di dalam
Perjanjian Lama yang memiliki hak khusus semacam itu (lihat 2 Sam 7:8-16; 23:5;
1 Raj 8:23-24; Mzm 89:3; 2 Raj 13:5; 21:7; Sir 45:25; Yes 55:3; Yer 33:14-26).
2. Raja yang berasal dari keturunan Daud diangkat sebagai
anak Allah. Hubungan filial (anak-bapa) dari raja keturunan Daud dengan Allah
sudah dikemukakan dalam teks undang-undang dasar perjanjian Daud (2 Sam 7:14),
tetapi juga di tempat lain yang berkaitan dengan Daud (lihat Mzm 2:7; 89:26; 1
Taw 17:13; 28:6).
3. Raja Anak Daud itu adalah “Kristus” yaitu “Mesias”.
Status sebagai yang diurapi dari raja keturunan Daud tak terpisahkan dari
identitasnya dan bahwa ia sering disebut semata-mata sebagai ”dia yang diurapi”
saja, atau “dia yang diurapi Tuhan” (1 Sam 16:13; 2 Sam 19:21; 22:51; 23:1; 1
Raj 1:38-39; 2 Raj 11:12; 23:40; 2 Taw 6:42; 23:11; Mzm 2:2; 18:50; 20:6; 84:9;
89:20.38.51; 132:10.17).
4. Pembangunan Bait Allah merupakan salah satu tanggungjawab
utama raja keturunan Daud. Daud sendiri mempersiapkannya (1 Taw 22:1-9), Salomo
menyelesaikannya (1 Raj 8:12-13), dan raja-raja selanjutnya memelihara Bait
Allah (2 Raj 12:4-16; 22:3-7). Pembangunan Bait Allah merupakan syarat utama
perjanjian Daud dari awal, dan dapat dilihat sebagai permainan kata, yaitu kata
Ibrani yang sama baith (rumah) yang digunakan baik untuk dinasti maupun untuk
tempat tinggal Allah, dalam 2 Sam 7:11-13. Sekalipun sesudah Bait Allah itu
dihancurkan, para nabi sungguh yakin bahwa Tuhan akan memulihkan Bait Allah
hingga mulia seperti dulu dan akan menjadi rumah doa bagi segala bangsa (Yes
2:1-4; 56:6-8; 60:3-16; 66:18-21; Yer 33:11; Yeh 40-44; Dan 9:24-27; Yl 3:18;
Hag 2:1-9; Mi 4:1-4; Za 6:12-14; 8:20-23; 14:16).
5. Wangsa keluarga Daud terkait terus dengan erat pada
Yerusalem, utamanya Gunung Sion, yang merupakan milik pribadi Raja Daud dan
ahli warisnya (2 Sam 5:9). Yerusalem tidak akan mendapat peran yang besar dalam
sejarah Israel seandainya Daud tidak menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan (bdk
Yos 15:63; Hak 1:21; 19:10-12; Sam 5:6-12).
6. Raja keturunan Daud akan memerintah dalam suatu kerajaan
internasional yang terdiri dari segala bangsa. Daud dan Salomo memerintah tidak
hanya atas semua suku-suku Israel tetapi juga bangsa-bangsa asing di sekitarnya
(lihat 2 Sam 8:11-12; 10:19; 12:30; 1 Raj 3:1; 4:20-21;10:15). Mazmur-mazmur
secara teologis membenarkan hal pemerintahan bangsa-bangsa itu (Mzm 2:8; 18:43;
47:1.9; 72:8.11; 66:8; 67:2-5; 86:9; 89:27; 96:7; 99:1), dan para nabi
menubuatkan pemulihan kerajaan ini (Yes 2:3-4; 42:1-6; 49:1-7.22-26; 51:4-6;
55:3-5; 56:3-8; 60:1-16; 66:18-19; Am 9:11-12; Mi 4:2-3; Za 14:16-19).
7. Kerajaan Daud akan kekal untuk selama-lamanya. Salah satu
yang sangat ditekankan dalam Mazmur dan sejarah Deuteronomis adalah bahwa
wangsa keluarga Daud itu abadi (2 Sam 7:16; 23:5; Mzm 89:35-36). Bukan hanya
dinastinya, tetapi juga jangka kehidupan raja yang memerintah digambarkan
sebagai kekal (lihat Mzm 21:4; 72:5; 110:4).
8. Dalam pemerintahan raja-raja keturunan Daud terdapat
peran bagi Ibu Suri (1 Raj 2:19-20; 15:13; 2 Raj 24:12.14; Yer 13:18; 22:26;
29:2); peran bagi Menteri Utama atau
menteri kepala (bhs Ibrani ‘aser ‘al-habbayit, orang yang kedudukannya berkuasa
atas rumah/istana raja: 1 Raj 4:7; 18:3; 2 Raj 15:5; 18:18.27; 19:2; Yes
22:15-24) dan dua belas orang [pembantu raja] atas seluruh Israel (1 Raj 4:7).
Kerajaan
Daud dipahami lebih dari sekadar suatu tatanan politik. Bagi para pengarang
Kitab Suci, kerajaan itu sakral karena mengungkapkan pemerintahan Tuhan di atas
bumi. Perspektif ini jelas dalam beberapa Mazmur (Mzm 2; 110) tetapi terutama
dalam 1 Taw 28: 5, ketika Daud menyatakan bahwa “Ia [Tuhan] telah memilih
anakku Salomo untuk duduk di atas tahta pemerintahan Tuhan atas Israel”, dan 2 Taw 23:8, yang berbicara tentang ”kerajaan
Tuhan yang dipegang keturunan Daud”. Frasa “kerajaan Tuhan” ini merupakan
padanan yang paling dekat dari frasa Perjanjian Baru “Kerajaan Allah”.
Walaupun
dinasti Daud merupakan dinasti yang berlangsung paling lama dalam dunia Timur
Dekat kuno, tetapi ia runtuh juga di tangan Nebukadnezar dari Babilonia pada
tahun 586 SM (2 Raj 25:1-26). Sesudah pulangnya orang Yudea dari Pembuangan ke
Yerusalem di bawah pemerintahan Koresy yang Agung dari Persia, harapan akan
kerajaan bersemi ketika Zerubabel, seorang keturunan Daud, ditunjuk menjadi
bupati kepala pemerinta daerah Yehuda (bdk Hag 2:20-23), namun tidak terjadi
apa-apa. Jauh di kemudian hari harapan itu menyala lagi, mula-mula karena
Dinasti Hasmona (134-67 SM), dan kemudian secara lebih sempit lagi karena
Dinasti Herodes (37 SM – 66 M), yang sama-sama menduduki tahta Yerusalem dan
meluaskan wilayah kerjaaan hingga hampir sama besarnya dengan Kerajaan Daud dan
Salomo. Namun keduanya bukan keturunan Daud; Hasmona (yaitu keluarga Makabe)
berasal dari suku Lewi, sedang Herodes Agung dan keturunannya adalah keturunan
Edom (keturunan Esau).
Dalam
konteks harapan yang tak sampai bagi pemulihan kerajaan Daud di Israel tidaklah
mengherankan jika baik Matius maupun Lukas mengawali Injil mereka dengan
menekankan silsilah Yesus yang berasal dari Daud (Mat 1:1; Luk 1:27.32). Kedua
penulis Injil dengan susah payah menyatakan Yesus sebagai Anak Daud yang
rajawi, yang akan memulihkan kerajaan dan perjanjian Daud. Maka Matius sudah
menyatakan hal itu sejak waktu kelahiran Yesus ketika para majus datang dari
timur untuk mendapatkan kanak-kanak Kristus (Mat 2), sementara pewaris Daud
yang terbesar, Salomo mendapat kehormatan seperti itu pada puncak
pemerintahannya (1 Raj 4:34). Demikian pula, ketika dalam Luk 1:31-33 Gabriel
menyampaikan kabar sukacita perkandungan Kristus pada Maria, kata-katanya
mengambil kata-kata yang digunakan dari pokok-pokok teks perjanjian Daud, 2 Sam
7:8-17, khususnya ayat 13-16.
Yesus
mengawali karirnya dengan pergi ke seluruh Galilea mewartakan Kerajaan (Mat
3:2; Mrk 1:15; Luk 4:43). Khotbahnya yang paling panjang berfokus pada Kerajaan
(Mat 5-7; Luk 6:20-49), dan sebagian besar perumpamaanNya mengajarkan
aspek-aspek Kerajaan (Mat 13:1-51). Mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus, khususnya
pengusiran roh jahat, merupakan tanda-tanda bahwa Kerajaan Allah sudah dekat
dan bahkan sudah sangat dekat sekali (bdk Mat 12:28). Pada Perjamuan Terakhir,
ia membagikan Kerajaan itu pada para muridNya, dan mengangkat mereka pada
jabatan-jabatan yang punya wewenang di dalamnya (Luk 22:29-30). Sesudah
kebangkitan, Kerajaan menjadi topik utama wacana Yesus dengan para murid dalam
empat puluh hari sebelum Ia naik ke surga (Kis 1:3).
Walaupun
rujukan pada Kerajaan Allah sangat dominan dalam pengajaran Yesus, tema
Kerajaan tetap penting di dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya. Ajaran
mengenai Kerajaan Allah mengawali dan mengakhiri Kisah Para Rasul (Kis 1:3;
28:31). Maksud dari model sastra pembukaan dan penutup ini adalah bahwa semua
selipan di tengahnya (“inclusion”) menunjukkan bahwa rasul-rasul, utamanya
Paulus (bdk Kis 14:22; 19:8; 20:25; 28:23) melanjutkan karya Yesus dalam
mewartakan Kerajaan itu. Paulus sendiri menyebut Kerajaan Allah empat belas
kali dalam surat-suratnya (dari Roma hingga Filemon), sering mengingatkan
mereka akan praktek perilaku hidup yang dapat menyebabkan mereka tidak akan
diterima dalam Kerajaan (1 Kor 6:9-10; Gal 5:21; Ef 5:5). Walau Surat Ibrani
jarang menyebut Kerajaan secara eksplisit, surat itu dengan jelas menggambarkan
Yesus sebagai Imam-Raja menurut peraturan Melkisedek (Ibr 7:1-9.15-17), dan
menerapkan Mazmur-mazmur Daud dan nubuat-nubuat bagi Yesus (Ibr 1:5-9), dan
melukiskan tahtanya di surga (Ibr 1:3; 2:7-9). Semua ini menyatakan bahwa
Kristus memerintah KerajaanNya hingga sekarang. Menjelang akhir surat Ibrani,
Yesus dilukiskan dalam gaya bahasa dan gambaran yang khas dalam kerajaan Daud:
“Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem
sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, dan kepada
jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, ..... dan kepada
Yesus, Pengantara perjanjian baru” (Ibr 12:22-24). Hak istimewa untuk mendekati Kristus sang
Imam-Raja yang bertahta di surga ini membangkitkan rasa syukur: “Jadi, karena
kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur”
(Ibr 12:28).
Dalam
Kitab Wahyu ada beberapa kata kunci, rujukan eksplisit pada Kerajaan yang
menunjukkan bahwa para pengikut Kristus sudah ikut serta di dalam Kerajaan itu:
“[Untuk Dia] yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam
bagi Allah, Bapa-Nya, -- bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya”
(Why 1:6; bdk Why 1:9; 5:10). Tema Kerajaan dalam kitab Wahyu dikuatkan dengan
kutipan-kutipan yang dikenakan pada Kristus detil uraian yang menggambarkan
baik secara eksplisit maupun implisit tradisi monarki dari Daud (Why 1:5 bdk
dengan Mzm 89:27; Why 2:27 bdk dengan Mzm 2:9;
Why 3:7 .21; 5:5; 12:5; 22:16). Panggung utama untuk adegan dalam kitab
ini adalah istana-bait surgawi Allah, di mana Tuhan bertahta (Why 4:2) bersama
dengan tangan-kananNya, sang Anak Domba, berada di sampingNya (Why 5:5-6:13)
dikelilingi oleh para menteri, para penatua yang didudukkan pada tahta masing-masing
dan diberi mahkota (Why 4:4). Suatu titik puncak adegan dicapai dalam Why
11:15: "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang
diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya."
Konsep Kerajaan surga ini didirikan di dunia dan kemudian dikembangkan lebih
lanjut dalam Why 21-22, di mana Yerusalem surgawi (ibukota Daud) turun ke bumi,
dan dari ditu Tuhan dan Kristus Anak Domba memerintah semesta. Tekanan yang
berkelanjutan atas identitas Kristus yang rajawi dari Daud bahkan sampai di akhir kitab -- “Aku
adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang."
(Why 22:16), menunjukkan bahwa kerajaan Daud sudah disatukan dengan Kerajaan
Allah dengan cara analog seperti kesatuan kodrat manusia dan kodrat Allah pada
Kristus.
II. Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru
A.
Istilah Kerajaan Allah
Walaupun “Kerajaan Allah” merupakan istilah yang paling
sering digunakan, para penulis Perjanjian Baru
menggunakan beberapa padan kata yang pada dasarnya menggambarkan
realitas yang satu dan sama. “Kerajaan Surga” merupakan suatu ragam
sebutan yang unik khas bagi Matius, yang
digunakannya dalam tiga puluh dua kesempatan yang dalam Injil-injil Markus dan
Lukas disebut “Kerajaan Allah”. Beberapa variasi sebutan yang digunakan para
pengarang Perjanjian Baru termasuk
“Kerajan Kristus dan Allah” (Ef 5:5), “kerajaan PuteraNya yang terkasih”
(Kol 1:13), “Kerajaan kekal, yaitu
Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2 Ptr 1:11) dan
"Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya,
" (Why 11:15). Selain itu, Yesus mengatakan “kerajaanKu” (Yoh 18:36; Luk
22:30) dan “kerajaan BapaKu” (Mat 26:29); orang lain berkata kepada Yesus
tentang “kerajaanMu” (Mat 20:21; Luk 23:42), dan ada berbagai sebutan yang
semata-mata “kerajaan” saja tanpa embel-embel lain (Mat 24:14; 25:34; Luk
12:32; Kis 20:25). Semua variasi sebutan ini mungkin mmpunyai sedikit konotasi
yang berbeda, namun mereka merujuk pada realitas yang sama dari frasa “Kerajaan
Allah”. Sebagian dari ragam sebutan itu menunjukkan dengan jelas perbedaan
antara Kerajaan Allah dengan Kerajaan Kristus (bdk 2 Ptr 1:11; Why 11:15).
B. Tiga
Dimensi Teologis dari Kerajaan Allah
Para Bapa Gereja mengenali tiga dimensi Kerajaan Allah, dan
semua dimensi itu tetap sah sepanjang masa.
Yang
pertama adalah dimensi Kristologis, di mana Kerajaan itu adalah |Kristus
sendiri (bhs Yunani “autobasileia”). Yesus adalah inkarnasi dari Kerajaan
Allah. Sebagai Raja, Ia mewujudkan Kerajaan itu dan menghadirkannya: di mana
Raja berada, di situ pulalah kerajaanNya. Maka dalam ayat-ayat tertentu Yesus
menunjukkan Kerajaan yang sudah hadir dalam diriNya sendiri: “Tetapi jika Aku
mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah
datang kepadamu” (Luk 11:20); atau “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara
kamu” (Luk 17:21). Dimensi inilah yang mungkin juga tampak di dalam
perumpamaan-perumpamaan kerajaan sebagai mutiara yang berharga (Mat 13:45-46)
atau sebagai harta yang tersembunyi di suatu ladang (Mat 13:44). Kristus adalah
mutiara dan harta, yang untuk memilikiNya orang mau berkorban apa saja.
Dimensi
yang kedua bersifat idealis dan mistik. Di dalamnya Kerajaan dipahami sebagai
berada di dalam hati (yaitu dalam batin setiap orang) kaum beriman. Ini
berkaitan dengan pandangan yang terdahulu karena |Kristus berdiam, berkat Roh Kudus,
di dalam hati setiap muridNya (Ef 3:16-17). Oriegenes yang pertama-tama
mengemangkan pandangan teologis ini menyatakan bahwa barangsiapa yang mendoakan
Bapa Kami “mendoakan datangnya Kerajaan yang sudah hadir di dalam diri mereka”.
Ia menambahkan, “di dalam setiap orang kudus adalah Tuhan yang meraja”.
Pandangan mistik ini tampak dalam pernyataan Yesus bahwa “Sesungguhnya Kerajaan
Allah ada di antara kamu” (Luk 17:21), yang kemudian dimengerti dalam arti
“Kerajaan Allah itu ada di dalam masing-masing dari kamu”. Paus Benediktus XVI
memadatkan pandangan ini dengan menyatakan, “Kerajaan Allah tidak diketemukan
dalam peta manapun... sebab adanya adalah di dalam batin manusia.”
Dimensi
yang ketiga adalah dimensi eklesiologis: Kerajaan itu adalah Gereja. Dimensi
ini berkaitan dengan kedua dimensi yang terdahulu karena di satu pihak Gereja
pada hakekatnya adalah tubuh mistik Kristus, yang adalah Raja dan Kerajaan; di
pihak lain, Gereja adalah himpunan dari jemaat yang di dalam mereka Kristus
sang Raja bersemayam.
Dimensi
ketiga ini diungkapkan dengan paling jelas dalam beberapa perumpamaan tentang
Kerajaan Allah di dalam Mat 13. Kerajaan dilukiskan sebagai suatu ladang di
mana terdapat gandum dan semak berduri, yang akan dipilah pada akhir zaman.
Begitu pula Kerajaan adalah jala yang menangkap ikan yang baik maupun yang
buruk, dan yang buruk hanya akan dipilah oleh para malaikat pada akhir masa.
Kedua perumpamaan itu menunjukkan bahwa Kerajaan merupakan realitas yang sudah
ada, sekalipun campur aduk, yang akan disempurnakan pada akhir sejarah nanti.
Situasi sekarang dari Kerajaan yang campur aduk itu dipahami sebagai Gereja
yang ada di dunia, Gereja yang sedang berjuang; sedangkan perwujudan Kerajaan
yang sempurna adalah Gereja di surga, Gereja yang Jaya, ke arah mana Gereja
yang sedang Berjuang sekarang melakukan perjalanan ziarahnya.
Ajaran
tentang Kerajaan lainnya di dalam Perjanjian Baru membenarkan pandangan
eklesiologis itu. Ketika bercakap-cakap dengan Nikodemus, Yesus berkata:
“sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat
masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). Perkataan ini bisa dipahami dalam
kaitan dengan baptis, dengan mana seseorang memasuki Gereja. Dalam hal ini
Gereja dalam arti tertentu adalah Kerajaan yang dimasuki seseorang yang
dilahirkan dari air dan Roh.
Kepada
Jemaat Kolose Paulus menjelaskan bahwa Tuhan “telah melepaskan kita dari kuasa
kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih” (Kol
1:13). Dengan demikian para anggota Gereja sudah serta merta berada di dalam
Kerajaan (bdk Why 1:6. 9:; 5:10).
Salah
satu pernyataan yang dengan jelas menyamakan Gereja dengan Kerajaan terdapat
dalam Ibr 12:22-28. Penulis surat mula-mula memberitahu para pembaca bahwaa
mereka “sudah datang ke Bukit Sion, ke
kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu
kumpulan yang meriah, dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya
terdaftar di sorga, ..... dan kepada Yesus” (Ibr 12:22-24). Dan sesudah
menggambarkan hakekat sorgawi Gereja, di mana para pembaca yang masih hidup di
dunia sudah ikut serta di dalamnya, pengarang surat Ibrani melanjutkan: “Jadi,
karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap
syukur” (Ibr 12:28). Maka menjadi “jemaat anak-anak sulung” (Ibr 12:23)
serentak berkait dengan “menerima kerajaan” (Ibr 12:28).
Akhirnya,
seperti yang telah kita bicarakan di depan, kitab Wahyu merupakan suatu visiun
tentang Gereja yang Jaya yang berhimpun di sekeliling Tuhan, yang masih tertunda.
Namun secara serentak : tahta, mahkota dan berbagai gambaran kerajaan lainnya
menjelaskan bahwa para malaikat, orang kudus, para penatua dan lain-lain yang
berhimpun di sekeliling tahta Allah dan Anak Domba juga mewujudkan suatu
Kerajaan.
Untuk
menopang persamaan antara Gereja dengan Kerajaan, perlu ditangkap juga ajaran
yang tersirat dalam kitab Wahyu bahwa Gereja pada hakekatnya merupakan suatu
realitas surgawi. Gereja yang ada di surga, Gereja yang Jaya, merupakan wujud
yang sepenuhnya dari Kerajaan. Pada akhir zaman, ketika semua anggota Gereja
yang masih Berjuang telah memasuki Gereja yang Jaya, dan karena itu Gereja yang
sedang Berjuang sudah tidak ada lagi, maka Gereja sama dan sebangun dengan
Kerajaan. Namun sekarang ini adalah tidak tepat jika kita menyangkal bahwa
Gereja yang sedang Berjuang mewujudkan Kerajaan Allah, sebab sesungguhnya
Gereja yang sedang Berjuang adalah bagian dari Kerajaan Allah itu sekalipun
dalam rupa yang tidak sempurna. Konstitusi Dogmatik [Konsili Vatikan II]
tentang Gereja Lumen Gentium menyatakan hubungan itu dengan cermat dan indah :
“untuk memenuhi kehendak Bapa, Kristus memulai Kerajaan sorga di dunia, dan
mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan
penebusan kita. Gereja, atau dengan kata lain, kerajaan Kristus yang sudah
hadir dalam misteri, atas kekuatan Allah berkembang secara nampak di dunia” (LG
art 3). “Gereja, ..... menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan
Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua Bangsa. Gereja merupakan
benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia. Sementara itu Gereja lambat-laun
berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga
berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam
kemuliaan” (LG art 5).
C.
Kerajaan Allah sebagai Pemenuhan Tipologis Kerajaan Perjanjian Lama.
Setelah Kerajaan Allah bisa dilihat sebagai Gereja, maka
pemenuhan tipologi kerajaan dalam Perjanjian Lama kiranya juga bisa diketahui.
Yang
pertama dan terutama, Gereja merupakan pemenuhan kerajaan Daud. Gereja bisa
dilukiskan sebagai pemulihan dan penyempurnaan, atau mungkin transfigurasi
(peralihan rupa yang lebih mulia) dari kerajaan Daud. Seorang ahli Kitab Suci
Katolik, Raymond Brown menyatakan: “Kerajaan yang didirikan Daud... merupakan
paralel yang paling dekat dari Perjanjian Lama pada Gereja Perjanjian Baru.”
Maka, ciri-ciri dari kerajaan Daud (lihat di atas) bisa diketemukan [adanya
dalam Gereja] setelah diperhitungkan dan diubah oleh Kristus. Sebagaimana
kerajaan Daud didirikan atas suatu perjanjian ilahi maka Kerajaan Yesus di
dunia didasari dengan dengan suatu “perjanjian baru”, yang ditetapkan dengan
penyerahan tubuh dan darahNya. (Luk 22:20). Yesus dapat mengadakan perjanjian
ini karena Dia adalah anak Allah dan
“Kristus [Dia yang diurapi] Tuhan” dalam arti kata yang lebih dalam daripada
raja-raja keturunan Daud di masa lampau:
Yesus bukan hanya anak angkat, melainkan pada hakekatnya adalah Anak
Allah yang sesungguh-nya (bdk Luk 1:35). Dan
Ia adalah “Kristus” yang bukan diurapi dengan minyak melainkan dengan
Roh Kudus (Luk 3:22; 4:1). Kerajaan ini masih terkait terus dengan Yerusalem.
Namun di sini ada unsur tranformasi, bahkan trans-lokasi : ibukkota Yerusalem
tidak lagi berada di dunia melainkan Zion/Yerusalem surgawi, sebagaimana yang
ditekankan dalam kitab Wahyu maupun Surat Ibrani (Ibr 12:22-24; Why
21:1-27). Begitu pula Anak Daud masih
terus membangun Kenisah atau Bait Allah
di dalam Kerajaan ini. Namun Bait Allah ini juga sudah ditransformasikan. Nukan
lagi bangunan dari batu, melainkan bait untuk tubuhNya yang bersifat fisik (Yoh
2:21) tetapi juga mistik (Mat 16:18; 1 Kor 12:27; Ef 4:15-16.20-22). Bait
Kerajaan ini adalah sungguh-sungguh bersifat internasional, karena Kristus
memerintah atas seluruh Israel dan juga segala bangsa-bangsa (Mat 22:19; Luk
24:47; Why 7:1-21). Kerajaan Kristus [yang
kekal untuk selama-lamanya (Luk 1:33)] mempertahankan pemerintahan
rajawi Daud termasuk memberikan tempat
yang terhormat kepada Ibu Suri (Luk 1:42. 48-49; Why 12:1) suatu peran bagi
Menteri Utama (Mat 16:18-19; bdk Yes
22:22). Serta kedua belas pejabat [pembantu Raja] atas seluruh Israel (bdk 1
Raj 4:7), yaitu para rasul yang kepada mereka Yesus secara harfiah
“menjanjikan” (bhs Yunani diatithemi) Kerajaan dan mempercayakan kekuasaan
sebagai wakilNya (Luk 22:29-30).
Kis
15:1-21 menunjukkan sejauh mana para rasul memahami Gereja sebagai pemenuhan
kerajaan Daud. Dalam penutupan Konsili Yerusalem, Yakobus menguatkan keputusan
Petrus untuk menerima bangsa-bangsa lain di dalam Gereja, sebagian karena ia
memahaminya sebagai pemenuhan dari nubuat Am 9:10-11: “Kemudian... Aku akan
kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh, dan
reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan, supaya semua orang lain mencari Tuhan dan
segala bangsa yang tidak mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku” [Kis 15:
16-17]. Namun frasa sang nabi Amos [dalam Am 9:11]: "Pada hari itu Aku
akan mendirikan kembali pondok Daud yang telah roboh” di dalam konteks ini
adalah suatu rujukan pada dinasti dan kerajaan Daud yang tidak terwujud di
zaman Amos. Visiun Amos mengenai pemulihan kerajaan Daud dan bangsa-bangsa yang
berduyun-duyun masuk ke dalamnya, di dalam pandangan Yakobus terpenuhi dengan
masuknya bangsa-bangsa bukan Yahudi ke dalam Gereja. Maka Yakobus memandang
Gereja sebagai kerajaan Daud yang sudah diubah. Konsep yang sama mendasari
khotbah Petrus dalam Kis 2:29-36 dan Paulus dalam Kis 13:22-23.32-37.
Wahyu
21-22 menyatukan dengan cara yang mencolok tema-tema Kerajaan Allah, kerajaan
Daud dan Gereja di dalam visiun mengenai Yerusalem Baru yang turun dari Allah.
Pertama, orang dapat mengenal Yerusalem Baru itu sebagai Gereja karena
diperikan sebagai “pengantin perempuan, mempelai Anak Domba” (Why 21:9; bdk Why
21:2), suatu pelukisan bagi Gereja seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh
kitab-kitab lain (Ef 5:23-32; tetapi renungkan juga Mat 22:1-14; 25:1-13).
Yerusalem Baru itu juga dibangun di atas “dua belas batu dasar dan di atasnya
tertulis kedua belas nama kedua belas rasul” (Why 21:14), yang mengingatkan
pada uraian tentang “Gereja yang dibangun di atas dasar para rasul” (Ef 2:20).
Kedua,
orang dapat menyamakan Yerusalem Baru dengan kerajaan Daud, atau setidaknya
intinya atau pusatnya. Bagaimanapun [sekalipun Baru] dia adalah Yerusalem, Kota
Daud (1 Raj 8:1), ibukotanya yang dulu (2 Sam 5:9) dan di sana Anak Daud, Anak
Domba itu adalah “Singa dari suku Yehuda” (Why 5:5), “tunas, yaitu keturunan
Daud” (Why 22:160, memerintah dari satu tahta bersama dengan Allah.
Maka
kedua bab terakhir dari kitab Wahyu merupakan pemadatan pelukisan yang di
antara yang lain-lainnya menunjukkan pemenuhan kerajaan Daud di dalam Kerajaan
Allah yang adalah Gereja surgawi.
Di
dalam Gereja-sebagai-Kerajaan Allah, orang dapat mengenali pemenuhan tipologi
lain dari kerajaan Perjanjian Lama. Petrus memastikan bagi umat Kristen bahwa
mereka adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus” (1
Ptr 2:9). Dengan kata lain, janji Tuhan kepada Israel akan suatu bangsa
imamat-rajawi di masa Musa di Sinai (Kel 19:6) diwujudkan di dalam jemaat
Kristen.
Janji
kepada Abraham bahwa “dari padamu akan berasal raja-raja” (Kej 17:6) juga
terwujud sepenuhnya di dalam Kristus Raja, sehingga dari Dia, Abraham menjadi
“bapa dari banyak bangsa-bangsa” berdasarkan iman (Rm 4:16-17).
Akhirnya
peran paradigmatis dari Adam sebagai wakil-penguasa atas alam semesta juga
sudah dilunaskan tuntas dalam Kristus, Adam yang Baru (Rm 5:14), yang
menjadikan Gereja tubuhNya juga menjadi “manusia baru” (Ef 2|:15), dan bersama
dengan tubuhNya itu berkuasa atas segala sesuatu, yang telah diletakkan di
bawah kakiNya (bdk Kej 1:26.28; Mzm 8:3-9; Ef 1:20-23; Ibr 2:6-9). Atas alasan
ini, kitab Wahtu menggambarkan Yerusalem Baru, kota-tempat-bertahtanya Anak
Domba, juga sebagai Eden yang baru, di mana mengalir sungai kehidupan (bdk Kej
2:10-14; Yeh 47:1-12; Why 22L1-2), dan tempat Pohon Kehidupan bertumbuh (bdk
Kej 3:22-24; Why 22:2); kutuk laknat yang menyertai jatuhnya manusia dalam dosa
di Eden (Kej 3:14-19) telah dihapuskan (Why 22:3).