Bambang Kussriyanto
Sejarah Gereja Katolik Indonesia
Pasca 1970
BAB I
GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN
(1970-1979)
“Kemajuan yang sejati
terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi
manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan
kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI,
Populorum Progressio 86)
“Manusia berziarah ke depan, melangkah maju dalam menguasai
dunia: pikiran, studi dan pengetahuan mengantarkan penguasaan atas dunia itu; kerja,
alat dan prasarana serta teknologi menjadikan penguasaan ini kenyataan yang
indah. Apa gunanya kemajuan ini bagi manusia? Untuk membantu agar hidup lebih
baik dan lebih penuh. Manusia mencari kepenuhan hidup dalam waktunya yang
terbatas - dan sedang berusaha
mencapainya. Kepenuhan hidup itu haruslah universal, artinya, diperuntukkan
bagi semua orang. Maka manusia mengusahakan pemerataan hasil kemajuan bagi
semua orang; mengusahakan kesatuan, keadilan, keseimbangan dan kesempurnaan,
yang kita sebut Perdamaian.
1974
B. Melayani Kaum
Miskin, Memperjuangkan Keadilan Sosial dan Hidup Damai Sejahtera
Mengawali tahun baru dengan mendengarkan pesan perdamaian Paus Paulus
VI pada Hari Perdamaian Sedunia ke-7. “Saat ini dalam sejarah masih ditandai
dengan pecahnya konflik internasiona, alat-alat perang yang mengerikan,
revolusi kemerdekaan yang gigih, penindasan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar, serta gejala-gejala keguncangan ekonomi dunia yang tan kasat mata, yang
seluruhnya menggusurkan jauh-jauh cita-cita Perdamaian. Di tempat abstraksi yang samar dan mencemaskan
di mana Damai diletakkan dalam pengalaman poltik dan pemikiran dewasa ini,
sekali lagi orang lebuh suka memandang realisme faktual dan kepentingan, dan
manusia dianggap sebagai masalah permanen yang tak terselesaikan berkenaan
dengan konflik dalam dirinya sendiri: manusia seperti ini membawa dalam hatinya
takdir pergumulan antar saudara.
Berhadapan dengan realisme kasar yang timbul kembali ini kami hunjukkan
konsep Damai yang tidak bening murni, yang diremehkan oleh pengalaman baru yang
menindas, melainkan suatu idealisme yang tak pernah tidur, yang Damai yang
perlu terus-menerus ditegakkan secara progresif.
Walau pengaruh perorangan atas opini publik dalam hal ini amat sangat
kecil, namun tak pernah sia-sia. Damai tetap berlanjut oleh dukungan yang
diberikan orang, sekali pun individual dan tanpa nama. Dan kita sema tahu
bagaimana opini publik terbentuk dan dinyatakan: melalui pernyataan yang kuat
dan serius yang dapat disebarkan dengan mudah. Peneguhan Perdamaian haruslah
berproses dari pernyataan yang tadinya bersifat perorangan menjadi ungkapan
bersama dan komunal; haruslah menjadi
pernyataan kelompok bangsa dan komunitas bangsa. Harus diterjemahkan menjadi
keyakinan, ideologi dan tindakan; hasus menjadi aspirasi yang meresapi pikiran
dan tindakan generasi baru, meresapi dunia, politik, perekonomian, pengajaran,
masa depan dan peradaban”.
Masing-masing dari kita harus mendengarkan suara hati nuraninya yang
terus-menerus berbisik: “Damai bergantung kepadamu juga” .
Di Keuskupan Agung Jakarta pada waktu itu semua paroki
terdiri dari lingkungan-lingkungan sebagai komunitas terkecil berbasis
teritorial menurut tempat kediaman umat. Paroki baru biasanya terjadi dari
pemisahan beberapa lingkungan dari paroki induk. Melalui lingkungan-lingkungan
itu Gereja berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum. Maka diperlukan
hubungan yang bersifat teratur dan tetap antara lingkungan dengan paroki induk
dalam rangka pelayanan sakramen, pastoral dan pelayanan kebutuhan-kebutuhan
lain.
Hubungan konsultatif antara paroki satu dan paroki lain yang
berdekatan juga perlu ditingkatkan, menyiapkan jalan koordinasi paroki-paroki
dalam struktur Dekanat.
Harapan hidup dalam damai sejahtera juga tersirat ketika
tahun 1974 diproklamirkan sebagai ‘Tahun Gerakan Ekumenis’ di Nusa Tenggara
Timur oleh para pemimpin Gereja Katolik di NTT, Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) dan Gereja Kristen Sumba (GKS). GMIT adalah salah satu dari Gereja
Bagian Mandiri dari Indische Kerk yang disetujui pada 1933 untuk mewakili
wilayah Minahasa (keresidenan Minahasa), Maluku (Keresidenan Maluku), dan Timor
(Keresidenan Timor & Pulau-pulau Sumbawa, Flores, Alor, Timor, Rote, Sabu -
kecuali Sumba). Pada Desember 1948 Indische Kerk berganti nama menjadi GPI
(Gereja Protestan Indonesia). Gereja Kristen Sumba (disingkat GKS) ialah suatu
organisasi gereja Kristen Protestan di Indonesia, wadah penginjilan dan wadah
penyatuan umat Protestan aliran Calvin yang memiliki wilayah di pulau Sumba. GKS
lahir bertepatan dengan pelaksanaan Sidang Sinode yang pertama pada 15 Januari
1947, walau keberadaan GKS merupakan hasil Pekabaran Injil dari Zending Gereja Kristen
Belanda sejak tahun 1881. DGI menerima GKS menjadi anggota pada 25 Mei 1950.
Undang-undang Perkawinan diumumkan pada 2 Januari 1974 sebagai
Undang-undang no. 1/1974 namun teknis pelaksanaannya masih perlu menunggu
Peraturan Pemerintah. Peraturan pelaksanaan UU Perkawinan yang disetuji DPR
pada 22 Desember 1973 itu diperlukan menyangkut empat faktor yang menentukan,
yaitu pemahaman dan penerimaan umum atas kaidah hukum atas peraturan
perundangan itu sendiri, aparat pelaksananya, fasilitas pendukungnya, dan
kesadaran serta kepatuhan hukum masyarakat. Yang pertama berkaitan dengan
sosialisasi UU Perkawinan. Yang kedua adalah kesiapan para petugas yang
mengesahkan perkawinan. Yang ketiga menyangkut tempat dan instansi pencatatan
perkawinan. Yang keempat terkait kesediaan dan kerelaan masyarakat mengikuti
proses administrasi hukum perkawinan. Pandangan umum atas UU Perkawinan adalah
bahwa harapan akan adanya hukum nasional yang berlaku bagi semua tentang
perkawinan sudah dipuaskan. Dengan demikian ada perlindungan negara atas
institusi perkawinan demi stabilitas perkawinan dan kerukunan dalam keluarga.
Tekanan dalam UU Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal juga cukup memuaskan pihak-pihak praktek menolak
poligami dan menginginkan penghargaan pada martabat para wanita.
Gereja Katolik Indonesia melanjutkan komitmen kerjasama dan
solidaritas regional. Pada 9-11 Januari 1974 Federasi Konferensi Waligereja
Asia (FABC) mengadakan pertemuan mengenai media massa. Dalam Pernyataan Bersama
Para Uskup Asia dikatakan bahwa “pengaruh dan pentingnya media komunikasi
sosial tak disangkal sangat menunjang pewartaan Sabda Allah. Karena itu penggunaan media komunikasi sosial menjadi
perhatian bersama para Uskup Asia agar dapat melayani sepenuhnya karya evangelisasi,
pendidikan dan pembangunan jemaat” (FABC Statement 1974 al. 34). Sebagai Ketua
PWI Komsos MAWI Mgr Y. Soudant SCJ hadir dalam pertemuan yang dilaksanakan di
Hongkong itu. PWI Komsos MAWI menindaklanjuti rekomendasi pertemuan itu dengan
melakukan rapat pada 18 Maret 1974 di Jakarta, sekaligus untuk persiapan
pembentukan delegasi MAWI dalam rapat regional Komsos di Bangkok 11-15 Juni
1974. Selanjutnya bidang Komsos FABC akan melakukan pertemuan di Tokyo pada
bulan Juli 1974.
Terjadi kerusuhan besar disertai pembakaran dan penjarahan saat
kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 15 Januari 1974 di Jakarta.
Mahasiswa melakukan demonstrasi dengan long march dari Kampus Universitas
Indonesia di Salemba menuju kampus Trisaksi di Grogol. Mereka digerakkan oleh anggapan
bahwa proyek-proyek investasi asing terutama Jepang di Indonesia sudah terlalu
banyak. Hampir semua produk keperluan masyarakat yang beredar di pasar “dari
bangun tidur hingga berangkat tidur lagi” didominasi merk-merk Jepang. Namun di
balik itu mahasiswa tidak puas dengan sikap ketua IGGI (negara-negara donor
pembangunan Indonesia) terhadap Indonesia, kesal atas kebijakan strategis
pemerintah khususnya presiden yang terlalu disetir kelompok Asisten-Presiden
(Aspri). Mereka merasa frustasi karena memandang orang-orang pribumi tampak
diabaikan kurang bisa menikmati buah-buah pembangunan ekonomi dan menghendaki
agar suara mahasiswa didengar pemerintah. Mereka mengadakan apel menyampaikan
tiga tuntutan mahasiswa: turunkan harga, bubarkan Aspri, dan gantung koruptor. Kerusuhan
yang terjadi mengikuti demonstrasi mahasiswa itu di Blok M, Jl. Jendral
Sudirman, Pasar Senen dan Pasar Glodok mengakibatkan 807 mobil dan 187 sepeda
motor dibakar. Selain itu, 144 bangunan rusak dan sebanyak 160 kg emas hilang
dari sejumlah toko perhiasan. Proyek Pasar Senen yang diperkirakan bernilai
sekitar Rp 2,6 miliar juga terbakar habis.
Respon pemerintah sangat keras terhadap peristiwa Malari
1974 yang dianggap mencoreng wajah pemerintah di kalangan internasional dan
mengganggu kerjasama yang dirintis pemerintah dengan kelompok donatur
pembangunan Indonesia (termasuk IGGI). Pangkopkamtib, Kepala Bakin, dan Rektor
Universitas Indonesia dianggap gagal melaksanakan tuga dan diganti. Presiden
Soeharto menutup secara paksa media massa yang diduga memprovokasi masyarakat
untuk membenci Jepang, yaitu Harian Abadi, Harian Kami, Indonesia Raya,
Nusantara, dan Pedoman. Namun, sebagian media massa yang memutuskan untuk
meminta maaf kepada Pemerintah hingga akhirnya diperbolehkan kembali terbit.
Pemerintah melakukan pengendalian atas kegiatan Dewan Mahasiswa dan Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Dengan Surat Keputusan Pemerintah No.
028/U/1974 pemerintah ikut serta dalam pembinaan kehidupan kampus. Diadakan
normalisasi kehidupan kampus melalui pembentukan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Otonomi lembaga kemahasiswaan intra universitas dicabut.
Situasi baru ini akan mengubah peran berbagai perhimpunan mahasiswa, khususnya
mahasiswa Katolik (PMKRI).
Setelah melewati periode antara 1965-1974 yang ditandai kebijakan laissez-faire,
filsafat ekonomi pintu terbuka yang bertujuan meningkatkan secara maksimum
pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan penggunaan modal perusahaan-perusahaan
multinasional, maka pada tahun 1974 pemerintah menerbitkan serangkaian
kebijaksanaan penanaman modal yang antara lain mengharuskan semua penanaman
modal asing berbentuk kerja-sama patungan, dengan ketentuan mayoritas saham
milik peserta nasional dalam waktu 10 tahun, dan mengutamakan penggunaan tenaga
kerja lokal. Secara umum kebijakan 22 Januari 1974 itu memberikan pembatasan
bagi pemilikan perusahaan modal asing dan meningkatkan peranan modal nasional.
Peristiwa Malari memang mempercepat keluarnya kebijaksanaan itu.
Tetapi terjadinya perubahan itu adalah karena momentumnya tepat. Pada waktu itu
harga minyak melonjak, sehingga pendapatan negara berlimpah dan pemerintah kurang
bergantung pada modal asing menurut rancangan teknokrat/liberal dari Bappenas,
yang mendapat dukungan kuat dari IGGI, IMF dan World Bank.
Institut Sosial Jakarta (ISJ) didirikan Serikat Jesus di
Jakarta pada 1 Februri 1974 dalam rangka mewujudkan gagasan para Jesuit muda
(1971) untuk mendampingi kaum miskin perkotaan, buruh dan pemulung.
Seminar tentang kegiatan sosial FABC 1-5 Maret 1974 di Novaliches,
Quezon City, Manila berkenaan dengan pelayanan kasih Gereja kepada kaum miskin,
komitmen kepada keadilan sosial dan upaya membangun kapasitas untuk menghadapi
besarnya tantangan. Seminar itu dihadiri 7 Uskup Indonesia, Mgr FX Hadisumarto
O.Carm (Malang), Mgr Th Moors (Manado), Mgr Y. Soudant (Palembang), Mgr. D.
Spinozi (Sekadau), Mgr. B. Willing (Sibolga), Mgr. J. Klooster (Surabaya), Mgr.
P. Van Diepen (Manokwari), Mg G, Manteiro (Kupang), Mgr. Th Lumanauw (Ujung
Pandang), Br. Guido utusan biarawan, dan beberapa awam (PSE). Dibicarakan soal
pedesaan, kehidupan ekonomi, nilai budaya, kaum muda, hidup di perkotaan, dan
nilai religi di Asia. Didapatkan gambaran yang hampir menyeluruh namun kurang
lebih sama, bahwa bangsa-bangsa di Asia (terutama di Tenggara) sedang berjuang
untuk menegakkan diri lewat pembangunan mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat
yang pada umumnya miskin, namun mendapat rintangan baik dari internasional
maupun nasional; dalam situasi seperti itu di mana Gereja memposisikan diri?
Para peserta yang berjumlah 44 orang, sebagian besar dari Indonesia, dari
Filipina, Malaysia, Singapura, Laos, Kampuchea, Thailand dan Sri Lanka pada
umumnya sepakat bahwa Gereja tak boleh diam saja, terlibat dan
mengidentifikasikan diri dengan aspirasi-aspirasi yang wajar dan luhur dari
masyarakatnya. Gereja adalah Gereja orang miskin. Mereka bukan hanya lapar
makanan, mereka juga lapar kebebasan, lapar akan martabat dan hidup yang
manusiawi. Untuk terlibat Gereja tidak cukup hanya memelajari Injil, tetapi
juga memelajari situasi masyarakat dan memerhatikan tanda-tanda zaman di
dalamnya. Gereja perlu mendengarkan apa yang diharapkan orang miskin, apa yang
menggerakkan mereka: hidup dan bekerja sesuai martabat, diperlakukan sesuai hak
dan tanggungjawab sebagai warga, berpartisipasi dalam segala hal yang
menyangkut hidupnya. Berkembang kepribadiannya dan sepenuhnya sebagai manusia
yang bermartabat, serta dapat mendengarkan Allah. Dari situ Gereja mendapatkan
panggilannya. Gereja diharapkan menjadi pendamping, teman perjalanan hidup
mereka, dan tidak menempatkan diri di atas mereka sebagai pemberi amalan
semata. Karena kemiskinan itu umumnya disebabkan oleh struktur yang menindas,
maka Gereja diharapkan menjadi garam dan ragi masyarakat untuk mewujudkan
struktur-struktur yang berkeadilan. “Roh berseru kepada Gereja Asia dari
kemiskinan material rakyat, dari penderitaan dan pengharapan mereka” demi
inspirasi untuk menemukan jalan-jalan baru dan tepat menangani masalah-masalah
kemasyarakatan demi hidup yang lebih baik. Semua ini akan diolah untuk menjadi
bahan Surat Gembala di masa Prapaska.
Sidang Pleno FABC di Taipei 22-27 April 1974 dihadiri 14
Konferensi Waligereja dan utusan dari 18 negara di Asia. Sebagai utusan MAWI
hadir Yustinus Kardinal Darmoyuwana, Mgr FX Hadisumarto O.Carm (Malang), Mgr
Donatus Djagom (Ende), Mgr. Th. Lumanauw (Ujung Pandang), dan Mgr. Y. Soudant
SCJ (Palembang). Tema sidang berkenaan dengan Evangelisasi di Asia. Sidang
Pleno FABC itu bermaksud menyatukan pandangan Asia dalam menyongsong Sinode Para
Uskup Sedunia bersama Paus bulan Oktober nanti di Roma yang juga bertema
Evangelisasi. “Situasi khas Asia sedang dalam transformasi yang berdampak jauh,
benua yang sedang menempuh modernisasi dan perubahan sosial besar-besaran,
bersamaan dengan gelombang sekularisasi dan surutnya tata nilai sosial tradisional.
Kendati tidak disangkal membawa nilai-nilai dan manfaat positif proses ini juga menimbulkan banyak masalah. Industrialisasi
dan segala aspeknya merombak bangsa-bangsa dengan keterasingan yang tak
tersembuhkan dan disintegrasi pola-pola hidup dan hubungan sosial yang telah dibangun selama berabad-abad.
Makna-makna dan nilai-nilai yang menopang hidup sedang guncang hingga ke
akarnya membuat bangsa-bangsa Asia terperosok dalam kebingungan dan kehilangan
arah, bahkan kehilangan harapan dan berada dalam kegelapan jiwa.
“Kita yang merupakan Gereja di Asia adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kondisi dunia baru ini. Sejarah dan nasib kita terjalin erat
dan bangsa-bangsa kita. Dengan terang Roh Allah dan SabdaNya kita berusaha
membaca tanda-tanda zaman dan menimbang bersama bangsa kita dalam situasi
masing-masing apa yang boleh kita terima dan majukan, apa yang harus kita tolak
dan kita buang.
“Kita tahu di hati saudara-saudara kita bergolak hasrat:
untuk menemukan makna baru dari hidup dan usaha mereka, untuk mengatasi
daya-daya merusak dan membentuk suatu integrasi baru dalam masyarakat,
membebaskan diri dari struktur-struktur yang menimbulkan bentuk baru
penjajahan, untuk memajukan kebebasan
dan martabat manusia, serta kehidupan yang sungguh-sungguh manusiawi,
menciptakan hubungan persatuan yang tulus di anatara sesama dan bangsa-bangsa.
“Maka pewartaan Yesus Kristus dan Injil-Nya kepada
bangsa-bangsa kita di Asia kini menjadi tugas yang makin mendesak, penting dan
luhur melampaui sejarah iman kita di masa lalu di benua kita. Sebab itu kita
dapat mengucapkan kembali kata-kata Rasul dan mengulanginya dengan semangat, “Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil,”
(1 Kor 9:16) sebab “kasih Kristus mendorong kami” (2 Kor 5:14) agar berbagi
dengan bangsa-bangsa kita apa yang paling berharga di hati dan hidup kita,
yaitu Yesus Kristus dan Injil-Nya, kekayaan Kristus yang tidak terhitung besarnya
(bdk. Ef 3:8).
“Untuk itu kita membangun Gereja setempat: yang berinkarnasi
dan berakar mendalam pada bumi yang dipijak. Gereja setempat yang menampakkan
diri dalam jemaat, gereja yang pribumi dan meresap pada akar budaya bangsa. Ini secara konkret berarti
Gereja yang terus menerus, dengan rendah hati dan penuh kasih berdialog dengan
tradisi hidup, budaya-budaya dan agama-agama setempat, pendeknya berdialog
dengan segala realitas hidup dengan
memasukkan akarnya dalam-dalam dan menerima sejarah seluruhnya sebagai
sejarahnya sendiri dengan senang hati. Khususnya di Asia, dialog ini menyangkut tradisi luhur
keagamaan bangsa kita. Dialog akan memungkinkan kita menyentuh ungkapan dan
realitas terdalam dari pribadi bangsa, dan memampukan kita menemukan cara-cara
yang autentik untuk menghayati dan mengungkapkan iman kristiani kita. Suatu Gereja lokal yang berdialog dengan bangsanya, di
banyak negara Asia, berarti berdialog dengan kaum miskin. Sebab sebagian besar
rakyat Asia adalah orang miskin. Mereka miskin, bukan dalam hal nilai-nilai
manusiawi, mutu, maupun potensi insani. Namun mereka miskin, karena tersingkir
dijauhkan dari akses pada barang-barang material dan sumberdaya yang mereka
perlukan untuk hidup yang sungguh-sungguh manusiawi. Mereka kekurangan, karena
mereka ditindas, yaitu oleh struktur-struktur sosial, ekonomis dan politik yang
tidak adil. Dengan demikian dialog di Asia adalah tri-matra. Matra indigenisasi
mewujudkan Gereja setempat yang sungguh hadir dalam kehidupan dan budaya
bangsa. Dengannya, seluruh realitas insani
diserap ke dalam hidup Tubuh Kristus sedemikian sehingga segalanya
dimurnikan dan disembuhkan, disempurnakan dan dijadikan penuh. Matra tugas
kedua adalah melakukan dialog kehidupan dengan agama-agama Asia dengan Injil, sedemikian
sehingga benih-benih Sabda yang ada pada mereka dapat berkembang hingga berbuah
dalam hidup bangsa-bangsa kita. Akhirnya matra tugas “menyampaikan kabar
gembira kepada orang-orang miskin” (Luk 4:18), memberikan hidup Kristus yang
membawa pembaruan dan kuasa misteri kebangkitanNya, agar memberdayakan mereka
membangun hidup manusiawi yang sejati, menegakkan keadilan, persaudaraan dan
damai sejahtera.”
Indonesia menaruh harapan baru ketika pada tanggal 1 April
1974, dimulai pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II).
Repelita II disusun berdasarkan pada Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1973, dengan tujuan meningkatkan
pemerataan pembangunan di pulau-pulau di luar Jawa, Bali dan Madura, di
antaranya melalui program transmigrasi.
Dalam hal pertumbuhan ekonomi setelah pendapatan domestik bruto (PDB) hanya naik rata-rata dua persen
setahun dalam periode 1960 – 1964, lalu merosot jadi antara 0,4-0,6% setahun
antara 1965-1966, dan berhasil diangkat antara 1967-1968 pada kisaran 3-4%,
dengan kegiatan pembangunan dalam masa PELITA I, dapat dicapai rata-rata angka
pertumbuhan 6% setahun. Dalam REPELITA II akan diusahakan untuk meningkatkan
pertumbuhan PDB dengan laju kurang lebih 7-8% setahun. Dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi sebesar yang direncanakan itu, sementara angka pertambahan
penduduk sekitar 2,3%, maka terdapat selisih lebih yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kegiatan pembangunan selanjutnya.
Presiden Soeharto menyampaikan bahwa pokok-pokok Repelita II
merupakan kelanjutan dan peningkatan Repelita I. Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) II (1974-1979) melanjutkan pembangunan lima tahun tahap sebelumnya,
dengan trilogi pemerataan pembangunan - pertumbuhan ekonomi - stabilisasi: Mencukupi pangan merupakan salah satu sasaran
primer untuk stabilisasi keadaan. Pertanian masih menjadi primadona. Khususnya
untuk menggenjot produksi padi/beras. Produksi beras telah meningkat dari
11.666 ribu ton tahun 1968 menjadi
14.702 ribu ton pada tahun 1973, atau suatu kenaikan sebesar rata-rata 4,8%
setahun. Kenaikan hasil rata-rata per ha terutama disebabkan oleh perluasan
program intensifikasi selama 5 tahun terakhir dengan penambahan areal tanam
melalui program Bimas dan Inmas dari 1,6 juta ha pada tahun 1968, menjadi
kurang lebih 4 juta ha pada tahun 1973. Peningkatan hasil rata-rata per ha juga ditunjang oleh penggunaan bibit
unggul, penggunaan pupuk dan penggunaan pestisida secara intensif. Dalam
semangat Revolusi Hijau, hal yang terakhir itu dipuji tanpa memahami kerusakan
atas tanah sebagai akibatnya : “Meningkatnya penggunaan bibit unggul, pupuk,
dan pestisida mencerminkan sudah meningkatnya kesadaran para petani akan
manfaat dari ketiga macam sarana produksi modern tersebut” (Bappenas).
Peningkatan pendapatan Pemerintah 1973/1974 memungkinkan
negara melalui APBN memainkan peran
lebih besar dalam perekonomian nasional dengan melakukan investasi-investasi
publik yang penting dalam pembangunan daerah, pembangunan sosial, infrastruktur
dan pendirian industri-industri (dasar skala besar), di antaranya
industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan bahan-bahan mentah
bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Ini membangkitkan
sektor manufaktur semakin berkembang.
Pemerintah juga menaikkan gaji PNS dan guru sekolah,
meluncurkan program-program baru di bidang pendidikan dan sektor kesehatan,
termasuk pembangunan ribuan sekolah-sekolah dan fasilitas kesehatan di
perdesaan.
Catatan untuk bidang agama: program bidang pendidikan agama
merupakan salah satu usaha pembinaan moral dan akhlak, di mana sasaran utamanya
adalah generasi muda. Oleh karenai itu diusahakan penambahan dan penyempurnaan
penyediaan sarana pendidikan. Hingga saat itu terdapat 853 sekolah agama negeri
dan 28.856 buah perguruan agama swasta. Di seluruh Indonesia terdapat 13 IAIN
induk tersebar di seluruh propinsi, 17 perguruan tinggi agama Kristen
Protestan, 17 perguruan tinggi swasta Katolik dan 2 Perguruan tinggi swasta
Hindu/Buddha.
Untuk membina stabilisas politik, ekonomi, sosial dan agama,
perlu ditingkatkan kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam rangka
pelaksanaan program tadi diadakan pertukaran pikiran yang sehat dan konstruktif
antar pemuka agama. Dari program ini diharapkan adanya saling pengertian,
terutama dalam menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan, dan tercapainya
suatu kode etik pergaulan dan penyebaran agama, agar akhirnya tercipta iklim
kehidupan antar umat beragama yang serasi dan tertib. Hingga saat ini di
Indonesia terdapat 292.994 mesjid, 9.992 gereja Kristen Protestan dan 3.197
gereja Katolik. Dalam APBN 1974 ditetapkan untuk belanja rutin sektor agama
sebesar Rp 2.65 milyar, sedang anggaran belanja pembangunan sektor agama yaitu
untuk Program Peningkatan Sarana Kehidupan Beragama Rp 1,42 milyar dan untuk Program
Penerangan dan Bimbingan Hidup Beragama Rp 110 juta.
Pada tanggal 1 Mei 1974, sidang Majelis Umum PBB yang
membahas keguncangan perekonomian dunia dilaksanakan. Sidang tersebut
dilaksanakan untuk membahas mengenai segala krisis yang terjadi di dunia, dan
juga untuk memenuhi persyaratan dari OPEC terutama negara-negara Arab guna
mengakhiri krisis minyak. Dengan memerhatikan akibat krisis bahan bakar secara
serius dibicarakan kemungkinan untuk membangun suatu tata ekonomi dunia baru
yang didasarkan atas kesamaan (keadilan), kedaulatan, kepentingan umum
(bersama) serta kerjasama di antara semua negara terlepas dari sistem ekonomi
dan sosial mereka. Diharapkan tatanan baru itu akan dapat menghapuskan
kesenjangan yang melebar di antara negara-negara maju dan sedang berkembang,
memastikan perkembangan ekonomi sosial secara cepat dan mantap untuk kedamaian
serta keadilan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Sidang Majelis Umum PBB tanggal 1 Mei 1974 menghasilkan
Deklarasi Tata Ekonomi Dunia Baru. Konsep pokok dari deklarasi itu adalah
persamaan hak dan kewajiban di antara negara-negara maju, berkembang dan
terbelakang untuk bersama-sama membangun tatanan perekonomian dunia yang
adil. Pelaksanaan Tata Ekonomi Dunia
Baru diserahkan pada salah satu lembaga PBB yaitu UN-ECOSOC (United Nation Economic and Social Council).
Kepemimpinan UN-ECOSOC digilir berganti setiap tiga tahun sekali, sehingga
diharapkan memperkecil dominasi pengaruh
pihak-pihak tertentu. UN-ECOSOC dalam mengemban tugasnya menjalankan dan
mengawasi pelaksanaan Tata Ekonomi Dunia Baru, dibantu oleh badan-badan lain di
antaranya: IMF, IBRD, ILO dan FAO.
Berdasarkan Sidang Majelis Umum PBB prioritas program kerja
yang harus dilaksanakan dengan segera yaitu: 1. Pengaturan mengenai
pengelolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan penggunaan teknologi. 2. Masalah jumlah
penduduk. 3. Menata ulang sistem perdagangan. 4. Masalah ketersedian bantuan
luar negeri. Tata Ekonomi Dunia Baru berhasil mengajak negara-negara di dunia
untuk lebih peduli satu sama lain. Dengan Tata Ekonomi Dunia Baru berakhirlah
pula krisis minyak 1973-1974 di negara-negara industri, dan diharapkan kelak
tidak akan lagi terulang krisis yang dapat merusak situasi dunia.
Untuk menentukan keseimbangan baru harga minyak di pasar
dunia maka antara negara-negara produsen minyak dan negara-negara konsumen
berdiskusi. Akhirnya dicapailah kesepakatan harga minyak dunia yang berlaku
sebesar US$ 10.46 per barrel.
Ada pergeseran kebijakan keuangan: Dalam 1966-1972 kegiatan
sekor keuangan sebagian besar menyiasati manajemen bantuan luar negeri ketika
di masa itu jalannya ekonomi masih tergantung pada bantuan keuangan organisasi
internasional dan negara-negara maju. Dengan kenaikan harga minyak sejak 1973
peningkatan pendapatan negara dari sektor minyak memengaruhi sektor keuangan juga dengan
provisi likuiditas kredit Bank Indonesia yang didukung oleh berkah minyak.
Pemerintah mulai mengembangkan lansekap industri keuangan dengan potensi
tabungan perbankan dan pengembangan pasar uang dan modal dalam negeri.
Bank Indonesia pada 1974 mengeluarkan peraturan tentang
berlakunya pasar uang di Jakarta. Dengan adanya peraturan tersebut bank-bank
yang memiliki kelebihan atau kekurangan dana dapat mentransfer atau meminta
dari bank lain dengan perjanjian bunga yang menguntungkan atau dikenal dengan
istilah inter bank call money market.
Kegiatan pasar uang yang telah berkembang secara luas meliputi pihak atau pihak
yang menbutuhkan dana, mereka yang meminjam dana dan mereka yang menciptakan
dan mengelola pasar. Jenis alat atau piranti yang umum digunakan di Indonesia
untuk pasar modal ini adalah warkat niaga (commercial
paper), surat promes (promissory
notes), wesel (bill of exchange),
trade acceptance, call money dan sertifikat deposito.
Pada akhir 1973 terdapat sekitar 155 bank swasta nasional.
Di antaranya terdapat puluhan yang dalam keadaan parah, terutama karena modal
mereka terlalu kecil. Dalam rangka menyehatkan struktur perbankan nasional,
pemerintah menganjurkan bank-bank swasta melakukan penggabungan usaha agar
makin mampu melayani kepentingan masyarakat melalui peningkatan jasa-jasa
perbankan. Pada tahun 1971-1972 masyarakat perbankan masih ragu dan berusaha
memelajari tata cara, proses dan manfaat penggabungan (merger). Pada 1973-1974
pemerintah memberikan insentif perpajakan untuk bank-bank yang melakukan
penggabungan usaha, dan agar insentif itu lebih efektif menggerakkan upaya
merger, dilanjutkan hingga tahun 1977. Maka sejak 1974 semakin banyak bank
swasta nasional melakukan merger, hingga nantinya dari 155 tinggal 80 saja.
Dengan bertambahnya likuiditas pemerintah, melalui Bank
Indonesia disediakan fasilitas kredit likuiditas bagi perbankan, dan karenanya
perbankan dapat menerbitkan berbagai instrumen untuk keperluan masyarakat
seperti kredit investasi dan kredit modal kerja yang makin mendorong percepatan
kegiatan ekonomi yang menambah kemakmuran. Pada 1973 ketika total jumlah uang
beredar Rp 760,7 milyar, jumlah kredit perbankan mencapai Rp 1.020 milyar. Dan
pada 1974 dengan total uang beredar Rp 988,9 milyar jumlah kredit perbankan
mencapai Rp 1.359, 9 milyar. Timbullah angkatan baru usahawan dan wirausahawan
Indonesia di berbagai bidang usaha pertanian, perkebunan, pertambangan,
industri manufaktur, perakitan, konstruksi, bahan bangunan, kimia, obat-obatan
dan makanan, jasa-jasa keuangan dan perbankan, perdagangan, turisme, angkutan
laut, darat, udara, serta anggota manajemen profesional di dalam bisnis mereka,
yang sebagian adalah umat awam Katolik, yang pada gilirannya menjadi penyumbang
dana untuk kelengkapan sarana dan untuk biaya kegiatan pastoral Gereja,
menunjang usaha kemandirian keuangan Gereja.
Kebutuhan primer yang sangat diperhatikan adalah “sandang,
pangan, papan”. Yang dimaksud dengan papan adalah tempat tinggal. Sudah lama
pemerintah memikirkan perumahan untuk rakyat. Itu tampak dari Kongres Perumahan
Rakyat Sehat pada tanggal 25-30 Agustus 1950 yang dibuka oleh Wakil Presiden
Pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta. Dalam kongres itu, Mohammad Hatta
menyampaikan bahwa cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat
bukan mustahil apabila kita mau sungguh-sungguh, bekerja keras, semua pasti
bisa. Pada 18 Juli 1974 pemerintah mendirikan Perusahaan Umum (Perum)
Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas). Tindakan itu adalah kelanjutan dari
Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman I pada 4-6 Mei 1972 di Gedung Bina
Graha, Jakarta. Lokakarya merumuskan tiga keputusan pokok yang menyangkut sistem
kelembagaan, sistem keuangan dan sistem penunjang untuk memenuhi kebutuhan
perumahan rakyat. Atas usaha pemerintah DKI Jakarta dalam mengembangkan
perumahan dengan kerjasama para pengembang swasta, REI (Real Estate Indonesia)
terbentuk pada 11 Pebruari 1972 beranggotakan pengusaha properti. Pada tingkat
nasional kemudian 1) dibentuk Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN)
berdasarkan Keppes RI No. 35 tahun 1974. 2) Dibentuk Perum Pembangunan
Perumahan Nasional (Perum Perumnas) melalui PP No. 29 tahun 1974, sebagai
penyedia rumah murah dan bank tanah. 3) Dibentuk Bank Tabungan Negara (BTN)
melalui KepMen Keuangan No.B49/MK/N/1/1974, sebagai satu-satunya bank perumahan
yang membuka akses pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
melalui kredit perumahan. Kemudian terbit Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan
Sederhana Tidak Bertingkat yang mengatur model rumah sederhana.
Dalam pengadaan rumah bagi masyarakat menengah ke bawah pemerintah
pusat mengusahakan agar harganya terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah
tanpa mengurangi kualitas bangunan. Pelaksanaan program perumahan rakyat kurang
mampu di perkotaan kendala utama adalah kelangkaan tanah dengan harga yang
memadai. Untuk mengatasi hal itu di kota-kota besar dirintis pembangunan rumah susun atau flat dikaitkan
dengan program peremajaan kota. Demi dukungan keuangan pada kegiatan penyediaan
perumahan, disediakan fasilitas kredit pembelian rumah tinggal untuk dihuni
sendiri, yaitu kredit pemilikan rumah (KPR) dalam jangka waktu antara 5-20 tahun
dengan tingkat suku bunga 5% per tahun bagi golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah dan 9% per tahun bagi golongan masyarakat berpenghasilan
menengah. Kredit pemilikan rumah tersebut digunakan untuk rumah yang dibangun
oleh Perum Perumas, dapat juga digunakan untuk membeli rumah-rumah non Perumnas
yang dibangun oleh pengusaha perumahan swasta nasional. Pembangunan
kompleks-kompleks perumahan membuka peluang pengadaan infrastruktur kepentingan
umum semisal pembangunan tempat ibadah untuk penduduk termasuk masjid dan
gereja. Proyek Perumnas pertama di Depok, nantinya menopang pemekaran gereja
Paroki untuk Keuskupan Bogor.
Keuskupan Agung Semarang
mengikat kontrak pastoral dengan Misionaris Keluarga Kudus (MSF)
Provinsi Jawa pada 6 Agustus 1974. Penandatanganan kontrak dilakukan Yustinus
Kardinal Darmoyuwana Uskup Agung Semarang dan Rm. Wim van der Weiden MSF.
Selanjutnya pada 17 Agustus 1974 diresmikan penggunaan gedung gereja di stasi
Parakan, bagian dari paroki Temanggung yang diserahkan pada reksa pastoral MSF.
Kapitel MSF provinsi Jawa membagi tiga daerah kerjanya di Jawa: rukun
Yogyakarta, rukun utara dan rukun selatan. Program Novisiat diselenggarakan
mula-mula di Wisma Nazareth, Banteng, Jl. Kaliurang, tetapi kemudian
dipindahkan (1973) ke Wisma Kana, Salatiga. Pada waktu itu terdapat sekitar 13
imam MSF Provinsi Jawa, 8 di antaranya putera Indonesia. Beberapa imam MSF
misionaris dari Belanda dua tahun terakhir pulang kembali ke negerinya.
Di Nusa Tenggara Timur upaya pengembangan masyarakat dilaksanakan
dengan giat, baik dengan kucuran modal dari pemerintah maupun bantuan luar
negeri (Jerman dan Belanda). Di Maumere dan Ende delegatus sosial memajukan
usaha pertanian dengan menanam lamtorogung memanfaatkan lereng-lereng bukit
dengan pola terasering (dengan areal sasaran hingga 20.000 hektar),
meningkatkan produksi padi dan jagung. Bekerja sama dengan Ikatan Petani
Pancasila (IPP). banyak kelompok usaha bersama (KUB) dan kelompok swadaya (KS)
dibentuk dan dikembangkan. Di Ende dan Ngada saja IPP berusaha mencapai sasaran
mengembangkan lebih dari 200 KUB dan sekitar 1000 KS. Sementara koperasi buatan
pemerintah diwarnai oleh korupsi dan tersendat, koperasi dengan pola Credit
Union dan kelompok kerja yang diinisiasi gereja relatif lancar, giat dan bersih
serta memberi manfaat pada anggota hingga mampu membiayai pendidikan anak,
menanggung biaya kesehatan dan menguatkan permodalan usaha kecil. Tetap saja
bahaya korupsi seperti wabah mengancam semua upaya yang menyangkut uang,
termasuk di kalangan katolik, entah imam, biarawan, awam sama saja.
Kendati indigenasi dan Indonesianisasi
meliputi dua gerakan simultan, membawa masyarakat ke dalam Gereja dengan
segala budayanya untuk disucikan, dan sekali gus menyampaikan Tradisi Gereja
dan kekayaan rohani Kristus untuk memurnikan masyarakat namun kebiasaan
poligami sebagian masyarakat Sumba terutama penganut agama asli Marapu menjadi
faktor penghambat pertumbuhan baik Gereja Kristen Sumba maupun Gereja Katolik.
Sinode Gereja Kristen Sumba 1974 membahas masalah itu dan menerapkan ketegasan
bahwa pelaku poligami bisa dibaptis bersama isteri-isteri mereka namun harus
menceraikan mereka semua kecuali satu isteri. Selanjutnya lelaki yang sudah
beristeri dilarang kawin lagi. Yang
merepotkan, sebagian umat Kristiani diam-diam juga melakoni kehidupan poligami
mengikuti adat. Pihak Gereja Katolik walaupun tampak mendiamkan soal itu
menaruh keprihatinan dan melakukan ketegasan yang sama..
Dari proses Mahkamah Luar Biasa pengadilan G30S 1965 Ruslan
Widjajasastra, Anggota CC PKI, Ketua Politbiro PKI Blitar Selatan, dijatuhi
hukuman mati menurut Putusan Mahkamah No. 15/PID-SUB/74Vord, tanggal 15 Juli
1974.
Praktek standar misioner yang agresif melakukan rekrutmen
anggota dari pintu ke pintu dari Gereja Mormon “Para Kudus Akhir Zaman” dikecam
Gereja-gereja Protestan dan Katolik pada 1974. Program misioner Mormon itu
dilancarkan di Jakarta sejak Januari 1970 dan di seluruh Jawa sejak April 1970
hingga saat itu (300 misionaris asing disebutkan berhasil membentuk 2000 jemaat).
Praktek misioner semacam itu (yang juga dilakukan oleh Saksi Yehova) telah
menyebabkan Gereja-gereja aras utama menerima protes kelompok-kelompok Islam.
Mereka tidak membeda-bedakan Gereja, menganggap perlakuan Orang Kristiani
mengganggu kerukunan beragama dan tidak bisa diterima. Dikemudian hari
Kementerian Agama melalui Kepmen No 70 tanggal 1 Agustus 1978 selain melarang
aktivitas Gereja Mormon, mengusir misionaris mereka, namun secara umum juga
memberi ketentuan-ketentuan siar agama demi menjamin keutuhan bangsa, keamanan
dan ketertiban, “melarang praktek siar
agama pada pemeluk agama lain, praktek siar agama dari pintu ke pintu, praktek membagikan uang atau barang, menyebarkan
pamflet, buku, majalah agama”, yang berlaku bagi dan merugikan semua Gereja
Kristiani di Indonesia. Dampak negatif dalam kemasyarakatan yang melampaui isi
ketentuan-ketentuan itu dirasakan juga oleh Gereja Katolik Indonesia, berupa
gangguan yang mencari gara-gara atas kegiatan lingkungan doa bersama yang
diselenggarakan keluarga-keluarga katolik di berbagai daerah.
Kenaikan harga minyak dunia membuat industri pertambangan
minyak sangat menarik para investor.
Kendati krisis mendorong pengaturani konsumsi energi lebih efisien,
inovasi berkembang untuk menciptakan produk-produk peralatan yang hemat energi,
mereka juga berusaha mencari cadangan-cadangan minyak di luar Arab terutama di
lepas pantai Laut Utara dan negara-negara Amerika Latin (Teluk Mexico).
Indonesia pun menangguk dolar yang mengalir melalui penanaman modal untuk
eksplorasi cadangan dan produksi minyak bumi di Indonesia.
Produksi minyak bumi Indonesia meningkat dari 0,89 juta
barel per hari (Mbpd) pada 1971 menjadi 1,08 (Mbpd) pada 1972; kemudian pada
tahun pertama krisis 1973 melonjak jadi 1.33 (Mbpd) dan naik lagi jadi 1,37
Mbpd pada 1974.
Di tengah harapan membaiknya perekonomian berkat kenaikan
pendapatan dari minyak, negara prihatin oleh krisis utang Pertamina yang
mencapai AS$ 10,5 milyar, sementara penerimaan negara seluruhnya hanya setara
AS$6 milyar. Sebagai perusahaan negara, Pertamina melakukan ekspansi usaha
besar-besaran untuk membeli armada tanker dan di berbagai bidang lain setelah
mendapatkan penerimaan yang besar dari kenaikan harga minyak. Proyek-proyek ekspansi
itu digarap tanpa melewati perhitungan yang matang dan uji studi kelayakan yang
memadai. Untuk itu, Pertamina menjalankan praktik gali lubang tutup lubang. Pertamina bertahan dengan cara membayar utang yang
jatuh waktu dengan mengambil utang jangka pendek baru. Karenanya sebagian besar
utang Pertamina merupakan utang jangka pendek. Praktek ini bisa dilakukan karena pada waktu
itu, seluruh devisa minyak pemerintah secara administratif melewati Pertamina.
Namun, pada pertengahan 1974, kondisi pasar keuangan internasional mengetat.
Pertamina kesulitan mendapatkan utang baru, hingga terjadilah kegagalan membayar
utang.
Amerika Serikat menarik mundur pasukannya yang terakhir dari
Vietnam setelah Perjanjian Paris 1973. Kongres AS melarang keterlibatan militer
dalam operasi apapun di Indochina dan menolak hak veto Presiden atas War Power Act, undang-undang yang
mengatur bahwa presiden memerlukan persetujuan Kongres untuk melakukan perang
di mana pun. Dalam tahun 1974 kendati gencatan senjata diatur dalam Persetujuan
Paris 1973, tembak menembak terus terjadi sporadis dan dalam skala kecil di
Laos, Kampuchea dan Vietnam di antara pasukan-pasukan lokal. Setelah Presiden Nixon dilengser tidak dengan
hormat terkait skandal Watergate pada 1974, bantuan militer AS untuk Vietnam
Selatan dan Kampuchea dikurangi 30% dan sangat besar pengaruhnya pada
melemahnya kekuatan militer Regime Lon Nol dan Vietnam Selatan. Setiap hari
semakin banyak pasukan nasional terbunuh, semakin meluas penetrasi pasukan
komunis ke Vietnam Selatan, Kampuchea dan Laos, semakin banyak misionaris asing
yang harus pergi meninggalkan daerah itu, termasuk antara lain para Lazaris
(CM) dan OMI. Sebagian dari mereka melakukan kontak dengan tarekat yang sama di
Indonesia.
Menjelang penyelenggaraan Sidang Raya Dewan Gereja Dunia
(Protestan) Kelima yang dari awal 1970-an telah direncanakan akan
diselenggarakan bulan Juli 1975 di Jakarta, setelah mendapat izin dan dukungan
Presiden Soeharto yang berharap bahwa perhelatan itu menguatkan keselarasan
hidup beragama di Indonesia. Namun
penerbitan buku kecil dari DGI tentang rancangan Sidang Raya V DGD menimbulkan
reaksi keras para pemuka agama Islam yang memandang rencana itu sebagai agresi
gerakan kristenisasi internasional di
Indonesia, dan dianggap paralel dengan usaha ekspansi kolonialisme barat.
Penentuan Jakarta sebagai lokasi Sidang Raya Dewan Gereja Dunia dipandang
menginjak-injak hak asasi umat Islam Indonesia. Terjadilah gelombang protes
kaum muslim atas rencana Sidang Raya V DGD Jakarta 1975. Pada bulan Juli 1974
pastor Anglikan di Jakarta, Eric Constable, tewas dibunuh. Situasi dipandang
berkembang gawat sehingga DGD mengambil keputusan untuk memindahkan lokasi
Sidang Raya V DGD 1975 dari Jakarta ke Nairobi, Kenya. Situasi itu menimbulkan
penyesalan dan keprihatinan di pihak MAWI juga, yang telah ikut mempersiapkan
diri mengidentikkan diri sebagai Indonesia, tuan rumah rencana perhelatan itu
sejak 1973, dan dalam rangka ekumene telah berusaha mengenal lebih dekat
Dewan-dewan Gereja Protestan yang ada.
Suatu badan koordinasi biarawan-biarawati dibentuk di Keuskupan
Malang (BKKBM) pada 10 September 1974 dengan tujuan menjadi forum aspirasi dan
musyawarah kerja dalam rangka peningkatan dan pengembangan solidaritas
pengabdian pada Gereja dan masyarakat, tanggungjawab kepada Uskup, peningkatan
dan pengembangan hidup religius dengan promosi panggilan, pendidikan calon
anggota serikat, pembinaan lanjut.
Sidang Umum Biasa Ketiga Sinode para Uskup diselenggarakan di
Vatikan antara 27 September - 26 Oktober 1974 dihadiri 209 Bapa Sinode
mengusung tema: “Evangelisasi di Dunia Modern”. Proposisi-proposisi dalam Sinode
para uskup tahun 1974,selanjutnya menjadi bahan surat seruan apostolik baru,
“Evangelii Nuntiandi” (1975). Dari seruan apostolik itu Evangelisasi, yang dahulu dipandang
sebagai tugas di garis depan, yaitu di Tanah Misi, sekarang diakui sebagai
tugas prutusan pokok dari seluruh Gereja (EN 14). "....sekali lagi kami
ingin mengatakan bahwa amanat mewartakan Injil kepada semua orang merupakan tugas
perutusan hakiki Gereja, yaitu tugas dan perutusan yang mendesak bagi
masyarakat dewasa ini, yang sedang mengalami perubahan yang luas dan mendalam.
Sebenarnya evangelisasi merupakan rahmat dan panggilan khusus Gereja, jati
dirinya yang mendalam"
Evangelisasi bergeser dari pengertian sempit, yaitu sebagai
pewartaan injili kepada orang-orang tidak beriman, kepada pengertian luas,
yaitu mengidentikkan evangelisasi dengan segenap kegiatan kenabian dari Gereja
atau jelasnya dengan seluruh tindakan Gereja yang merupakan kegiatan misioner.
Di dalam studi tentang evangelisasi berdasarkan dokumen Konsili, pengertian
evangelisasi terdiri dari tiga bagian, yaitu: Predikasi misioner (Ad Gentes 6); Segenap pelayanan Sabda (LG 35, CD 6, GS 44,
AA 2); Segenap kegiatan misioner Gereja (AG 23,27).
Sidang MAWI 1974 membentuk suatu badan baru LK3I (Lembaga
Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia) pada 24 November 1974 di
lingkungan MAWI. Dengan tujuan mencapai tata kehidupan manusia dan keluarga
Indonesia yang bertanggungjawab dan sejahtera paripurna di segala segi
kehidupan dan penghidupan, LK3KI melakukan usaha-usaha mengembngkan pendidikan
keluarga dan kependudukan; menyiapkan dan melaksanakan kursus persiapan
perkawinan; menatar dan membina para petugas kerasulan keluarga;menyelenggarakan
pelayanan biro konsultasi keluarga untuk persoalan pedagogis, psikologis,
relasi antar-pribadi, ekonomi rumah tangga, dan program keluarga berencana
alamiah. Dalam strukturnya LK3KI mempunyai Badan Pengurus Pusat (Jakarta) dan
Badan Pengurus tingkat Daerah/Keuskupan.
Ketika melakukan refleksi atas situasi karya misi mereka di
Indonesia, dalam penilaian pimpinan Gereja Mormon Amerika Serikat, pertumbuhan
Gereja Katolik Indonesia dipandang spektakular. Dalam 75 tahun pertambahan
jemaat setempat telah bertumbuh dari 250,000 menjadi sekitar 3.000.000. Pada 1974, mereka mendapatkan 660 paroki dalam 33
Keuskupan dan prefektur apostolik. 61%
pelayan pastoral adalah pribumi dengan seorang kardinal, empat dari tujuh Uskup
Agung, sembilan dari 31 Uskup, 507 dari 1,557 imam, 268 dari 480 bruder, dan
2,801 dari 3,784 suster. Pelayanan pendidikan beberapa ribu sekolah, penyelenggaraan rumah sakit dan klinik
kesehatan, lembaga-lembaga kesejahteraan masyarakat, pelaksanaan proyek-proyek
pengembangan ekonomi, beberapa lembaga penerbitan dan suatu harian besar
membuat mereka takjub.