VERBUM DOMINI ANJURAN APOSTOLIK PASCA SINODE USKUP 2008
Paus Benediktus XVI
Dalam rangka Hari Minggu Sabda Allah, yaitu Minggu Ketiga dalam Masa Biasa (22 Januari 2023), saya coba menyajikan dokumen Gereja yang berkenaan dengan Sabda Allah. Setelah Konstitusi Konsili Vatikan II tentang wahyu Ilahi Dei Verbum, berikut ini saya sampaikan Anjuran Apostolik Paus Benediktus XVI, Verbum Domini (Sabda Tuhan), yang sebagian besar bahannya berasal dari Sinode Para Uskup ke 12 tentang Verbum Dei (Sabda Allah). Untuk meringankan aspek teknis pengerjaan, saya membagi dokumen ini dalam tiga seri angsuran. Ini angsuran ketiga (Terakhir). Semoga berguna.
Bagian
Ketiga
VERBUM
MUNDO
“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di
pangkuan Bapa, Dialah yang
menyatakan-Nya.” (Yoh. 1:18)
Perutusan Gereja: Mewartakan Sabda Allah Kepada Dunia
Sabda dari Bapa dan kepada Bapa
90. Santo Yohanes dengan tegas mengungkapkan paradoks
dasariah dari iman Kristiani. Di satu sisi ia berkata bahwa “tidak seorangpun
yang pernah melihat Allah” (Yoh. 1:18; bdk. 1Yoh. 4:12). Imajinasi, konsep atau
kata-kata kita tak akan pernah dapat merumuskan dan merangkul kenyataan tanpa
batas dari Allah Yang Maha Tinggi. Ia tetap Deus semper maior. Di sisi lain,
Santo Yohanes juga menceritakan kepada kita bahwa Sabda sungguhsungguh “menjadi
daging” (Yoh. 1:14). Putra Tunggal, yang pernah bersama Bapa, telah mewahyukan
Allah: yang “tidak seorangpun yang pernah melihat-Nya” (Yoh. 1:18). Yesus
Kristus datang kepada kita, “penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14), Ia
memberikan kepada kita kasih karunia itu (bdk. Yoh. 1:17); dan “dari
kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia”(Yoh.
1:16). Dalam Prolog Injilnya, Yohanes merenungkan Sabda dari keberadaan-Nya
dengan Allah hingga menjadi daging dan kembali-Nya kepada Bapa dengan
kemanusiaan kita; yang telah Ia kenakan selamanya. Dalam datang-Nya dari Allah
dan kembali-Nya kepada-Nya (bdk. Yoh. 13:3; 16:28; 17:8.10) Kristus ditampilkan
sebagai Seseorang yang “menyatakan kepada kita” mengenai Allah (bdk. Yoh.
1:18). Tentu saja, seperti dikatakan Santo Ireneus dari Lyon, sang Putra adalah “Penyataan dari Bapa.” Yesus dari
Nazaret adalah, boleh dikatakan, “ekseget” dari Allah, “tak ada seorang pun
yang pernah melihat-Nya”. “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol
1:15). Di sini kita melihat pemenuhan nubuat nabi Yesaya mengenai kemanjuran Sabda Allah: seperti hujan dan salju
turun laksana air dari langit dan membuat bumi subur, demikian juga Sabda Allah
“tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia tetapi ia akan melaksanakan apa
yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (bdk.
Yes 55:10 dst). Yesus Kristus adalah Sabda yang definitif dan efektif yang
datang dari Bapa dan kembali kepadaNya, sesudah memenuhi kehendak-Nya dengan
sempurna di dunia.
Mewartakan kepada dunia “Logos” pengharapan
91. Sabda Allah telah melimpahkan kepada kita hidup ilahi
yang mengubah permukaan bumi, dengan membuat segala sesuatunya baru (bdk. Why.
21:5). Sabda-Nya melibatkan kita tidak hanya sebagai pendengar wahyu ilahi,
tetapi juga sebagai pewarta-Nya. Ia yang diutus Bapa untuk melakukan
kehendak-Nya (bdk. Yoh. 5:36-38; 6:38-40; 7:16-18) menarik kita kepada-Nya dan
membuat kita menjadi bagian dari hidup dan misi-Nya. Roh Tuhan yang bangkit
menguatkan kita untuk mewartakan Sabda di mana-mana melalui kesaksian hidup
kita. Ini dialami oleh komunitas Kristiani perdana, yang melihat Sabda tersebar
melalui pewartaan dan kesaksian (bdk. Kis 6:7). Sekarang, di sini kita secara
khusus dapat berpikir mengenai kehidupan rasul Paulus, seorang yang sepenuhnya
ditangkap oleh Tuhan (bdk. Fil. 3:12) “bukan lagi aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”(Gal 2:20) – dan pada perutusannya
“celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor. 9:16). Paulus
mengetahui dengan baik bahwa apa yang
diwahyukan dalam Kristus adalah sungguh keselamatan bagi semua
bangsa, pembebasan dari perbudakan dosa untuk dapat menikmati kebebasan
anak-anak Allah.
Apa yang diwartakan Gereja kepada dunia adalah Logos
pengharapan (bdk. 1Ptr :15); untuk dapat menghidupi sepenuhnya setiap saat,
pria dan wanita memerlukan “pengharapan besar” yang adalah “Allah yang memiliki
wajah manusia dan yang ‘mengasihi kita sampai kepada kesudahannya’ (Yoh.
13:1).” Itulah sebabnya mengapa Gereja pada hakikatnya adalah misioner. Kita
tak bisa menyimpan bagi diri kita sendiri Sabda kehidupan kekal yang
dianugerahkan kepada kita dalam perjumpaan dengan Yesus Kristus; Sabda itu
dimaksudkan bagi semua, bagi setiap orang.
Setiap orang di zaman ini, apakah ia memahaminya atau tidak, memerlukan
pewartaan itu. Semoga Tuhan sendiri, seperti pada zaman nabi Amos,
membangkitkan di tengah-tengah kita rasa haus dan lapar yang baru akan Sabda
Allah (bdk. Ams 8:11). Tanggung jawab kitalah untuk meneruskan apa yang telah
kita terima berkat kasih karunia Allah.
Sabda Allah, sumber perutusan Gereja
92. Sinode para Uskup menegaskan kembali dengan kuat
perlunya dalam Gereja untuk membangkitkan kembali kesadaran misioner yang ada
pada Umat Allah dari sejak permulaan. Umat Kristiani Perdana melihat pewartaan
misionaris mereka sebagai suatu keharusan yang berakar dalam hakikat iman
mereka: Allah yang mereka imani adalah Allah dari semua orang, Allah tunggal
sejati yang mewahyukan diri-Nya dalam sejarah Israel dan pada akhirnya dalam
Anak-Nya, yang menyiapkan jawaban yang, dalam keberadaan mereka yang paling
dalam, dinantikan semua orang. Komunitas Kristiani perdana merasa bahwa iman
mereka bukanlah bagian dari tradisi budaya khusus, yang berbeda dari satu
bangsa ke bangsa lainnya, melainkan sebaliknya menjadi milik dunia kebenaran,
yang melibatkan semua orang secara sama.
Lagi-lagi Santo Pauluslah, yang dengan hidupnya, melukiskan
makna perutusan Kristiani dan sifat universalnya yang fundamental. Kita
membayangkan di sini pada episode yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul
mengenai Areopagus di Athena (bdk. 17:16-4). Paulus terlibat dalam dialog
dengan orang-orang dari berbagai budaya justru karena ia yakin bahwa misteri
Allah, Yang Diketahui dan Yang Tidak Diketahui, yang dipahami oleh setiaporang,
betapapun membingungkannya itu, sesungguhnya telah diwahyukan dalam sejarah:
“Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu”
(Kis 17:23). Pada kenyataannya,
kebaruan pewartaan Kristiani adalah bahwa kita dapat mengatakan kepada semua
orang: “Allah telah memperkenalkan diri, dalam pribadi. Dan sekarang jalan
kepada-Nya telah terbuka. Hal baru dari pesan Kristiani tidak terdapat dalam
gagasan, tetapi dalam fakta: Allah telah mewahyukan diri-Nya sendiri.”
Sabda dan Kerajaan Allah
93. Oleh karena itu, misi Gereja tidak bisa dipandang
sebagai suatu pilihan atau unsur tambahan dalam hidupnya. Malahan, hal itu
termasuk membiarkan Roh Kudus mempersatukan kita dengan Kristus sendiri, dan
demikian mengambil bagian dalam misi-Nya sendiri: “Sama seperti Bapa mengutus
Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”(Yoh. 20:21) untuk menyampaikan
Sabda dengan hidupmu seluruhnya. Sabda sendirilah yang mendorong kita kepada
saudara dan saudari kita: Sabda itulah yang menerangi, memurnikan, menobatkan;
kita hanyalah hamba-hamba-Nya.
Maka, perlulah kita menemukan selalu dengan cara baru
kemendesakan dan keindahan dari pewartaan
Sabda, bagi kedatangan Kerajaan Allah, yang diwartakan oleh Kristus sendiri.
Dengan demikian, kita berkembang dalam kesadaran, yang demikian jelas bagi para
Bapa Gereja, bahwa pewartaan Sabda berisi Kerajaan Allah (bdk. Mark 1:14-15),
yang, dalam kalimat yang mengesankan dari Origenes, adalah pribadi Yesus
sendiri (Autobasileia). Tuhan menawarkan keselamatan kepada semua orang pada setiap
zaman. Semua dari kita mengakui betapa besar terang Kristus perlu menyinari
setiap wilayah kehidupan manusia: keluarga, sekolah, budaya, pekerjaan, hiburan
dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial. Ini bukan masalah mewartakan kata
penghiburan, melainkan kata yang menyentakkan, yang memanggil kepada pertobatan
dan yang membuka jalan menuju suatu perjumpaan dengan Seseorang yang melalui
Dia berkembang suatu kemanusiaan baru.
Semua yang dibaptis bertanggung jawab atas pewartaan
94. Karena seluruh Umat Allah adalah umat yang “telah
diutus”, Sinode menegaskan kembali bahwa “misi untuk mewartakan Sabda Allah
adalah tugas dari semua murid Yesus Kristus berdasarkan Baptis mereka.” Tak
seorang beriman pun dalam Kristus dapat merasa dikecualikan dari tanggung jawab
ini, yang datang dari kenyataan bahwa kita termasuk dalam Tubuh Kristus secara
sakramental. Kesadaran mengenai hal ini harus dihidupkan kembali di setiap
keluarga, paroki, komunitas, perkumpulan dan gerakan gerejawi. Gereja, sebagai
misteri persekutuan, dengan demikian sepenuhnya bersifat misioner, dan setiap
orang, sesuai dengan status hidupnya, dipanggil untuk memberikan sumbangan
jelas bagi pewartaan Kristus.
Para Uskup dan para imam, sesuai dengan misi khusus mereka,
pertama-tama dipanggil untuk menghayati hidup sepenuhnya dalam pelayanan Sabda,
mewartakan Injil, merayakan sakramen-sakramen dan membentuk umat beriman dalam pengetahuan yang benar
akan Kitab Suci. Para Diakon juga harus merasa dipanggil untuk bekerja sama,
sesuai dengan misi khusus mereka, dalam tugas evangelisasi ini.
Sepanjang sejarah Gereja, Hidup Bakti telah begitu dikenal mengemban tugas secara eksplisit untuk
mewartakan dan mengkhotbahkan Sabda Allah dalam misi kepada bangsa-bangsa lain
dan dalam situasi yang amat sulit, untuk selalu siap menyesuaikan dengan
keadaan baru dan merintis dengan penuhsemangat dan berani jalan-jalan baru
dalam menghadapi tantangan-tantangan baru bagi pewartaan efektif Sabda Allah.
Kaum awam dipanggil untuk melaksanakan peranan kenabian
mereka sendiri, yang secara langsung berasal dari Baptis mereka, dan untuk
memberi kesaksian Injil dalam kehidupan harian, di mana pun mereka berada.
Dalam kaitan ini para Bapa Sinode mengungkapkan “penghargaan tertinggi, terima
kasih dan dorongan bagi pelayanan pewartaan yang diberikan dengan murah hati
oleh begitu banyak kaum awam, khususnya para perempuan, dan komitmen dalam
komunitas-komunitas mereka di seluruh dunia, dengan mengikuti teladan Maria
Magdalena, saksi pertama kegembiraan Paskah.” Sinode juga mengakui dengan rasa
syukur bahwa gerakan-gerakan gerejawi dan komunitas-komunitas baru merupakan
kekuatan besar bagi evangelisasi di zaman kita dan suatu dorongan bagi
perkembangan cara-cara baru mewartakan Injil.
Perlunya “misi kepada bangsa-bangsa”
95. Dalam menganjurkan semua kaum beriman untuk mewartakan
Sabda Allah, para Bapa Sinode menekankan kembali perlunya dalam zaman kita juga
komitmen yang menentukan bagi “misi kepada bangsa-bangsa.” Bagaimana pun juga
Gereja tidak dapat membatasi karya pastoralnya dengan “pemeliharaan biasa” dari
mereka yang sudah mengenal Injil Yesus Kristus. Jangkauan misioner adalah tanda
jelas dari kedewasaan komunitas gerejawi. Para Bapa juga menekankan bahwa Sabda
Allah adalah kebenaran yang menyelamatkan yang harus didengarkan oleh setiap
orang di setiap zaman. Karena alasan itu, Sabda itu harus diwartakan secara
eksplisit. Gereja harus keluar untuk menjumpai setiap orang dalam kekuatan Roh
(bdk. 1Kor. 2:5) dan secara profetis terus membela hak dan kebebasan orang untuk
mendengarkan Sabda Allah, sementara terus menerus mencari cara yang paling
efektif untuk mewartakan Sabda itu, juga meskipun ada risiko penganiayaan. Gereja merasa berkewajiban untuk
mewartakan kepada setiap orang Sabda yang menyelamatkan (bdk. Rm. 1:14).
Pewartaan dan
Evangelisasi Baru
96. Paus Yohanes Paulus II, dengan mengutip kata-kata
kenabian Paus Paulus VI dalam Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi, dengan
berbagai cara mengingatkan kaum beriman mengenai perlunya suatu tahap misioner
baru bagi seluruh umat Allah. Pada
permulaan milenium ketiga tidak hanya masih banyak orang yang belum mengenal
Kabar Gembira, tetapi juga ada sejumlah besar orang Kristiani yang membutuhkan
agar Sabda Allah sekali lagi diwartakan kepada mereka secara lebih meyakinkan,
supaya mereka dapat secara konkret mengalami kekuatan Injil. Banyak
saudara-saudari “yang telah dibaptis, tetapi tidak cukup menerima pewartaan.”
Dalam sejumlah kasus, bangsa-bangsa yang pada suatu saat pernah kaya dalam iman
dan dalam panggilan, kehilangan identitas mereka di bawah pengaruh budaya yang
tersekularisasi. Perlunya evangelisasi baru, yang begitu dalam dirasakan oleh
Pendahulu saya yang terhormat, harus ditekankan lagi dengan berani, dalam
kepastian bahwa Sabda Tuhan berdaya guna. Gereja, yakin akan kesetiaan
Tuhannya, tidak pernah lelah mewartakan kabar baik Injil dan mengundang semua
orang Kristiani untuk menemukan kembali daya tarik mengikuti Kristus.
Sabda Allah dan
kesaksian Kristiani
97. Cakrawala misi Gereja yang sangat luas dan kompleksitas
keadaan masa kini menuntut cara baru untuk mengomunikasikan Sabda Allah secara
efektif. Roh Kudus, pelaku utama dari semua evangelisasi, tidak akan pernah
gagal memimpin Gereja dalam kegiatan ini. Namun, perlulah agar segala bentuk
pewartaan mengingat, pertama-tama,
hubungan intrinsik antara komunikasi Sabda Allah dan kesaksian kristiani.
Kredibilitas pewartaan kita tergantung pada hal itu. Di satu pihak, Sabda harus
mengomunikasikan segala sesuatu yang dikatakan Kristus kepada kita. Di pihak
lain, sangat diperlukan, melalui kesaksian, agar membuat Sabda ini dapat
dipercaya, jika tidak itu hanya kelihatan seperti filsafat yang indah atau
utopia daripada sebuah realitas yang dapat dihayati dan yang memberi hidup.
Hubungan timbal balik antara Sabda dan kesaksian ini memperlihatkan cara
bagaimana Allah mengomunikasikan diri-Nya melalui inkarnasi Sabda-Nya. Sabda
Allah mencapai manusia “melalui perjumpaan dengan para saksi yang menghadirkan
dan menjadikan-Nya hidup.” Secara khusus orang-orang muda perlu diperkenalkan
dengan Sabda Allah “melalui perjumpaan dan kesaksian sejati orang-orang dewasa,
melalui pengaruh positif para sahabat dan perkumpulan besar komunitas
gerejawi.”
Ada hubungan erat antara kesaksian Kitab Suci, sebagai pernyataan diri dari Sabda Allah,
dan kesaksian-kesaksian yang diberikan oleh kehidupan kaum beriman. Yang satu
melibatkan dan mengantar kepada yang lain. Kesaksian Kristiani mengomunikasikan
kata-kata yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Pada gilirannya, Kitab Suci
menjelaskan kesaksian orang Kristiani yang dipanggil untuk memberikannya
melalui hidup mereka. Mereka yang berjumpa dengan saksi-saksi Injil yang dapat
dipercaya ini dengan demikian dapat menyadari betapa berdaya gunanya Sabda
Allah dalam diri mereka yang menerimanya.
98. Dalam hubungan timbal balik antara kesaksian dan Sabda,
kita dapat memahami apa yang ditegaskan Paus Paulus VI dalam Anjuran
Apostoliknya Evangelii Nuntiandi. Tanggung jawab kita tidak terbatas
dengan menganjurkan nilai-nilai bersama kepada dunia, kita perlu sampai pada
pewartaan eksplisit Sabda Allah. Hanya dengan cara ini kita akan setia kepada
perintah Kristus “Kabar Gembira yang diwartakan oleh kesaksian hidup cepat atau
lambat harus diwartakan oleh Sabda kehidupan. Tidak ada pewartaan yang benar
jika nama, ajaran hidup, janji-janji, Kerajaan dan misteri Yesus dari Nazaret,
Anak Allah, tidak diwartakan”.
Fakta bahwa pewartaan Sabda Allah menuntut kesaksian hidup
seseorang adalah data yang dengan jelas terdapat dalam kesadaran Kristiani
sejak semula. Kristus sendiri adalah Saksi yang setia dan sejati (bdk. Kis 1:8;
3:14), Dialah yang memberi kesaksian akan Kebenaran (bdk. Yoh. 18:7). Di sini
saya ingin menggemakan kesaksian yangtak terhitung jumlahnya yang merupakan
rahmat bagi kami untuk mendengarkannya selama Sidang Sinode. Kami sangat
tergerak hati mendengarkan cerita-cerita dari mereka yang menghayati iman
mereka dan memberikan kesaksian yang cemerlang tentang Injil, bahkan juga di
bawah penguasa yang melawan Kekristenan atau dalam situasi penganiayaan.
Semua itu tidak perlu menyebabkan kita takut. Yesus sendiri
mengatakan kepada para murid-Nya: “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari
pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya
kamu”(Yoh. 15:20). Karena alasan itu,
bersama dengan seluruh Gereja saya ingin menaikkan sebuah madah pujian kepada
Allah untuk kesaksian dari banyak saudara-saudari kita yang, bahkan pada zaman
kita, telah memberikan hidup mereka untuk mengomunikasikan kebenaran kasih
Allah yang dinyatakan kepada kita dalam Kristus yang disalibkan dan yang
dibangkitkan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh Gereja bagi
orang-orang Kristiani yang tidak gentar menghadapi rintangan, bahkan juga
penganiayaan demi Injil. Kita juga merangkul dengan perasaan persaudaraan yang
mendalam kaum beriman dari semua komunitas Kristiani, terutama di Asia dan di
Afrika, yang sekarang ini mempertaruhkan hidup mereka atau menghadapi pengucilan sosial karena
iman mereka. Di sini kita menjumpai semangat sejati dari Injil, yang mewartakan
berbahagialah mereka yang dianiaya demi Tuhan Yesus (bdk. Mat. 5:11). Dengan
berbuat demikian, kita sekali lagi menyerukan kepada pemerintahan bangsa-bangsa
untuk menjamin bagi setiap orang kebebasan suara hati dan beragama, juga kemampuan
untuk mengungkapkan iman mereka secara publik.
Sabda Allah dan
Tanggung Jawab di Dunia
Melayani Yesus dalam “yang terkecil dari
saudara-saudaraNya” (Mat. 25:40)
99. Sabda Allah menerangi eksistensi manusiawi dan
menggerakkan suara hati kita untuk melihat lebih dalam hidup kita, karena
seluruh sejarah umat manusia berada di bawah pengadilan Allah: “Apabila Anak
Manusia datang dalam kemuliaan- Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia,
maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan
dikumpulkan di hadapan-Nya” (Mat. 25:31-32). Sekarang ini, kita cenderung
berhenti pada cara yang dangkal berhadapan dengan pentingnya momen yang sedang
berjalan, seolah-olah itu tak ada kaitannya dengan masa yang akan datang. Di
sisi lain, Injil mengingatkan kita bahwa setiap saat dari hidup kita penting
dan harus dihayati secara intensif, dengan menyadari bahwa setiap orang harus
mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri. Dalam bab kedua puluh lima Injil
Matius, Anak Manusia memperhitungkan apa pun yang kita lakukan atau tidak
lakukan terhadap “yang paling kecil dari saudara-saudara-Nya” (bdk. 25:40.45)
seperti yang dilakukan atau tidak dilakukan bagi diri-Nya sendiri: “Aku lapar,
kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku
seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi
Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara,
kamu mengunjungi Aku” (25:35-36). Sabda Allah sendiri menekankan perlunya
keterlibatan dalam dunia dan tanggung jawab kita di hadapan Kristus, Tuhan yang
menyejarah. Jika kita mewartakan Injil, marilah kita saling menyemangati satu
sama lain untuk berbuat baik dan berkomitmen untuk melaksanakan keadilan,
rekonsiliasi dan kedamaian.
Sabda Allah dan komitmen kepada keadilan dalam masyarakat
100. Sabda Allah memberikan inspirasi kepada manusia untuk
membangun hubungan yang berlandaskan kejujuran dan keadilan, dan memberi
kesaksian betapa agung nilai di hadapan Allah atas setiap usaha untuk menciptakan
dunia yang lebih adil dan lebih layak huni. Sabda Allah sendiri dengan jelas
mengecam ketidakadilan dan mendorong solidaritas dan kesetaraan. Dalam terang
Sabda Tuhan, marilah kita mengenali “tanda-tanda zaman” yang hadir dalam
sejarah, dan tidak melarikan diri dari komitmen bagi mereka yang menderita dan
menjadi korban egoisme. Sinode mengingatkan bahwa komitmen pada keadilan dan
perubahan dunia kita adalah unsur hakiki evangelisasi. Seperti dikatakan Paus
Paulus VI: “Lapisan-lapisan umat manusia yang harus diubah: kriteria penilaian
umat manusia, nilai-nilai yang menentukan, bidang-bidang minat, garis-garis
pemikiran sumber-sumber inspirasi dan model-model kehidupan, yang bertentangan
dengan Sabda Allah dan rencana penyelamatan. Bagi Gereja yang menjadi soal
bukan hanya mewartakan Injil dalam kawasan geografis yang lebih luas atau
jumlah manusia yang lebih banyak, tapi juga bagaimanakah mempengaruhinya dan
menjungkirbalikannya dengan kekuatan Injil”.
Karena alasan ini, Para Bapa Sinode ingin menyampaikan
kata-kata khusus kepada mereka semua yang mengambil bagian dalam kehidupan
politik dan sosial. Evangelisasi dan penyebaran Sabda Allah hendaknya memberi
inspirasi kepada kegiatan mereka di dunia, sejauh mereka berkarya bagi kebaikan
bersama sejati dalam menghormati dan memajukan martabat setiap orang. Tentu
saja, bukanlah tugas langsung Gereja untuk menciptakan sebuah masyarakat yang
lebih adil, meskipun ia mempunyai hak dan kewajiban untuk campur tangan pada
masalah-masalah etika dan moral terkait kebaikan tiap-tiap orang dan bangsa.
Adalah tugas utama kaum awam, yang dibina dalam sekolah Injil, untuk terlibat
secara langsung dalam kegiatan politik dan sosial. Karena alasan ini, Sinode
menyarankan agar mereka menerima pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
ajaran sosial Gereja.
101. Saya juga ingin meminta perhatian setiap orang mengenai
pentingnya membela dan memajukan hak asasi manusia setiap orang, berdasar pada
hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, yang, “universal, tak dapat
diganggu gugat dan tak dapat dicabut.” Gereja mengungkapkan harapan bahwa
dengan pengakuan atas hak-hak ini, martabat manusia akan lebih efektif diakui
dan secara universal dimajukan, karena itu merupakan tanda khususyang
ditanamkan oleh Pencipta pada ciptaan-Nya, diangkat dan ditebus oleh Yesus
Kristus melalui inkarnasi, kematian dan kebangkitan-Nya. Penyebaran Sabda Allah
tak dapat gagal untuk menguatkan pengakuan dan rasa hormat terhadap hak-hak
asasi manusia setiap orang.
Pewartaan Sabda Allah, rekonsiliasi dan perdamaian di
antara bangsa-bangsa
102. Di antara banyak bidang di mana dibutuhkan komitmen,
Sinode menyebutkan pemajuan rekonsiliasi dan perdamaian. Dalam konteks
sekarang, lebih penting daripada sebelumnya untuk menemukan kembali Sabda Allah
sebagai sumber rekonsiliasi dan perdamaian, karena Sabda Allah mendamaikan pada
diri-Nya semua hal (bdk. 2Kor. 5:18-20; Flp. 1:10): Kristus “adalah damai
sejahtera kita” (Ef. 2:14), Ia yang menghancurkan tembok pemisah. Sejumlah
intervensi dalam Sinode mencatat konflik berat dan keras dan ketegangan yang
sekarang ada di planet kita. Kadang-kadang permusuhan ini tampak mengambil
wajah konflik antar-agama.
Di sini saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa agama tidak pernah membenarkan
intoleransi atau perang. Kita tidak bisa membunuh atas nama Allah! Setiap agama
harus mendorong penggunaan akal
budi dengan benar dan mengembangkan nilai-nilai etika yang memperteguh
koeksistensi sipil.
Dalam kesetiaan pada karya rekonsiliasi yang digenapi oleh
Allah dalam Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan, orang Katolik, dan
semua orang yang berkehendak baik harus berkomitmen menjadi teladan
rekonsiliasi untuk membangun masyarakat yang adil dan penuh kedamaian. Kita
hendaknya jangan pernah lupa bahwa “di mana kata-kata manusia menjadi tak
berdaya karena pertentangan tragis dari kekerasan dan senjata menonjol, kuasa
kenabian Sabda Allah tidak akan goyah, dengan mengingatkan kita bahwa
perdamaian adalah mungkin dan bahwa kita sendiri harus menjadi alat
rekonsiliasi dan perdamaian.”
Sabda Allah dan cinta kasih yang tekun
103. Komitmen kepada keadilan, rekonsiliasi dan perdamaian
menemukan landasan utamanya dan pemenuhannya dalam kasih yang dinyatakan kepada
kita dalam Kristus. Dengan mendengarkan kesaksian-kesaksian yang disampaikan selama
Sinode, kita melihat dengan lebih jelas kaitan antara sikap mendengarkan Sabda
Allah dengan penuh kasih dan pelayanan tanpa pamrih terhadap saudara-saudari
kita; semua kaum beriman hendaklah melihat perlunya “menerjemahkan Sabda yang
telah kita dengar ke dalam sikap kasih, karena ini adalah cara satu-satunya
untuk membuat pewartaan Injil dapat dipercaya, terlepas dari kelemahan manusia
yang menjadi ciri perorangan.” Yesus hidup di dunia dengan melakukan hal-hal
yang baik (bdk. Kis. 10:38). Mendengarkan dengan penuh ketaatan kepada
kata-kata Allah dalam Gereja, membangkitkan “kasih dan keadilan terhadap semua
orang, terutama terhadap yang miskin.” Kita hendaknya jangan lupa bahwa “kasih
– caritas – akan selalu terbukti perlu, bahkan dalam masyarakat yang paling
adil … siapa pun yang ingin menyingkirkan kasih, sedang bersiap menyingkirkan
manusia sebagai manusia.” Maka
dari itu, saya mendorong umat beriman untuk kerap merenungkan madah Rasul
Paulus mengenai kasih dan mengambil inspirasi dari situ “Kasih itu sabar, kasih
itu murah hati; kasih itu tidak cemburu atau memegahkan diri; ia tidak sombong;
ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri;
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain; ia tidak bersukacita
karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran; Ia menutupi segala sesuatu,
percaya pada segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung
segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan” (1Kor. 13:4-8).
Kasih kepada sesama, yang berakar dalam kasih kepada Allah,
harus melihat kita terus-menerus melibatkan diri, baik sebagai individu maupun
sebagai komunitas gerejawi, baik lokal maupun
universal. Seperti dikatakan Santo Agustinus: “Sangat pentinglah
menyadari bahwa kasih adalah kepenuhan Hukum, seperti halnya semua Kitab ilahi…
Siapa pun yang mengatakan telah memahami Kitab Suci, atau sebagian dari itu,
tanpa berupaya keras untuk tumbuh
dalam kasih ganda kepada Allah dan sesama, menunjukkan bahwa ia belum
memahaminya.”
Pewartaan Sabda Allah dan orang muda
104. Sinode secara khusus menaruh perhatian pada pewartaan
Sabda Allah kepada generasi muda. Orang muda sudah menjadi anggota aktif Gereja
dan mereka mewakili masa depannya. Kerap kali kita menjumpai dalam diri mereka
keterbukaan spontan untuk mendengarkan Sabda Allah dan keinginan tulus untuk
mengenal Yesus. Masa muda adalah masa ketika muncul pertanyaan-pertanyaan autentik dan tak tertahankan
mengenai makna hidup dan arah hidup yang harus kita tempuh. Hanya Allah dapat
memberi jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan itu. Perhatian kepada
orang-orang muda memerlukan keberanian dan kejelasan dalam pesan yang kita
wartakan; kita perlu membantu orang-orang muda untuk mendapatkan kepercayaan
dan keakraban dengan Kitab Suci sehingga itu dapat menjadi kompas yang
menunjukkan jalan yang harus diikuti. Orang-orang muda memerlukan saksi-saksi
dan guru-guru yang dapat berjalan bersama mereka, dengan mengajar mereka untuk
mencintai Injil dan membagikannya, terutama kepada kawan sebaya mereka, dan demikian
menjadi para pewarta yang sejati dan dapat dipercaya.
Sabda Allah harus disajikan dengan cara yang membawa
implikasi bagi panggilan setiap pribadi dan membantu orang muda dalam memilih
arah yang akan mereka tempuh dalam hidup mereka, termasuk persembahan diri
total kepada Allah. Panggilan sejati kepada hidup bakti dan kepada imamat
menemukan tanah yang subur dalam hubungan penuh iman dengan Sabda Allah. Saya
ulangi sekali lagi seruan yang saya sampaikan pada permulaan kepausan saya
untuk membuka lebar-lebar pintu bagi Kristus: “Jika mempersilahkan Kristus
masuk ke dalam hidup kita, kita tidak kehilangan apa-apa, tidak ada apapun yang
hilang, sama sekali tidak kehilangan apa-apa yang membuat hidup bebas, indah
dan agung. Tidak! Hanya dalam persahabatan ini pintu-pintu kehidupan terbuka
lebar-lebar. Hanya dalam persahabatan ini potensi besar eksistensi manusia
sungguh dibuka… Orang-orang muda yang terkasih: jangan takut terhadap Kristus!
Ia tidak mengambil apa pun dan Ia akan memberimu segala sesuatu. Bila kita
memberi diri kita kepada-Nya, kita menerima ratusan kali lipat. Ya, bukalah,
bukalah lebar-lebar pintu-pintu bagi Kristus – dan engkau akan menemukan hidup
sejati.”
Pewartaan Sabda Allah dan kaum migran
105. Sabda Allah mendorong kita memperhatikan sejarah dan
realitas yang muncul. Dalam memperhatikan misi evangelisasi Gereja, Sinode
ingin mengarahkan perhatiannya juga kepada fenomena kompleks pergerakan
migrasi, yang pada tahun-tahun terakhir ini bertambah dalam jumlah yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Masalah ini terkait dengan persoalan-persoalan
sangat rumit mengenai keamanan bangsa-bangsa dan sambutan yang harus diberikan kepada mereka yang
mencari perlindungan atau kondisi-kondisi hidup, kesehatan dan pekerjaan yang
lebih baik. Sejumlah besar orang yang
tidak mengenal apa pun tentang Kristus, atau yang memiliki pengetahuan yang
kurang memadai mengenai Dia, tinggal di negara-negara dengan tradisi Kristiani.
Pada saat yang sama, orang-orang dari bangsa-bangsa yang secara mendalam
ditandai iman Kristiani berpindah ke negara-negara di mana Kristus perlu
diwartakan dan evangelisasi baru dituntut. Keadaan ini menawarkan
kemungkinan-kemungkinan baru bagi tersebarnya Sabda Allah. Dalam kaitan ini
para Bapa Sinode menyatakan bahwa kaum migran berhak mendengarkan pewartaan
(kerygma), yang ditawarkan, tidak dipaksakan. Bila mereka adalah orang-orang
Kristiani, mereka membutuhkan bentuk-bentuk reksa pastoral yang memungkinkan
mereka tumbuh dalam iman dan pada gilirannya menjadi para pewarta Injil. Dengan
memperhitungkan kompleksitas fenomena tersebut, pergerakan dari semua Keuskupan
yang terlibat sangat penting, sehingga gerakan-gerakan migrasi juga dapat
dilihat sebagai suatu kesempatan untuk menemukan bentuk-bentuk baru kehadiran
dan pewartaan. Juga perlulah supaya mereka memastikan, sejauh mungkin, bahwa
saudara-saudari kita ini menerima penerimaan dan perhatian yang layak, sehingga, tersentuh oleh Kabar
Gembira, mereka sendiri akan mampu menjadi pewarta Sabda Allah dan saksi-saksi
Kristus yang bangkit, harapan dunia.
Pewartaan Sabda Allah dan mereka yang menderita
106. Selama kegiatan Sinode, para Bapa juga memikirkan
perlunya mewartakan Sabda Allah kepada mereka semua yang menderita, baik secara
fisik, psikologis maupun spiritual. Dalam saat-saat penderitaan,
pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai makna hidup seseorang dirasakan sangat
tajam. Jika kata-kata manusia nampak terdiam berhadapan dengan misteri
kejahatan dan penderitaan, dan jika
masyarakat kita nampak menghargai kehidupan hanya bila itu sesuai dengan
standar tertentu efisiensi dan kesejahteraan, Sabda Allah membuat kita melihat
bahwa bahkan momen-momen semacam ini secara misterius “dirangkul” oleh kasih
Allah. Iman yang lahir dari perjumpaan dengan Sabda Allah membantu kita untuk
menyadari bahwa hidup manusia layak dihayati dengan penuh, juga meskipun
menjadi lemah karena penyakit dan penderitaan. Allah menciptakan kita untuk
bahagia dan untuk kehidupan, sedangkan penyakit dan kematian datang ke dunia
sebagai akibat dari dosa (bdk. Keb. 2:2-24). Namun, Bapa kehidupan adalah sang
Penyembuh umat manusia yang terbaik, dan Ia tiada henti membungkukkan diri
dengan penuh kasih kepada penderitaan umat manusia. Kita mengontemplasikan
puncak kedekatan Allah dengan penderitaan kita dalam diri Yesus sendiri, “Sabda
yang menjelma. Ia menderita dan mati bagi kita. Oleh sengsara dan kematian-Nya
Ia mengambil kelemahan kita dan secara total mengubahnya.”
Kedekatan Yesus dengan mereka yang menderita adalah tetap:
diperpanjang dari waktu ke waktu berkat karya Roh Kudus dalam misi Gereja,
dalam Sabda dan dalam sakramen,
dalam orang-orang yang berkehendak baik, dan dalam prakarsa-prakarsa amal kasih
yang dilaksanakan dengan kasih persaudaraan oleh komunitas-komunitas, yang karena itu membuat
wajah sejati Allah dan kasihNya dikenal. Sinode mengucap syukur kepada Allah
atas kesaksian-kesaksian
cemerlang, yang kerap kali tersembunyi, dari semua orang Kristiani – para imam,
kaum religius dan umat beriman
awam – yang telah mengulurkan dan terus mengulurkan tangan mereka, mata dan
hati mereka bagi Kristus, Penyembuh tubuh dan jiwa yang sejati. Kemudian,
Sinode menyerukan kepada semua untuk melanjutkan merawat yang sakit dan membawa
kepada mereka kehadiran Tuhan Yesus yang memberi hidup dalam Sabda dan dalam
Ekaristi. Mereka yang menderita hendaknya dibantu membaca Kitab Suci dan
menyadari bahwa keadaan mereka sendiri membuat mereka sanggup ambil bagian
dengan cara khusus dalam penderitaan Kristus yang menebus bagi keselamatan
dunia (bdk. 2 Kor. 4:8-11.14).
Pewartaan Sabda Allah dan kaum miskin
107. Kitab Suci memperlihatkan kasih khusus Allah kepada
kaum miskin dan mereka yang berkekurangan (bdk. Mat. 25:31-46). Bapa-bapa
Sinode kerap kali berbicara mengenai pentingnya memungkinkan mereka, saudara
dan saudari kita ini, untuk mendengarkan kesaksian pesan Injil dan untuk
mengalami kedekatan dengan para pastor dan komunitas mereka. Sesungguhnya,
“Kaum miskin adalah yang pertama-tama berhak mendengar pewartaan Injil; mereka
memerlukan tidak hanya makanan, tetapi juga sabda kehidupan.” Pelayanan cinta
kasih, yang tidak pernah boleh kurang dalam gereja-gereja kita, hendaknya
selalu dikaitkan dengan pewartaan Sabda dan perayaan misteri suci. Namun, kita
juga perlu mengakui dan menghargai kenyataan bahwa kaum miskin adalah pelaku
evangelisasi. Dalam Alkitab, orang miskin sesungguhnya adalah mereka yang
mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah; dalam Injil Yesus menyebut mereka
berbahagia “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3; bdk. Luk.
6:20). Tuhan meninggikan kesederhanaan
hati dari mereka yang menemukan dalam Allah kekayaan sejati, dengan menaruh
harapan kepada-Nya dan bukan pada barang-barang dunia ini. Gereja tidak boleh
mengecewakan orang miskin: “Para
pastor dipanggil untuk mendengarkan mereka, belajar dari mereka, membimbing
mereka dalam iman dan menyemangati mereka untuk bertanggung jawab bagi
kehidupan.”
Gereja juga sadar bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai
keutamaan, untuk direngkuh dan dipilih secara bebas, seperti telah dilakukan
banyak orang kudus. Kemiskinan dapat juga hadir sebagai kemelaratan, kerap kali
karena ketidakadilan atau egoisme, yang ditandai oleh kelaparan dan kebutuhan,
dan sebagai sumber konflik. Dalam pewartaannya mengenai Sabda Allah, Gereja
tahu bahwa “lingkaran keutamaan” harus dikembangkan di antara kemiskinan yang
akan dipilih dan kemiskinan yang akan diperangi; kita perlu menemukan “sikap
ugahari dan solidaritas, keutamaan-keutamaan Injil yang begitu universal. Ini memerlukan keputusan
yang ditandai oleh keadilan dan sikap ugahari.”
Pewartaan Sabda Allah dan perlindungan ciptaan
108. Keterlibatan di dalam dunia, seperti dituntut oleh
Sabda Allah, membuat kita melihat dengan mata yang baru pada seluruh alam
semesta yang diciptakan, yang berisi jejak Sabda yang menciptakan segala
sesuatu (bdk. Yoh. 1:2). Sebagai orang-orang yang percaya kepada dan mewartakan
Injil, kita mempunyai tanggung jawab terhadap ciptaan. Wahyu menyingkapkan
rencana Allah bagi alam semesta, namun ini juga membuat kita mengecam
sikap-sikap salah yang menolak melihat seluruh ciptaan sebagai suatu cerminan
Pencipta mereka, tetapi sebaliknya semata-mata sebagai materi kasar, yang harus
dieksploitasi tanpa rasa salah. Dengan demikian, manusia kehilangan kerendahan
hati yang penting yang memungkinkan ia melihat ciptaan sebagai karunia Allah,
untuk diterima dan digunakan sesuai dengan rencana-Nya. Malahan sebaliknya,
kesombongan manusia yang hidup “seolah-olah Allah tidak ada” menyebabkan mereka
memanfaatkan dan merusak alam, gagal melihat itu sebagai hasil karya Sabda yang
mencipta. Dalam konteks teologis ini, saya ingin menggemakan pernyataan para
Bapa Sinode yang mengingatkan kita bahwa “menerima Sabda Allah, yang
dipersaksikan oleh Kitab Suci dan Tradisi hidup Gereja, membangkitkan suatu
cara baru melihat hal-hal, mengembangkan suatu ekologi sejati yang akar
terdalamnya terdapat di dalam ketaatan iman… (dan) mengembangkan suatu kepekaan
teologis yang baru terhadap kebaikan segala hal, yang diciptakan dalam
Kristus.” Kita perlu dididik kembali dalam ketakjuban dan dalam kemampuan untuk
mengenal keindahan yang menampakkan diri dalam kenyataan-kenyataan ciptaan.
Sabda
Allah dan
Kebudayaan
Nilai kebudayaan bagi kehidupan umat manusia
109. Pernyataan Santo Yohanes bahwa Sabda menjadi daging
menyingkapkan ikatan tak terpisahkan antara Sabda Allah dan kata-kata manusia
yang melalui itu Ia berkomunikasi dengan kita. Dalam konteks ini para Bapa
Sinode memperhatikan hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan. Allah tidak
menyatakan diriNya secara abstrak, tetapi dengan menggunakan bahasa, gambaran
dan ungkapan-ungkapan yang terikat dengan budaya yang berbeda-beda. Hubungan
ini terbukti berbuah, seperti sejarah Gereja secara melimpah telah memberi
kesaksian. Sekarang hubungan itu memasuki tahapan baru berkat penyebaran Injil
dan mengakarnya dalam berbagai budaya, seperti perkembangan baru-baru ini dalam kebudayaan
Barat. Hal ini pertama-tama menuntut pengakuan mengenai pentingnya budaya
sebagaimana adanya bagi hidup setiap orang. Fenomena budaya, dalam berbagai
aspeknya, merupakan fakta penting bagi pengalaman manusia. “Manusia selalu
hidup menurut suatu budaya yang selaras dengan dirinya, dan yang pada
gilirannya menciptakan di antara manusia suatu ikatan yang sesuai dengan
mereka, ikatan yang menentukan karakter antar manusia dan karakter sosial
keberadaan manusia.”
Selama berabad-abad Sabda Allah telah mengilhami bermacam-macam budaya, dengan
menghasilkan nilai-nilai moral dasariah, ungkapan-ungkapan seni yang luar biasa
dan gaya hidup yang layak dicontoh. Maka dari itu, dalam memandang perjumpaan
yang diperbarui antara Alkitab dan kebudayaan, saya ingin menjamin semua yang
menjadi bagian dalam dunia budaya, bahwa mereka tidak perlu khawatir akan
keterbukaan terhadap Sabda Allah, yang tidak pernah menghancurkan budaya sejati,
tetapi justru memberi dorongan
terus-menerus untuk mencari bentukbentuk ungkapan manusiawi yang semakin sesuai
dan penuh makna. Setiap budaya yang sejati, jika itu sungguh untuk melayani
kemanusiaan, harus terbuka terhadap transendensi dan pada akhirnya, terhadap
Allah.
Alkitab, tata aturan agung bagi kebudayaan
110. Para Bapa Sinode sangat menekankan pentingnya memajukan
pengetahuan Alkitab yang sesuai di antara mereka yang terlibat di bidang
kebudayaan, juga dalam konteks sekular dan di antara orang-orang tak
beriman.356 Kitab Suci berisi nilai-nilai antropologis dan filosofis yang telah
mempunyai pengaruh positif bagi umat manusia secara keseluruhan. Arti Alkitab
sebagai tata aturan agung bagi kebudayaan perlu ditemukan kembali secara penuh.
Pengetahuan tentang Alkitab di sekolah dan universitas
111. Suatu konteks khusus bagi suatu perjumpaan antara Sabda
Allah dan kebudayaan adalah sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Para pastor hendaknya
memperhatikan lingkungan ini secara istimewa, memajukan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai Alkitab agar mampu mencapai implikasi budaya yang subur juga
bagi masa sekarang. Pusat-pusat studi yang didukung oleh kelompok-kelompok
Katolik memberikan sumbangan yang penting untuk memajukan kebudayaan dan pendidikan
– dan ini harus diakui. Hendaknya pendidikan agama jangan diabaikan dan
guru-guru agama hendaknya diberi pelatihan yang cermat. Pendidikan agama kerap
kali merupakan satu-satunya kesempatan yang dimiliki parasiswa untuk berjumpa
dengan pesan iman. Dalam mengajar agama, tekanan hendaknya diberikan kepada
pengetahuan Kitab Suci sebagai sarana untuk mengatasi prasangka-prasangka lama
dan baru, dan memungkinkan kebenarannya dipahami dengan lebih baik.
Kitab Suci dalam
berbagai ungkapan seni
112. Hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan telah menemukan ungkapannya dalam banyak
bidang, terutama dalam seni. Karena alasan itu, tradisi besar dari Timur dan
Barat selalu menghargai karya-karya seni yang diilhami oleh Kitab Suci, seperti
misalnya seni figuratif dan arsitektur, sastra dan musik. Saya juga berpikir
mengenai bahasa kuno yang diungkapkan oleh ikon-ikon, yang dari tradisi Timur
secara bertahap tersebar ke seluruh dunia. Bersama para Bapa Sinode, seluruh
Gereja mengungkapkan penghargaan, penghormatan dan kekaguman terhadap seniman-seniman “yang terpikat pada
keindahan” yang mengambil inspirasinya dari teks-teks suci. Mereka telah
memberikan sumbangan dalam menghias gereja-gereja kita, dalam merayakan iman
kita, dalam memperkaya liturgi dan banyak dari mereka yang sedikit banyak telah
membantu membuat terlihat jelas, sesuai waktu dan tempatnya,
kenyataan-kenyataan yang tak kelihatan dan abadi. Saya mendorong lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok yang
berwenang untuk memajukan dalam Gereja pembinaan yang kuat bagi para seniman
terkait dengan Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup Gereja dan magisteriumnya.
Sabda Allah dan sarana komunikasi sosial
113. Terkait dengan hubungan antara Sabda Allah dan
kebudayaan, perlulah menggunakan media komunikasi, lama dan baru, secara
hati-hati dan cerdas. Para Bapa Sinode menganjurkan pengetahuan yang memadai
atas media-media ini; mereka memperhatikan perkembangannya yang cepat dan
berbagai tingkat interaksinya, dan meminta usaha yang lebih besar lagi untuk memperoleh keahlian dalam berbagai
sektor terkait, terutama dalam media baru, seperti internet. Gereja sudah hadir
secara signifikan dalam dunia komunikasi massa, dan magisteriumnya kerap kali
telah campur tangan dalam masalah ini, mulai dengan Konsili Vatikan Kedua. Penemuan
metode-metode baru untuk meneruskan pesan Injil adalah bagian dari meneruskan
jangkauan evangelisasi bagi mereka yang percaya. Komunikasi sekarang ini
berlangsung melalui jaringan yang mencakup seluruh dunia, dan dengan demikian
memberi makna baru pada kata-kata Kristus: “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam
gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu,
beritakanlah itu dari atas atap rumah” (Mat. 10:27). Sabda Allah hendaknya
menggema tidak hanya melalui media cetak, tetapi juga melalui bentuk-bentuk
komunikasi yang lain. Karena alasan ini, bersama dengan Bapa-bapa Sinode, saya mengungkapkan rasa
terima kasih kepada orang-orang
Katolik yang dengan serius berusaha memajukan kehadiran yang signifikan dalam
dunia media, dan saya minta komitmen yang lebih luas dan lebih berkualitas
dalam hal ini.
Di antara bentuk-bentuk baru komunikasi massa, sekarang kita
perlu mengakui peran internet yang semakin meningkat, yang mewakili
bentuk-bentuk baru untuk membuat Injil bisa didengar. Namun demikian, kita juga
perlu menyadari bahwa dunia virtual tidak pernah dapat menggantikan dunia
nyata, dan bahwa evangelisasi dapat menggunakan dunia virtual yang ditawarkan
oleh media baru untuk menciptakan hubungan penuh makna hanya jika itu dapat menawarkan
hubungan pribadi yang tetap tak tergantikan. Dalam dunia internet, yang
memungkinkan jutaan gambar muncul dalam jutaan layar di seluruh dunia, wajah
Kristus perlu dilihat dan
suara-Nya perlu diperdengarkan, karena “jika tidak ada ruang bagi Kristus, tidak
ada ruang bagi manusia.”
Alkitab dan inkulturasi
114. Misteri inkarnasi mengatakan kepada kita bahwa di satu
sisi Allah selalu mengomunikasikan diri-Nya dalam sejarah konkret, dengan
mengambil tata aturan budaya yang tertanam di dalamnya, namun, di sisi lain,
kata-kata yang sama juga dapat dan harus diteruskan dalam budaya yang berbeda,
dengan mengubah katakata itu dari dalam melalui apa yang oleh Paus Paulus VI
disebut evangelisasi kebudayaan.
Sabda Allah, seperti iman Kristiani sendiri, mempunyai karakter antar-budaya
yang mendalam; Sabda itu mampu menjumpai berbagai macam budaya dan pada
gilirannya memungkinkan mereka untuk berjumpa satu sama lain.
Di sini kita juga dapat menghargai pentingnya inkulturasi
Injil. Gereja sungguh yakin bahwa
Sabda Allah pada dasarnya mampu berbicara kepada seluruh umat manusia dalam
konteks budaya mereka sendiri: “Keyakinan ini muncul dari Alkitab sendiri,
yang, sudah mulai dari Kitab Kejadian, mengambil sikap universal (bdk. Kej.
1:27-28), selanjutnya mempertahankannya dalam berkat yang dijanjikan kepada
semua bangsa melalui Abraham dan keturunannya (bdk. Kej. 12:3; 18:18), dan
menegaskan itu secara definitif dengan memperluas pewartaan Injil kepada ‘semua
bangsa’.” Karena alasan ini, inkulturasi hendaknya jangan dikacaukan dengan
proses adaptasi yang dangkal, apa lagi dengan sinkretisme yang membingungkan
yang akan mengurangi keunikan Injil dalam usaha untuk membuatnya lebih mudah
diterima. Paradigma inkulturasi
sejati adalah Inkarnasi Sabda sendiri: “’Akulturasi’ atau ‘inkulturasi’ akan
sungguh menjadi suatu pancaran dari inkarnasi Sabda, ketika sebuah budaya, yang
diubah dan dilahirkan kembali oleh Injil, menghasilkan dalam tradisinya sendiri ungkapan-ungkapan asli
kehidupan, perayaan dan pemikiran Kristiani”, dengan menjadi ragi dalam budaya
lokal, meningkatkan semina Verbi (benih-benih Sabda) dan semua unsur positif
yang terdapat dalam budaya itu, dengan demikianmembukanya terhadap nilai-nilai
Injil.
Menerjemahkan Alkitab dan membuatnya mudah didapat
115. Inkulturasi dari Sabda Allah adalah bagian integral
dari misi Gereja di dunia, dan saat yang menentukan dalam proses ini adalah
penyebaran Alkitab melalui karya penerjemahan yang berharga dalam berbagai
macam bahasa. Di sini hendaknya selalu diingat bahwa karya penerjemahan Kitab
Suci sudah dilakukan “dalam periode Perjanjian Lama, ketika teks Ibrani Alkitab
diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa Aram (Neh. 8:8.12) dan kelak dalam
bentuk tertulis ke dalam bahasa Yunani. Suatu terjemahan tentu saja selalu lebih dari sekadar
transkripsi sederhana dari teks asli. Peralihan dari satu bahasa kepada bahasa
lain tentu saja mencakup perubahan
konteks budaya: konsep-konsep tidak sama dan simbol-simbol mempunyai makna berbeda, karena
berhadapan dengan tradisi-tradisi
pemikiran lain dan cara-cara hidup yang lain.”
Selama Sinode, jelaslah bahwa sejumlah Gereja lokal masih
kekurangan terjemahan lengkap dari Alkitab ke dalam bahasa mereka sendiri.
Betapa banyak orang-orang sekarang lapar dan haus terhadap Sabda Allah, namun
toh tetap kehilangan “akses luas kepada Kitab Suci” yang diinginkan Konsili
Vatikan II. Karena alasan itu Sinode menganggap penting, terutama, melatih
orangorang khusus untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa. Saya
ingin mendorong investasi sumber-sumber daya di wilayah ini. Secara khusus saya
ingin menyarankan untuk membantu karya Federasi Biblika Katolik, dengan tujuan
semakin meningkatkan jumlah penerjemahan Kitab Suci dan penyebarannya yang
lebih luas. Karena hakikat usaha yang demikian itu, hal itu hendaknya
dilaksanakan sebanyak mungkin dalam kerja sama dengan berbagai Lembaga-lembaga
Alkitab.
Sabda Allah mengatasi batasan budaya
116. Pertemuan Sinode, dalam diskusi-diskusi tentang
hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan, merasakan perlunya menegaskan
kembali apa yang telah dialami oleh umat Kristiani perdana yang dimulai pada
hari Pentakosta (Kis. 2:1-2). Sabda Allah mampu merasuki dan menemukan ungkapan
dalam berbagai macam budaya dan bahasa, namun Sabda yang sama mengatasi batasan-batasan tiap-tiap budaya
untuk menciptakan kebersamaan di antara berbagai bangsa yang berbeda. Sabda
Tuhan mengundang kita untuk maju menuju persekutuan yang semakin luas. “Kita
keluar dari keterbatasan pengalaman kita dan kita masuk ke dalam kenyataan yang
sungguh universal. Dengan masuk ke dalam persekutuan dengan Sabda Allah, kita
masuk ke dalam persekutuan Gereja yang menghayati Sabda Allah… Itu berarti
mengatasi batasan-batasan budaya individual ke dalam universalitas yang
menghubungkan semua, menyatukan semua, membuat kita semua saudara-saudari.”
Oleh karena itu, pewartaan Sabda Allah selalu menuntut dari kita pertama-tama,
suatu eksodus baru, karena kita meninggalkan ukuran dan imajinasi kita yang
terbatas untuk memberi ruang bagi kehadiran Kristus.
Sabda
Allah dan
Dialog Antaragama
Nilai-nilai dialog antaragama
117. Gereja menganggap bagian hakiki dari pewartaan Sabda
terdapat dalam perjumpaan, dialog dan kerja sama dengan semua orang yang
berkehendak baik, terutama dengan para pengikut berbagai macam tradisi
keagamaan umat manusia. Ini berlangsung tanpa bentuk sinkretisme dan
relativisme, melainkan sesuai dengan garis-garis yang ditunjukkan Deklarasi
Konsili Vatikan II Nostra Aetate dan kemudian dikembangkan oleh Magisterium
para Paus. Sekarang ini laju globalisasi yang semakin cepat memungkinkan
orang-orang dari berbagai macam budaya dan agama mengadakan hubungan yang lebih
dekat. Ini merupakan kesempatan
Penyelenggaraan Ilahi untuk menunjukkan bagaimana religiositas sejati dapat
mengembangkan hubungan persaudaraan universal. Sekarang ini, dalam masyarakat
kita yang kerap mengalami sekularisasi, sangatlah penting bahwa agama-agama
dapat mengembangkan suatu mentalitas yang melihat Allah yang Mahakuasa sebagai
dasar semua kebaikan, sumber kehidupan moral yang tiada habisnya, dan benteng
dari makna persaudaraan universal
yang mendalam. Dalam tradisi
Yahudi-Kristen, misalnya, dapat ditemukan suatu kesaksian yang menggerakkan
kepada kasih Allah bagi semua bangsa: dalam perjanjian dengan Nuh Ia
mempersatukan mereka dalam satu pelukan besar yang dilambangkan oleh “busur di
langit” (Kej. 9:13,14,16) dan, menurut kata-kata para nabi, Ia ingin
mengumpulkan mereka ke dalam satu-satunya keluarga universal (bdk. Yes. 2:22
dst; 42:6; 66:18-21; Yer. 4:2; Mzm. 47). Bukti ikatan erat antara hubungan
dengan Allah dan etika kasih bagi setiap orang ditemukan dalam banyak tradisi
agama-agama besar.
Dialog antara orang-orang Kristiani dan Muslim
118. Di antara berbagai macam agama, Gereja juga memandang dengan rasa hormat orang-orang Muslim,
yang menyembah Allah yang Esa. Mereka merujuk kepada Abraham dan menyembah
Allah terutama melalui doa, memberi derma, dan berpuasa. Kita mengakui bahwa
dalam tradisi Islam ada banyak tokoh-tokoh, juga lambang-lambang dan tema-tema
Alkitab. Dengan meneruskan usaha yang sudah dimulai oleh Venerabilis Paus
Yohanes Paulus II, saya mengungkapkan harapan saya agar hubungan penuh
kepercayaan yang terjalin antara orang Kristiani dan Muslim selama
bertahun-tahun akan tetap terus berkembang dalam semangat dialog yang tulus dan
penuh hormat. Dalam dialog ini Sinode meminta suatu refleksi lebih dalam
mengenai hormat bagi kehidupan sebagai nilai hakiki, hak pria dan wanita yang
tak dapat dicabut, dan kesetaraan martabat mereka. Dengan memperhitungkan
perbedaan penting yang harus dibuat antara tatanan sosiopolitik dan tatanan
keagamaan, bermacam-macam agama
hendaknya memberi sumbangan khusus mereka bagi kesejahteraan bersama.
Sinode meminta kepada konferensi-konferensi para uskup, apabila sesuai dan
sangat membantu, untuk mendorong pertemuan-pertemuan yang bertujuan menolong
orang-orang Kristiani
dan Muslim untuk mencapai saling pengertian yang lebih baik, guna mengembangkan
nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai
dan positif.
Dialog dengan agama-agama lain
119. Di sini saya juga ingin menyatakan rasa hormat Gereja
terhadap agama-agama kuno dan tradisi-tradisi spiritual dari berbagai benua.
Hal-hal ini berisi nilai-nilai yang dapat sungguh memajukan pemahaman baik
antar individu maupun bangsa-bangsa.
Kerap kali kami memperhatikan keselarasan dengan nilai-nilai yang diungkapkan
juga dalam buku-buku keagamaan mereka, seperti dalam Budhisme: hormat terhadap
hidup, kontemplasi, keheningan, kesederhanaan; dalam Hinduisme: perasaan
kesakralan, kurban dan puasa; dan lagi, dalam Konfusianisme: nilai-nilai
keluarga dan sosial. Kita juga bersyukur menemukan dalam pengalaman agama-agama
lain perhatian sejati bagi transendensi Allah, yang diakui sebagai Pencipta,
maupun juga rasa hormat terhadap kehidupan, perkawinan dan keluarga, dan suatu
perasaan kuat akan solidaritas.
Dialog dan kebebasan beragama
120. Namun, dialog tidak akan berbuah jika tidak disertai
hormat sejati bagi tiap-tiap pribadi dan kemampuan bagi semua untuk
mempraktikkan agama mereka dengan bebas. Maka dari itu Sinode, sembari
mendorong kerja sama di antara para pengikut bermacam-macam agama, juga
menunjukkan “perlunya kebebasan bagi seluruh umat beriman untuk mengakui
agamanya, secara pribadi maupun publik, dan kebebasan hati nurani dijamin
secara efektif”; tentu saja “rasa hormat dan dialog menuntut hubungan timbal balik dalam semua bidang,
terutama dalam hal yang terkait dengan kebebasan hakiki, lebih khusus lagi
kebebasan beragama. Hormat dan dialog seperti itu mengembangkan perdamaian dan
pemahaman antar bangsa-bangsa.”
PENUTUP
Sabda Allah yang definitif
121. Pada penutup refleksi ini yang saya gunakan untuk
mengumpulkan dan memeriksa secara lebih cermat buah-buah kaya dari Pertemuan Umum Biasa keduabelas Sinode para Uskup
mengenai Sabda Allah dalam kehidupan dan misi Gereja, saya ingin sekali lagi
mendorong semua Umat Allah, para Pastor, orang-orang Hidup Bakti dan umat awam,
untuk menjadi semakin akrab dengan Kitab Suci. Kita hendaknya jangan pernah
lupa bahwa semua spiritualitas Kristiani yang sejati dan hidup berdasar pada
Sabda Allah yang diwartakan, diterima, dirayakan dan direnungkan dalam Gereja.
Hubungan mendalam dengan Sabda Allah akan berlangsung dengan semangat yang
semakin besar bila kita menyadari bahwa, dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja
yang hidup, kita berdiri di hadapan Sabda Allah yang definitif dalam alam
semesta dan dalam sejarah.
Prolog Injil Yohanes membimbing kita untuk merenungkan bahwa
segala sesuatu yang ada berada di bawah tanda Sabda. Sabda berasal dari Bapa,
datang untuk tinggal di tengah-tengah kita dan kemudian kembali kepada Bapa
untuk membawa bersama-Nya seluruh ciptaan yang diciptakan dalam Dia dan bagi
Dia. Gereja sekarang menghayati misinya dalam pengharapan besar atas pernyataan
eskatologis dari Pengantin pria: “Roh dan Pengantin perempuan berkata:
‘Datanglah!’” (Why. 22:17). Penantian ini tidak pernah pasif, sebaliknya
merupakan dorongan misioner untuk mewartakan Sabda Allah yang menyembuhkan dan menebus
setiap orang. Saat ini Yesus yang bangkit berkata kepada kita: “Pergilah ke
seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15).
Evangelisasi baru dan mendengarkan secara baru
122. Maka, zaman kita harus semakin ditandai dengan sikap mendengarkan Sabda Allah secara baru
dan dengan evangelisasi baru.
Memulihkan kembali sentralitas Sabda Allah dalam kehidupan Kristiani membuat
kita menghargai kembali makna terdalam seruan kuat Paus Yohanes Paulus II:
untuk melanjutkan missio ad gentes
dan dengan penuh semangat memulai evangelisasi baru, terutama di antara
bangsa-bangsa di mana Injil telah dilupakan atau ditanggapi dengan acuh tak
acuh sebagai akibat tersebarnya sekularisme. Semoga Roh Kudus membangkitkan
rasa lapar dan haus akan Sabda Allah dan membangkitkan para pewarta dan
saksi-saksi Injil yang penuh semangat.
Dengan mengikuti teladan Rasul Agung Bangsa-bangsa, yang
mengubah arah hidupnya sesudah mendengar suara Tuhan (bdk. Kis. 9:1-30),
marilah kita juga mendengarkan Sabda Allah yang berbicara kepada kita, selalu secara pribadi, di sini dan
sekarang. Roh Kudus, sebagaimana disampaikan oleh Kisah Para Rasul kepada kita, mengkhususkan Paulus dan
Barnabas untuk mewartakan dan menyebarkan Kabar Gembira (bdk. 13:2). Di zaman
kita juga, Roh Kudus terus-menerus memanggil para pendengar dan pewarta Sabda
Tuhan yang tangguh dan persuasif.
Sabda dan Sukacita
123. Semakin besar keterbukaan kita terhadap Sabda Allah,
semakin kita mampu mengenal bahwa sekarang juga misteri Pentakosta sedang
berlangsung dalam Gereja Allah. Roh Tuhan terus mencurahkan karunia-Nya kepada
Gereja untuk membimbing kita
kepada semua kebenaran, untuk menunjukkan kita makna Kitab Suci dan membuat
kita menjadi pewarta Sabda keselamatan yang dapat dipercaya di hadapan dunia.
Dengan demikian, kita kembali kepada Surat Pertama Santo Yohanes. Dalam Sabda
Allah, kita juga mendengar, kita juga melihat dan menyentuh Sabda Kehidupan.
Kita melalui rahmat telah menyambut pewartaan bahwa hidup abadi telah
disingkapkan, sehingga kita sekarang mengakui persekutuan kita satu dengan yang
lain, dengan mereka yang telah mendahului kita ditandai oleh tanda iman, dan
dengan semua yang tersebar di seluruh dunia mendengarkan Sabda, merayakan
Ekaristi dan dengan hidup mereka memberi kesaksian tentang cinta kasih.
Pewartaan ini telah dibagikan dengan kita –seperti diingatkan Rasul Yohanes kepada kita –supaya
“sukacita kita menjadi sempurna” (1Yoh. 1:4).
Pertemuan Sinodal memungkinkan kita mengalami semua yang
dikatakan Santo Yohanes mengenai: pewartaan Sabda menciptakan persekutuan dan
menghasilkan sukacita. Ini adalah sukacita mendalam yang berasal dari kedalaman
hati hidup triniter dan yang dikomunikasikan kepada kita dalam Putra. Sukacita
ini adalah karunia yang tak terlukiskan yang tidak dapat diberikan oleh dunia.
Perayaan bisa diatur, tetapi sukacita tidak. Menurut Kitab Suci sukacita adalah
buah dari Roh Kudus (bdk. Gal. 5:22) yang memampukan kita untuk masuk ke dalam
Sabda dan memungkinkan Sabda Allah masuk ke dalam diri kita dan menghasilkan
buah untuk kehidupan kekal. Dengan mewartakan Sabda Allah dalam kuasa Roh
Kudus, kita juga ingin mengambil bagian dalam sumber sukacita sejati, bukan
sukacita yang dangkal dan lekas hilang, melainkan sukacita yang lahir dari
kesadaran bahwa hanya Tuhan Yesus saja yang memiliki sabda kehidupan kekal
(bdk. Yoh. 6:68).
“Ibu Sabda dan Ibu Kegembiraan”
124. Hubungan erat antara Sabda Allah dan sukacita tampak
jelas dalam diri Bunda Allah. Marilah kita mengingat perkataan Santa Elisabet:
“Berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari
Tuhan, akan terlaksana.” (Luk. 1:45). Maria berbahagia karena ia memiliki iman,
karena ia percaya, dan dalam imannya ia menerima Sabda Allah dalam rahimnya
untuk memberikan-Nya kepada dunia. Sukacita yang lahir dari Sabda sekarang
dapat diperluas kepada semua yang, oleh iman, membiarkan diri mereka diubah
oleh Sabda Allah. Injil Lukas menampilkan
misteri sikap mendengarkan dan sukacita dalam dua teks. Yesus berkata, “Ibu-Ku
dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan
melakukannya”(8:21). Dan sebagai jawaban kepada seorang wanita dari orang
banyak yang memberkati rahim yang melahirkan Dia dan payudara yang
menyusui-Nya, Yesus mengungkapkan rahasia sukacita sejati: “Yang berbahagia
ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya!” (11:28).
Yesus memperlihatkan keagungan Maria yang sesungguhnya, dengan memungkinkan
kita masing-masing untuk mendapat kebahagiaan yang berasal dari Sabda yang
diterima dan dipraktikkan. Saya mengingatkan semua orang Kristiani bahwa
hubungan kita yang pribadi dan komunal dengan Allah tergantung pada keakraban
kita yang semakin berkembang dengan Sabda Allah. Akhirnya, saya menyapa semua
orang, termasuk mereka yang telah menjauhkan diri dari Gereja, yang telah
meninggalkan iman mereka atau yang tidak pernah mendengar pewartaan
keselamatan. Kepada setiap orang Tuhan bersabda: “Lihat, Aku berdiri di muka
pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan
pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan
ia bersama-sama dengan Aku” (Why. 3:20).
Dengan demikian, semoga setiap hari dari hidup kita dibentuk
oleh perjumpaan yang dibarui dengan Kristus, Sabda Bapa yang menjadi daging: Ia
ada pada permulaan dan akhir dan “segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol. 1:17).
Marilah kita hening agar dapat mendengar Sabda
Tuhan dan merenungkannya, sehingga dengan karya Roh Kudus Sabda itu dapat tetap
tinggal dalam hati kita dan berbicara kepada kita seluruh hari dari hidup kita.
Dengan cara ini Gereja akan selalu diperbarui dan dimudakan kembali, berkat
Sabda Tuhan yang tetap tinggal selamanya (bdk. 1Ptr. 1:25; Yes. 40:8). Dengan
demikian, kita juga akan masuk ke dalam dialog perkawinan agung yang menutup
Kitab Suci: “Roh dan pengantin perempuan itu berkata: ‘Marilah!’ Dan
barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: ‘Marilah!’... Ia yang
memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: ‘Ya, Aku datang segera!’
Amin, datanglah, Tuhan Yesus!” (Why. 22:17. 20).
Diberikan di Roma, di Basilika Santo Petrus, pada 30
September, Peringatan Santo Hieronimus, pada tahun 2010, tahun keenam masa
Kepausan saya.
BENEDIKTUS XV