Daftar Blog Saya

Sabtu, 11 Februari 2023

PESAN UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA KE-31 11 FEBRUARI 2023

 


“Rawatlah Dia”

Belas Kasih sebagai Reksa Penyembuhan Sinodal

11 Februari 2023

Saudara-saudari terkasih!

Sakit merupakan bagian dari kondisi manusiawi. Tetapi, jika sakit itu ditanggung dalam kesendirian dan terabaikan, tanpa perhatian dan belas kasih, tentu dapat menjadi tidak manusiawi.

Saat kita berjalan bersama, tidak jarang seseorang merasakan sakit, harus berhenti karena kelelahan atau beberapa kejadian yang menimpanya di sepanjang jalan. Persis pada saat-saat seperti itu kita melihat bagaimana kita berjalan bersama: apakah kita benar-benar teman seperjalanan, atau hanya individu-individu yang berjalan sendiri-sendiri pada jalan yang sama, dengan urusan masing-masing dan masa bodoh terhadap orang lain yang “berlalu”. Karena itu, pada Hari Orang Sakit Sedunia ke-31, di tengah perjalanan sinode Gereja, saya mengundang kita semua untuk merenungkan kenyataan bahwa justru melalui pengalaman kerapuhan dan kondisi sakit kita dapat belajar berjalan bersama menurut gaya Allah, yakni kedekatan, belas kasih, dan kelembutan.

Dalam Kitab Nabi Yehezkiel, Tuhan menyerukan kata-kata ini yang menampilkan salah satu hal pokok dari Pernyataan Diri Allah: “Aku sendiri akan menggembalakan domba-domba-Ku, dan Aku akan membiarkan mereka berbaring, demikianlah firman Tuhan Allah. Aku akan mencari yang hilang, dan akan membawa pulang yang tersesat, dan akan membalut yang terluka, dan akan menguatkan yang lemah […] Aku akan memberi makan mereka dengan keadilan” (Yeh. 34:15-16). Pengalaman kebingungan, sakit, dan lemah adalah bagian dari perjalanan manusia. Pengalaman-pengalaman itu tidak untuk memisahkan kita dari persekutuan umat Allah, melainkan justru membawa kita ke pusat perhatian Allah, karena Ia adalah Bapa kita yang tidak ingin kehilangan satu pun dari anak-anak-Nya di sepanjang jalan. Marilah kita belajar dari-Nya, bagaimana harus menjadi komunitas yang sungguh-sungguh berjalan bersama dan mampu melawan budaya menyingkirkan.

Ensiklik Fratelli Tutti mendorong kita untuk membaca kembali perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, yang saya pilih untuk menggambarkan bagaimana kita dapat beralih dari “awan gelap” dunia yang tertutup ke “mimpi dan penciptaan dunia yang terbuka” (bdk. No. 56). Ada hubungan yang mendalam antara perumpamaan Yesus tersebut dan dunia sekarang ini yang menolak persaudaraan dengan berbagai macam cara. Ada satu realitas bahwa manusia yang telah dipukuli dan dirampok dibiarkan di pinggir jalan melukiskan kondisi saat ini di mana sekian banyak saudara-saudari kita ditinggalkan justru ketika mereka sedang membutuhkan pertolongan. Tidak mudah membedakan mana serangan terhadap kehidupan dan martabatnya yang berasal dari penyebab alami dan mana yang disebabkan oleh ketidakadilan dan kekerasan. Pada kenyataannya, meningkatnya tataran-tataran ketimpangan dan kepentingan segelintir orang kini mempengaruhi setiap lingkungan hidup manusia sedemikian rupa sehingga sulit untuk menilai pengalaman apapun sebagai hal yang “alamiah”. Semua penderitaan terjadi dalam suatu konteks “budaya” dan berbagai kontradiksinya.

Yang penting di sini adalah mengenali kondisi kesendirian dan penelantaran. Kepedihan semacam ini lebih mudah diatasi daripada kekejaman ketidakadilan lainnya, karena untuk mengatasinya – seperti dikisahkan oleh perumpamaan Orang Samaria yang baik hati – hanya perlu memikat perhatian kita sesaat dan gerakan belas kasih yang ada dalam diri kita. Dua pelintas, yang dianggap saleh dan religius,  melihat orang yang terluka itu, tetapi tidak mau berhenti menolong. Tetapi, orang ketiga yang lewat yaitu orang Samaria, seorang asing yang dicemooh, justru tergerak hatinya, merawat orang yang terluka itu, dan memperlakukannya sebagai saudara. Dengan melakukannya, bahkan tanpa banyak berpikir, dia membuat perbedaan, dia membuat dunia lebih bersaudara.

Saudara-saudari, kita sering tidak siap menghadapi penyakit. Kita bahkan sering tidak berani mengakui bahwa kita semakin menua. Kerapuhan membuat kita takut, dan berkembangnya budaya efisiensi mendorong kita untuk menyembunyikan kerapuhan itu, dengan tidak menyisihkan ruang bagi kerentanan manusiawi kita. Dalam arus semacam ini, ketika kekuatan jahat mendadak masuk dan melukai kita, kita akan terkesiap. Selain itu, orang lain mungkin mengabaikan kita pada saat-saat rapuh. Atau, pada saat-saat kita lemah, kita mungkin merasa bahwa kita sebaiknya meninggalkan orang lain supaya tidak menjadi beban. Begitulah kesepian muncul, dan kita dapat diracuni oleh rasa pahit ketidakadilan, seolah-olah Tuhan sendiri telah meninggalkan kita. Memang, kita mungkin sulit berdamai dengan Tuhan ketika hubungan kita dengan orang lain dan diri kita sendiri rusak. Oleh karena itu, terkait dengan penyakit tentu sangat penting seluruh Gereja mempertimbangkan dirinya sendiri terhadap teladan Injil tentang orang Samaria yang baik hati, supaya menjadi “rumah sakit lapangan” yang sejati. Misi Gereja dinyatakan dalam tindakan perawatan, khususnya pada lingkungan zaman kita ini. Kita semua rapuh dan rentan. Kita membutuhkan belas kasih yang mengerti bagaimana berhenti sejenak, datang mendekat, menyembuhkan dan bangkit kembali. Demikian, penderitaan orang sakit merupakan panggilan untuk menghentikan ketidakpedulian dan memperlambat langkah mereka yang berjalan sendirian seolah-olah tidak memiliki saudari dan saudara.

Hari Orang Sakit Sedunia mengajak kita untuk berdoa dan lebih dekat dengan mereka yang sedang menderita. Lebih dari itu, kesempatan ini juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran umat Allah, lembaga kesehatan dan masyarakat sipil terkait dengan cara baru bergerak maju bersama-sama. Kutipan Nabi Yehezkiel di atas dengan keras menegur prioritas-prioritas mereka yang memegang kekuasaan ekonomi, budaya, dan politik atas yang lain: “Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman” (Yeh. 34:3-4). Firman Tuhan selalu menerangi dan tepat waktu; tidak hanya dalam apa yang dikecamnya, tetapi juga dalam apa yang diajukannya. Memang, pesan akhir dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati menyarankan bagaimana gerak persaudaraan, yang mulai dari perjumpaan tatap muka, dapat diperluas ke dalam perawatan yang terorganisir. Unsur-unsur penginapan, pemilik penginapan, uang dan janji untuk datang kembali (bdk. Luk. 10:34-35) semua itu menunjukkan komitmen para petugas kesehatan dan pekerja sosial, anggota keluarga dan sukarelawan, melalui mana yang baik setiap hari tetap teguh berdiri menghadapi kekuatan jahat, di setiap bagian dunia.

Tahun-tahun pandemi yang lalu telah meningkatkan rasa syukur kita atas mereka yang bekerja setiap hari di bidang perawatan kesehatan dan penelitian. Namun, penghormatan bagi para pahlawan tersebut tidaklah cukup muncul dari tragedi kolektif yang besar itu. Covid-19 telah menguji jaringan-jaringan besar kepiawaian dan solidaritas, dan telah menyingkirkan batasan-batasan struktural dari sistem kesejahteraan umum. Oleh karena itu, di setiap negara, rasa syukur tersebut perlu disertai dengan upaya pencarian yang aktif akan strategi-strategi dan sumber-sumber daya untuk menjamin hak dasar setiap orang atas pemeliharaan kesehatan yang layak dan mendasar.

Orang Samaria memanggil pemilik penginapan untuk “merawat dia” (Luk. 10:35). Yesus menujukan panggilan yang sama kepada masing-masing dari kita. Ia mengutus kita, “pergilah dan pebuatlah demikian” (Luk. 10:37). Seperti saya tuliskan dalam Fratelli Tutti, “perumpamaan (orang Samaria yang baik hati) memperlihatkan bagaimana sebuah komunitas dapat dibangun kembali oleh pria dan wanita yang menjadikan kerapuhan orang lain sebagai kerapuhannya sendiri, yang menolak pembangunan masyarakat yang ditandai dengan pengucilan, tetapi menjadi sesama manusia dari orang yang jatuh, dan mengangkat serta memulihkannya, sehingga kebaikan itu menjadi kebaikan bersama (No. 67). Memang, “Kita diciptakan untuk suatu kepenuhan yang hanya dapat dicapai dalam cinta. Kita tidak dapat bersikap tak peduli pada orang yang menderita” (No. 68).

Pada 11 Februari 2023, marilah kita mengarahkan diri ke tempat suci Lourdes, pada sebuah warta kenabian, suatu pembelajaran yang dipercayakan kepada Gereja untuk zaman modern ini. Bukan hanya apa yang berfungsi baik atau mereka yang produktif yang diperhatikan. Melainkan, senyatanya orang sakitlah yang berada pada pusat persekutuan umat Allah, dan Gereja maju bersama dengan mereka sebagai tanda kemanusiaan di mana setiap orang berharga dan tak seorang pun dibuang atau ditinggalkan.

Pada pengantaraan Maria, Bunda Kesehatan bagi orang sakit, saya mempercayakan Anda semua yang sakit; Anda yang merawat mereka dalam keluarga-keluarga Anda, atau melalui karya-karya Anda, penelitian dan pelayanan sukarela; dan Anda yang berkomitmen untuk menjalin ikatan persaudaraan personal, gerejawi, dan sipil. Kepada Anda semua, saya dengan tulus menyampaikan berkat saya.

.Roma, Santo Yohanes Lateran, 10 Januari 2023

Fransiskus



RAWATLAH DIA, HARI ORANG SAKIT SEDUNIA (1)

 


AUDIENSI PAUS DENGAN ORANG SAKIT, DOKTER DAN PERAWAT 9 FEB 2023 DI AULA CLEMENTINA, VATIKAN

Kita bertemu dalam konteks Hari Orang Sakit Sedunia, yang tahun ini, dalam konteks proses sinode, bertema moto injili "Rawatlah dia" (Luk 10:35). Ini adalah kata-kata yang dalam Injil Lukas (bdk. Luk 10:25-37), diucapkan orang Samaria yang baik hati kepada pemilik penginapan, kepada siapa dia mempercayakan orang terluka yang ditolongnya sendiri. Mari kita renungkan kembali adegan ini: ada seorang laki-laki yang diserang oleh perampok dan tergeletak di pinggir jalan; ketidakpedulian dan ketidakpekaan orang yang lewat membuatnya ditelantarkan, diabaikan. Pada titik tertentu seseorang berhenti dan membantunya: dia adalah seorang Samaria. Jika diamati lebih dekat, baik orang yang diserang maupun orang Samaria itu menderita luka: yang pertama adalah luka yang diakibatkan oleh kekerasan siapa pun yang merampok orang itu, yang kedua adalah luka batin yang disebabkan oleh pandangan menghina dari orang-orang lain yang hanya melihat seorang asing yang tidak diinginkan, orang Samaria, dalam dirinya. Namun, berkat kepekaan dari seorang yang menderita bagi orang lain yang lebih menderita, kisah solidaritas dan harapan lahir dari pertemuan mereka [1] yang meruntuhkan tembok isolasi dan ketakutan.

Karya Anda, teman-teman, lahir berkat dinamika ini: dari kemampuan mengubah pengalaman penderitaan menjadi kedekatan dengan rasa sakit orang lain, mengatasi godaan untuk menarik diri, mengangkat dagu, menekuk lutut, dan merentangkan tangan. Oleh karena itu, bersama Anda, saya ingin menggarisbawahi, dalam terang Sabda Allah, tiga sikap penting dari perjalanan ini: pertama, dekat dengan mereka yang menderita; kedua, menyuarakan penderitaan yang belum pernah terdengar; ketiga, menjadi ragi amal kasih yang memikat.

Pertama-tama, marilah kita ingat betapa pentingnya dekat dengan mereka yang menderita, menawarkan untuk mendengarkan, mencintai, dan menerima. Tetapi untuk melakukan ini kita harus belajar melihat, dalam rasa sakit saudara kita, suatu "tanda prioritas", yang di lubuk hati yang paling dalam memaksa kita untuk berhenti dan tidak membiarkan kita melangkah pergi menghindar. Kepekaan ini meningkat jika kita membiarkan diri kita terlibat dalam perjumpaan dengan mereka yang menderita. Dan berjalan bersama seperti ini membantu kita semua untuk memahami arti hidup yang sebenarnya, yaitu kasih.

Penting juga untuk menyuarakan penderitaan yang tidak pernah terdengar dari mereka yang, dalam keadaan sakit, yang dibiarkan sendiri, tanpa dukungan finansial dan moral, mudah putus asa dan kehilangan kepercayaan, seperti yang dapat terjadi pada mereka yang menderita fibromyalgia dan nyeri kronis . Kami sampaikan tantangan ke kota-kota kita, yang terkadang ditinggalkan oleh rasa  kemanusiaan dan tuli terhadap panggilan kasih. Ya, seringkali masyarakat kita seperti ini. Kita sambut seruan dari mereka yang menderita dan memastikan agar mereka itu didengar. Jangan dibiarkan tertutup di dalam ruangan, atau dibiarkan lewat sekedar sebagai "berita": mari kita berikan ruang untuk itu dalam diri kita dan menguatkannya dengan keterlibatan pribadi dan konkret.

Dan kita sampai pada sikap ketiga: menjadi ragi amal kasih berarti "berjejaring". Bagaimana? Cukup dengan berbagi berkat dan timbal balik, karena kita semua membutuhkan dan kita semua bisa memberi dan menerima sesuatu, meski hanya dengan senyuman. Dan ini menyebabkan tumbuhnya "jaring" di sekitar kita yang tidak menangkap tetapi membebaskan, jaringan yang terdiri dari tangan yang saling menggenggam, lengan yang bekerja sama, hati yang bersatu dalam doa dan kasih sayang. Bahkan di tengah gelombang yang paling ganas, jaring ini melebar tetapi tidak putus, dan memungkinkan mereka yang berisiko tenggelam dan yang telah tenggelam terseret ke darat. Dan janganlah kita lupa bahwa teladan dari mereka yang berinisiatif juga membantu orang lain menemukan keberanian untuk ikut terlibat, seperti yang ditunjukkan oleh kehadiran Anda di sini: orang sakit, petugas kesehatan dan orang-orang dari dunia olahraga, bersatu dalam komitmen bersama. untuk kebaikan sesama. Berjejaring adalah bekerja sama sebagai anggota dari satu tubuh (lihat 1 Kor 12:12-27). Penderitaan seseorang menjadi penderitaan semua, dan kontribusi masing-masing disambut oleh semua sebagai berkat.

Teman-teman terkasih, dekat dengan mereka yang sakit tidaklah mudah, Anda tahu itu dengan baik. Untuk ini saya harapkan anda jangan berkecil hati! Dan jika Anda menghadapi rintangan atau kesalahpahaman, tatap mata saudara atau saudari Anda yang menderita dan ingat kata-kata orang Samaria yang baik hati: "Rawatlah dia". Di wajah itu Yesus sendiri yang menatap Anda, Dia pun ingin berbagi kelemahan kita, kerapuhan kita sampai wafat untuk kita dan yang, setelah bangkit dari mati, tidak pernah meninggalkan kita! Di dalam Dialah kita menemukan kekuatan untuk tidak menyerah, bahkan di saat-saat tersulit sekalipun.

Kata terakhir untukmu, saudara dan saudari yang sakit. Penderitaan yang Anda jalani dengan iman, itulah yang membawa kita bersama di sini hari ini, untuk berbagi momen penting ini. Dalam kerapuhan engkau dekat dengan hati Tuhan yang memahami kerapuhan, membelai kerapuhan, menghibur kerapuhan: inilah jalan yang harus kita tempuh. Untuk alasan ini, saya meminta doa-doa Anda yang sakit, agar kedekatan dengan mereka yang menderita dan komitmen nyata untuk amal kasih dapat bertumbuh di antara kita, dan agar tidak ada tangis kesakitan yang tidak terdengar lagi. Dari dalam lubuk hati saya, saya memberkati Anda semua, saya memberkati pekerjaan Anda dan komitmen pastoral Anda. Dan jangan lupa untuk mendoakan saya. Terima kasih!

Baca Juga: Pesan Untuk Hari Orang Sakit Sedunia 2023 

BLOG IKAFITE KAJIAN DAN PEMIKIRAN GENAP 6 BULAN

 Laporan Google Analitics

Statistik Kunjungan

Jumlah postingan per hari antara 3-4. Belum ada pengikut (follower), mungkin karena belum tampil untuk umum dengan domain sendiri (berbayar) dan hosting (berbayar) yang menunjang. Hingga sementara ini masih menggunakan fasilitas gratisan. Belum interaktif karena alasan yang sama, sedang komentar sering tidak langsung menggunakan sosmed WA dan Facebook. Maka tidak tercatat oleh Google Analitics.

Browser dan mesin penelusuran yang digunakan pengunjung


Program yang digunakan pengunjung


                           
                             Lokasi pengunjung

Ada saran untuk pengembangan? Silakan ditulis dalam kolom komentar di bawah ini.

Terima kasih atas perhatian, kunjungan, komentar dan saran-saran.





Jumat, 10 Februari 2023

GEREJA INGGRIS DAN PERKAWINAN SEJENIS


Setelah debat dua hari uskup, pastor dan awam Gereja Inggris melakukan pemungutan suara, dengan 467 total suara, dan yang mengiyakan hanya 167 suara; namun akhirnya mengambil jalan pragmatik kompromistis terhadap perkawinan sesama jenis LGBT+

Sebelumnya, 14 anggota Parlemen Inggris bertemu dengan primat Gereja Inggris, Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, mempertanyakan sikap Gereja Inggris yang "kurang" menghormati kesetaraan jemaat dalam perlakuan terhadap perkawinan sesama jenis. Pihak Negara sementara itu sejak 2014 telah mengakui perkawinan sipil sesama jenis (Inggris dan Skotlandia, Irlandia menyusul 2020).

Gereja Inggris Anglikan bukan hanya berada di Inggris dan Skotlandia, tetapi di seluruh dunia, dan mayoritas malah berada di Afrika dan Asia, yang sangat konservatif. Anglikan Afrika dan Asia umumnya menolak LGBT+. Maka keputusan Sinode Gereja Inggris harus lebih dulu menghitung kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh keputusan itu. Ajaran ilahi yang menjadi pegangan seluruh umat menjadi jaminan keutuhan sehingga tidak dikutik-kutik. Tetapi keterbukaan Gereja pada perbedaan cara hidup umat juga harus konsekuen dan konkret. Maka Sinode Gereja Inggris Anglikan kemarin akhirnya menempuh jalan kompromistis:

- Pasangan sesama jenis setelah menikah sah secara sipil boleh masuk gereja dan menerima berkat. Tetapi upacara pernikahan sesama jenis di dalam gereja "tetap dilarang". Gereja tidak menikahkan tetapi memberi berkat persekutuan. Dalam memberikan berkatnya, terserah kepada setiap pastor apakah menggunakan doa-doa umum atau tidak. Akta pernikahan adalah akta sipil dan tidak dicatat dalam register gerejawi.



- Kompromi itu dikatakan kesepakatan lose-lose agrement. Bagi gereja, hanya sejauh itulah mereka dapat digelandang ke tempat yang tidak diinginkan, sedang bagi kelompok pendukung LGBT+ peluang yang diberikan sangat kurang dari yang mereka harapkan.

Namun kedua belah pihak berharap, keputusan kompromistis itu adalah pendahuluan yang bisa lebih baik di kemudian hari.



Komunitas Gereja Anglikan Afrika dan Asia merasa dibikin bungkam tanpa suara berkenaan dengan keputusan itu. Sentimen kolonial-anti kolonial meruyak kembali karena kentara sekali kesan bahwa kompromi Gereja itu terjadi karena intervensi negara.

Gereja Inggris Anglikan memahami bahwa akan terjadi gelombang "destablishment" atau guncangan atas kemapanan karena keputusan itu, tetapi karena keputusan pragmatis itu diambil dengan mempertimbangkan keutuhan kesatuan ajaran, maka diharapkan semua pihak dalam Gereja Inggris tetap setia pada keutuhan dan kesatuan Gereja, walau dalam praktek ada perbedaan-perbedaan. Hal ini dikatakan menanggapi suara-suara Gereja Anglikan Afrika dan Asia akan memisahkan diri.



Gereja Inggris bukan hanya Anglikan, tetapi juga Presbiterian dan Evangelikan. Gereja Presbitarian telah lebih dulu mengadakan Sinode yang setelah pengambilan suara 274 menerima perkawinan sejenis sedang 136 suara menolak. Mereka mengikuti suara mayoritas. Sementara itu Gereja Evangelis masih kukuh sama sekali menolak perkawinan sejenis dan LGBT+.



Lihat juga: LGBT dalam Debat Anglikan

Kitab Imamat

 


Kitab Imamat     

Kitab ketiga dari Pentateukh, kelima kitab Taurat Musa. Berisi hukum mengenai korban, ketahiran yang sah, kekudusan, pendamaian, tebusan korban, dan lain-lain. Hukum dalam kitab Imamat memberikan arahan untuk semua aspek kepatuhan agama dan aturan perilaku terhadap Tuhan dan sesama satu sama lain.

      Judul Ibrani kitab Imamat adalah wayyiqra’ (“Ia memanggil”), yang berasal dari kata-kata pertama kitab itu dalam bahasa Ibrani. Dalam versi Yunani Septuaginta disebut Leuitikon yang berarti ”sehubungan atau mengenai orang-orang Lewi”, suatu judul yang menggambarkan kegunaan kitab bagi para imam Lewi untuk mengajarkan persyaratan perjanjian. Versi Latin Vulgata menggunakan judul Yunani dan menyebutnya Liber Leviticus, dan terjemahan Inggris berasal dari tradisi ini. Di dalam tradisi para rabi, kitab ini diberi judul torat kohanim (“hukum para imam”), karena banyak darinya menjabarkan tanggungjawab para imam sebagai pengantara perjanjian Musa. [Terjemahan Indonesia yang menggunakan judul Imamat kiranya dipengaruhi pemahaman tradisi para rabi ini, sekalipun juga menunjukkan pemahaman judul Yunani dan Latin, sehubungan dengan fungsi utama orang Lewi sebagai imam-imam Israel].

 

I. Pengarang dan Waktu Penulisan

II. Isi

III. Maksud dan Tema

A. Pembaruan Perjanjian

B. Tujuan Peraturan

C. Kitab Imamat bagi Umat Kristen

 

I. Pengarang dan Waktu Penulisan

Kitab Imamat menyatakan kepada kita bahwa isinya didiktekan kepada Musa dan saudaranya, Harun, di Gunung Sinai (bdk Im 1:1.; 4:1; 7:37; 10:8; 11:1; 26:46; 27:34; 34:27). Baik tradisi Yahudi maupun Kristen menganggap Musa sebagai pengarang kitab ini, bersama dengan seluruh kitab dalam Pentateukh (Taurat). Jika ini benar, maka artinya Musa menulis kitab ini sendiri (bdk Kel 17:14; 24:4; 34:27) atau mempercayakan penyusunannya kepada para juru tulis. Dan jika Musa adalah si pengarang, maka kitab ini berasal dari abad kelima belas SM (atau abad ketiga belas SM, bergantung mengenai kepastian waktu peristiwa Keluaran).

      Menurut Hipotesis Dokumenter modern, kitab Imamat berasal dari tradisi imam atau Priestly (atau sumber-P). Bentuknya yang sekarang berlaku berasal dari suatu ketika pada masa dan sesudah Pembuangan Babilon pada abad keenam SM. Ahli modern lainnya menyatakan bahwa kitab ini merupakan hasil dari proses pengembangan yang sangat lama, dan bahwa tradisinya terentang mulai dari permulaan milenium pertama SM atau bahkan dari milenium kedua SM.

 

II. Isi

I. Norma Imamat (bab 1-16)

A. Korban (1:1-7:38)

1. Korban Bakaran (1:1-17)

2. Persembahan Tepung (2:1-16)

3. Korban Keselamatan (3:1-17)

4. Korban Penebus Dosa (4:1-5:13)

5. Korban Penebus Salah (5:14-6:7)

6. Petunjuk Pelaksanaan (6:8-7:38)

B.Ritus Pentahbisan dan Imamat Harun (8:1-10:20)

II. Hukum Ketahiran (11:1-16:34)

A. Binatang yang haram dan yang tidak haram (11:1-47)

B. Pentahiran Wanita Pasca Persalinan (12:1-8)

C. Kusta dan  Penyakit Kulit (13:1-14:57)

D.Yang Dikeluarkan Tubuh (15:1-33)

E. Hari Pendamaian (16:1-34)

III. Hukum Kekudusan (bab 17-27)

A. Darah (17:1-16)

B. Hubungan Seksual (18:1-30|)

C. Kekudusan Ritual dan Moral (19:1-21:24)

D. Korban Kudus (22:1-33)

E. Perayaan-perayaan (23:1-44)

F. Aturan Kemah Pertemuan dan Hujat (24:1-3)

G. Tahun Dabat dan Tahun Yobel (25:1-55)

H. Berkat dan Kutuk Perjanjian (26:1-46)

I. Tambahan Mengenai Penunaian Nadar (27:1-34).

 


III. Maksud dan Tema

A. Pembaruan Perjanjian

Kitab Imamat terutama merupakan kumpulan peraturan hukum yang terbagi dalam dua bagian besar, bagian Norma untuk Imam (bab 1-16) dan Hukum Kekudusan (bab 17-27) .

      Insiden berhala anak lembu emas dan kekejian Israel merupakan pelanggaran serius atas perjanjian dan diperlukan suatu pembaruan lengkap (Kel 34). Pembaruan perjanjian itu menempatkan Musa sebagai perantara dan memerinci tanggungjawab imam-imam dari Harun (Im 1-7), suku Lewi (Bil 3-4) dan suku-suku awam (Im 17-27). Dalam perjanjian yang diperbarui, Tuhan tidak berbicara langsung kepada Israel, melainkan kepada Musa (Kel 34:10) dan Musa menyampaikannya kepada Harun dan suku Lewi, dan kemudian mereka menyampaikannya kepada suku-suku Israel (Im 10:11). Kehadiran Allah di Israel tersembunyi di dalam Kemah Pertemuan (Kemah Allah) sebagai tanda pembaruan perjanjian, dan para imam dan orang-orang Lewi bertindak selaku pengantara dan pengawal daerah sekeliling Kemah Pertemuan, berdasarkan petunjuk-petunjuk yang telah dipaparkan dalam kitab Imamat. Kitab menguraikan berbagai hal mengenai ritus korban dan ritus pentahiran serta hirarki imam yang memungkinkan rakyat pemberontak itu melakukan pendamaian dengan Tuhan.

 

B. Tujuan Peraturan

Bagian pertama dari kitab Imamat, yaitu Norma untuk Imam (bab 1-16) berfungsi sebagai buku pedoman untuk mengajar dan membina para perantara perjanjian bagi pelaksanakan tugas kewajiban keimaman mereka. Di pihak lain kode Hukum Kekudusan (bab 17-26) terutama ditujukan kepada keduabelas suku Israel dan menekankan bahwa kekudusan mutlak perlu bagi umat Allah seluruhnya.

      Seluruh kitab Imamat dapat diringkas sebagai berikut:

"Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Akulah Tuhan, Allahmu. Janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Mesir, di mana kamu diam dahulu; juga janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Kanaan, ke mana Aku membawa kamu; janganlah kamu hidup menurut kebiasaan mereka. Kamu harus lakukan peraturan-Ku dan harus berpegang pada ketetapan-Ku dengan hidup menurut semuanya itu; Akulah Tuhan, Allahmu. Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah Tuhan” (Im 18:2-5).

 


Tuhan terpisah dari segala dosa dan dari semua pendosa, maka Israel pun harus memisahkan dari dosa dan pendosa pula (Im 15:31; 20:26). Karena mereka tidak dapat memelihara perjanjian yang asli dan yang jauh lebih sederhana (Kel 20-23), maka hidup mereka perlu diatur secara rinci.

 

C. Kitab Imamat bagi Umat Kristen

Umat Kristen yang hidup dalam era Mesias menganggap semua pranata dan kurban menurut kitab Imamat sudah dilaksanakan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Khususnya dengan memperhatikan Hari Raya Pendamaian (Im 16), yang menubuatkan korban Salib Kristus. Serentak dengan itu, kitab Imamat menunjuk pada  pengudusan hidup sehari-hari melalui panggilan menuju kasih yang sempurna “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Im 19:18). Kitab Imamat dengan pelbagai ragam keterangan mengenai hewan korban mengingatkan kita pada perlunya kita mematikan dorongan-dorongan kebinatangan yang ada di dalam diri kita dan menguduskan hidup kita bagi Tuhan. Dengan demikian kita didesak untuk melawan dosa yang ada dalam diri kita sendiri dan dalam komunitas iman kita dan memisahkan diri kita dari semua yang dapat merenggut dan menghancurkan kita dari hubungan kita yang benar dengan Allah.


Lihat juga: KITAB KEJADIAN

DARI SUVA-FIJI KILASAN KONSULTASI SINODE USKUP 2023 KONTINENTAL OCEANIA

Konsultasi Kontinental Sinode Uskup Sedunia 2023 untuk Oceania yang meliputi Fiji, Melanesia, Papua Nugini, New Zealand dan Australia diselenggarakan di Suva - Fiji dari 5 Februari dan selesai hari ini, 10 Februari 2023.

Dalam kerangka besar Sinode Uskup 2023: Untuk Gereja Sinodal: Komunio, Partisipasi, Misi, Gereja Katolik Oceania membahas soal Pemeliharaan Lautan, Formasi Karya Misi dan Menjadi Gereja yang Makin Sinodal.



Video hari pertama 5 Februari: https://youtu.be/6eboV0wYTDs

Misa di Katedral Hati Kudus di Suva bernuansa spiritualitas dan tradisi Umat Fiji membuka pertemuan Sidang konsultasi Sinode Uskup 2023 Federasi Waligereja Oseania (Federation of Catholic Bishops Conferences of Oceania FCBCO) Pada hari pertama delegasi diajak memerhatikan komunitas-komunitas mereka yang dikelilingi lautan, hidup oleh situasi sumber daya lautan, cemas oleh kenaikan permukaan laut.

Video Hari Kedua: https://youtu.be/PbyuiZ-XXAU

Para peserta diajak mengunjungi kerusakan lingkungan terutama aliran sungai dan muaranya yang bertemu dengan lautan, yang mempengaruhi hidup umat. Mencatat, mendengarkan dan melihat kemungkinan-kemungkinan ke masa depan.

Video hari ketiga: https://youtu.be/ZbrWyBNR3Ck

Mendengarkan presentasi akademik berkenaan dengan tema-tema utama konsultasi.



Video hari keempat: https://youtu.be/sAX-LhrgvPo

Hari renungan dan membahas bahan tanggapan Oceania atas undangan Sinode Uskup 2023.

Video 9 Februari : https://youtu.be/wfJC5VqjLtU

Formulasi tanggapan Gereja Katolik Oceania untuk Sinode Uskup 2023 dan sekaligus untuk menyusun prioritas kerja mereka ke depan.

Catatan yang menarik adalah bahwa salah satu prioritas adalah mendorong kontribusi para teolog awam dalam mengembangkan sinodalitas. Awam didorong untuk semakin banyak yang belajar teologi. Terutama untuk dialog budaya yang dihayati umat Oceania. Keluhuran kebijakan lokal Oceania yang akrab dengan alam, dengan lautan, dapat melengkapi spiritualitas Gereja, memperkaya teologi Barat, untuk misi perutusannya. Karena peziarahan Gereja seperti bahtera di lautan, dan sinodalitas adalah cara melakukan navigasi bahtera dalam perjalanan bersama di dunia.


Lihat juga: Tingkat Kontinental Konsultasi Sinodal

Jalan Sinode Jerman dalam Konsultasi Kontinental Eropa


LEBIH DARI 21.000 KORBAN GEMPA TURKI-SURIAH

 


Update 10 Februari 2023. 

Kemarin 9 Februari 2023 konvoi bantuan kemanusiaan PBB melewati celah Bab-el Hawa menuju perbatasan tenggara mencapai daerah yang dikuasai pemberontak di sebelah barat laut Suriah, membantu evakuasi, menyediakan tenda dan perlengkapan tidur dan obat-obatan. Melampaui dugaan awal PBB bahwa jumlah korban sekitar 20.000, realitasnya pada pagi ini 10 Februari 2023, catatan korban meninggal malah sudah melampaui 21.000, 17.674 di Turki dan 3.377 di Suriah, sementara upaya pencarian korban dan pembongkaran runtuhan puing terus berlanjut berpacu dengan batas harapan hidup teoretis dari mereka yang terkubur dalam reruntuhan. Lebih dari 78.000 orang luka-luka berat, sedang dan ringan di kedua negara, Turki dan Siria. Jumlah pengungsi yang kehilangan tempat tinggal belum diketahui.

Dari sudut jumlah korban meninggal bencana gempa bumi Turki-Suriah 2023 adalah terburuk ke-8 hingga sejauh ini. Bencana Gempa magnitude 7 di Haiti (2010) paling banyak menyebabkan korban tewas (222.570). Selanjutnya gempa magnitude 9 yang menimbulkan tsunami di Sumatera, Indonesia (2004) meminta korban tewas 185.708. Di tempat ketiga gempa magnitude 8 di China pada 2008 meminta korban 87.476 tewas. Gempa Pakistan tahun 2005 berkekuatan 8 meminta korban jiwa 73.338. Gempa besar ke-6 terjadi di Srilanka (2004) berkekuatan 9 bersamaan dengan gempa yang terjadi di Indonesia, menelan korban  35.399 jiwa. Gempa terburuk no-7 terjadi di Iran (2003) berkekuatan 7 dengan korban tewas 26.796 orang.



Negara-negara di seluruh dunia memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban gempa Turki-Suriah secara langsung dan semakin intensif kepada rakyat yang terdampak dengan mengirim tim penanggulangan bencana, serta bantuan material dan dana melalui badan-badan kemanusiaan terutama PBB, tidak melalui pemerintahan kedua negara, terutama Suriah, karena adanya sanksi internasional.




PUNCTA HARI MINGGU BIASA VI-A/1

 



Bacaan: Sir 15:15–20; Mzm 119:1–2, 4–5, 17–18, 33–34; 1 Kor 2:6–10

INJIL Mat 5:17–37

Yesus memberi tahu kita dalam Injil minggu ini, bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan tetapi untuk “menggenapi” Hukum Musa dan ajaran para nabi.

Injil mengungkapkan makna dan tujuan yang lebih dalam dari Sepuluh Perintah Allah dan hukum moral Perjanjian Lama. Tetapi Injil juga melampaui Hukum. Tuntutan moralitasnya jauh lebih besar daripada yang dicapai orang Yahudi yang paling saleh, para ahli Taurat dan orang Farisi.

Mematuhi Hukum secara lahiriah tidaklah cukup. Tidaklah cukup bahwa kita tidak membunuh, berzina, bercerai, atau berdusta.

Hukum Perjanjian Baru adalah hukum yang Allah tuliskan di hati (lihat Yer 31:31–34). Hati adalah pusat motivasi kita, tempat dari mana perkataan dan tindakan kita berasal (lihat Mat 6:21; 15:18–20).

Yesus minggu ini memanggil kita untuk melatih hati kita, untuk menguasai nafsu dan emosi kita. Dan Yesus menuntut ketaatan penuh dari hati kita (lihat Rm 6:17). Dia memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati kita dan melakukan kehendak Allah segenap hati pula (lihat Mat 22:37; Ef 6:6).

Allah tidak pernah menuntut lebih dari apa yang mampu kita lakukan. Itu pesan Bacaan Pertama minggu ini. Terserah kita untuk memilih apakah kehidupan atau maut, untuk memilih air kehidupan kekal atau api kefasikan dan dosa.

Melalui hidup, wafat, dan Kebangkitan-Nya, Yesus telah menunjukkan kepada kita bahwa adalah mungkin untuk menaati perintah-perintah Allah. Dalam Pembaptisan, Ia telah memberikan Roh-Nya kepada kita, agar Hukum Allah dapat digenapi di dalam kita (Rm 8:4).

Hikmat Injil melampaui semua kebijaksanaan zaman yang sedang berlalu, kata St. Paulus kepada kita dalam Suratnya. Pewahyuan hikmat ini menggenapi rencana Allah sejak sebelum segala zaman. Marilah kita percaya pada hikmat Injil dan hidup menurut hukum kerajaan-Nya.

Seperti kita lantunkan dalam Mazmur minggu ini, marilah kita memilih bahagia dengan berdoa memohon agar kita bertumbuh dalam hikmat dan menjadi lebih mampu melaksanakan Injil-Nya dan mencari Bapa dengan segenap hati kita.

Kamis, 09 Februari 2023

Jalan Sinodal Jerman dalam Konsultasi Sinode Kontinental Eropa

Hari-hari ini di Praha, Republik Ceko, sedang berlangsung konsultasi kontinental Eropa untuk persiapan Sinode Uskup Sedunia 2023. Konsultasi dihadiri 200 peserta, di antaranya 65 wanita dan 46 Uskup Eropa.

Pada hari Rabu 8 Februari 2023 kemarin delegasi Jerman mendapat kesempatan berbicara. Seorang wanita pemimpin Jalan Sinode Jerman  Irme Stetter-Karp, presiden Komite Pusat Umat Katolik Jerman (ZdK) yang awam, dalam pidatonya di pertemuan sinode Eropa menyatakan bahwa pengecualian perempuan dari tahbisan mendorong perempuan keluar dari Gereja.



“Kesetiaan yang keras kepala terhadap antropologi dualistis dan penempatan perempuan  di luar pelayanan tertahbis cenderung mendorong perempuan, terutama perempuan muda, keluar dari Gereja di abad ke-21,” katanya. Ia mengajukan pertanyaan “kepada mereka yang tidak ingin perubahan” terkait “masalah wanita,”: “Bagaimana Anda menjelaskan berbagai karunia dan panggilan wanita dalam Gereja Katolik di seluruh dunia jika Roh Kudus tidak menghendakinya? Saya ingin jawaban yang jujur ​​​​untuk itu."

Stetter-Karp adalah salah satu dari tiga pemimpin Jalan Sinode Jerman yang memainkan peran aktif dalam tahap kontinental dari Sinode Sinodalitas Gereja yang sedang berlangsung sebagai delegasi nasional resmi dari Jerman.

Thomas Söding, Wakil Ketua Komite Pusat Awam Jerman, juga berbicara pada hari Rabu tentang keyakinannya tentang krisis panggilan di Eropa. “Kita sedang mengalami krisis panggilan imamat di seluruh Eropa. Apa artinya bagi kita?” “Saya tahu ada jawaban berbeda di ruangan itu. Keyakinan saya: Kita berpikir terlalu sempit tentang panggilan imamat. Kita berpikir terlalu sempit tentang kasih karunia Allah. Kita mengikatnya dengan jenis kelamin. Kita mengikatnya dengan ‘status hidup.’ Jika Anda menghendaki keterbukaan, Anda tidak menyempitkan pelayanan imamat, Anda membuatnya lebih luas,” tambahnya.

Uskup Georg Bätzing, yang menjadi Ketua Jalan Sinode Jerman sejak tahun 2020, mengatakan kepada delegasi sinode Eropa pada hari Senin, 6 Februari, bahwa Jalan Sinode Jerman telah mendengar bahwa “bentuk-bentuk baru sedang diupayakan untuk mengatur imamat” dan bahwa “Gereja harus terbuka pada orang-orang yang cara hidupnya tidak sesuai dengan norma-norma katekismus, termasuk orang-orang aneh.”

“Kami mendengar dan memahami kekhawatiran ini. Saya kini membagikannya secara pribadi. Saya memandang tugas saya sebagai Ketua Konferensi Waligereja Jerman untuk membawa mereka ke dalam proses global yang dimaksudkan untuk memperbaharui Gereja,” kata Bätzing.

Dua Sinode yang Berbeda

Jalan Sinode Jerman merupakan prakarsa yang berbeda dari Sinode tentang Sinodalitas Global yang diprakarsai oleh Paus Fransiskus pada Oktober 2021. Sejak awal, proses yang terjadi di Jerman, yang bukan merupakan sinode, telah menimbulkan kontroversi. Para peserta telah memberikan suara mendukung draf dokumen yang menyerukan pentahbisan imam wanita, pemberkatan perkawinan sesama jenis, dan perubahan ajaran Gereja tentang tindakan homoseksual; menimbulkan gambaran suatu gerakan bid'ah dan kecemasan akan  menimbulkan perpecahan.

Kekhawatiran telah dikemukakan secara terbuka oleh para pemimpin Gereja dari Polandia, negara-negara Nordik, dan dari seluruh dunia.

Dalam audiensi pertama Paus Fransiskus tahun 2023, Paus mencela Jalan Sinode Jerman sebagai elitis, tidak membantu, dan berisiko membawa bahaya ideologis ke dalam proses sinodal Gerejawi.

Kekhawatiran akan “perpecahan” dari Jerman meningkat beberapa bulan terakhir karena penyelenggara Jalan Sinode Jerman pada bulan November menolak saran moratorium atas proses Jalan Sinode Jerman dari Vatikan.

Paus Fransiskus meluncurkan proses konsultasi kontinenal menuju ke Sidang Umum Biasa ke-16 Sinode Para Uskup Sedunia di Vatikan pada Oktober 2023 dan 2024 dengan seruan “bertemu, mendengarkan, dan membedakan (discerning).” Panitia sinode 2023 baru-baru ini menegaskan bahwa satu-satunya tema dalam setiap tahap proses konsultasi adalah tema resmi yang telah ditetapkan Paus: “Untuk Gereja Sinodal: Komunio, Partisipasi, Misi.” Proses sinode saat ini memasuki tahap konsultasi kontinental di tujuh titik di Fiji (Oceania), Republik Ceko (Eropa), Bangkok-Thailand (Asia), Addis Ababa-Ethiopia (Afrika), Orlando-Amerika Serikat (Amerika Utara), Lebanon (Timur Tengah), dan Bogota-Colombia (Amerika Latin).

Kontribusi delegasi Jerman dalam Konsultasi Kontinental Eropa akan dimasukkan dalam dokumen final yang akan diperdebatkan dan melalui pengambilan suara oleh 200 delegasi Eropa.

Setelah diskusi umum ini, pertemuan kedua akan dilakukan secara tertutup di antara 35 uskup, Ketua dan anggota dari masing-masing Konferensi Uskup di Eropa, yang secara kolegial akan meninjau kembali dokumen konsultasi, mendengarkan pidato dari masing-masing uskup, dan menghasilkan dokumen final kedua. 

Lihat juga: Tingkat Kontinental Konsultasi Sinodal

Suriah atau Siria dalam Kitab Suci

 


Siria   Suriah

Wilayah tepat di sebelah utara Palestina dan di sebelah tenggara Asia Kecil. Di masa Perjanjian Lama Siria adalah kawasan suku-suku Aram dan kemudian menjadi tempat kedudukan Kerajaan Seleukus. Siria menjadi suatu provinsi Roma di tahun 64 SM setelah ditaklukkan oleh Pompeyus Agung. Pada masa Perjanjian Baru, Siria diperintah oleh legatus dari Roma yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di bagian sebelah timur Kekaisaran Roma (Luk 2:2; Kis 15:23. 41; 18:18; 20:3; 21:3; Gal 1:21).

Penduduk wilayah Punisia dalam provinsi Roma di Siria. Bagi orang Yahudi, bangsa Punisia pada dasarnya adalah bangsa Kanaan. Seorang wanita Siro-punisia memohon Yesus agar mengusir roh jahat dari tubuh puterinya (Mrk 7:24-30; Mat 15:21-28 menyebutnya orang Kanaan). Yesus menguji wanita itu dengan memperlakukannya seperti sikap orang Yahudi yang menghina orang Kanaan: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. Tetapi perempuan itu menjawab: ''Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” Yesus berkata kepadanya bahwa anaknya telah sembuh. Penulis Injil menggunakan peristiw itu untuk menunjukkan bahwa Yesus membawa harapan bukan hanya bagi orang yahudi, tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain – termasuk bangsa Kanaan yang dibenci.

 Antiokhia

Salah satu kota utama di Kekaisaran Roma. Dibangun pada tahun 300 SM oleh Seleukus I Nikator pada Sungai Orontes di Siria dan disebut dengan nama ayahnya, Antiokhus  Karena letaknya sekitar empat puluh kilometer dari laut, kota ini ditopang oleh kota pelabuhan Seleusia, Pieria.

      Antiokhia berada di suatu daerah subur yang menghasilkan gandum, zaitun, anggur dan ikan berlimpah-limpah, dan letaknya sangat baik untuk  perdagangan baik dengan Timur maupun dengan Barat. Bertumbuh dengan cepat setelah didirikan, Antiokhia akhirnya menjadi salah satu dari tiga kota utama dalam Kekaisaran Roma, bersama dengan Roma sendiri dan Aleksandria. Pada abad kedua SM mungkin penduduknya sekitar 600.000 orang menurut Plinius (Nat 6.122). Kota itu terkenal dengan bangunan-bangunannya yang indah dan kemewahannya.

      Setelah runtuhnya Dinasti Kerajaan Seleukus pada abad pertama SM, dan akhirnya dikayahkan oleh Pompeyus Agung pada 64 SM, Antiokhia jatuh ke dalam kekuasaan Roma dan menjadi ibu kota Provinsi Roma di Siria. Dengan demikian, kota itu juga menjadi titik strategis Kekaisaran Roma dan menjadi salah satu pusat kebudayaan utama yang berlangsung terus hingga di zaman Kristen.

      Dlm PL Antiokhia disebutkan hanya di dalam Kitab 1,2 Makabe sebagai ibukota Kerajaan Seleukus (1 Mak 3:37; 4:35; 6:63; 11:13.56; 2 Mak 4:33). Dlm PB kota itu menjadi pangkalan basis komunitas Kristen yang melarikan diri dari Yerusalem sesudah Stefanus menjadi martir. Gereja di Antiokhia adalah yang pertama menyapa bangsa-bangsa lain bukan Yahudi secara sitematik, dan di kota inilah pengikut Kristus pertama kalinya disebut Kristiani/Kristen (Kis 11:19-26). Sedemikian berhasilnya Gereja di Antiokhia sehingga Barnabas dikirim ke sana dari Gereja Yerusalem (Kis 11:22). Barnabas kemudian memanggil Paulus ke kota itu, dan Antiokhia lalu menjadi tempat pertama di mana Paulus merasul (Kis 11:26). Di Antiokhia jugalah Paulus dan Petrus berselisih pendapat mengenai soal sunat  bagi bangsa lain bukan Yahudi yang menjadi Kristen (Gal 2:11-14).

Aram

Suku-suku Aram menguasai sejumlah negara-kota yang  kecil tetapi aktif dalam perdagangan, tidak cukup bersatu untuk membentuk suatu kerajaan. Mereka sering berhubungan dengan suku-suku Israel, terutama kerajaan utara. Yang paling utama dari kerajaan-kerajaan Aram adalah Damaskus; mereka jatuh tersapu oleh Kerajaan Daud (2 Sam 8:5) tetapi kemudian bebas kembali (1 Raj 11:23-25). Ben-hadad, raja Damaskus menyerang bangsa Israel pada masa Asa di Yehuda, menguasai Omri dari Israel, tetapi dua kali dikalahkan oleh Ahab (1 Raj 20). Pada tahun 732 SM kerajaan Damaskus akhirnya jatuh di bawah raja Asyur Tiglat-pileser III, yang menambahkan wilayah itu ke dalam daerah Asyur yang berkembang dengan pesat. Jatuhnya negara-negara Aram dengan demikian menyingkirkan penghalang di antara Israel dan bangsa Asyur yang terus bergerak maju.  

Damsyik

Atau Damaskus. Salah satu kota utama di Siria, yang terletak di dataran subur di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai Abana (nama modernnya Barada) dan Sungai Parpar (2 Raj 5:12) di tepian gurun Siria. Suatu kota kuno yang tidak jelas asal-usulnya. Letaknya yang di jalan perdagangan utama membuat kota itu menjadi salah satu pusat dagang yang penting di kawasan itu. Di kota inilah ibu negeri Kerajaan Aram selama abad ke sepuluh hingga ke delapan  SM dan dengan demikian banyak berurusan dengan kerajaan Israel, yang kadang-kadang bermusuh (bdk 1 Raj 15:18-20; 19:15; 20:22; 2 Raj 5-7; 8:7-15; 10:32-33). Namun dengan majunya Asyur, Damsyik terpaksa bergabung dengan negara-negara Timur Dekat lainnya termasuk Israel. Bangsa Asyur tertahan sebentar dalam pertempuran di Kargar pada tahun 853 SM tetapi kemudian tidak terbendung lagi dan Damsyik jatuh ke tangan Tiglat-pileser III sekitar tahun 732 SM dan digabungkan dengan kerajaan Asyur (2 Raj 16:9; Yes 7:8; 8:14.17; Yer 49:23; Amos 1:5). Kemudian Damsyik berpindah-pindah tangan kepada kerajaan-kerajaan berikutnya termasuk Babilonia, Persia, Aleksander Agung dan Seleukus (1 Mak 11:62; 13:32). Sesudah jatuhnya kerajaan Seleukus, Damsyik dibawak kendali bangsa Nabatea. Ketika Pompeyus Agung mendirikan Provinsi Kekaisaran Roma di Siria pada tahun 63 SM, bangsa Nabatea dibiarkannya tetap memerintah Damsyik. Kota itu akhirnya langsung berada di bawah kekuasaan Roma pada pertengahan abad pertama M.

            Ketika Paulus berada di Damsyik, kota itu masih di bawah kekuasaan Raja Aretas dari Nabatea (2 Kor 11:32). Komunitas Kristen didirikan di sana tak lama sesudah Yesus disalibkan dan berkembang dengan pesat sehingga Paulus (waktu itu bernama Saulus) sedang melakukan perjalanan ke Damsyik ketika kemudian mengalami pertobatan. Dibutakan oleh kemuliaan Kristu di jalan menuju Damaskus, ia dibawa ke Jalan Lurus di Damsyik di rumah Yudas, di mana Ananias membaptisnya dan menyembuhkan kebutaannya. Ketika ia mewartakan Injil di kota itu, hidupnya terancam dan ia melarikan diri dengan diturunkan melampaui tembok kota dalam sebuah keranjang (Kis 9:1-5).

 Seleusia   

Suatu kota di sebelah barat laut Siria yang diberi nama menurut Seleukus I Nikator, pendiri dinasti Kerajaan Seleukus. Kota itu di tepi pantai di dekat muara Sungai Orontes dan merupakan pelabuhan bagi Antiokhia. Walaupun dibentengi dengan sangat kuat, Seleusia jatuh ke tangan Ptolemeus VI Filometor dari Mesir pada tahun 146 SM (1 Mak 11:8). Paulus berangkat dari Seleusia bersama dengan Barnabas dalam perjalanan misinya yang pertama (Kis 13:4). Beberapa kota lain yang bernama Selesia juga terdapat di Asia Kecil, termasuk di Pisidia, Pamfilia, Karia, dan Frigia, serta Seleusia di Mesopotamia di pinggir Sungai Tigris.

KORBAN TEWAS LEBIH DARI 15.000. UPDATE GEMPA TURKI-SURIAH 9 FEBRUARI 2023

 





Pagi hari Kamis, 9 Februari 2023, laporan korban tewas karena gempa Turki-Suriah meningkat lebih dari 15.000. Di Irak tercatat 12.391 sedang di Suriah 2.992. 

Di Aleppo-Suriah petugas pertahanan sipil bekerja sepanjang malam 72 jam setelah gempa, melawan hawa dingin yang membekukan (-6 derajat Celsius). Mereka dipandu para pakar evakuasi bencana. Mengejar batas masa hidup korban yang masih terkubur reruntuhan bangunan. Ratusan masih berada di bawah reruntuhan di desa Jandire, sebelah pedalaman Aleppo.




Sementara bantuan internasional bekerja di kota-kota di Turki dan Suriah dalam lingkungan administrasi pemerintahan yang jelas, di perbatasan Turki dan Suriah yang dikuasai pemberontak sama sekali belum ada rombongan relawan kemanusiaan yang diterjunkan. Korban masih terkubur puing reruntuhan rumah dan belum bisa dievakuasi karena tidak ada alat berat, peralatan penggalian, juga belum ada bantuan pangan dan medis. Aparat pemerintah Suriah terutama meminta pertolongan kemanusiaan dari negara-negara Arab dan PBB untuk para pemberontak. 

"Kami berdiri di perbatasan kami untuk memberi jalan kepada bantuan kemanusiaan yang ditujukan kepada mereka di sana", kata beberapa petugas perbatasan.

Dengan kata lain, masih ada banyak korban yang belum ditemukan dan belum terhitung.

Gempa bumi Turki dan Suria di berbagai negara mengetuk solidaritas kemanusiaan. Banyak orang ingin mengulurkan bantuan. Namun pihak-pihak yang berwenang mengingatkan, bahwa banyak pihak juga mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain dengan membuka pos-pos bantuan abal-abal. Diingatkan agar menyalurkan bantuan yang jelas mempunyai akses ke Turki dan Suriah melalui lembaga-lembaga kemanusiaan yang terakreditasi dan menjamin bantuan itu sampai ke tangan pihak-pihak yang memerlukan.

Lihat juga: Keajaiban diharapkan

Update 8 Februari



LGBT DALAM DEBAT ANGLIKAN

 


Dari kemarin, Rabu 8 Februari 2023, Sinode Umum Gereja Inggris Anglikan dihadiri Uskup Agung Canterbury Justin Welby mengadakan debat umum tentang LGBT dalam Gereja, dimulai dari soal perkawinan sesama jenis. Suatu kecenderungan teologi tentang Allah tanpa gender sedang diperjuangkan oleh komponen feminis dan LGBT. Namun debat teologi yang sudah dimulai dari tahun 2013 ini masih akan berlangsung lama. Teks Kitab Suci yang tetap sama menjadi acuan utama, sudut pandang penafsiran tradisional bertahan kuat, sudut pandang baru perlu mendapatkan landasan teks yang lebih kuat. Menyadari pergumulan panjang itu Sinode Umum Anglikan lebih membahas aspek-aspek teknis praktis sebelum (jika ada) perubahan ajaran. Meruncing pada soal pemberkatan nikah LGBT. Debat akan berlanjut hari ini, Kamis 9 Februari 2023.

Persoalan apakah pastor dapat melakukan pemberkatan nikah LGBT di gereja telah membuat perpecahan dalam Komunitas Gereja Anglikan di Inggris dan di tempat lain. Perhitungannya, jika pemberkatan nikah di gereja boleh dilakukan pastor, maka akan terjadi skisma besar di tubuh Gereja Inggris Anglikan. Ada banyak gereja afiliasi Anglikan di 165 negara di dunia dengan sekitar 85 juta anggota. Baru belasan negara membolehkan perkawinan sesama jenis, tetapi selebihnya melarang. Terutama 43 komunitas Anglikan Afrika yang konservatif merupakan penentang utama yang melarang perkawinan sesama jenis. Memahami bahwa akan sulit mengubah ajaran yang dipegang erat gereja konservatif para pendukung LGBT dari negara-negara yang membolehkan perkawinan sesama jenis mengusahakan persetujuan teknis praktis upacara perkawinan LGBT.

Pembicaraan berfokus pada aspek perkawinan sipil LGBT yang diakui dan disahkan negara tertentu. Dibahas kemungkinan bahwa pastor Anglikan dapat memberkati perkawinan sipil di gereja, tetapi tidak mencatat perkawinan sipil itu sebagai perkawinan gerejawi, tidak mencantumkannya dalam buku register perkawinan gereja. Untuk itu pun debat pro-kontra sangat sengit mengingat celah kecil yang diizinkan di negara tertentu akan dapat menjadi gerojogan besar tuntutan pihak-pihak di kemudian hari di kalangan komunitas Anglikan yang lebih luas. 

Sikap Gereja Katolik belakangan melalui prinsip-prinsip yang dikemukakan Paus Fransiskus sering menjadi acuan. Paus Fransiskus menyatakan bahwa ajaran prinsip Gereja Katolik tentang perkawinan yang sah dan saling melengkapi antara pria dan wanita tetap tidak berubah. LGBT dipandang sebagai kecenderungan seksual yang tidak lazim, dosa, namun bukan kriminal. Paus Fransiskus mengecam hukum sipil negara-negara yang mengkriminalkan LGBT bahkan memberi ancaman hukuman mati. Tampaknya pernyataan Paus ditangkap begini, jika hukum ilahi merupakan pintu tertutup bagi LGBT, mengingat keterpisahan antara Gereja dan negara, maka negara sebagai masyarakat manusia yang menyusun perundang-undangan sipil berdasarkan kemanusian  dan hak-hak asasi manusia (khususnya tentang perikatan pribadi-pribadi), punya kemungkinan besar untuk mengadopsi aspirasi rakyat inklusif tanpa diskriminasi.



Kendati dalam aspek teknis sempit saja pergumulan dan debat sangat sengit, sebagian pengusung kepentingan LGBT mengeluh, "apa artinya upacara pemberkatan nikah, tanpa berkat yang sesungguhnya?"

Lihat juga: Konferensi Pers Simpul Perjalanan Afrika Paus Fransiskus (pertanyaan keempat)