Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Ziarah HaHeHo Oktober 2022. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ziarah HaHeHo Oktober 2022. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 November 2022

ZIARAH HAHEHO HAPPY-HEALTHY-HOLY DAN MAKNA PEZIARAHAN KITA

 


Beberapa waktu di bulan Oktober yang lalu saya takjub dengan kreativitas Pusat Pastoral KAJ Panti Samadi Klender. Mereka mengorganisir rombongan ziarah luar biasa dari Jakarta ke Surabaya-Malang-Kediri. Mereka menyewa kereta api eksekutif 9 gerbong, bukan kereta api reguler, tapi kereta api khusus rombongan luar biasa. Bukan berarti bahwa mereka boleh mengatur jadwal dan bisa berhenti di sembarang tempat, tetapi mereka boleh menggunakan gerbong sebagai ganti gedung gereja dan melakukan Ekaristi. Baru sekali ini saya melihat Ekaristi dalam gerbong kereta api, dilaksanakan oleh rombongan Ziarah HaHeHo, Happy-Healthy-Holy. Teman-teman penyelenggara dari Panti Samadi yang dipimpin Rm Yustinus pasti punya banyak cerita untuk dibagikan.

Hari-hari ini di pertengahan November Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 penuh sesak dengan rombongan Umrah, ziarah ke Mekah. Para peziarah dan pengantar mereka membuat bandara penuh sesak dan hampir semua tempat makan dijejali peziarah dan keluarga mereka sekampung. Saya jadi teringat tulisan tentang makna menjadi Kristen adalah berziarah di dunia menuju Kerajaan Allah dari Timothy Radcliffe OP. Saya kutipkan petikan di bawah ini..

https://youtu.be/qKj2pO3LRts

            Pergi ziarah merupakan suatu ungkapan yang wajar dari “kelaparan” agamawi. Ketika aku check-in untuk turut dalam suatu penerbangan di Bandara Stansted, aku sempat memperhatikan sebuah iklan buku ilmu pengetahuan dan kesehatan yang dipasang di atas meja konter. “Isilah baik-baik bahan bakar ziarah rohani Anda.” Angkasa kita penuh dengan orang yang melakukan perjalanan, dan perjalanan kita sering merupakan gejala dari suatu pencarian, suatu pengejaran harapan, walaupun kadang sulit membedakan mana yang turisme atau perjalanan wisata-rekreasi, dan mana yang ziarah. Lima juta orang datang mengunjungi Lourdes (Perancis) setiap tahun, dan dua juta orang mengunjungi Fatima (Portugal). Setiap minggu pada musim panas 6000 anak muda pergi ke Taize. Eropa juga menjadi tempat persilangan peziarah yang akan pergi mengunjungi Iona (Yunani), Walsingham (Inggris), Chartres (Perancis), Roma (Italia), Medjugorje (Bosnia) dan Czestochowa (Polandia). Ungkapan iman seperti ini juga terjadi di lingkungan Muslim yang mengunjungi Mekkah, para peziarah Hindu ke Varanasi, peziarah Shinto ke Gunung Fuji, dan para penganut semua agama yang terkait dengan iman Abraham (Yahudi, Kristiani, Islam dan Bahai) ke Yerusalem. Pergi berziarah punya akar di dalam kodrat manusia. Peziarahan dapat mengungkapkan keyakinan yang dalam, tetapi juga ada ruang untuk keraguan yang oleh para peziarah diharapkan diperoleh jawabannya dalam perjalanan mereka itu atau sesudahnya. Aku terus menerus bertemu dengan orang-orang yang hendak mengunjungi Santiago de Compostela (Spanyol). Mereka itu sering meragukan kepercayaan iman mereka sendiri, curiga pada suatu ajaran, namun toh mereka tetap melakukan perjalanan ziarah juga. Mereka mungkin tidak termasuk anggota Gereja manapun secara statistik, dan tidak tertarik kepada ibadat dari Minggu ke Minggu, tetapi mereka merasa nyaman ketika sampai di tempat-tempat suci, mendapatkan dan merangkul patung Santo Yakobus yang seperti mereka mengenakan pakaian peziarah.    

            Para leluhur kita tak punya pilihan, harus menempuh jalan yang lebih sulit dalam melakukan peziarahan. Namun, sekalipun para musafir di zaman modern ini dapat melakukan perjalanan dengan lebih mudah dan nyaman, ada jutaan orang memilih berziarah dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Kata mereka, tanpa penderitaan dari suatu perjuangan tak akan ada manfaat yang bisa didapat. Menurut Dante, Santo Yakobus adalah Rasul Pengharapan, dan Santo Tomas Akuinas berkata bahwa harapan adalah demi “bonum futurum arduum possibile.”[1] Kebaikan masa depan yang walaupun sulit tetap mungkin didapat.  Tak dapat kita katakan apapun kepada kaum muda tentang iman kita, jika kita tidak bersedia berziarah bersama mereka, kadang secara harafiah, kadang sebagai ziarah batin. Pastilah Kardinal Basil Hume sangat dicintai karena beliau jelas sekali seorang peziarah, seorang yang berjalan menyertai kita yang sedang mencari Allah. Ia menulis buku terkenal To be a Pilgrim (Menjadi Peziarah).                                

            Seharusnyalah kita mensyukuri dan memupuk hasrat untuk berziarah yang ada pada diri setiap orang. Sebab hal itu merupakan ungkapan dari harapan yang hanya tersirat dalam jiwanya. Seorang teolog abad ke sembilan Paskhasius Radbert mengatakan, “Keputus-asaan tak punya kaki untuk menempuh jalan, yaitu Kristus sendiri.”[2] Kita ini seperti burung laut yang ingin segera terbang bermigrasi ketika musim semi tiba, atau seperti ikan salmon yang didorong oleh hasrat yang kuat untuk berenang menyongsong arus dan pulang ke rumah. Itulah sebabnya cerita-cerita seperti Lord of the Rings mengagumkan banyak orang. Mereka itu tersentuh oleh hasrat untuk pergi bertualang seperti tokoh Bilbo Baggins, selalu resah gelisah dan tidak bisa tenang tenteram. Kita perlu berjalan bersama-sama dengan orang lain, seperti Yesus menyertai para murid berjalan menuju ke Emaus, sekalipun seperti para murid itu juga, mereka kadang-kadang berangkat menuju arah yang keliru.                                                                                    

            Tentu saja pertanyaannya adalah ke mana arah tujuan perjalanan ziarah kita ini? Apakah kita akan mendapatkan apa yang kita cari? Ataukah kita hanya berputar-putar seperti yang dialami oleh bangsa Israel di padang gurun? Buku The Way to Paradise (Jalan ke Surga) oleh pengarang dari Peru, Mario Vargas Llosa[3] bercerita tentang dua orang yang sedang mencari surga: Paul Gauguin dan neneknya yang hebat, Flora Tristan. Gauguin mencari surga di kawasan tropis yang belum dirusak oleh masyarakat industri Barat; neneknya mencari surga dengan mengubah masyarakat, suatu dunia masa depan yang adil, di mana semua umat manusia setara, terutama pria dan wanita. Gauguin mencari surga di antara sisa-sia yang selamat dari masa lalu, sedangkan Flora Tristan mencari surga dengan mengantisipasi masa depan. Tetapi kedua-duanya memperoleh kekecewaan.                                                                                                                          

            Lukisan Gauguin yang terkenal diberi tajuk “D’ou venons nous? Que sommes nous? Ou allons nous?” Dari mana kita berasal? Siapa kita ini? Ke mana kita pergi? Lukisan itu dibuat pada tahun 1897 dan merupakan kesaksian terakhir dari Gauguin sebelum ia bunuh diri setahun kemudian. Ia melarikan diri dari pengaruh Barat mencari surga di Tahiti, tetapi ia mendapatkan surganya itu berantakan. Ia pindah lagi di tahun 1891 ke tempat yang jauh masuk ke pedalaman lagi Marquesas, tetapi  para penguasa kolonial dan para misionaris sudah sampai di sana lebih dahulu. Surga itu tidak ada lagi dan ia putus asa.                                                                                                                   

            Siapakah kita? Pertanyaan itu ditempatkan Gauguin di antara pertanyaan tentang masa lalu dan tentang masa depan. Memang, kita hanya dapat mengenal diri kita jika kita punya cerita yang menengok ke belakang maupun ke depan. Para leluhur Kristiani hidup dengan cerita yang menengok ke belakang sampai pada kisah Penciptaan, dan ke depan menuju Kerajaan Allah. Kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan lagi. Melakukan perjalanan ziarah mengungkapkan harapan itu. Masyarakat kita sebagian besar tidak lagi mengenal cerita itu. Keyakinan pada harapan-harapan sekular mereka juga lebih lemah. Impian Flora Tristan akan suatu surga yang bersifat politis sebagian besar berantakan runtuh, dan hanya ada beberapa tempat saja di dunia yang luput dari dampak industrialisasi modern yang merusak. Maka surga pada umumnya lepas dari imajinasi kita bersama. Kita tidak lagi berjalan bersama ke arah sutau tujuan bersama. Mungkin itulah sebabnya mengapa makin bertambah-tambah kaum muda Eropa yang percaya pada kehidupan pribadi sesudah kematian. Seolah-olah: Jika aku tidak lagi dapat bicara tentang tujuan manusia, setidak-tidaknya aku dapat berpegang pada janji untuk masa depanku sendiri.                                                                                                         

            Ketika aku masih rahib muda di akhir 1960-an, ada kerinduan besar akan janji masa depan. Waktu itu semuanya tampak serba mungkin. Ketika aku masih menjadi mahasiswa, “L’imagination au pouvoir!” – “Biarlah imajinasi berkuasa!” – dituliskan sebagai grafiti di semua tembok-tembok di Paris. Bahkan di Inggrisnya kelompok Band The Beatles, segala sesuatu menjanjikan. Orang dapat memperoleh paha kodok dan siput di restoran, dan ibuku memasukkan bawang ke dalam masakannya jika ayahku tidak melihatnya. Begitu juga Kerajaan Allah terasa begitu dekat mestinya. Tetapi itulah gema terakhir keyakinan dari para leluhur yang berasal dari zaman Viktoria (era Ratu Viktoria di Inggris, 1837-1901). Misalnya yang ditulis oleh Charles Dickens, seorang generasi Viktoria yang ternama, “Waktu menggelinding menuju suatu akhir, dan dunia dalam segala hal yang penting akan berkembang lebih baik, lebih lembut, tebih tahan uji dan lebih besar harapannya ketika bergerak.”[4]

            Namun sebagian besar dari keyakinan itu sekarang hilang. Anehnya, salah satu momentum hilangnya keyakinan itu adalah justru runtuhnya Tembok Berlin para tahun 1989. Sebagaimana dikatakan oleh Fukuyama yang terkenal itu, sejarah telah berakhir. Impian tentang transformasi radikal umat manusia melemah. Oliver Bennet dari Universitas Warwick dalam buku Cultural Pessimism: Narratives of Decline in Postmodern World[5] menyatakan bahwa kendati mengalami ledakan besar kesejahteraan di banyak negeri Barat, namun kita menderita depresi bersama. Ada kekerasan yang terus bertumbuh di kota-kota kita. Ada perang yang berkecamuk antar geng, penyalahgunaan narkotika menjadi-jadi, dan di dunia yang lebih luas lagi terjadi ketidak adilan antara yang kaya dan yang miskin, AIDS menyebar semakin luas, ada ancaman bencana ekologis dan terutama ada ancaman benturan antar agama dan meluasnya terorisme.       

            Tanpa adanya janji akan suatu masa depan, apakah yang dapat kita lakukan sebegai Generasi masa kini, selain hanya hidup di masa kini saja? Hugh Rayment-Pickard menulis:                                                                                                                   

Di sekeliling kita agama-agama New Age menawarkan kesalehan individualistis dan pemuiaan instan; suatu masyarakat yang didorong oleh konsumen; suatu permintaan akan kesegeraan komunikasi; suatu kecurigaan pada ideologi; kebijakan negara jangka pendek; apatisme pemilih; dan gereja-gereja Kristiani lebih asyik terserap dalam masalah-masalah intern, pertobatan pribadi dan perilaku moral individual. Kepercayaan modernis bahwa kita sungguh-sungguh dapat membuat dunia lebih  baik kini sedang melemah. Masa kini merupakan horison waktu kita, pelabuhan yang aman dalam samudera waktu.[6]

                                                                                                             

            Ironisnya adalah bahwa anak-anak kita sekarang ini dibesarkan dengan kesadaran waktu yang lebih luas daripada generasi lainnya. Setiap anak sekarang tahu bahwa kita hidup di antara Big Bang (teori Ledakan Besar yang dianggap sebagai permulaan alam semesta) di masa lalu dan Big Chill (teori Gemertuk Dahsyat) di masa depan ketika dunia beku kedinginan. Banyak anak lebih mengenal Dinosaurus daripada mengenal sapi dan domba. Mereka bisa bercerita lebih banyak tentang Triseratop yang berasal dari Tiranosaurus Rex daripada mengisahkan Aberdeen Angus dari Holstein. Namun dalam kisah mereka tentang alam semesta, bahkan tentang planet-planet kita, manusia tidak punya tempat khusus. Kita mungkin belum ada ketika Dinosaurus yang terakhir mati, namun ketika kita nanti punah, barangkali banyak jenis kumbang masih dapat bertahan hidup. Perbedaan satu-satunya yang mungkin dibuat manusia di antara mahluk-mahluk lain adalah sesuatu yang negatif, yaitu bahwa manusia menciptakan bencana ekologis oleh kerakusan kita dan dengan bom-bom yang kita ledakkan. Kisah seperti itu tidak menjanjikan apa-apa kepada kita. Charles Darwin, seorang dari masa Viktoria lainnya, membantu menciptakan cerita yang justru membuat manusia lebih tidak relevan lagi. Ceritanya yang merupakan tanda keyakinan dari zaman Viktoria itu sama sekali tidak memberikan dasar untuk keyakinan kita akan masa depan. Sejak 11 September 2001 (peristiwa pemboman menara kembar WTC – World Trade Center -- di New York yang menewaskan lebih dari 3000 orang) kita tidak punya cerita lagi tentang masa depan, selain tentang perang melawan terorisme dan jihad melawan Barat. Yang dijanjikan hanyalah kekerasan yang berkelanjutan. Apa yang dapat dikisahkan sebagai sesuatu yang membahagiakan? Sir Martin Rees, Presiden dari Royal Society baru-baru ini menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Our Final Century? Will the Human Race Survive the Twenty First Century?”[7] (Abad Terakhir Kita? Mampukah Bangsa Manusia Bertahan Hidup di Abad Keduapuluh-satu?).                                                                                                                                     

            Maka berdasarkan potensinya, sebenarnya saat ini merupakan momen yang bagus sekali bagi Kristianitas. Jika kita dapat menemukan jalan untuk menghayati dan membagikan harapan Kristiani, maka kita niscaya menyumbangkan sesuatu yang sangat didambakan dunia. Harapan leluhur orang Kristiani ditopang oleh optimisme masyarakat. Semacam baptis bagi kepercayaan imperial. Masyarakat yakin bahwa mereka sedang berjalan menuju masa depan material yang gilang gemilang. Sedangkan kita percaya bahwa jalan yang kita tempuh masih sedikit lebih jauh lagi, yaitu menuju Kerajaan Allah. Maka kita masih punya sesuatu yang lain dan langka untuk kita tawarkan, yaitu harapan yang lepas dari belenggu sekular, baru, segar dan menarik. Masalahnya, bagaimana kita hendak menawarkan semua itu? Seringkali Gereja-gereja sendiri mengalami krisis tertentu yang justru berkenaan dengan hilangnya pengharapan. Kita lihat menurunnya jumlah orang yang pergi ke Gereja, kerugian akibat perpecahan interen yang menjengkelkan. Gereja-gereja aliran utama yang besar menjadi loyo. Jadi harapan macam apa yang masih bisa kita bagikan?                                                                                        

            Apakah kita mau menawarkan cerita alternatif tentang masa depan? Kita sungguh percaya akan kemenangan tuntas kebaikan terhadap kejahatan. Kita sungguh percaya akan datangnya Kerajaan Allah, akhir dari semua kemalangan dan penderitaan.


[1]     ST II.II.q.17.1

[2]     De fide, spe et charitate, liber II, caput IV,1. Dikutip oleh J. Piepper, On Hope, San Francisco, 1977, hal 50

[3]     London 2005. Terjemahan dari El Paraiso en la otra esquina, Madrid 2000.

[4]     Dikutip dalam A.N. Wilson, The Victorians, London 2002, hal 85.

[5]     Edinburgh 2001.

[6]     Myths of Time, From St Agustine to American Beauty, London 2004 hal 99.

[7]     London 2004