Beberapa waktu di bulan Oktober yang lalu saya takjub dengan kreativitas Pusat Pastoral KAJ Panti Samadi Klender. Mereka mengorganisir rombongan ziarah luar biasa dari Jakarta ke Surabaya-Malang-Kediri. Mereka menyewa kereta api eksekutif 9 gerbong, bukan kereta api reguler, tapi kereta api khusus rombongan luar biasa. Bukan berarti bahwa mereka boleh mengatur jadwal dan bisa berhenti di sembarang tempat, tetapi mereka boleh menggunakan gerbong sebagai ganti gedung gereja dan melakukan Ekaristi. Baru sekali ini saya melihat Ekaristi dalam gerbong kereta api, dilaksanakan oleh rombongan Ziarah HaHeHo, Happy-Healthy-Holy. Teman-teman penyelenggara dari Panti Samadi yang dipimpin Rm Yustinus pasti punya banyak cerita untuk dibagikan.
Hari-hari ini di pertengahan November Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 penuh sesak dengan rombongan Umrah, ziarah ke Mekah. Para peziarah dan pengantar mereka membuat bandara penuh sesak dan hampir semua tempat makan dijejali peziarah dan keluarga mereka sekampung. Saya jadi teringat tulisan tentang makna menjadi Kristen adalah berziarah di dunia menuju Kerajaan Allah dari Timothy Radcliffe OP. Saya kutipkan petikan di bawah ini..
Pergi
ziarah merupakan suatu ungkapan yang wajar dari “kelaparan” agamawi. Ketika aku
check-in untuk turut dalam suatu
penerbangan di Bandara Stansted, aku sempat memperhatikan sebuah iklan buku
ilmu pengetahuan dan kesehatan yang dipasang di atas meja konter. “Isilah
baik-baik bahan bakar ziarah rohani Anda.” Angkasa kita penuh dengan orang yang
melakukan perjalanan, dan perjalanan kita sering merupakan gejala dari suatu
pencarian, suatu pengejaran harapan, walaupun kadang sulit membedakan mana yang
turisme atau perjalanan wisata-rekreasi, dan mana yang ziarah. Lima juta orang
datang mengunjungi Lourdes (Perancis) setiap tahun, dan dua juta orang
mengunjungi Fatima (Portugal). Setiap minggu pada musim panas 6000 anak muda
pergi ke Taize. Eropa juga menjadi tempat persilangan peziarah yang akan pergi
mengunjungi Iona (Yunani), Walsingham (Inggris), Chartres (Perancis), Roma (Italia),
Medjugorje (Bosnia) dan Czestochowa (Polandia).
Ungkapan iman seperti ini juga terjadi di lingkungan Muslim yang mengunjungi
Mekkah, para peziarah Hindu ke Varanasi, peziarah Shinto ke Gunung Fuji, dan
para penganut semua agama yang terkait dengan iman Abraham (Yahudi, Kristiani,
Islam dan Bahai) ke Yerusalem. Pergi berziarah punya akar di dalam kodrat
manusia. Peziarahan dapat mengungkapkan keyakinan yang dalam, tetapi juga ada
ruang untuk keraguan yang oleh para peziarah diharapkan diperoleh jawabannya
dalam perjalanan mereka itu atau sesudahnya. Aku terus menerus bertemu dengan
orang-orang yang hendak mengunjungi Santiago de Compostela (Spanyol). Mereka itu sering meragukan kepercayaan
iman mereka sendiri, curiga pada suatu ajaran, namun toh mereka tetap melakukan
perjalanan ziarah juga. Mereka mungkin tidak termasuk anggota Gereja manapun
secara statistik, dan tidak tertarik kepada ibadat dari Minggu ke Minggu,
tetapi mereka merasa nyaman ketika sampai di tempat-tempat suci, mendapatkan
dan merangkul patung Santo Yakobus yang seperti mereka mengenakan pakaian
peziarah.
Para
leluhur kita tak punya pilihan, harus menempuh jalan yang lebih sulit dalam
melakukan peziarahan. Namun, sekalipun para musafir di zaman modern ini dapat
melakukan perjalanan dengan lebih mudah dan nyaman, ada jutaan orang memilih
berziarah dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Kata mereka, tanpa penderitaan
dari suatu perjuangan tak akan ada manfaat yang bisa didapat. Menurut Dante,
Santo Yakobus adalah Rasul Pengharapan, dan Santo Tomas Akuinas berkata bahwa
harapan adalah demi “bonum futurum arduum
possibile.”[1] Kebaikan masa depan yang
walaupun sulit tetap mungkin didapat.
Tak dapat kita katakan apapun kepada kaum muda tentang iman kita, jika
kita tidak bersedia berziarah bersama mereka, kadang secara harafiah, kadang
sebagai ziarah batin. Pastilah Kardinal Basil Hume sangat dicintai karena
beliau jelas sekali seorang peziarah, seorang yang berjalan menyertai kita yang
sedang mencari Allah. Ia menulis buku terkenal To be a Pilgrim (Menjadi Peziarah).
Seharusnyalah
kita mensyukuri dan memupuk hasrat untuk berziarah yang ada pada diri setiap
orang. Sebab hal itu merupakan ungkapan dari harapan yang hanya tersirat dalam
jiwanya. Seorang teolog abad ke sembilan Paskhasius Radbert mengatakan,
“Keputus-asaan tak punya kaki untuk menempuh jalan, yaitu Kristus sendiri.”[2]
Kita ini seperti burung laut yang ingin segera terbang bermigrasi ketika musim
semi tiba, atau seperti ikan salmon yang didorong oleh hasrat yang kuat untuk
berenang menyongsong arus dan pulang ke rumah. Itulah sebabnya cerita-cerita
seperti Lord of the Rings mengagumkan
banyak orang. Mereka itu tersentuh oleh hasrat untuk pergi bertualang seperti
tokoh Bilbo Baggins, selalu resah gelisah dan tidak bisa tenang tenteram. Kita
perlu berjalan bersama-sama dengan orang lain, seperti Yesus menyertai para
murid berjalan menuju ke Emaus, sekalipun seperti para murid itu juga, mereka
kadang-kadang berangkat menuju arah yang keliru.
Tentu
saja pertanyaannya adalah ke mana arah tujuan perjalanan ziarah kita ini?
Apakah kita akan mendapatkan apa yang kita cari? Ataukah kita hanya
berputar-putar seperti yang dialami oleh bangsa Israel di padang gurun? Buku The Way to Paradise (Jalan ke Surga)
oleh pengarang dari Peru, Mario Vargas Llosa[3]
bercerita tentang dua orang yang sedang mencari surga: Paul Gauguin dan
neneknya yang hebat, Flora Tristan. Gauguin mencari surga di kawasan tropis
yang belum dirusak oleh masyarakat industri Barat; neneknya mencari surga
dengan mengubah masyarakat, suatu dunia masa depan yang adil, di mana semua
umat manusia setara, terutama pria dan wanita. Gauguin mencari surga di antara
sisa-sia yang selamat dari masa lalu, sedangkan Flora Tristan mencari surga
dengan mengantisipasi masa depan. Tetapi kedua-duanya memperoleh
kekecewaan.
Lukisan
Gauguin yang terkenal diberi tajuk “D’ou
venons nous? Que sommes nous? Ou allons nous?” Dari mana kita berasal?
Siapa kita ini? Ke mana kita pergi? Lukisan itu dibuat pada tahun 1897 dan
merupakan kesaksian terakhir dari Gauguin sebelum ia bunuh diri setahun
kemudian. Ia melarikan diri dari pengaruh Barat mencari surga di Tahiti, tetapi
ia mendapatkan surganya itu berantakan. Ia pindah lagi di tahun 1891 ke tempat
yang jauh masuk ke pedalaman lagi Marquesas, tetapi para penguasa kolonial dan para misionaris
sudah sampai di sana lebih dahulu. Surga itu tidak ada lagi dan ia putus
asa.
Siapakah
kita? Pertanyaan itu ditempatkan Gauguin di antara pertanyaan tentang masa lalu
dan tentang masa depan. Memang, kita hanya dapat mengenal diri kita jika kita
punya cerita yang menengok ke belakang maupun ke depan. Para leluhur Kristiani
hidup dengan cerita yang menengok ke belakang sampai pada kisah Penciptaan, dan
ke depan menuju Kerajaan Allah. Kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada
Tuhan lagi. Melakukan perjalanan ziarah mengungkapkan harapan itu. Masyarakat
kita sebagian besar tidak lagi mengenal cerita itu. Keyakinan pada
harapan-harapan sekular mereka juga lebih lemah. Impian Flora Tristan akan
suatu surga yang bersifat politis sebagian besar berantakan runtuh, dan hanya
ada beberapa tempat saja di dunia yang luput dari dampak industrialisasi modern
yang merusak. Maka surga pada umumnya lepas dari imajinasi kita bersama. Kita
tidak lagi berjalan bersama ke arah sutau tujuan bersama. Mungkin itulah
sebabnya mengapa makin bertambah-tambah kaum muda Eropa yang percaya pada
kehidupan pribadi sesudah kematian. Seolah-olah: Jika aku tidak lagi dapat
bicara tentang tujuan manusia, setidak-tidaknya aku dapat berpegang pada janji
untuk masa depanku sendiri.
Ketika
aku masih rahib muda di akhir 1960-an, ada kerinduan besar akan janji masa
depan. Waktu itu semuanya tampak serba mungkin. Ketika aku masih menjadi
mahasiswa, “L’imagination au pouvoir!”
– “Biarlah imajinasi berkuasa!” – dituliskan sebagai grafiti di semua
tembok-tembok di Paris. Bahkan di Inggrisnya kelompok
Band The Beatles, segala sesuatu menjanjikan. Orang dapat memperoleh
paha kodok dan siput di restoran, dan ibuku memasukkan bawang ke dalam
masakannya jika ayahku tidak melihatnya. Begitu juga Kerajaan Allah terasa
begitu dekat mestinya. Tetapi itulah gema terakhir keyakinan dari para leluhur
yang berasal dari zaman Viktoria (era Ratu Viktoria di Inggris, 1837-1901).
Misalnya yang ditulis oleh Charles Dickens,
seorang generasi Viktoria yang ternama, “Waktu menggelinding menuju suatu
akhir, dan dunia dalam segala hal yang penting akan berkembang lebih baik,
lebih lembut, tebih tahan uji dan lebih besar harapannya ketika bergerak.”[4]
Namun
sebagian besar dari keyakinan itu sekarang hilang. Anehnya, salah satu momentum
hilangnya keyakinan itu adalah justru runtuhnya Tembok Berlin para tahun 1989.
Sebagaimana dikatakan oleh Fukuyama yang terkenal itu, sejarah telah berakhir.
Impian tentang transformasi radikal umat manusia melemah. Oliver Bennet dari Universitas
Warwick dalam buku Cultural Pessimism:
Narratives of Decline in Postmodern World[5]
menyatakan bahwa kendati mengalami ledakan besar kesejahteraan di banyak negeri
Barat, namun kita menderita depresi bersama. Ada kekerasan yang terus bertumbuh
di kota-kota kita. Ada perang yang berkecamuk antar geng, penyalahgunaan
narkotika menjadi-jadi, dan di dunia yang lebih luas lagi terjadi ketidak
adilan antara yang kaya dan yang miskin, AIDS menyebar semakin luas, ada
ancaman bencana ekologis dan terutama ada ancaman benturan antar agama dan
meluasnya terorisme.
Tanpa
adanya janji akan suatu masa depan, apakah yang dapat kita lakukan sebegai
Generasi masa kini, selain hanya hidup di masa kini saja? Hugh Rayment-Pickard
menulis:
Di sekeliling kita
agama-agama New Age menawarkan kesalehan individualistis dan pemuiaan instan;
suatu masyarakat yang didorong oleh konsumen; suatu permintaan akan kesegeraan
komunikasi; suatu kecurigaan pada ideologi; kebijakan negara jangka pendek;
apatisme pemilih; dan gereja-gereja Kristiani lebih asyik terserap dalam
masalah-masalah intern, pertobatan pribadi dan perilaku moral individual.
Kepercayaan modernis bahwa kita sungguh-sungguh dapat membuat dunia lebih baik kini sedang melemah. Masa kini merupakan
horison waktu kita, pelabuhan yang aman dalam samudera waktu.[6]
Ironisnya
adalah bahwa anak-anak kita sekarang ini dibesarkan dengan kesadaran waktu yang
lebih luas daripada generasi lainnya. Setiap anak sekarang tahu bahwa kita
hidup di antara Big Bang (teori
Ledakan Besar yang dianggap sebagai permulaan alam semesta) di masa lalu dan Big Chill (teori Gemertuk Dahsyat) di
masa depan ketika dunia beku kedinginan. Banyak anak lebih mengenal Dinosaurus
daripada mengenal sapi dan domba. Mereka bisa bercerita lebih banyak tentang
Triseratop yang berasal dari Tiranosaurus Rex daripada mengisahkan Aberdeen Angus dari Holstein. Namun
dalam kisah mereka tentang alam semesta, bahkan tentang planet-planet kita,
manusia tidak punya tempat khusus. Kita mungkin belum ada ketika Dinosaurus
yang terakhir mati, namun ketika kita nanti punah, barangkali banyak jenis
kumbang masih dapat bertahan hidup. Perbedaan satu-satunya yang mungkin dibuat
manusia di antara mahluk-mahluk lain adalah sesuatu yang negatif, yaitu bahwa
manusia menciptakan bencana ekologis oleh kerakusan kita dan dengan bom-bom
yang kita ledakkan. Kisah seperti itu tidak menjanjikan apa-apa kepada kita.
Charles Darwin, seorang dari masa Viktoria lainnya, membantu menciptakan cerita
yang justru membuat manusia lebih tidak relevan lagi. Ceritanya yang merupakan
tanda keyakinan dari zaman Viktoria itu sama sekali tidak memberikan dasar
untuk keyakinan kita akan masa depan. Sejak 11 September 2001 (peristiwa
pemboman menara kembar WTC – World Trade
Center -- di New York yang menewaskan lebih dari 3000 orang) kita tidak
punya cerita lagi tentang masa depan, selain tentang perang melawan terorisme
dan jihad melawan Barat. Yang dijanjikan hanyalah kekerasan yang berkelanjutan.
Apa yang dapat dikisahkan sebagai sesuatu yang membahagiakan? Sir Martin Rees,
Presiden dari Royal Society baru-baru ini menerbitkan sebuah buku yang berjudul
“Our Final Century? Will the Human Race Survive the Twenty First
Century?”[7] (Abad Terakhir Kita?
Mampukah Bangsa Manusia Bertahan Hidup di Abad Keduapuluh-satu?).
Maka
berdasarkan potensinya, sebenarnya saat ini merupakan momen yang bagus sekali
bagi Kristianitas. Jika kita dapat menemukan jalan untuk menghayati dan
membagikan harapan Kristiani, maka kita niscaya menyumbangkan sesuatu yang
sangat didambakan dunia. Harapan leluhur orang Kristiani ditopang oleh
optimisme masyarakat. Semacam baptis bagi kepercayaan imperial. Masyarakat
yakin bahwa mereka sedang berjalan menuju masa depan material yang gilang
gemilang. Sedangkan kita percaya bahwa jalan yang kita tempuh masih sedikit
lebih jauh lagi, yaitu menuju Kerajaan Allah. Maka kita masih punya sesuatu
yang lain dan langka untuk kita tawarkan, yaitu harapan yang lepas dari
belenggu sekular, baru, segar dan menarik. Masalahnya, bagaimana kita hendak
menawarkan semua itu? Seringkali Gereja-gereja sendiri mengalami krisis
tertentu yang justru berkenaan dengan hilangnya pengharapan. Kita lihat
menurunnya jumlah orang yang pergi ke Gereja, kerugian akibat perpecahan
interen yang menjengkelkan. Gereja-gereja aliran utama
yang besar menjadi loyo. Jadi harapan macam apa yang masih bisa kita
bagikan?
[1]
ST II.II.q.17.1
[2]
De fide, spe et charitate, liber II, caput IV,1. Dikutip oleh J. Piepper, On Hope, San Francisco, 1977, hal 50
[3]
London 2005. Terjemahan dari El Paraiso
en la otra esquina, Madrid 2000.
[4]
Dikutip dalam A.N. Wilson, The Victorians,
London 2002, hal 85.
[5]
Edinburgh 2001.
[6]
Myths of Time, From St Agustine to
American Beauty, London 2004 hal 99.
[7]
London 2004