Anak Allah: Gelar sebutan dan jati diri ilahi Yesus Kristus.
Walapun seorang manusia sejarah, Yesus adalah sungguh Anak Allah yang mempunyai
hubungan yang tiada duanya dan kekal dengan Allah, BapaNya (Mat 11:25-27; Yoh
1:14,18; 3:16-18; 17:1-5). Iman Kristen bergantung pada kepercayaan bahwa Yesus
Kristus adalah Anak Allah (Yoh 20:31; 1 Yoh 4:4-15). Secara statistik, sebutan
Yesus Anak Allahmuncul lebih dari 100 kali dalam Perjanjian Baru. Sebutan Anak
Allah juga ditemukan baik dlm PL maupun dlm PB (KGK 441-445).
I. Dalam Perjanjian Lama
A. Bangsa Israel sebagai Anak Allah
B. Raja Israel sebagai Anak Allah
II. Dalam Perjanjian Baru
A. Yesus sebagai “Anak Allah” dalam
Pengertian Perjanjian Lama
B. Yesus sebagai “Anak Allah” dalam
Arti Ilahi
I. Dalam Perjanjian
Lama
A. Bangsa Israel sebagai Anak Allah
Dalam Perjanjian Lama, “anak Allah” adalah sebutan yang
diberikan kepada berbagai macam orang atau mahluk, termasuk malaikat (Ayb 1:6;
38:8; Mzm 89:6) dan orang yang jujur dan saleh (bdk Ayb 1:6; 2:1; Mzm 88:7; Keb
2:13).
Yang
menyolok ialah Perjanjian Lama menggunakan sebutan itu untuk anak-anak Israel.
Dalam Kel 4:22, Musa diperintahkan untuk memberitahu Firaun: “Beginilah firman
Tuhan, Israel adalah anakKu, anakKu yang sulung.” Dalam Ul 14:1 suku Israel
disebut “anak-anak Tuhan, Allahmu”. Sebutan itu menunjukkan pilihan atas
Israel, prakarsa ilahi dalam memilih Israel untuk mendapatkan hak khusus dan
tanggungjawab dari status anak angkat melalui perjanjian (bdk Yes 2:1; Yer
3:19, 31:9; Hos 11:1; 13:13).
B. Raja Israel sebagai Anak Allah
Raja-raja Israel juga disebut anak-anak Allah (2Sam 7:14; 2
Taw 22:10; Mzm 2:7; 89:28). Sebagaimana lazimnya di Timur Dekat, ini bukan
suatu pernyataan mengenai keilahian dari pihak Israel. Sebaliknya, pernyataan
sebagai anak Allah itu merupakan perluasan dari status keputraan Israel; raja
adalah anak Allah karena dia adalah pemimpin dan wakil dari bangsa Israel di
hadapan Allah. Secara lebih spesifik, pengangkatan raja menjadi anak angkat
Allah merupakan suatu berkat dari perjanjian Daud (2 Sam 7:14). Dengan mengangkat
raja-raja sebagai anak, Allah memilih raja-raja keturunan Daud untuk
melaksanakan tujuan keselamatan dariNya dan harapan masa depan akan Mesias:
“Apabila umurmu sudah genap dan engkau telah mendapat perhentian bersama-sama
dengan nenek moyangmu, maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian,
anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi
nama-Ku dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya” (2
Sam 7:12-13) (KGK 441).
II. Dalam Perjanjian
Baru
A. Yesus sebagai “Anak Allah” dalam Pengertian Perjanjian
Lama
Dalam Perjanjian Lama, sebutan “anak Allah” dipahami
sebagian digunakan untuk menunjuk Yesus sebagai Mesias yang ditunggu-tunggu dan
Raja Israel “yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut
Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia
adalah Anak Allah yang berkuasa” (Rm 1:3-4). Pemahaman tradisional semacam itu
masih tampak dalam kata-kata Natanael, pada pertemuannya yang pertama dengan
Yesus, ketika ia menyebut Yesus “Anak Allah” (Yoh 1:49).
B. Yesus “Anak Allah” Dalam Arti Ilahi.
Para penulis Perjanjian Baru memahami Yesus lebih dari
Mesias yang diharapkan, selaras dengan pernyataan Yesus sendiri akan statusNya
sebagai Anak Allah (mis Mat 11:27; 21:33-41; 24:36; Mrk 13:32; Luk 10:22,
20:9-16; Yoh 3:16; 10:36). Yesus adalah pemenuhan harapan-harapan mesianis dari
Israel, tetapi di dalam pemenuhan ini, Yesus mengungkapkan suatu aspek yang
lebih dalam lagi mengenai status keputraan ilahiNya, sebab hanya Dialah yang
mempunyai hubungan yang unik dan kekal dengan Allah sebagai Bapa, dan Dia
sebagai Putera Tunggal-Nya (Mat 7:21-23; 10:32; 11:25-30; 24:30.31; 27:25;
28:19.20; Mrk 12:2.6.37; 14:61-62; Luk 2:49; Yoh 6:10; 16:1.5; 20:17.20-23).
Ada dua peristiwa yang terutama penting sebagai penegasan keputeraan ilahi
Yesus. Yang pertama terkait pembaptisanNya (Mat 3:13-17; Mrk 1:9-11; Luk
3:21-22): “lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: ‘Inilah Anak-Ku
yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan’.''
(Mat 3:17; bdk Mrk 1:11; Luk 3:22). Yang kedua terkait Perubahan Rupa
(Transfigurasi) Kristus (Mat 17:5-13; Mrk 9:2-13; Luk 9:28-36; 2 Ptr 1:16-18): “Dan
tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan
dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: ‘Inilah Anak yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.’” (Mat 17:5; bdk Mrk 9:6; Luk
9:35).
Ketika
Petrus menyampaikan pengakuannya yang dramatis kepada Yesus: ''Engkau adalah
Mesias, Anak Allah yang hidup!'' (Mat 16:16; Bdk Mat 14:33), Yesus berkata
kepadanya: ''Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang
menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga,” menunjukkan bahwa
Petrus mengungkapkan imannya atas keilahian Yesus dan atas peran Yesus selaku
Mesias.
Tetapi
hanya di dalam misteri Paskah-lah makna yang sesungguhnya dari Anak Allah ini
dipahami umat beriman: Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia
melihat wafat-Nya demikian, berkatalah ia: 'Sungguh, orang ini adalah Anak
Allah!' (Mrk 15:39). Dalam Gal 4:4-5, Paulus menulis “Tetapi setelah genap
waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan
takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada
hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (bdk. Rm 8:14-15; Ef 1:5; Kol
1:13). Melalui wafat dan kebangkitan Yesus Ia menunjukkan Diri-Nya sebagai Anak
Allah yang sesungguhnya, dan bahwa Ia menjadikan kita semua anak-anak Allah
juga. Yohanes menyatakan kepada kita hal itu ketika ia menulis di dalam
Injil-nya “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya
kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Yohanes
menegaskan hubungan mesra di antara status keputraan Yesus dan rahmat ilahi
yang menjadikan kita anak-anak Allah (Yoh 1:12; 1 Yoh 3:1-2.9; 5:1) (KGK
442-445).
Bambang Kussriyanto