Bambang Kussriyanto
Perlunya penyegaran wawasan politik dianjurkan setiapmenjelang tahun politik. Suatu Nota Ajaran tentang Partisipasi Umat Katolik
dalam Politik dari Kongregasi Ajaran Iman 24 November 2002 mengingatkan
beberapa hal.
Pada tingkatan politik praktis, biasanya ada banyak partai
politik yang menjadi wahana yang dipandang Konsili Vatikan II untuk orang
katolik khususnya, melalui pemilihan
dewan legislatif melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara (GS 45 dan
73). Ini terjadi karena ada banyak pilihan untuk mengatur masyarakat, yang
menimbulkan aneka ragam visi strategis berdasarkan interpretasi yang dapat
berlainan atas dasar-dasar teori politik dan kompleksitas teknis berbagai masalah
politik untuk menerapkan dan menjamin nilai-nilai yang sama. Berbagai pilihan
yang sah atas partai politik yang digunakan menjadi titik tolak komitmen warga
katolik pada kehidupan politik dan langsung berkaitan dengan ajaran moral dan
sosial kristiani. Dalam terang ajaran inilah awam katolik seharusnya
mendasarkan peran serta mereka dalam kehidupan politik sehingga menunjukkan
tanggungjawab yang sesuai atas realitas tatanan masyarakat.
Gereja mengakui, kendati demokrasi merupakan ungkapan
terbaik bagi peran serta warga dalam pilihan-pilihan politik, namun
keberhasilannya sangat bergantung pada pengertian akan pribadi manusia (GS 25).
Keterlibatan warga katolik dalam kehidupan politik janganlah berkompromi dalam
prinsip martabat manusia ini, jika tidak, kesaksian iman kristiani di dunia dan
kesatuan batin umat beriman mustahil terwujudkan. Struktur demokrasi untuk menegakkan negara
modern akan sangat rapuh jika tidak diletakkan atas dasar pentingnya hakekat pribadi
manusia. Karena penghargaan pada pribadi manusialah maka peran serta demokrasi
menjadi niscaya. Dalam ajaran Konsili Vatican II, “terjaminnya hak-hak pribadi merupakan
syarat mutlak, supaya semua warganegara, masing-masing maupun secara kolektif,
dapat berperanserta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara” (GS
73).
Dari sini memancar semburat masalah yang kompleks, yang
belum pernah dihadapi generasi masa lalu. Kemajuan ilmiah telah menimbulkan kegalauan
hati nurani pria dan wanita masa kini dan menuntut solusi yang selaras dengan
prinsip-prinsip etika secara mendasar dan menyeluruh. Yaitu ketika kegiatan legislasi
memajukan rancangan-rancangan yang kurang menyadari akibatnya pada keberadaan
dan manusia masa depan terkait budaya dan perilaku sosial, justru menggerogoti
dasar-dasar hidup manusia yang harusnya dijaga. Umat katolik, dalam situasi
yang sulit ini, berhak dan berkewajiban mengingatkan masyarakat akan pengertian
yang lebih mendalam mengenai hidup manusia dan tanggungjawab semua orang atasnya.
Paus St Yohanes Paulus II, dengan meneruskan ajaran Gereja, telah berulang kali
menyatakan bahwa mereka yang terkait dengan badan-badan pembuat undang-undang mempunyai
“kewajiban yang berat dan jelas untuk menentang” setiap undang-undang yang
merugikan hidup manusia. Mereka, sama seperti setiap warga katolik, sama sekali
tak boleh mengusulkan atau memberi suara dukungan pada undang-undang seperti
itu (Ensiklik Evangelium Vitae 73). St Yohanes Paulus II dalam Ensiklik
Evangelium Vitae membahas situasi ini
merujuk proses legislatif rancangan undang-undang aborsi yang di beberapa
negara mencapai tahap menentukan; “pejabat terpilih, yang oposisi pribadinya
terhadap aborsi jelas mutlak, dapat dengan sah mendukung proposal yang
bertujuan membatasi kerugian yang disebabkan oleh undang-undang tersebut dan
mengurangi konsekuensi negatifnya pada tingkat opini umum dan moralitas publik”(Evangelium
Vitae 73).
Situasi yang sama dapat terjadi di bidang-bidang lain. Intinya,
perlu diingat bahwa hati nurani kristiani tidak mengizinkan sesorang untuk
mendukung program politik atau undang-undang yang berlawanan dengan isi dasar
iman dan moral. Iman kristiani merupakan
suatu kesatuan utuh, maka tidak bisa mengecualikan sesuatu unsur tertentu
terpisah dan merugikan keseluruhan ajaran kristiani. Komitmen politik pada
salah satu aspek dari ajaran sosial Gereja janganlah memupus tanggungjawab atas
kesejahteraan umum. Janganlah orang katolik mengira dapat menitipkan
tanggungjawab kristianinya pada pihak lain; sebaliknya Injil Yesus Kristus
memberinya amanat agar kebenaran tentang manusia dan dunia dia wartakan dan
laksanakan.
Jika kegiatan politik sejalan dengan prinsip-prinsip moral yang tidak mengizinkan kekecualian, kompromi dan “pelarian”, maka komitmen katolik menjadi semakin jelas dan penuh tanggungjawab. Secara analogi, keluarga perlu dilindungi dan didukung, atas dasar perkawinan monogam antara seorang pria dan seorang wanita, dan dilindungi kesatuan dan stabilitasnya berhadapan dengan hukum modern tentang perceraian: jangan sampai bentuk lain hidup-bersama disamakan dengan perkawinan, dan jangan pula diberi pengakuan hukum yang sama. Begitu pula kebebasan orangtua menyangkut pendidikan anak-anak mereka; ini tercantum sebagai hak yang diakui dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB. Perlu dikembangkan perlindungan masyarakat atas anak-anak dan pembebasan dari bentuk-bentuk perbudakan modern (penyalahgunaan narkoba dan pelacuran, misalnya). Selain itu juga hak kebebasan beragama dan perkembangan ekonomi yang menunjang martabat manusia dan kesejahteraan umum, selaras dengan keadilan sosial, prinsip solidaritas dan subsidiaritas, "hendaknya diakui, dipatuhi dan didukung hak-hak semua pribadi, keluarga dan kelompok-kelompok beserta pelaksanaannya" (GS 75). Akhirnya, harus dikemukakan juga soal hidup tertib dan damai. Pandangan pasifistik dan ideologi tertentu sering condong bersifat sekularistik sementara di pihak lain ada soal pertimbangan etis yang amat naif yang melupakan kompleksnya soal itu. Damai selalu merupakan "hasil dari keadilan dan buah dari kasih" (KGK 2304). Ada tuntutan penolakan mutIak dan radikal terhadap semua tindak kekerasan dan terorisme yang terus menerus memerlukan komitmen yang konstan dan penuh kewaspadaan dari semua pemimpin politik.