Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Pelaku Pewartaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelaku Pewartaan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Januari 2023

Verbum Domini - Sabda Tuhan (II)

 Verbum Domini - Sabda Tuhan (II)

 VERBUM DOMINI ANJURAN APOSTOLIK PASCA SINODE USKUP 2008

Paus Benediktus XVI

Dalam rangka Hari Minggu Sabda Allah, yaitu Minggu Ketiga dalam Masa Biasa (22 Januari 2023), saya coba menyajikan dokumen Gereja yang berkenaan dengan Sabda Allah. Setelah Konstitusi Konsili Vatikan II tentang wahyu Ilahi Dei Verbum, berikut ini saya sampaikan Anjuran Apostolik Paus Benediktus XVI, Verbum Domini (Sabda Tuhan), yang sebagian besar bahannya berasal dari Sinode Para Uskup ke 12 tentang Verbum Dei (Sabda Allah). Untuk meringankan aspek teknis pengerjaan, saya membagi dokumen ini dalam tiga seri angsuran. Ini angsuran kedua. Semoga berguna.



VERBUM IN ECCLESIA

(Sabda dalam Gereja)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi Anak-anak Allah.”(Yoh. 1:12)

Sabda Allah dan Gereja

Gereja menerima Sabda

50. Tuhan mengucapkan Sabda-Nya supaya itu dapat diterima oleh mereka yang diciptakan “melalui” Sabda yang sama. “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya” (Yoh. 1:11): Sabda-Nya bukanlah sesuatu yang secara hakiki asing bagi kita, dan penciptaan dikehendaki dalam hubungan akrab dengan hidup Allah sendiri. Prolog Injil Keempat juga menempatkan kita di hadapan penolakan Sabda Allah oleh orang “kepunyaan-Nya,” yang “tidak menerimaNya” (Yoh. 1:11). Tidak menerima-Nya berarti tidak mendengarkan suara-Nya, tidak menyesuaikan diri dengan Logos. Di sisi lain, bilamana pria dan wanita, meskipun lemah dan berdosa, terbuka secara tulus pada perjumpaan dengan Kristus, mulailah perubahan radikal: “Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah” (Yoh. 1:12). Menerima Sabda berarti membiarkan diri untuk dibentuk oleh-Nya, dan dengan demikian diserupakan oleh kuasa Roh Kudus dengan Kristus, “Anak Tunggal Bapa” (Yoh. 1:14). Ini adalah permulaan penciptaan baru; ciptaan baru lahir, suatu bangsa baru. Mereka yang percaya, maksudnya, mereka yang hidup dalam ketaatan iman, “diperanakkan.. dari Allah” (Yoh. 1:13) dan mendapat bagian dalam hidup ilahi: “anak-anak dalam Anak Allah” (bdk. Gal 4:5-6; Rm. 8:14-17). Seperti diungkapkan dengan bagus oleh Santo Agustinus dalam komentarnya mengenai bagian Injil Yohanes ini: “kamu diciptakan melalui Sabda, tetapi sekarang melalui Sabda kamu harus diciptakan kembali.” Di sini kita dapat melihat sekilas wajah Gereja, sebagai kenyataan yang ditentukan dengan menerima Sabda Allah yang, dengan menjadi manusia, datang untuk memasang kemah-Nya di antara kita (bdk. Yoh. 1:14). Tempat tinggal Allah di antara manusia, shekinah ini (bdk. Kel 26:1), yang dipralambangkan dalam Perjanjian Lama, sekarang terpenuhi dalam kehadiran Allah secara definitif di antara kita dalam Kristus.

Kehadiran tetap Kristus dalam kehidupan Gereja

51. Hubungan antara Kristus, Sabda Bapa dan Gereja tidak dapat dipahami sepenuhnya hanya sebagai peristiwa masa lalu, melainkan itu merupakan hubungan hidup di mana tiap-tiap anggota umat beriman secara pribadi dipanggil untuk masuk ke dalamnya. Kita sedang berbicara mengenai kehadiran Sabda Allah kepada kita sekarang ini: ”Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Seperti dikatakan Paus Yohanes Paulus II, “Relevansi Kristus bagi manusia sepanjang masa diperlihatkan dalam tubuh-Nya, yaitu Gereja. Karena alasan ini Tuhan menjanjikan kepada para murid-Nya Roh Kudus, yang akan ‘mengingatkan mereka’ dan mengajar mereka untuk memahami perintah-Nya (bdk. Yoh. 14:26), dan yang akan menjadi prinsip dan sumber abadi dari hidup baru di dunia (bdk. Yoh. 3:5-8; Rm. 8:1-13).”175 Konstitusi Dogmatis Dei Verbum mengungkapkan misteri ini dengan menggunakan gambaran alkitabiah mengenai dialog pernikahan “Allah yang dulu telah bersabda, tiada hentinya bercakap-cakap dengan Mempelai Putra-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang melalui-Nya suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia, membimbing Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (bdk. Kol 3:16).”

Mempelai Kristus – guru agung seni mendengarkan – sekarang juga mengulang dalam iman: “Bersabdalah, Tuhan, Gereja-Mu mendengarkan.” Untuk alasan ini Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dengan sengaja mulai dengan kata-kata: “Dengan mendengarkan Sabda Allah dengan khidmat dan mewartakannya penuh kepercayaan, Konsili suci….” Di sini kita berjumpa dengan pengertian dinamis hidup Gereja: “Dengan kata-kata ini Konsili menunjukkan aspek yang menegaskan tentang hidup Gereja: Gereja adalah komunitas yang mendengarkan dan mewartakan Sabda Allah. Gereja memperoleh kehidupan bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Injil, dan dari Injil ia menemukan arah yang selalu baru bagi perjalanannya. Ini adalah pendekatan yang harus dipahami dan diterapkan setiap orang Kristiani pada dirinya sendiri: hanya mereka yang pertama-tama menempatkan dirinya dalam sikap mendengarkan Sabda dapat meneruskan menjadi pewartanya.” Dalam Sabda Allah yang diwartakan dan didengarkan dan dalam sakramen-sakramen, Yesus mengatakan hari ini, sekarang dan di sini, kepada masing-masing dari kita “Aku milikmu, Aku memberikan diri-Ku kepadamu”; sehingga kita dapat menerima dan menjawab, dengan mengatakan pada gilirannya:  “Aku milik-Mu.” Dengan demikian Gereja muncul sebagai  lingkungan di mana, oleh rahmat, kita dapat mengalami apa yang dikatakan Yohanes dalam Prolog Injilnya: “Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah”(Yoh 1:12).

 Lihat juga: DEI VERBUM, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi

Liturgi, Tempat Istimewa Bagi Sabda Allah

Sabda Allah dalam liturgi suci

52. Dengan memperhitungkan Gereja sebagai “tempat tinggal Sabda”, perhatian pertama-tama hendaknya diberikan kepada liturgi suci, karena liturgi adalah tempat istimewa di mana Allah berbicara kepada kita di tengah-tengah kehidupan kita; Ia sekarang berbicara kepada umat-Nya, yang mendengarkan dan menjawab. Setiap tindakan liturgi seturut hakikatnya sendiri diresapi dengan Kitab Suci. Dalam kata-kata Konstitusi Sacrosanctum Concilium, “Dalam perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab Sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; daripadanya pula tindakan-tindakan serta lambang-lambang liturgis memperoleh maknanya.” Terlebih lagi, harus dikatakan bahwa Kristus sendiri “hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja.” Sungguh, “perayaan liturgi menjadi itu menjadi perwujudan nyata, lestari dan penuh daya dari Sabda Allah sendiri. Maka Sabda Allah, yang terus-menerus diwartakan dalam Liturgi itu, hidup dan penuh daya berkat kuasa Roh Kudus. Pun pula menampakkan cinta kasih Bapa, yang tiada pernah berhenti berkarya bagi semua orang.” Gereja selalu menyadari bahwa dalam tindakan liturgis Sabda Allah disertai oleh karya batiniah Roh Kudus, yang membuatnya efektif dalam hati umat beriman. Berkat Sang Penolong, “Sabda Allah menjadi dasar dari perayaan liturgi, dan aturan serta pendukung dari semua kehidupan kita. Karya Roh Kudus yang sama… menjelaskan kepada masing-masing orang secara individual segala sesuatu yang dikatakan dalam pewartaan Sabda Allah demi kebaikan dari seluruh jemaat yang hadir. Dalam menguatkan kesatuan dari semua, Roh Kudus pada waktu yang sama mendorong keragaman karunia dan memajukan karya yang beraneka bentuk.”

Maka, untuk memahami Sabda Allah, kita perlu menghargai dan mengalami makna dan nilai hakiki tindakan liturgi. Pemahaman penuh iman akan Kitab Suci harus selalu mengacu kembali kepada liturgi, di mana Sabda Allah dirayakan sebagai Sabda yang aktual dan yang hidup.“Dalam liturgi Gereja dengan setia mengikuti cara Kristus sendiri membaca dan menjelaskan Kitab Sui, dimulai

dengan kedatangan-Nya di rumah ibadat dan mendesak semua untuk menyelidiki Kitab Suci.”

Di sini orang bisa melihat pedagogi bijaksana dari Gereja, yang mewartakan dan mendengarkan Kitab Suci dengan mengikuti irama tahun liturgi. Penyebaran Sabda Allah dari waktu ke waktu terutama terjadi dalam perayaan Ekaristi dan dalam Liturgi Ibadat Harian. Pada pusat dari semuanya misteri Paskah bersinar, dan di sekitarnya bersinarlah semua misteri Kristus dan sejarah keselamatan yang dihadirkan secara sakramental: “Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu dengan cara ini, Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan tindakan yang menyelamatkan serta pahala Tuhannya sehingga misteri-misteri itu senantiasa hadir setiap saat. Umat dimungkinkan untuk bersentuhan dengan misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.” Karena alasan ini saya mendorong para Pastor Gereja dan semua yang terlibat dalam karya pastoral untuk memperhatikan, bahwa semua kaum beriman belajar mencecap makna mendalam Sabda Allah yang setiap tahun diungkapkan dalam liturgi, dengan membuka misteri fundamental iman kita. Ini pada gilirannya adalah dasar bagi suatu pendekatan yang benar kepada Kitab Suci.

Kitab Suci dan Sakramen-sakramen

53. Dalam membahas pentingnya liturgi bagi pemahaman Sabda Allah, Sinode para Uskup menyoroti hubungan antara Kitab Suci dan karya sakramen-sakramen. Ada kebutuhan besar untuk menyelidiki secara lebih mendalam hubungan antara Sabda dan sakramen dalam kegiatan pastoral Gereja dan dalam refleksi teologis. Jelaslah, “liturgi Sabda adalah unsur menentukan dalam perayaan masing-masing dari setiap sakramen Gereja,” namun dalam praktik pastoral, kaum beriman tidak selalu menyadari hubungan ini, atau mereka tidak menghargai kesatuan antara gerak-isyarat dan kata. Adalah “tugas para imam dan diakon, terutama bila mereka melayani sakramen, untuk menjelaskan kesatuan antara Sabda dan Sakramen dalam pelayanan Gereja.” Hubungan antara Sabda dan gerak sakramental adalah ungkapan liturgis kegiatan Gereja dalam sejarah keselamatan melalui sifat performatif Sabda sendiri. Dalam sejarah keselamatan tidak ada pemisahan antara apa yang Allah katakan dan apa yang Ia lakukan. Sabda-Nya nampak hidup dan aktif (bdk. Ibr. 4:12), seperti dijelaskan oleh istilah Ibrani dabar itu sendiri. Juga dalam tindakan liturgis, kita berjumpa dengan Sabda-Nya yang melaksanakan apa yang Ia katakan. Dengan mendidik Umat Allah untuk menemukan sifat performatif Sabda Allah dalam liturgi, kita akan membantu mereka untuk memahami tindakan Allah dalam sejarah keselamatan dan dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing.



Sabda Allah dan Ekaristi

54. Apa yang dikatakan secara umum mengenai hubungan antara Sabda dan sakramen mempunyai makna lebih dalam jika kita kembali pada perayaan Ekaristi. Kesatuan mendalam dari Sabda dan Ekaristi didasarkan pada kesaksian Kitab Suci (bdk. Yoh. 6; Luk. 24), yang dipersaksikan oleh para Bapa Gereja, dan diteguhkan kembali oleh Konsili Vatikan Kedua. Di sini kita memikirkan wejangan Yesus tentang roti hidup dalam rumah ibadat di Kapernaum (bdk. Yoh. 6:22-69), dengan perbandingan yang ada di baliknya antara Musa dan Yesus, antara seseorang yang berbicara langsung dengan Allah (bdk. Kel. 33:11) dan seseorang yang membuat Allah dikenal (bdk. Yoh. 1:18). Wejangan Yesus mengenai roti berbicara mengenai karunia Allah, yang didapat Musa bagi umatnya dengan manna di padang gurun, yang sesungguhnya adalah Torah, Sabda Allah yang memberi hidup (bdk. Mzm. 119; Ams. 9:5). Dalam diri-Nya Yesus mencapai pemenuhan gambaran kuno: “Roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari surga dan yang memberi hidup kepada dunia”… “Akulah roti hidup” (Yoh. 6:33-35). Di sini “Hukum telah menjadi Seorang pribadi. Bila kita berjumpa dengan Yesus, kita mendapat makan dari Allah sendiri yang hidup, demikian dapat dikatakan; kita sungguh makan ‘roti dari surga’.” Dalam wejangan di Kapernaum, Prolog Yohanes diangkat ke tingkat yang lebih dalam. Di situ Logos Allah menjadi daging, tetapi di sini daging ini menjadi “roti” yang diberikan bagi hidup dunia (bdk. Yoh. 6:51), dengan mengacu kepada pemberian Diri Yesus dalam misteri salib, yang diteguhkan oleh kata-kata mengenai darah-Nya yang diberikan sebagai minuman (bdk. Yoh. 6:53). Misteri Ekaristi menyingkapkan manna sejati, roti sejati dari surga: Logos Allah menjadi daging, yang memberikan Diri-Nya bagi kita dalam misteri Paskah.

Kisah Lukas mengenai para murid dalam perjalanan ke Emmaus memungkinkan kita untuk merefleksikan lebih lanjut mengenai hubungan antara mendengarkan Firman dan memecah-mecahkan roti (bdk. Luk. 24:13-35). Yesus mendekati para murid pada hari sesudah Sabat, mendengarkan ketika mereka bercakap-cakap mengenai harapan mereka yang pupus, dan sambil bergabung dengan mereka dalam perjalanan mereka, “menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci” (24:27). Kedua murid mulai melihat Kitab Suci dengan cara baru ditemani musafir yang nampaknya secara mengherankan sangat akrab dengan hidup mereka. Apa yang telah terjadi pada hari-hari itu tidak lagi nampak bagi mereka sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai suatu pemenuhan dan permulaan yang baru. Namun, tampaknya kata-kata ini belum cukup bagi kedua murid. Injil Lukas menceritakan bahwa mata mereka terbuka dan mereka mengenal Dia” (24:31), hanya ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada para murid-Nya, yang sebelumnya “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (24:16). Kehadiran Yesus, pertama dengan katakata-Nya dan kemudian dengan tindakan pemecahan roti, ini memungkinkan para murid mengenali Dia. Sekarang mereka mampu menghargai dengan cara yang baru semua yang telah mereka alami sebelumnya bersama Dia: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (24:32).

55. Dari kisah-kisah ini jelaslah bahwa Kitab Suci sendiri menunjukkan kepada kita penghargaan atas ikatannya yang tak terpisahkan dengan Ekaristi. “Hendaklah selalu diperhatikan bahwa Sabda Allah, yang dibaca dan diwartakan Gereja dalam liturgi, mengantar kepada kurban perjanjian serta perjamuan rahmat yakni kepada Ekaristi sebagai tujuannya. ”Sabda dan Ekaristi begitu dalam terikat bersama sehingga kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain: Sabda Allah secara sakramental menjadi daging dalam peristiwa Ekaristi. Ekaristi membuka kita agar memahami Kitab Suci, sama seperti Kitab Suci dari dirinya menyinari dan menjelaskan misteri Ekaristi. Jika kita tidak mengakui kehadiran nyata Tuhan dalam Ekaristi, pemahaman kita mengenai Kitab Suci tetap tidak sempurna. Karena alasan ini “Gereja menaruh penghormatan yang sama terhadap Sabda Allah dan terhadap misteri Ekaristi, meskipun dalam bentuk kebaktian yang berbeda. Dan Gereja berketetapan untuk selalu dan di mana-mana melestarikan penghormatan itu; maka, digerakkan oleh teladan Pendirinya, ia senantiasa merayakan misteri paskahNya dengan berkumpul bersama untuk membaca ‘apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci’ (Luk. 24:27), dan melaksanakan karya keselamatan melalui perayaan pengenangan akan Tuhan serta melalui sakramen-sakramen.”

Sakramentalitas Sabda

56. Refleksi atas sifat performatif Sabda Allah dalam tindakan sakramental dan penghargaan yang semakin bertambah terhadap hubungan antara Sabda dan Ekaristi mengantar kepada tema penting yang muncul selama sidang sinode, yaitu sakramentalitas Sabda. Di sini mungkin membantu mengingatkan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mengacu kepada “ciri sakramental Wahyu, dan khususnya kepada tanda Ekaristi; sebab di situ kesatuan yang tak terceraikan antara yang menandakan dan yang ditandakan memungkinkan untuk menggapai titik-titik kedalaman misteri.” Kita melihat bahwa pada inti sakramentalitas Sabda Allah terletak misteri Inkarnasi sendiri: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14), realitas misteri yang diungkapkan ditawarkan kepada kita dalam “daging” sang Putra. Sabda Allah dapat ditangkap oleh iman melalui “tanda” kata-kata dan tindakan manusiawi. Iman mengenal Sabda Allah dengan menerima kata-kata dan tindakan-tindakan yang membuat diri-Nya kita kenal. Maka, ciri sakramental Wahyu menunjuk pada sejarah keselamatan, pada jalan Sabda Allah memasuki waktu dan ruang, dan berbicara kepada manusia, yang dipanggil untuk menerima karunia-Nya dalam iman.

Oleh karena itu, sakramentalitas Sabda dapat dimengerti melalui analogi dengan kehadiran riil Kristus dalam perwujudan roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Dengan mendekati altar dan ambil bagian dalam perjamuan Ekaristi kita sungguh ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus. Pewartaan Sabda Allah dalam perayaan menuntut pengakuan bahwa Kristus sendiri hadir, bahwa Ia berbicara kepada kita, dan bahwa Ia ingin agar didengarkan. Santo Hieronimus berbicara mengenai bagaimana seharusnya sikap kita dalam mendekati Ekaristi dan Sabda Allah: “Kita membaca Kitab Suci. Bagiku, Injil adalah Tubuh Kristus; bagiku, Kitab Suci adalah ajaran-Nya. Dan bila Ia berkata: siapa yang tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku (Yoh. 6:53), meskipun kata-kata ini dapat juga dipahami mengenai Misteri (Ekaristi), tubuh dan darah Kristus sungguh kata-kata Kitab Suci, ajaran Allah. Jika kita mendekati Misteri (Ekaristi), bila ada remah-remah yang jatuh ke lantai kita sedih. Demikian juga ketika kita mendengarkan Sabda Allah, dan Sabda Allah dan tubuh Kristus dan darah-Nya dicurahkan ke dalam telinga kita namun kita tidak mengindahkan, ke dalam bahaya besar apa kita tidak masuk?” Kristus, sungguh hadir dalam wujud roti dan anggur, secara analog hadir juga dalam Sabda yang diwartakan dalam liturgi. Maka, pemahaman yang lebih mendalam mengenai sakramentalitas Sabda Allah dapat mengantar kita kepada pemahaman yang lebih menyatu tentang misteri Wahyu, yang berwujud melalui “perbuatan dan kata-kata yang berhubungan sangat erat”; penghargaan demikian bermanfaat bagi kehidupan rohani kaum beriman dan kegiatan pastoral Gereja.

Kitab Suci dan Buku Bacaan Misa

57. Dalam menekankan ikatan antara Sabda dan Ekaristi, Sinode juga ingin menarik perhatian kepada beberapa aspek tertentu dari perayaan yang terkait dengan pelayanan Sabda. Pada tempat pertama saya ingin mengingatkan pentingnya Buku Bacaan Misa. Pembaruan yang diserukan Konsili Vatikan Kedua telah menghasilkan buah dalam akses yang lebih banyak kepada Kitab Suci, yang sekarang disajikan secara berlimpah, terutama dalam Misa Minggu. Susunan Buku Bacaan Misa yang sekarang tidak hanya menyajikan teks-teks Kitab Suci yang lebih penting dengan lebih kerap, tetapi juga membantu kita untuk memahami kesatuan rencana Allah berkat jalinan antara bacaan-bacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, “di mana Kristus adalah tokoh sentral, yang dikenangkan dalam misteri Paskah-Nya.” Kesulitan-kesulitan yang ada dalam melihat hubungan antara bacaan-bacaan itu hendaklah didekati dalam terang penafsiran kanonik, yaitu, dengan mengacu kepada kesatuan yang melekat pada Alkitab sebagai keseluruhan. Bilamana perlu, lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok yang berwenang dapat membuat ketentuan untuk publikasi yang bertujuan menampilkan keterkaitan satu sama lain dari bacaan-bacaan Buku Bacaan Misa, yang kesemuanya harus diwartakan dalam pertemuan liturgi, seperti disebut oleh liturgi harian. Masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan lain hendaknya disampaikan kepada Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen-sakramen.

Selanjutnya, kita hendaklah jangan melupakan fakta bahwa Buku Bacaan Misa dari ritus Latin sekarang ini mempunyai makna ekumenis, karena juga dihargai dan digunakan oleh komunitas-komunitas yang belum bersatu sepenuhnya dengan Gereja Katolik. Masalah bahwa Buku Bacaan Misa menampilkan diri secara berbeda dalam liturgi Gereja-gereja Katolik Timur, Sinode mengharapkan agar hal ini “diperiksa secara otoritatif,” sesuai dengan tradisi dan kompetensi yang tepat dari Gereja-gereja sui iuris, begitu juga dengan memperhitungkan konteks ekumenis.

Pewartaan Sabda dan pelayanan pembaca

58. Sinode mengenai Ekaristi telah menyerukan agar perhatian yang lebih besar hendaklah diberikan dalam pewartaan Sabda Allah. Seperti diketahui, sementara Injil diwartakan oleh seorang imam atau diakon, dalam tradisi Latin bacaan pertama dan kedua diwartakan oleh lektor yang ditunjuk, entah pria entah wanita. Saya ingin menggemakan suara para Bapa Sinode yang sekali lagi lebih menekankan perlunya pelatihan yang memadai bagi mereka yang melaksanakan munus (tugas) lektor dalam perayaan liturgi, dan terutama mereka yang melaksanakan pelayanan Lektor, yang dalam ritus Latin, adalah pelayanan awam. Semua yang dipercaya untuk tugas ini, bahkan juga mereka yang tidak ditetapkan dalam pelayanan sebagai Lektor, hendaknya sungguh sesuai dan dilatih secara saksama. Latihan ini hendaknya liturgis dan alkitabiah, maupun juga secara teknis. “Tujuan dari pembinaan alkitabiah mereka adalah untuk memberi para pembaca kemampuan untuk mengerti bacaan dalam konteks dan untuk menangkap inti pesan yang diwahyukan. Pembinaan liturgis hendaknya melengkapi pembaca untuk memiliki kemampuan untuk memahami makna dan susunan liturgi Sabda dan makna hubungannya dengan liturgi Ekaristi. Persiapan teknis hendaknya membuat pembaca memiliki ketrampilan seni membaca di depan umum, baik dengan kekuatan suara mereka sendiri maupun dengan bantuan pengeras suara.”

Pentingnya Homili

59. Setiap anggota Umat Allah “mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam kaitan dengan Sabda Allah. Karena itu, umat beriman mendengarkan Sabda Tuhan dan merenungkannya, tetapi mereka yang mempunyai tugas karena tahbisan suci atau yang telah dipercaya dengan pelaksanaan pelayanan itu,” yaitu para uskup, imam, dan diakon, “menjelaskan Sabda Allah.” Maka dari itu, kita dapat memahami perhatian yang dicurahkan kepada homili selama Sinode. Dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis, saya menunjukkan bahwa “mengingat pentingnya Sabda Allah, mutu homili perlu ditingkatkan. Homili, adalah ‘bagian dari tindakan liturgi,’ dan dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Sabda Allah, sehingga itu akan dapat membuahkan hasil dalam kehidupan kaum beriman.” Homili adalah sarana untuk membawa pesan Kitab Suci ke dalam hidup dengan cara yang membantu kaum beriman menyadari bahwa Sabda Allah hadir dan berkarya dalam hidup keseharian mereka. Homili hendaklah membimbing untuk memahami misteri yang sedang dirayakan, memanggil kepada misi, dan menyiapkan umat kepada pengakuan iman, doa umat dan liturgi Ekaristi. Karenanya, mereka yang berkat pelayanan khusus bertugas berkhotbah hendaknya mengemban tugas ini sepenuh hati. Homili yang umum dan abstrak yang mengaburkan keterusterangan Sabda Allah hendaklah dihindari, maupun juga pelanturan yang tak berguna yang berisiko menarik perhatian lebih besar kepada pengkhotbah daripada inti pesan Injil. Kaum beriman hendaknya dapat menangkap dengan jelas bahwa pengkhotbah memiliki keinginan kuat untuk menghadirkan Kristus, yang harus menjadi pusat dari setiap homili. Karena alasan ini para pengkhotbah perlu selalu dekat dan terus-menerus berhubungan dengan teks suci. Mereka hendaknya mempersiapkan homili dengan meditasi dan doa, sehingga berkhotbah dengan keyakinan dan semangat. Sidang Sinode mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut supaya diperhatikan: “Apa yang dikatakan oleh Kitab Suci yang diwartakan? Apa yang dikatakannya kepadaku secara pribadi? Apa yang harus saya katakan kepada umat sehubungan dengan situasi konkret mereka?” Pengkhotbah “hendaklah menjadi yang pertama yang mendengarkan Sabda Allah yang ia wartakan,” karena, sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus, “tak diragukan lagi tanpa buah, pengkhotbah yang mewartakan Sabda Allah secara lahiriah tanpa mendengarkannya secara batiniah.” Homili untuk hari-hari Minggu dan Hari Raya hendaknya dipersiapkan secara saksama, tanpa melalaikan, sejauh mungkin pada misa harian dan dengan umat untuk memberikan suatu refleksi yang singkat dan sesuai waktunya, yang dapat membantu  umat untuk menyambut Sabda yang diwartakan dan membiarkan Sabda itu memberikan buah dalam hidup mereka.

Perlunya suatu Pedoman Homili

60. Seni berkhotbah yang baik yang berdasar pada Buku Bacaan Misa adalah suatu seni yang perlu diolah. Maka dari itu, selaras dengan keinginan yang diungkapkan oleh Sinode sebelumnya, saya minta kepada para pejabat yang berwenang, sejalan dengan Kompendium Ekaristi, juga untuk menyiapkan publikasi-publikasi praktis untuk membantu para pelayan dalam melaksanakan tugas mereka sebaik mungkin: seperti misalnya suatu Pedoman homili, di mana para pengkhotbah dapat menemukan bantuan yang bermanfaat dalam mempersiapkan untuk melaksanakan pelayanan mereka. Seperti diingatkan Santo Hieronimus, khotbah perlu disertai kesaksian hidup yang baik: “Tindakan anda hendaknya jangan bertentangan dengan kata-kata anda, jika tidak ketika anda berkhotbah dalam Gereja, seseorang mungkin mulai berpikir: ‘Jadi mengapa anda sendiri tidak berbuat secara demikian itu?’... Di dalam imam Kristus, pikiran dan perkataan harus bersesuaian.”

Sabda Allah, Rekonsiliasi, dan Pengurapan orang sakit

61. Meskipun tentu saja Ekaristi tetap merupakan pusat dari hubungan antara sabda Allah dan sakramen-sakramen, kita juga harus menekankan pentingnya Kitab Suci dalam sakramensakramen lainnya, khususnya sakramen-sakramen penyembuhan, yaitu sakramen Rekonsiliasi atau Pengampunan dosa dan sakramen Pengurapan Orang Sakit. Peranan Kitab Suci dalam sakramen-sakramen itu kerap kali kurang diperhatikan, namun itu perlu dijamin tempatnya yang semestinya. Kita hendaknya jangan lupa bahwa “Sabda Allah adalah sabda rekonsiliasi, karena di dalamnya Allah telah mendamaikan segala hal dalam diri-Nya (bdk. 2Kor. 5:18-20; Ef. 1:10). Pengampunan penuh kasih dari Allah, menjadi daging dalam Yesus, mengangkat orang berdosa.” “Melalui Sabda Allah orang-orang Kristiani menerima terang untuk mengenal dosa-dosanya dan dipanggil untuk bertobat dan percaya kepada belas kasih Allah.” Untuk memiliki pengalaman yang lebih mendalam akan kekuatan Sabda Allah yang mendamaikan, masing-masing peniten hendaknya didorong untuk mempersiapkan pengakuan dengan merenungkan teks Kitab Suci yang sesuai dan mengawali pengakuan dengan membaca atau mendengarkan nasihat Kitab Suci seperti yang terdapat dalam ritus. Ketika mengungkapkan penyesalan, akan baik bila peniten menggunakan “doa berdasar pada kata-kata Kitab Suci,” seperti yang ditunjukkan dalam ritus. Bilamana mungkin, baiklah pada saat-saat khusus dalam tahun, atau setiap kali ada kesempatan, pengakuan pribadi oleh sejumlah peniten hendaklah diadakan di dalam perayaan tobat sebagaimana diatur dalam upacara, dengan memperhatikan bermacam-macam tradisi liturgi; di mana waktu lebih banyak dapat digunakan untuk perayaan Sabda dengan menggunakan bacaan-bacaan yang sesuai.

Dalam Sakramen Pengurapan orang Sakit juga, hendaknya jangan dilupakan bahwa “kekuatan Sabda Allah yang menyembuhkan adalah panggilan terus-menerus kepada pertobatan pribadi pendengar.” Kitab Suci berisi banyak sekali halaman yang berbicara mengenai penghiburan, dukungan dan penyembuhan yang diberikan oleh Allah. Kita dapat berpikir secara khusus mengenai kedekatan Yesus sendiri dengan mereka yang menderita, dan bagaimana Ia, Sabda Allah yang menjadi Daging, memikul rasa sakit kita dan menderita karena kasih kepada kita, dengan demikian memberi makna pada sakit dan kematian. Baiklah bahwa di paroki-paroki dan rumah-rumah sakit, sesuai keadaan, perayaan sakramen Pengurapan Orang Sakit dilakukan dalam kebersamaan. Pada kesempatan demikian diberi waktu lebih banyak untuk perayaan Sabda, dan membantu yang sakit untuk menanggung penderitaan mereka dalam iman, dalam persatuan dengan kurban penebusan Kristus yang membebaskan kita dari yang jahat.

Sabda Allah dan Liturgi Ibadat Harian

62. Di antara bentuk-bentuk doa yang menekankan Kitab Suci, Liturgi Ibadat Harian mempunyai tempat yang tak diragukan lagi. Para Bapa Konsili menyebut itu “suatu bentuk istimewa mendengarkan Sabda Allah, karena hal itu mengantar umat beriman berhubungan dengan Kitab Suci dan Tradisi hidup Gereja.” Terlebih-lebih, kita hendaknya ingat akan martabat teologis dan gerejawi yang mendalam dari doa ini. “Dalam Liturgi Ibadat Harian, Gereja, dengan melaksanakan tugas imamat dari Kepalanya, mempersembahkan ‘tanpa henti’ (1Tes. 5:17) kepada Allah kurban pujian, yaitu buah dari bibir yang mengakui nama-Nya (bdk. Ibr. 13:1). Doa ini adalah ‘suara pengantin perempuan yang berbicara kepada pengantin laki-lakinya, ini adalah doa Kristus sendiri, bersama Tubuh-Nya, yang ditujukan kepada Bapa.’” Konsili Vatikan II telah menegaskan tentang hal ini bahwa: “semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja sekaligus ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah, mereka berdiri di hadapan takhta-Nya atas nama Bunda Gereja.” Liturgi Ibadat Harian, sebagai doa umum Gereja, menampilkan cita-cita Kristiani untuk menyucikan seluruh hari, yang ditandai dengan irama mendengarkan Sabda Allah dan mendoakan Mazmur; dengan cara demikian setiap kegiatan dapat menemukan titik acuannya dalam pujian yang dipersembahkan kepada Allah.

Mereka yang oleh status mereka dalam hidup berkewajiban mendoakan Liturgi Ibadat Harian hendaknya melaksanakan tugas ini dengan setia bagi kebaikan seluruh Gereja. Para Uskup, imam dan diakon calon imam, semua yang telah ditugasi Gereja untuk merayakan liturgi ini, wajib mendoakan Ibadat Harian setiap hari. Berkaitan dengan kewajiban merayakan liturgi ini, dalam Gereja-gereja Katolik Timur sui iuris, ketentuan-ketentuan hukum mereka sendiri harus diikuti. Saya juga mendorong komunitas-komunitas Hidup Bakti supaya menjadi contoh dalam perayaan Liturgi Ibadat Harian, dan dengan demikian menjadi titik acuan dan inspirasi bagi hidup spiritual dan pastoral seluruh Gereja.

Sinode meminta agar doa ini menjadi makin tersebar luas di antara Umat Allah, terutama pendarasan Ibadat Pagi dan Ibadat Sore. Ini dapat mengantar kaum beriman kepada keakraban lebih besar dengan Sabda Allah. Tekanan juga harus diletakkan pada nilai Liturgi Ibadat Sore Pertama hari Minggu dan Hari-hari Raya, terutama dalam Gereja-gereja Katolik Timur. Untuk maksud ini saya menyarankan agar, bilamana mungkin, paroki-paroki dan komunitas-komunitas religius mengembangkan doa ini dengan partisipasi umat beriman awam.

Sabda Allah dan Buku Berkat

63. Begitu juga, dalam penggunaan Buku Ibadat Berkat hendaknya diberikan perhatian pada kesempatan yang disediakan untuk mewartakan, mendengarkan dan menjelaskan Sabda Allah secara singkat. Sesungguhnya pemberkatan, dalam kasus-kasus yang disediakan oleh Gereja dan diminta oleh umat beriman, hendaklah bukan sebagai sesuatu yang terpisah melainkan dikaitkan dalam batas-batas tertentu kepada kehidupan liturgi umat Allah. Dalam arti ini berkat, sebagai tanda suci sejati, “mengambil makna dan daya gunanya dari Sabda Allah yang diwartakan.” Maka, pentinglah juga menggunakan kesempatan itu sebagai sarana untuk membangkitkan dalam diri umat beriman rasa haus dan lapar akan setiap firman yang berasal dari mulut Allah (bdk. Mat. 4:4). Saran dan usul praktis untuk meningkatkan partisipasi lebih penuh dalam liturgi

64. Sesudah mendiskusikan beberapa unsur dasariah dari hubungan antara liturgi dan Sabda Allah, sekarang saya ingin mengambil dan mengembangkan beberapa saran dan usul yang dikemukakan Bapa-bapa Sinode dengan tujuan membuat Umat Allah semakin akrab dengan Sabda Allah dalam konteks tindakan liturgis atau, dalam hal apa pun, dengan mengacu padanya.  

Lihat juga: VERBUM DOMINI (I) 

a) Perayaan Sabda Allah

65. Para Bapa Sinode mendorong semua Pastor untuk menggalakkan kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk perayaan Sabda dalam komunitas-komunitas yang dipercayakan kepada pemeliharaan mereka. Perayaan-perayaan ini merupakan kesempatan istimewa untuk berjumpa dengan Tuhan. Praktik ini tentu akan bermanfaat bagi kaum beriman, dan hendaklah dianggap sebagai unsur penting pembinaan liturgi. Perayaan semacam ini terutama penting sebagai persiapan untuk Ekaristi Minggu; itu juga merupakan cara untuk membantu umat beriman menggali secara mendalam kekayaan Buku Bacaan Misa, dan untuk berdoa dan merenungkan Kitab Suci, terutama selama masa liturgi besar Adven dan Natal, Prapaskah dan Paskah. Perayaan Sabda Allah sangat dianjurkan terutama dalam komunitas-komunitas yang, karena kurangnya imam, tidak mungkin merayakan kurban Ekaristi pada hari Minggu dan Hari Raya yang diwajibkan. Dengan memperhatikan petunjuk-petunjukyang telah ditetapkan dalam Anjuran Apostolik Pasca-Sinode Sacramentum Caritatis terkait dengan perayaan Minggu tanpa kehadiran imam, saya menyarankan supaya pejabat yang berwenang menyiapkan pedoman-pedoman upacara, dengan mengambil pengalaman Gereja-gereja partikular. Ini akan menguntungkan, dalam situasi-situasi itu, perayaan Sabda yang mampu memupuk iman umat beriman, namun dengan menghindari bahaya bahwa perayaan Sabda dirancukan dengan perayaan Ekaristi: “sebaliknya, perayaan itu hendaknya menjadi saat yang istimewa untuk berdoa kepada Allah  supaya mengutus imam-imam sesuai kehendak hati-Nya sendiri.”

Para Bapa Sinode juga menyarankan perayaan Sabda Allah pada saat berziarah, pesta-pesta khusus, misi kepada umat, retret, dan hari khusus tobat, silih atau pengampunan. Berbagai ungkapan kesalehan umat, meskipun bukan tindakan liturgis dan hendaklah jangan dianggap sama dengan perayaan liturgis, namun sebaiknya diinspirasikan olehnya dan, terutama, memberi kesempatan bagi pewartaan dan untuk mendengarkan Sabda Allah; “Kesalehan umat dapat menemukan dalam Sabda Allah suatu sumber inspirasi yang tak pernah kering, model doa yang tak tertandingi dan poin-poin yang bermanfaat untuk refleksi”

b) Sabda dan Keheningan

66. Dalam intervensi-intervensi mereka, sejumlah besar Bapa Sinode menekankan pentingnya keheningan terkait dengan Sabda Allah dan penerimaannya dalam kehidupan kaum beriman. Pada kenyataannya, Sabda hanya dapat diucapkan dan didengarkan dalam keheningan, lahiriah dan batiniah. Zaman kita bukan zaman yang mendukung keheningan; kadang-kadang ada kesan bahwa manusia takut melepaskan diri dari media massa, bahkan untuk sebentar saja. Untuk itu, pentinglah sekarang bahwa Umat Allah dididik menghargai keheningan. Menemukan kembali bahwa Sabda Allah adalah pusat kehidupan Gereja juga berarti menemukan kembali makna keheningan dan ketenangan batin. Tradisi luhur patristik mengajar kita bahwa misteri Kristus melibatkan keheningan. Hanya dalam keheningan Sabda Allah dapat bersemayam dalam diri kita, seperti terjadi pada Maria, yang secara tak terpisahkan sebagai wanita Sabda dan wanita keheningan. Liturgi kita harus memfasilitasi sikap mendengarkan sejati: Verbo crescente, verba deficiunt.

Pentingnya semua hal ini terutama tampak dalam Liturgi Sabda “yang harus dirayakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung.” Saat hening, ketika diminta, hendaklah dipandang “sebagai bagian perayaan.” Maka dari itu, saya mendorong para Pastor untuk memupuk saat-saat hening, yang melaluinya, dengan bantuan Roh Kudus, Sabda Allah dapat diterima dalam hati kita.

c) Pewartaan Sabda Allah secara meriah

67. Saran lain yang muncul dari Sinode adalah agar pewartaan Sabda Allah, khususnya Injil, hendaklah dibuat lebih meriah, terutama dalam pesta-pesta liturgis yang besar, dengan menggunakan Evangelarium, yang dibawa dalam prosesi selama upacara pembuka dan kemudian dibawa ke mimbar Sabda oleh seorang diakon atau imam untuk diwartakan. Ini akan membantu umat Allah menyadari bahwa “pembacaan Injil adalah puncak dari liturgi Sabda.” Dengan mengikuti petunjuk yang terdapat dalam Tata Bacaan Misa, baiklah bahwa Sabda Allah, terutama Injil, dibuat agung dengan diwartakan dengan nyanyian, terutama pada pesta-pesta tertentu. Ucapan salam, pemberitahuan pembuka: “Inilah Injil Suci Yesus Kristus...” dan kata-kata penutup “Demikianlah Injil Tuhan kita,” dapat dinyanyikan dengan baik sebagai cara untuk menekankan pentingnya apa yang dibacakan.

d) Sabda Allah di Gereja

68. Untuk memudahkan mendengarkan Sabda Allah, hendaknya diperhatikan sarana-sarana yang dapat membantu umat beriman memusatkan perhatian. Hendaknya diperhatikan akustik gereja, dengan mengingat norma-norma liturgi dan arsitektur. “Para Uskup, dengan dibantu sewajarnya, dalam pembangunan gereja-gereja hendaklah memperhatikan agar bangunan itu sesuai untuk pewartaan Sabda, untuk meditasi dan untuk merayakan Ekaristi. Ruang-ruang kudus, meski terpisah dari kegiatan liturgis, hendaknya indah dan hendaknya menghadirkan misteri Kristus dalam hubungan dengan Sabda Allah.”

Perhatian khusus hendaklah diberikan kepada ambo (mimbar Sabda) sebagai tempat liturgis yang dari situ Sabda Allah diwartakan. Ambo itu hendaknya diletakkan di tempat yang terlihat dengan jelas yang kepadanya perhatian umat selama liturgi biasanya akan diarahkan. Ambo hendaklah ditempatkan dengan tetap, dan dihias dalam keselarasan estetis dengan altar untuk menampilkan secara jelas makna teologis dari dua meja, yakni meja Sabda dan Ekaristi. Bacaan-bacaan, mazmur tanggapan dan Exultet harus diwartakan dari ambo; di situ juga bisa digunakan bagi  homili dan doa umat.

Para Bapa Sinode juga mengusulkan supaya gereja-gereja memberi tempat terhormat kepada Kitab Suci, bahkan juga di luar perayaan liturgi. Baik bahwa buku yang berisi Sabda Allah diberi tempat yang kelihatan dan terhormat di dalam tempat ibadat Kristiani, tanpa mengurangi tempat pusat yang semestinya bagi tabernakel yang berisi Sakramen Mahakudus.

e) Penggunaan eksklusif teks Alkitab dalam liturgi

69. Sinode dengan jelas juga menegaskan kembali pokok yang sudah ditetapkan dalam norma liturgi, yaitu bahwa bacaan yang diambil dari Kitab Suci tidak pernah dapat diganti dengan teks lain, meskipun teks itu mungkin penting dari segi spiritual atau pastoral: “Tak ada teks yang dari segi spiritual atau pastoral dapat menyamai nilai dan kekayaan yang terdapat dalam Kitab Suci, yang adalah Sabda Allah.” Ini merupakan aturan kuno Gereja yang harus diperhatikan. Berhadapan dengan penyelewengan tertentu, Paus Yohanes Paulus II telah kembali menekankan pentingnya untuk tidak pernah menggunakan bacaan lain untuk menggantikan Kitab Suci. Hendaknya juga diperhatikan bahwa Mazmur Tanggapan adalah juga Sabda Allah dan karenanya hendaknya jangan digantikan oleh teks-teks lain; tentu saja sangat sesuai jika dinyanyikan.

 


f) Nyanyian liturgis yang diilhami Kitab Suci

70. Sebagai bagian penghargaan terhadap Sabda Allah dalam liturgi, perhatian hendaknya juga diberikan pada penggunaan nyanyian pada saat-saat yang ditetapkan dalam ritus tertentu. Hendaknya lebih dipilih nyanyian-nyanyian yang jelas-jelas diilhami Kitab Suci dan yang mengungkapkan, melalui keselarasan musik dan kata-kata, keindahan Sabda Allah. Kita hendaknya menggunakan nyanyian-nyanyian yang diturunkan dari tradisi Gereja yang menghormati kriteria ini. Saya berpikir terutama mengenai pentingnya lagu Gregorian.

g) Perhatian khusus bagi mereka yang terganggu penglihatan dan pendengaran

71. Di sini saya ingin mengingatkan rekomendasi Sinode tentang perlunya memberi perhatian khusus, kepada mereka, yang karena kondisi mereka, menghadapi masalah-masalah dalam ambil bagian secara aktif dalam liturgi. Saya berpikir misalnya mengenai mereka yang terganggu penglihatan dan pendengaran. Saya mendorong komunitas-komunitas Kristiani untuk sedapat mungkin memberikan bantuan praktis kepada saudara-saudari yang menderita gangguan demikian, sehingga mereka juga dapat mengalami kontak yang hidup dengan Sabda Tuhan.

 

Sabda Allah Dalam Kehidupan Gereja

Menjumpai Sabda Allah dalam Kitab Suci

72. Jika memang benar bahwa liturgi adalah tempat istimewa untuk mewartakan, mendengarkan dan merayakan Sabda Allah, begitu juga halnya bahwa perjumpaan ini harus dipersiapkan dalam hati kaum beriman dan kemudian diperdalam dan dihayati, terutama oleh mereka. Kehidupan Kristiani secara hakiki ditandai oleh perjumpaan dengan Yesus Kristus, yang memanggil kita untuk mengikuti-Nya. Karena alasan ini, Sinode para Uskup kerap kali berbicara mengenai pentingnya pelayanan pastoral dalam komunitas-komunitas Kristiani sebagai konteks yang sesuai di mana perjalanan secara pribadi dan bersama yang berdasar pada Sabda Allah dapat terjadi dan sungguh bermanfaat sebagai landasan kehidupan rohani kita. Bersama para Bapa Sinode saya mengungkapkan harapan yang tulus bagi berkembangnya “suatu musim baru dari kecintaan yang lebih besar bagi Kitab Suci dari setiap anggota Umat Allah, sehingga bacaan Alkitab dengan penuh doa dan penuh iman, dalam perjalanan waktu, akan memperdalam hubungan pribadi mereka dengan Yesus.”

Sepanjang sejarah Gereja, banyak orang kudus telah berbicara mengenai perlunya mengetahui Kitab Suci untuk berkembang dalam kasih terhadap Kristus. Hal ini nampak jelas khususnya pada Bapa-Bapa Gereja. Santo Hieronimus, dalam kecintaannya yang besar pada Sabda Allah, kerap kali heran: “Bagaimana orang dapat hidup tanpa mengetahui Kitab Suci, yang melaluinya kita mengenal Kristus sendiri, yang adalah kehidupan kaum beriman?” Ia sungguh mengetahui bahwa Alkitab adalah sarana “Allah berbicara kepada kaum beriman setiap hari.” Nasihatnya kepada Leta, seorang ibu Roma mengenai mendidik putrinya adalah demikian: “Pastikan bahwa ia setiap hari mempelajari satu bagian Kitab Suci… Doa hendaknya mengikuti bacaan, dan bacaan mengikuti doa… sehingga sebagai ganti barang-barang perhiasan dan sutera, ia menyukai Kitab Suci.” Nasihat Hieronimus kepada imam Nepotian dapat juga diterapkan kepada kita: “Sering-seringlah membaca Kitab Suci; sungguh, Kitab Suci janganlah lepas dari tanganmu. Pelajarilah di situ apa yang harus kamu ajarkan.” Marilah kita ikuti teladan Santo Agung ini yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari Kitab Suci dan yang memberikan kepada Gereja terjemahan Kitab Suci bahasa Latin, Vulgata, maupun juga teladan dari semua orang kudus yang membuat perjumpaan dengan Kristus sebagai pusat kehidupan rohani mereka. Marilah kita perbarui usaha kita untuk memahami secara mendalam Sabda yang telah diberikan Kristus kepada Gereja-Nya: dengan demikian kita dapat mengarah kepada “tingginya mutu hidup Kristiani yang biasa-biasa saja” yang diusulkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada permulaan milenium Kristiani ketiga, yang menemukan pemeliharaan tetap dengan mendengarkan secara saksama Sabda Allah.

Hendaklah Alkitab mengilhami kegiatan pastoral

73. Sejalan dengan gagasan ini Sinode menyerukan suatu komitmen pastoral khusus dengan menekankan sentralitas Sabda Allah dalam kehidupan Gereja dan merekomendasikan untuk “meningkatkan ‘kerasulan Kitab Suci’ yang lebih besar, bukan dalam kesejajaran dengan bentuk-bentuk karya pastoral lain, melainkan sebagai sebuah sarana yang menjadikan Alkitab mengilhami semua karya pastoral.” Ini tidak berarti menambahkan beberapa pertemuan di paroki-paroki atau keuskupan-keuskupan, melainkan memeriksa kegiatan-kegiatan biasa komunitas-komunitas Kristiani, di paroki, perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan, untuk melihat apakah mereka sungguh berkomitmen dalam mengembangkan perjumpaan pribadi dengan Kristus, yang memberikan diri-Nya sendiri kepada kita dalam Sabda-Nya. Karena “tidak mengenal Kitab Suci sama dengan tidak mengenal Kristus,” maka membuat Alkitab sebagai inspirasi setiap usaha pastoral yang biasa atau luar biasa akan mengantar kepada kesadaran lebih besar mengenai pribadi Kristus, yang menyingkapkan Bapa dan merupakan kepenuhan dari wahyu ilahi.

Karena alasan ini, saya mendorong para Pastor dan umat beriman untuk mengakui pentingnya penekanan pada Alkitab: ini juga merupakan cara terbaik untuk menghadapi masalah-masalah pastoral tertentu yang dibahas dalam Sinode dan berkaitan dengan, misalnya, perkembangan sekte-sekte yang menyebarkan penafsiran Kitab Suci yang menyimpang dan menyeleweng. Di mana orang beriman tidak dibantu untuk mengenal Kitab Suci sesuai dengan iman Gereja dan berdasar pada Tradisinya yang hidup, kekosongan pastoral ini menjadi tanah yang subur bagi kenyataan-kenyataan seperti sekte-sekte untuk berakar. Pembekalan juga harus dilakukan untuk persiapan yang sesuai bagi para imam dan orang-orang awam yang dapat mengajar Umat Allah dalam pendekatan yang benar pada Kitab Suci.

 Terlebih lagi, seperti dikemukakan selama sidang-sidang Sinode, baiklah bahwa kegiatan pastoral juga mendukung tumbuhnya komunitas-komunitas kecil,” yang terbentuk dari keluarga-keluarga atau berbasis di paroki atau dikaitkan dengan bermacam gerakan gerejawi dan komunitas-komunitas baru,” yang dapat membantu mengembangkan pembinaan, doa dan pengetahuan Alkitab sesuai dengan iman Gereja.

Dimensi alkitabiah katekese

74. Suatu aspek penting karya pastoral Gereja, bila digunakan secara bijaksana, dapat membantu menemukan bahwa tempat sentral Sabda Allah adalah katekese, yang dalam berbagai bentuk dan tingkatannya harus menyertai secara terus-menerus perjalanan Umat Allah. Uraian Lukas (bdk. Luk. 24:13-35) mengenai para murid yang berjumpa dengan Yesus dalam perjalanan ke Emmaus, dalam arti tertentu, menampilkan model katekese yang berpusat pada “penjelasan mengenai Kitab Suci,” suatu penjelasan yang hanya dapat diberikan Kristus (bdk. Luk. 24:27-28), seperti Ia tunjukkan bahwa mereka mendapat kepenuhan dalam pribadiNya.257 Dengan demikian, pengharapan yang mengalahkan setiap kegagalan lahir kembali, dan membuat murid-murid itu sebagai saksi-saksi yang yakin dan dapat dipercaya dari Tuhan yang bangkit.

Pedoman Umum Katekese berisi petunjuk-petunjuk yang berharga bagi katekese yang diilhami Kitab Suci dan saya menganjurkan agar ini dijadikan acuan. Di sini saya ingin pertama-tama dan terutama menekankan bahwa katekese “harus diresapi oleh pemikiran, semangat dan pandangan kepada Alkitab dan Injil melalui kontak penuh perhatian dengan teks-teks itu sendiri; namun ini juga berarti mengingatkan bahwa katekese akan menjadi lebih kaya dan lebih efektif untuk membaca teks-teks dengan pikiran dan hati Gereja,” dan untuk mengambil inspirasi dari dua abad refleksi dan hidup Gereja. Suatu pengetahuan akan tokoh-tokoh Alkitab, peristiwa-peristiwa dan ucapan-ucapan terkenal harus didorong; ini juga bisa dikembangkan dengan hafalan yang cerdas dari beberapa perikop yang secara khusus menampilkan misteri Kristiani. Karya katekese selalu memerlukan pendekatan Kitab Suci dalam iman dan dalam Tradisi Gereja, sehingga kata-katanya dapat ditangkap seperti hidup, sama seperti Kristus sekarang hidup bilamana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya (bdk. Mat. 18:20). Katekese hendaklah mengomunikasikan dengan cara yang hidup sejarah keselamatan dan isi iman Gereja, dan juga memampukan setiap anggota umat beriman untuk menyadari bahwa sejarah itu juga merupakan bagian dari hidup mereka.

Di sini pentinglah untuk menekankan hubungan antara Kitab Suci dengan Katekismus Gereja Katolik, seperti dinyatakan dalam Pedoman Umum Katekese: “Kitab Suci sesungguhnya sebagai ‘sabda Allah yang ditulis di bawah inspirasi Roh Kudus,’ dan Katekismus Gereja Katolik, sebagai suatu ungkapan kontemporer (sezaman) yang penting dari Tradisi hidup Gereja serta suatu norma pasti bagi pengajaran iman, dipanggil, masing-masing dengan caranya sendiri  dan seturut wewenang khususnya, untuk menyuburkan katekese dalam Gereja masa kini.”

Pembinaan alkitabiah umat Kristiani

75. Dalam usaha untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh Sinode, yaitu penekanan yang semakin besar pada Alkitab dalam kegiatan pastoral Gereja, semua orang Kristiani, dan terutama para katekis, perlu menerima pembinaan yang layak. Hendaknya diberi perhatian kepada kerasulan Kitab Suci, yang merupakan sarana yang sangat berharga untuk maksud itu, seperti telah ditunjukkan oleh pengalaman Gereja. Para Bapa Sinode juga menyarankan, mungkin melalui penggunaan struktur-struktur akademis yang sudah ada, hendaknya dibangun pusat-pusat pembinaan di mana umat awam dan para misionaris dapat dilatih untuk memahami, menghayati dan mewartakan Sabda Allah. Juga, bila diperlukan, hendaknya didirikan institusi-institusi khusus bagi studi Alkitab untuk menjamin bahwa para ekseget memiliki pemahaman yang kokoh mengenai teologi dan suatu penghargaan yang selayaknya bagi konteks di mana mereka melaksanakan tugas misi mereka.

Kitab Suci dalam pertemuan gerejawi besar

76. Di antara berbagai prakarsa yang mungkin diambil, Sinode menyarankan bahwa dalam pertemuan-pertemuan entah itu tingkat keuskupan, nasional atau internasional, penekanan yang lebih besar hendaknya diberikan kepada pentingnya Sabda Allah, sikap mendengarkan yang penuh perhatian, dan pembacaan Alkitab dengan penuh iman dan doa. Dalam Kongres Ekaristi, entah nasional ataupun internasional, pada Hari Orang Muda Sedunia dan  pertemuan-pertemuan lain, sangat terpuji untuk memberi ruang lebih luas bagi perayaan Sabda dan momen-momen pembinaan yang diilhami oleh Alkitab.

Sabda Allah dan panggilan

77. Dalam menegaskan panggilan hakiki iman kepada hubungan lebih dalam dengan Kristus, Sabda Allah di tengah-tengah kita, Sinode juga menekankan bahwa Sabda ini memanggil masing-masing dari kita secara pribadi, dengan mengungkapkan bahwa hidup itu sendiri adalah panggilan dari Allah. Dengan kata lain, semakin kita memperdalam hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus, semakin kita menyadari bahwa Ia memanggil kita kepada kekudusan dalam dan melalui pilihan-pilihan definitif, yang dengannya kita menjawab kasih-Nya dalam kehidupan kita, dengan menerima tugas-tugas dan pelayanan yang membantu membangun Gereja. Itulah sebabnya mengapa Sinode sering mendorong semua orang Kristiani untuk berkembang dalam hubungan mereka dengan Sabda Allah, tidak hanya karena Baptis mereka, tetapi juga sesuai dengan panggilan mereka dalam berbagai status hidup. Di

sini kita menyentuh salah satu pokok yang sangat penting dalam ajaran Konsili Vatikan II, yang menegaskan bahwa setiap anggota umat beriman dipanggil kepada kekudusan sesuai status hidupnya sendiri. Panggilan kita kepada kekudusan diwahyukan dalam Kitab Suci: “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:44; 19:2; 20:7). Santo Paulus kemudian menunjukkan dasar Kristologisnya: dalam Kristus, Bapa “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya” (Ef. 1:4). Salam Paulus kepada saudara-saudarinya dalam komunitas Roma dapat dianggap seolah-olah ditujukan kepada masing-masing dari kita: “Kepada kamu sekalian, ... yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus. Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus!” (Rm 1:7).

a) Para pelayan tertahbis dan Sabda Allah

78. Saya ingin berbicara pertama-tama kepada para pelayan tertahbis Gereja, untuk mengingatkan mereka akan pernyataan Sinode bahwa “Sabda Allah sangat diperlukan dalam membentuk hati seorang gembala baik dan pelayan Sabda.” Para Uskup, imam, dan diakon hampir tidak bisa memikirkan bahwa mereka menghayati panggilan dan misi mereka terlepas dari komitmen yang menentukan dan yang diperbarui kepada kekudusan, yang salah satu pilarnya adalah kontak dengan Sabda Allah.

79. Kepada mereka yang dipanggil kepada episkopat, yang adalah para pewarta Sabda yang pertama dan yang paling berwenang, saya ingin mengulang kata-kata Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinode Pastores Gregis. Demi pemeliharaan dan kemajuan hidup rohaninya, Uskup haruslah selalu meletakkan pada “tempat pertama, bacaan dan perenungan mengenai Sabda Allah. Setiap uskup harus mempercayakan dirinya dan merasa dirinya dipercayakan ‘kepada Tuhan dan kepada Sabda kasih karunia-Nya yang berkuasa membangun dan menganugerahkan bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya’ (Kis. 20:32). Sebelum menjadi seorang penerus Sabda, Uskup, bersama dengan para imamnya dan juga seperti setiap anggota umat beriman, dan seperti Gereja sendiri, hendaklah menjadi pendengar Sabda. Ia hendaklah tinggal ‘dalam’ Sabda dan membiarkan diri dilindungi dan dipelihara olehnya, seperti oleh rahim ibu.” Kepada semua Saudara Uskup, saya menyarankan untuk sering mengadakan pembacaan pribadi dan studi Kitab Suci, dengan meneladan Maria, Virgo audiens (Perawan yang mendengarkan)dan Ratu Para Rasul.

80. Juga kepada para imam, saya ingin mengingatkan kata-kata Paus Yohanes Paulus II, yang dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinode Pastores Dabo Vobis, menekankan bahwa “imam itu pertama-tama pelayan Sabda Allah. Ia ditahbiskan serta diutus untuk mewartakan Kabar Baik tentang Kerajaan Allah kepada semua orang, untuk memanggil setiap pribadi kepada ketaatan iman, dan untuk membimbing umat beriman kepada pengertian yang makin mendalam akan misteri Allah yang diwahyukan dan disampaikan kepada kita dalam Kristus, dan kepada persekutuan makin erat di dalam misteri itu. Oleh karena itu, imam sendiri terutama wajib mengembangkan keakraban yang sangat pribadi dengan Sabda Allah. Tentu saja dibutuhkan pengetahuan segi-segi bahasa atau tafsirnya, tetapi itu belum mencukupi. Imam hendaknya mendekati Sabda Allah dengan hati yang sungguh terbuka dan dalam sikap doa, sehingga Sabda itu secara mendalam meresapi pikiran maupun perasaannya, dan menciptakan wawasan baru padanya – ‘pikiran Kristus’ (1Kor. 2:16).” Maka, kata-kata, pilihan-pilihan dan tingkah lakunya harus semakin menjadi pancaran, pewartaan dan kesaksian Injil; “hanya jika ia ‘tinggal’ dalam Sabda, imam menjadi murid sempurna Tuhan. Hanya dengan demikian ia akan mengetahui kebenaran dan akan benar-benar bebas.”

Dengan kata lain, panggilan imamat menuntut bahwa seseorang dikuduskan “dalam kebenaran.” Yesus menegaskan hal ini dengan jelas berkenaan dengan murid-murid-Nya: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:17-18). Para murid – dalam arti tertentu “ditarik ke dalam keakraban dengan Allah dengan dibenamkan ke dalam Sabda Allah. Bisa dikatakan bahwa Sabda Allah adalah pembasuhan yang memurnikan, daya cipta yang mengubah mereka dan membuat mereka menjadi milik Allah.” Karena Kristus sendiri adalah Sabda Allah yang telah menjadi manusia (Yoh. 1:14) – “Kebenaran” (Yoh. 14:6) – doa Yesus kepada Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran,” dalam makna yang paling dalam berarti: “Persatukanlah mereka dengan Aku, Kristus. Ikatlah mereka dengan-Ku. Tariklah mereka ke dalam Diri-Ku. Karena hanya ada satu imam Perjanjian Baru, Yesus Kristus sendiri.” Para imam perlu berkembang terus-menerus dalam kesadaran mereka akan kenyataan ini.

81. Saya juga ingin mengatakan mengenai tempat Sabda Allah dalam kehidupan mereka yang dipanggil kepada diakonat, tidak hanya sebagai langkah terakhir menuju tahbisan imamat, tetapi sebagai pelayanan tetap. Pedoman bagi Diakonat Permanen menyatakan bahwa “identitas teologis diakon dengan jelas memberi ciri spiritualitasnya yang khas, yang secara hakiki ditampilkan sebagai spiritualitas pelayanan. Model istimewa adalah Kristus sebagai pelayan, yang hidup secara total untuk melayani Allah, untuk kebaikan umat manusia.” Dari perspektif ini, orang dapat melihat bagaimana, dalam berbagai dimensi pelayanan diakonat, suatu “unsur khas spiritualitas diakonat adalah Sabda Allah, yang kepadanya diakon dipanggil untuk menjadi pewarta yang berwenang, dengan mempercayai apa yang ia wartakan, mengajarkan apa yang ia percaya, dan menghayati apa yang ia ajarkan.” Maka dari itu, saya menganjurkan supaya para diakon memelihara hidup mereka dengan membaca Kitab Suci dengan penuh iman, disertai studi dan doa. Mereka hendaklah diperkenalkan dengan “Kitab Suci dan penafsirannya yang benar; hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi; terutama penggunaan Kitab Suci dalam khotbah, katekese dan dalam kegiatan pastoral pada umumnya.”

b) Sabda Allah dan para calon tahbisan suci

82. Sinode memberi arti penting khusus terhadap peran penentu yang harus dimainkan Sabda Allah dalam hidup kerohanian para calon imam: “Calon imam harus belajar mencintai Sabda Allah. Maka, Kitab Suci hendaknya menjadi jiwa pendidikan teologi mereka, dan harus ditekankan saling keterkaitan yang sangat diperlukan antara eksegese, teologi, spiritualitas dan misi.” Mereka yang mencalonkan diri untuk imamat pelayanan dipanggil kepada hubungan pribadi mendalam dengan Sabda Allah, terutama dalam lectio divina, sehingga hubungan ini pada gilirannya akan memupuk panggilan mereka: dalam terang dan kekuatan Sabda Allahlah panggilan khusus seseorang dapat ditemukan dan dihargai, dikasihi dan diikuti, dan misi khas seseorang dilaksanakan, dengan memelihara hati dengan pikiran-pikiran Allah, sehingga iman, sebagai jawaban kita kepada Sabda, dapat menjadi kriteria baru untuk menilai dan mengevaluasi orang-orang dan benda-benda, peristiwa dan persoalan.

Perhatian kepada pembacaan Kitab Suci yang penuh doa demikian itu, hendaknya jangan menyebabkan dikotomi dengan cara apa pun terkait dengan studi eksegetis yang merupakan bagian dari pendidikan. Sinode menganjurkan agar para seminaris secara konkret dibantu untuk melihat hubungan antara studi Alkitab dan doa dengan Kitab Suci. Studi Kitab Suci harus mengantar kepada kesadaran yang semakin bertambah mengenai misteri wahyu ilahi dan mengembangkan suatu sikap jawaban penuh doa kepada Tuhan yang berbicara. Di pihak lain, hidup doa yang sejati memupuk dalam hati para calon kerinduan untuk semakin mengenal Allah yang telah mewahyukan diri-Nya dalam Sabda-Nya sebagai kasih yang tanpa batas. Maka dari itu, perhatian besar hendaklah diberikan untuk menjamin agar para seminaris selalu mengembangkan hubungan timbal balik antara studi dan doa dalam hidup mereka. Tujuan ini akan tercapai jika para calon diperkenalkan dengan studi Kitab Suci melalui metode-metode yang mendukung pendekatan menyeluruh ini.

c) Sabda Allah dan hidup bakti

83. Berkaitan dengan hidup bakti, Sinode pertama-tama mengingatkan bahwa Hidup Bakti “lahir dari mendengarkan Sabda Allah dan menerima Injil sebagai aturan hidupnya.” Hidup yang dibaktikan untuk mengikuti Kristus dalam kemurnian, kemiskinan dan ketaatan dengan demikian menjadi “’eksegese yang hidup’ dari Sabda Allah.” Roh Kudus, yang di dalam diri-Nya Kitab Suci dituliskan, adalah Roh yang sama yang menyinari “Sabda Allah dengan cahaya baru bagi para pendiri. Setiap kharisma dan setiap peraturan mengalir dari pada-Nya dan berusaha menjadi ungkapan dari-Nya,” dengan demikian membuka jalan-jalan baru bagi hidup Kristiani yang ditandai oleh radikalisme Injil.

Di sini saya akan menyebut bahwa tradisi besar hidup monastik telah selalu memandang meditasi Kitab Suci sebagai bagian hakiki dari spiritualitasnya yang khas, terutama dalam bentuk lectio divina. Sekarang ini juga, baik ungkapan-ungkapan lama maupun baru pembaktian diri yang khusus dipanggil untuk menjadi sekolah sejati kehidupan rohani, di mana Kitab Suci dapat dibaca sesuai dengan Roh Kudus dalam Gereja, demi kebaikan seluruh Umat Allah. Maka dari itu, Sinode menyarankan agar komunitas-komunitas Hidup Bakti selalu menyiapkan pembinaan yang kokoh dengan pembacaan Alkitab dengan penuh iman.

Sekali lagi saya ingin menggemakan perhatian dan rasa syukur yang diungkapkan Sinode berkenaan dengan bentuk-bentuk hidup kontemplatif yang melalui kharisma khususnya membaktikan sebagian besar harinya untuk meneladan Bunda Allah, yang dengan setia merenungkan kata-kata dan perbuatan-perbuatan Putranya (bdk. Luk. 2:19.51), dan Maria dari Betania, yang duduk di kaki Tuhan dan mendengarkan dengan penuh perhatian kata-kata-Nya (bdk. Luk. 10:38). Saya mengingat secara khusus para rahib dan rubiah, yang berkat keterpisahannya dari dunia menjadi lebih dekat bersatu dengan Kristus, jantung dunia. Lebih dari sebelumnya Gereja membutuhkan saksi-saksi pria dan wanita yang memutuskan untuk “tidak mengutamakan sesuatu melebihi kasih Kristus.” Dunia masa kini kerap kali terlalu terperangkap dalam kegiatan lahiriah dan berisiko kehilangan arah. Pria dan wanita kontemplatif, melalui hidup doa mereka, dengan penuh perhatian mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah, mengingatkan kita, bahwa orang tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah (bdk. Mat. 4:4). Maka, semua kaum beriman hendaknya menyadari dengan jelas bahwa bentuk hidup demikian “menunjukkan kepada dunia sekarang apa yang paling penting, sungguh, satu-satunya hal yang dibutuhkan: ada alasan pokok yang membuat hidup layak dihayati dan itu adalah Allah dan kasih-Nya yang tak terpahami.”



d) Sabda Allah dan kaum beriman awam

84. Sinode kerap kali berbicara mengenai kaum awam dan berterima kasih kepada mereka atas kegiatan murah hati mereka dalam menyebarkan Injil pada berbagai situasi kehidupan seharihari, dalam pekerjaan dan di sekolah-sekolah, dalam keluarga dan pendidikan. Tanggung jawab ini, yang berakar pada Baptis, perlu dikembangkan melalui cara hidup Kristiani yang semakin disadari yang mampu “mempertanggungjawabkan pengharapan” dalam diri kita (bdk. 1Ptr 3:15). Dalam Injil Matius, Yesus menunjukkan bahwa “ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan” (13:38). Kata-kata ini secara khusus diterapkan kepada kaum awam Kristiani, yang menghayati panggilan khusus mereka kepada kesucian dengan hidup dalam Roh yang diungkapkan “secara khusus melalui keterlibatan mereka dalam hal-hal duniawi dan partisipasi mereka dalam kegiatan-kegiatan duniawi.” Kaum awam perlu dilatih untuk mengenal kehendak Allah melalui keakraban dengan Sabda-Nya, membaca dan mempelajarinya di dalam Gereja di bawah bimbingan para gembala yang sah. Mereka dapat menerima latihan ini di sekolah-sekolah spiritualitas gerejawi yang besar, yang kesemuanya didasarkan pada Kitab Suci. Bilamana mungkin, keuskupan-keuskupan sendiri hendaknyalah menyediakan kesempatan pembinaan berkelanjutan bagi kaum awam yang diberi tanggung jawab gerejawi tertentu.

Lihat juga: Motu Proprio APERUIT ILLIS

e) Sabda Allah, perkawinan dan keluarga

85. Sinode juga merasa perlu menekankan hubungan antara Sabda Allah, perkawinan dan keluarga Kristiani. Tentu saja, “dengan mewartakan Sabda Allah, Gereja memaparkan kepada keluarga Kristen jatidirinya yang sesungguhnya, sebagaimana adanya dan bagaimana seharusnya menurut Rancangan Tuhan.” Akibatnya, hendaknya tidak pernah boleh dilupakan bahwa Sabda Allah adalah asal mula perkawinan (bdk. Kej. 2:24), dan bahwa Yesus sendiri menghendaki perkawinan sebagai salah satu lembaga dari Kerajaan-Nya (bdk. Mat. 19:4-8), dengan mengangkat kepada martabat sakramen apa yang tertulis dalam kodrat manusia sejak awal mula. “Dalam perayaan sakramen, seorang pria dan seorang wanita mengucapkan kata-kata kenabian dengan pemberian diri timbal balik, menjadi ‘satu daging’, tanda dari misteri persatuan Kristus dengan Gereja (bdk. Ef. 5:31-32).”285 Kesetiaan kepada Sabda Allah menuntun kita untuk menunjukkan bahwa pada masa kini institusi itu dalam banyak cara diserang oleh mentalitas zaman sekarang. Berhadapan dengan kekacauan yang tersebar dalam lingkup afektivitas, dan kebangkitan cara berpikir yang meremehkan tubuh manusia dan perbedaan seksual, Sabda Allah menegaskan kebaikan asli manusia, yang diciptakan sebagai pria dan wanita dan dipanggil kepada kasih yang setia, timbal balik dan berbuah.

Misteri besar perkawinan adalah sumber tanggung jawab hakiki orangtua terhadap anak-anak mereka. Bagian dari kedudukan sebagai orangtua sejati adalah untuk meneruskan dan memberi kesaksian akan makna hidup dalam Kristus: melalui kesetiaan mereka dan kesatuan hidup keluarga, pasangan suami istri adalah yang pertama mewartakan Sabda Allah kepada anak-anak mereka. Komunitas gerejawi harus mendukung dan membantu mereka mendorong untuk mengadakan doa keluarga, mendengarkan Sabda Allah dengan penuh perhatian, dan memperdalam pengetahuan tentang Kitab Suci. Untuk tujuan ini Sinode mendesak agar setiap rumah tangga memiliki Kitab Sucinya, menyimpannya di tempat yang pantas dan menggunakannya untuk bacaan dan doa. Bantuan apa pun yang dibutuhkan dalam hal ini dapat diberikan oleh para imam, diakon dan awam yang dipersiapkan dengan baik. Sinode juga menganjurkan pembentukan komunitas-komunitas kecil dalam keluarga-keluarga, di mana dapat dikembangkan doa-doa dan renungan bersama atas perikop-perikop Kitab Suci. Pasangan-pasangan seharusnya juga ingat bahwa “Sabda Allah adalah bantuan berharga di tengah kesulitan yang muncul dalam perkawinan dan kehidupan keluarga.”

Di sini saya ingin menyoroti rekomendasi Sinode mengenai peranan wanita dalam hubungan dengan Sabda Allah. Saat ini, lebih daripada waktu silam, “kecerdasan perempuan,” istilah yang digunakan Yohanes Paulus II, telah memberi sumbangan besar kepada pemahaman Kitab Suci dan seluruh hidup Gereja, dan ini sekarang juga dalam hal studi Alkitab. Sinode menaruh perhatian khusus kepada peranan penting yang dimainkan wanita dalam keluarga, pendidikan, katekese dan penerusan nilai-nilai. “Mereka memiliki kemampuan untuk membimbing orang untuk mendengarkan Sabda Allah, untuk memiliki hubungan pribadi dengan Allah dan untuk menunjukkan makna pengampunan dan sharing Injili.” Mereka adalah juga pembawa pesan kasih, model belas kasih dan pembawa damai; mereka menyampaikan kehangatan dan kemanusiaan dalam dunia yang terlalu sering menghakimi orang menurut kriteria kejam eksploitasi dan cari untung semata.

Bacaan Kitab Suci yang penuh doa dan “lectio divina”

86. Sinode kerap kali menekankan perlunya pendekatan penuh doa kepada teks suci sebagai unsur dasariah dalam kehidupan rohani setiap kaum beriman, dalam berbagai macam pelayanan dan status hidup, dengan referensi khusus kepada lectio divina. Sabda Allah adalah dasar dari semua spiritualitas Kristiani sejati. Karena itu, para Bapa Sinode menegaskan kembali kata-kata Konstitusi Dogmatis Dei Verbum: “Hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan Sabda Ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui prakarsa-prakarsa yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja, dewasa ini tersebar di mana-mana dengan amat baik.

Namun, hendaklah mereka ingat bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci.” Dengan demikian, Konsili berusaha melanjutkan tradisi patristik agung, yang selalu menyarankan untuk mendekati Kitab Suci dalam dialog dengan Allah. Seperti dikatakan Santo Agustinus: “Doamu adalah kata-kata yang engkau ucapkan kepada Allah. Bila engkau membaca Alkitab, Allah berbicara kepadamu, bila engkau berdoa, engkau berbicara kepada Allah.” Origenes, salah seorang guru agung dalam hal membaca Alkitab, menekankan bahwa pemahaman Kitab Suci menuntut, lebih daripada studi, tetapi keakraban dengan Kristus dan doa. Origenes yakin bahwa cara terbaik untuk mengenal Allah adalah melalui kasih, dan bahwa tidak ada scientia Christi (pengenalan akan Kristus) sejati tanpa bertumbuh dalam kasih-Nya. Dalam Suratnya kepada Gregorius, seorang ahli teologi agung dari Aleksandria, ia memberi nasihat demikian: “Baktikanlah dirimu pada pembacaan Kitab Suci ilahi; lakukanlah dengan tekun. Lakukan pembacaanmu dengan tujuan untuk mempercayai dan menyenangkan Allah. Jika selama lectio divina engkau mendapati pintu tertutup, ketuklah, engkau akan dibukakan oleh sang penjaga. Tentang hal itu Yesus telah berkata ‘Penjaga pintu akan membukanya baginya’. Dengan dirimu bertindak demikian terhadap lectio divina, carilah dengan tekun dan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Allah makna Kitab ilahi, yang tersembunyi dalam segala kepenuhan di dalamnya. Namun, engkau janganlah puas hanya dengan mengetuk dan mencari: untuk memahami hal-hal tentang Allah, apa yang secara mutlak diperlukan adalah oratio. Karena alasan itu, Sang Penebus tidak hanya berkata kepada kita: ‘Carilah dan engkau akan mendapat’, dan ‘Ketuklah dan akan dibukakan bagimu’, tetapi Ia juga menambahkan, ‘Mintalah dan engkau akan menerima’.”

Namun, dalam hal ini orang harus menghindari risiko pendekatan individualistis, dan ingat bahwa Sabda Allah diberikan kepada kita justru untuk membangun persekutuan, untuk mempersatukan kita dalam Kebenaran sepanjang perjalanan kita kepada Allah. Sementara itu adalah Sabda yang ditujukan kepada masing-masing kita secara pribadi, Sabda itu juga yang membangun komunitas, yang membangun Gereja. Karena itu teks suci harus selalu didekati dalam persekutuan Gereja. Maka, “membaca Kitab Suci secara bersama sangatlah penting, karena subjek yang hidup dalam Kitab Suci adalah Umat Allah, itu adalah Gereja. Kitab Suci bukanlah milik masa lalu, karena subjeknya, Umat Allah yang diilhami oleh Allah sendiri, adalah selalu sama, dan karenanya Sabda itu selalu hidup dalam subjek yang hidup. Dengan demikian, perlulah membaca dan mengalami Kitab Suci dalam persekutuan dengan Gereja, yaitu, dengan semua saksi-saksi agung Sabda itu, mulai dari para Bapa paling awal hingga para Kudus zaman kita, hingga Magisterium sekarang.”

Karena alasan ini, tempat istimewa bagi pembacaan Kitab Suci penuh doa adalah liturgi dan secara khusus Ekaristi. Di dalamnya, ketika kita merayakan Tubuh dan Darah Kristus dalam sakramen, Sabda sendiri hadir dan berkarya di tengah kita. Dalam arti tertentu pembacaan Alkitab yang penuh doa, secara pribadi maupun bersama-sama, harus selalu dihubungkan dengan perayaan Ekaristi. Seperti halnya adorasi Ekaristi mempersiapkan,  menyertai dan mengikuti liturgi Ekaristi, demikian juga pembacaan penuh doa, pribadi dan bersama, menyiapkan, menyertai dan memperdalam apa yang dirayakan Gereja ketika ia mewartakan Sabda dalam konteks liturgi. Dengan menghubungkan lectio dan liturgi sedemikian erat, kita dapat memahami secara lebih baik kriteria yang akan menuntun praktik ini di bidang reksa pastoral dan dalam kehidupan rohani Umat Allah.

87. Dokumen-dokumen yang dikeluarkan sebelum dan selama Sinode menyebut sejumlah metode bagi suatu pendekatan Kitab Suci yang penuh iman dan berbuah. Sekarang perhatian terbesar ditujukan kepada lectio divina, yang sungguh “mampu membuka kekayaan Sabda Allah kepada umat beriman, tetapi juga menghasilkan perjumpaan dengan Kristus, Sabda Allah yang hidup.” Di sini saya ingin melihat kembali langkah-langkah dasar prosedur ini. Dibuka dengan pembacaan (lectio) teks, yang mengantar kepada keinginan untuk memahami isi yang sesungguhnya: Apa yang dikatakan teks alkitabiah sendiri? Tanpa momen ini, ada resiko bahwa teks akan menjadi pra-teks karena tidak pernah bergerak melampaui gagasan-gagasan kita sendiri. Kemudian meditasi (meditatio), yang pertanyaannya adalah: apa yang dikatakan teks alkitabiah kepada kita? Di sini, setiap pribadi, secara individual tetapi juga sebagai anggota komunitas, harus membiarkan diri disentuh dan ditantang, karena ini bukan tentang memikirkan Sabda yang diucapkan di masa lalu, melainkan di masa sekarang. Lalu dilanjutkan saat doa (oratio), yang mengajukan pertanyaan: apa yang kita katakan kepada Tuhan sebagai jawaban atas Sabda-Nya? Doa, sebagai permintaan, perantaraan, terima kasih dan pujian, adalah jalan utama yang dengan itu Sabda mengubah diri kita. Akhirnya, lectio divina ditutup dengan  kontemplasi (contemplatio), yang melaluinya kita menganggap sebagai karunia dari Allah cara pandang-Nya sendiri dalam menilai kenyataan, dan bertanya kepada diri kita sendiri apakah pertobatan pikiran, hati dan kehidupan yang Allah minta dari diri kita? Dalam surat kepada jemaat di Roma, Santo Paulus berkata kepada kita: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (12:2). Kontemplasi bertujuan menciptakan dalam diri kita suatu pandangan yang sungguh bijak dan tajam atas kenyataan, seperti Allah melihatnya, dan bertujuan membentuk dalam diri kita “pikiran Kristus” (1Kor. 2:16). Sabda Allah nampak di sini sebagai kriteria untuk disermen: Sabda itu “hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12). Kita hendaknya juga mengingat bahwa proses lectio divina tidak berakhir sampai kita mencapai tindakan (actio), yang menggerakkan umat beriman untuk membuat hidupnya sebagai karunia bagi orang lain dalam cinta kasih.

Kita menemukan sintesis dan pemenuhan sempurna dari proses ini dalam diri Bunda Allah. Bagi setiap umat beriman, Maria adalah model dalam menerima Sabda Allah dengan taat, karena ia “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk. 2:19; bdk. 2:1), ia menemukan ikatan mendalam yang mempersatukan – dalam rencana besar Allah, kejadian, tindakan dan hal-hal yang nampaknya terpisah-pisah.

Saya juga ingin menggemakan apa yang diusulkan Sinode mengenai pentingnya membaca Kitab Suci secara pribadi, juga sebagai suatu praktik yang memungkinkan, sesuai dengan persyaratan biasa dari Gereja, untuk mendapat indulgensi, entah untuk diri sendiri entah untuk kaum beriman yang sudah meninggal. Praktik indulgensi mencakup ajaran tentang pahala Kristus yang tak terbatas – bersama Gereja, sebagai pelayan penebusan, menyalurkan dan menerapkan, tetapi itu juga mencakup persekutuan para Kudus, dan itu mengajarkan bahwa “tingkat apa pun persatuan kita dengan Kristus, kita dipersatukan satu dengan yang lain, dan hidup adikodrati masing-masing dari kita dapat bermanfaat bagi yang lain.” Dari sudut pandang ini, bacaan Sabda Allah menopang kita dalam perjalanan kita dari penebusan dosa dan pertobatan, memampukan kita memperdalam perasaan ikut memiliki Gereja, dan membantu kita untuk berkembang dalam keakraban dengan Allah. Santo Ambrosius mengatakan: “Jika kita mengambil Kitab Suci dalam iman dan membacanya bersama Gereja, kita kembali berjalan bersama Allah di Taman Eden.”

Sabda Allah dan doa Maria

88. Sadar akan ikatan tak terpisahkan antara Sabda Allah dan Maria dari Nazaret, bersama para Bapa Sinode, saya mendesak agar doa Maria digalakkan di antara kaum beriman, terutama dalam kehidupan keluarga, karena doa itu merupakan bantuan untuk merenungkan misteri-misteri suci yang terdapat dalam Kitab Suci. Bantuan yang sangat bermanfaat, misalnya, pendarasan Rosario Suci secara sendiri atau bersama, yang merenungkan misteri-misteri kehidupan Kristus dalam persatuan dengan Maria, dan yang oleh Paus Yohanes Paulus II ingin diperkaya dengan misteri-misteri terang. Tepatlah bahwa penyebutan setiap misteri disertai oleh teks singkat Kitab Suci yang sesuai dengan misteri itu, agar menjadi dorongan untuk mengingat perikop alkitabiah singkat yang relevan dengan misteri kehidupan Kristus.

Sinode juga menganjurkan agar umat beriman didorong untuk mendoakan doa Angelus. Doa ini, sederhana tetapi mendalam, memungkinkan kita “mengenangkan setiap hari misteri Penjelmaan Sabda.” Tepatlah bahwa Umat Allah, keluargakeluarga dan komunitas-komunitas Hidup Bakti, setia dengan doa Maria ini dan secara tradisional mendoakan setiap pagi, siang hari dan malam hari. Dalam doa Angelus kita mohon agar Allah mengabulkan bahwa melalui perantaraan Maria, kita dapat meniru dia dalam melaksanakan kehendak-Nya dan dalam menyambut Sabda-Nya dalam hidup kita. Praktik ini dapat membantu kita untuk berkembang dalam suatu kasih sejati kepada misteri penjelmaan.

Doa kuno orang Kristiani Timur yang merenungkan seluruh sejarah keselamatan dalam terang Theotokos, Bunda Allah, juga layak dikenal, dihargai dan digunakan secara luas. Di sini pantas disebutkan doa-doa Akathistos dan Paraklesis. Doa-doa madah pujian ini, yang dinyanyikan dalam bentuk litani dan diperdalam dalam iman Gereja dan referensi Kitab Suci, membantu kaum beriman merenungkan misteri Kristus dalam persatuan dengan Maria. Terutama, madah hormat Akathistos kepada Bunda Allah –disebut demikian karena dinyanyikan sambil berdiri –menunjukkan salah satu ungkapan tertinggi penghormatan Maria dari tradisi Byzantium. Berdoa dengan kata-kata ini membuka lebar-lebar jiwa dan membawanya kepada kedamaian yang datang dari atas, dari Allah, pada kedamaian yang adalah Kristus sendiri, lahir dari Maria untuk keselamatan kita.

Sabda Allah dan Tanah Suci

89. Dengan mengingat Sabda Allah yang menjadi daging dalam rahim Maria dari Nazaret, hati kita sekarang mengarah ke tanah di mana misteri penyelamatan kita terpenuhi, dan dari mana Sabda Allah tersebar luas sampai ke ujung-ujung bumi. Karena kuasa Roh Kudus, Sabda menjadi daging dalam waktu dan tempat tertentu, pada sebidang tanah di ujung perbatasan Kekaisaran Romawi. Oleh karena itu, semakin kita menghargai universalitas dan keunikan pribadi Kristus, semakin kita memandang dengan penuh syukur ke tanah di mana Yesus dilahirkan, dimana Ia hidup dan di mana Ia menyerahkan hidup-Nya bagi kita. Batu-batu yang di atasnya Penebus kita berjalan tetap penuh dengan kenangan akan Dia dan terus “meneriakkan” Kabar Gembira. Karena alasan ini, para Bapa Sinode mengingatkan kita kepada ungkapan yang menggembirakan  yang menyebut Tanah Suci sebagai “Injil Kelima.” Betapa pentingnya bahwa di tempat-tempat itu ada komunitas-komunitas Kristiani, meskipun mengalami sejumlah kesulitan! Sinode para Uskup mengungkapkan kedekatan yang mendalam kepada semua orang Kristiani yang bermukim di tanah Yesus dan memberi kesaksian iman mereka dalam Dia yang Bangkit. Orang-orang Kristiani di sana dipanggil untuk melayani tidak hanya sebagai “mercusuar iman bagi Gereja universal, tetapi juga sebagai ragi keharmonisan, kebijaksanaan dan keseimbangan dalam kehidupan sebuah masyarakat yang secara tradisional adalah dan akan selalu tetap pluralistis, multietnik dan multiagama.”

Tanah Suci sekarang tetap menjadi tujuan ziarah bagi umat Kristiani, tempat doa dan pertobatan, seperti para pengarang seperti Santo Hieronimus telah memberi kesaksiannya di zaman kuno. Semakin kita mengarahkan mata dan hati kita kepada Yerusalem di bumi, semakin dambaan kita bagi Yerusalem surgawi, tujuan sejati setiap peziarahan, bersama dambaan kita yang lebih besar bahwa nama Yesus, satu-satunya nama yang membawa keselamatan, diakui oleh semua orang (bdk. Kis 4:12).

| BERSAMBUNG BAGIAN III TERAKHIR |