Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Pemilu 1971. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu 1971. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2022

1971 Pembangunan dan Pembaruan

 


Bambang Kussriyanto

Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970

 


BAB I

GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN

(1970-1979)

Kemajuan yang sejati terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI, Populorum Progressio 86)

Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1971

 

Di Mesir pembangunan bendungan Aswan berhasil diselesaikan pada pertengahan tahun 1970, dan secara resmi diopersikan pada 15 Januari  1971. Dengan keberhasilan pembangunan bendungan Aswan banjir  tahunan dari Sungai Nil dapat dikendalikan. Selain itu bendungan ini juga dimaksudkan untuk pembangkit listrik. Air dimasukkan kedalam Danau Nasser yang panjangnya 500 km dan merupakan reservoir terbesar keenam di dunia. Selanjutnya dibuat saluran irigasi untuk pertanian di sekitarnya. Sukses pembangunan bendungan Aswan kemudian menjadi inspirasi pembangunan bendungan-bendungan lain di dunia, termasuk di Indonesia.

Setidaknya sekali setahun, umat kristiani diingatkan pada doa Yesus untuk para muridNya  “Supaya mereka menjadi satu... agar dunia percaya”  (Yoh 17:21). Dengan menyapa hati mereka, umat kristiani diajak berdoa untuk kesatuan di antara mereka. Kesatuan di antara rukun-rukun umat, paroki-paroki, gereja-gereja, di seluruh dunia.  Bertukar mimbar. Menyelenggarakan perayaan dan doa-doa ekumenis antara 18-25 Januari, sekitar peringatan St Petrus dan St Paulus. Untuk perayaan tahunan, para mitra ekumenis di daerah-daerah setempat tertentu dianjurkan melakukan perjumpaan untuk menyusun teks ibadat dan tema biblis. Suatu tim mewakili Dewan Gereja Dunia dan Gereja Katolik kemudian menyempurnakan tema dan teks doa usulan untuk dibagikan ke seluruh dunia demi kesatuan yang tampak seluruh umat kristiani.  Semakin banyak keuskupan dan paroki-paroki di dalamnya di Indonesia ikut serta melaksanakannya.

Setiap kali paroki baru didirikan hal itu merupakan kabar sukacita bagi Gereja sebab dalam struktur kuno itu kesatuan umat Allah ditampakkan, terutama dalam perayaan Ekaristi yang diselenggarakan pada hari Minggu. Pada awal tahun 1971 paroki Kare Makassar didirikan sebagai pemekaran dari paroki Katedral Makassar.

Di Keuskupan Malang pada tahun 1971 didirikan paroki Kepanjen dan paroki Lodalem (keduanya pemekaran dari paroki Purworejo di Malang Selatan).  Umat Katolik di Keuskupan Malang pada tahun 1971 sekitar 28.000 jiwa, tersebar di 23 paroki  di bagian selatan Jawa Timur (hingga jazirah Blambangan) dan Pulau Madura, dilayani seorang imam diosesan dan 58 imam religius (khususnya Ordo Karmel, O.Carm). 

Dua paroki baru juga didirikan pada 1971 di Keuskupan Surabaya yang berada di Jawa Timur sebelah barat dan utara, yaitu paroki Jombang (pemekaran dari paroki Mojokerto) dan paroki Ngawi (pemekaran dari paroki Madiun). Paroki-paroki lain yang muncul pada 1971 adalah Paroki Basiem (Keuskupan Agats Asmat), paroki Melolo (Keuskupan Weetebula), paroki Obano (Keuskupan  Jayapura), paroki Boanio (Keuskupan Agung Ende), paroki Nela (Keuskupan Atambua), paroki Pemalang (pemekaran dari paroki Pekalongan, Keuskupan Purworejo), dan paroki Maria Fatima Magelang (pemekaran dari paroki Ignatius Magelang).

Pendirian paroki-paroki baru disemangati ajaran Konsili Vatikan II mengenai partisipasi atau peran serta aktif dalam hidup Gereja, yang seharusnya terlaksana dalam paroki. “Dari harta-kekayaan rohani Gereja kaum awam, seperti semua orang beriman kristiani, berhak menerima secara melimpah melalui pelayanan para Gembala hirarkis, terutama bantuan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan, seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Sekadar ilmu-pengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka para awam mempunyai kesempatan, bahkan kadangkadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja. Bila itu terjadi, hendaklah itu dijalankan melalui lembaga-lembaga yang didirikan Gereja untuk itu, dan selalu dengan jujur, tegas dan bijaksana, dengan hormat dan cinta kasih terhadap mereka, yang karena tugas suci bertindak atas nama Kristus.

Hendaklah para awam, seperti semua orang beriman kristiani, mengikuti teladan Kristus, yang dengan ketaatan-Nya sampai mati, membuka jalan yang membahagiakan bagi semua orang, jalan kebebasan anak-anak Allah. Hendaklah mereka dengan ketaatan kristiani bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh para Gembala hirarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin dalam Gereja. Dan janganlah mereka lupa mendoakan di hadirat Allah para Pemimpin mereka, – sebab para Pemimpin itu berjaga karena akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa kita, – supaya itu mereka jalankan dengan gembira dan tanpa keluh kesah (lih. Ibr. 13:1).

Sebaliknya, hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah nasihat mereka yang bijaksana dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh kepercayaan diserahkan kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada Gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa, usul-usul serta keinginan-keinginan yang diajukan oleh kaum awam. Hendaklah para Gembala dengan saksama mengakui kebebasan sewajarnya, yang ada pada semua warga masyarakat duniawi.

Dari pergaulan persaudaraan antara kaum awam dan para Gembala itu, boleh diharapkan banyak manfaat bagi Gereja. Sebab dengan demikian dalam para awam diteguhkan kesadaran bertanggungjawab dan ditingkatkan semangat. Lagi pula tenaga kaum awam lebih mudah digabungkan dengan karya para Gembala. Sebaliknya, dibantu oleh pengalaman para awam, para Gembala dapat mengadakan penegasan yang lebih jelas dan tepat dalam perkara-perkara rohani maupun jasmani. Dengan demikian seluruh Gereja, dikukuhkan oleh semua anggotanya akan menunaikan secara lebih tepat guna perutusannya demi kehidupan dunia.

Setiap orang awam wajib menjadi saksi kebangkitan dan kehidupan Tuhan Yesus serta menjadi tanda Allah yang hidup di hadapan dunia. Semua serentak dan masing-masing untuk bagiannya sendiri wajib memperkaya dunia dengan buah-buah rohani (lih. Gal. 5:22), dan menyebarkan di dalamnya semangat, yang menjiwai mereka yang miskin, lemah-lembut dan cinta damai, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan (lih. Mat. 5:3-9). Pendek kata: ‘Seperti jiwa dalam tubuh, begitulah umat kristiani dalam dunia’ “ (LG 37-38).

25 Januari 1971 suatu junta militer pimpinan Idi Amin merebut kekuasaan di Uganda. Paus Paulus VI belum lama berselang pada Agustus 1969 mengunjungi Uganda dan diterima Presiden Milton Obote dan isterinya, Miria. Kunjungan itu seperti lelucon indah. Pada bulan Maret 1969 Uskup Agung Kampala, Mgr Emmanuel Nsubuga, mengunjungi Vatican dalam rangka menggalang dana untuk membangun tempat ziarah Namugongo. Ia membawa sebuah kantong yang disebut kikapu untuk wadah uang. Ia menghadap Paus Paulus VI dan mohon agar Paus memberkati kikapu yang dibawanya. Ternyata Paus tidak hanya memberkati kikapu itu tetapi juga memasukkan banyak uang di dalamnya. Sempat bengong sesaat Mgr Emmanuel Nsubuga mengucapkan basa-basi mengundang Paus untuk peletakan batu pertama. Paus hanya senyum-senyum saja.  Pada 19 Maret 1969 dalam pesta peringatan St Yosef,  Paus Paulus VI membuat kejutan, memutuskan akan mengunjungi Uganda. Itu akan merupakan kunjungan Paus di Afrika yang pertama dalam sejarah. Kalangan Vatikan menentang dengan keras rencana kunjungan Paus dengan alasan keamanan. Tetapi Paus Paulus VI tetap berkunjung ke Uganda menggunakan pesawat East African Airways Super VC10 31 Juli-2 Agustus 1969 dengan aman, diterima secara meriah oleh rakyat Uganda,  tanpa insiden; ia tidak diterkam singa, tidak kena malaria, dan tidak mengalami ancaman bahaya.  Umat katolik di Uganda merupakan 38% dari total penduduk 46,2 juta. 42% beragama Kristen, utamanya Anglikan (33%). Sekitar 14% adalam muslim.

Menurut sensus penduduk tahun 1971 jumlah umat kristiani seluruhnya di Indonesia mendekati 10 juta atau 7.4 % dari total penduduk.  Jumlah umat katolik 2.692.215 jiwa atau  2,3%; umat kristen protestan 6.049.491 atau 5,1%. Mereka hidup bersama berdampingan dengan umat  Hindu 2.296.299 atau 1,9%; umat  Buddha 1.092.314 atau  0,9%; pengikut Konghucu  972.133 atau 0,8%, umat kepercayaan lainnya 1.685.902 atau 1.4% dan mayoritas umat  Islam 103.579.496 atau 87.5%.

Pada waktu berkunjung di Indonesia, dalam upacara penyambutan di Bandara Halim Perdana Kusuma 3 Desember 1970, pidato Paus Paulus VI mendorong semangat perkembangan para imam bumiputera:   Saya senang di sini dapat berdampingan dengan saudara setumpah darah Anda: Kardinal Darmoyuwono, yang memegang wewenang tertinggi Gereja Katolik di negeri ini. Selain dia juga beberapa Uskup lain putera negeri ini, dan sejumlah imam bumiputera yang semakin bertambah jumlahnya dan menyiapkan diri untuk menggantikan para misionaris. Para misionaris ini sudah memberikan segalanya dengan murah hati demi membantu bangsa Indonesia di semua bidang yang dapat mereka jangkau; mereka hidup seperti Anda, mengikuti adat kebiasaan dan kepentingan Anda. Balasan terbaik yang dapat diberikan kepada mereka ini yang memandang Gereja Katolik seperti tatanan Eropa adalah mewujudkan Gereja yang katolik, artinya yang universal; di mana pun Gereja menunjukkan kenyataan seperti yang Anda alami di sini. Hormat dan penghargaan kami kepada para misionaris yang telah membaktikan diri tersebar di seluruh negeri kepulauan ini. Salam yang sama hangatnya kepada generasi imam dan Uskup putera asli Indonesia yang semakin bertambah jumlahnya.

Para Uskup pun mengarahkan perhatian pada seminari-seminari. Pendidikan para calon imam di seminari-seminari berangsur-angsur diselaraskan dengan Dekrit Konsili Vatikan Optatam Totius (OT) tentang pembinaan Imam, dan  juga bertalian dengan Dekrit Presbiterorum Ordinis (PO) tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, dengan  menekankan aspek pastoral.  Tradisi pendidikan calon imam sejak Konsili Trente yang meletakkan preferensi pada pembinaan spiritual, moral dan intelektual sudah lama ditengarai membentuk pribadi imam-imam yang feodalis dan institusionalis dan agak diubah dengan berkembangnya gereja-gereja misi pada awal Abad XX. Surat Apostolik Maximum Illuds (1919) dari Paus Benediktus XV menganjurkan seminari-seminari didirikan di tanah misi, mendidik putra-putra daerah untuk gereja setempat. Ensiklik Rerum Ecclesiae (1926) dari Paus Pius XI memberi petunjuk agar pendidikan para calon imam dilakukan selengkap-lengkapnya dan jangan dipersingkat. Seolah menanggapi kedua dokumen itu Mgr Willekens SJ telah membuka Seminari Tinggi St Paulus di Muntilan pada 1939. Para Uskup juga membuka Seminari Tinggi dan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) di tempat lain, antara lain Seminari Tinggi St Paulus Ledalero (1937), Seminari Tinggi Hati Kudus Yesus Pineleng (1954), Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret (1955),  STFT St Yohanes Pematang Siantar (1956),  Seminari Tinggi Suryagung Bumi Bandung (1969),  STF Driyarkara Jakarta (1969), STFT Fajar Timur Abepura (1969), dan STFT Widya Sasana Malang (1970). Dalam Ensiklik Princeps Pastorum (1959) Paus Yohanes XXIII memberi petunjuk agar pendidikan calon imam dilaksanakan lebih terbuka agar mereka dapat terlibat dengan kehidupan masyarakatnya. Disadari bahwa keberhasilan menerapkan semangat dan hasil-hasil arahan Konsili Vatikan II akan sangat tergantung pada jumlah dan mutu imam-imam generasi baru yang akan dihasilkan seminari-seminari ini.

Suatu penelitian memberikan gambaran dinamika mahasiswa Seminari Tinggi di Indonesia hingga awal 1970-an.

 

Periode

Masuk

Ditahbis

%

Keluar

%

1953-1964

536

301

56.2

235

43.8

1965-1970

535

262

49

273

51

 

Sementara diperlukan struktur pastoral bagi para imam yang dihasilkan agar dapat melayani umat lebih efektif, di pihak lain perlu juga mengembangkan peran serta awam untuk membantu para imam dalam bidang-bidang pelayanan yang dapat didelegasikan kepada mereka. Sehubungan dengan itu pendidikan para calon imam juga perlu mengembangkan gaya kepemimpinan yang baru, gaya kepemimpinan yang transformatif dan partisipatif.

Dari Dinamika Moneter, Politik dan Seruan Keadilan

Bursa efek NASDAQ atau National Association of Securities Dealers Automated Quotations didirikan pada 4 Februar i 1971. Berbeda dari bursa efek yang sudah ada lebih dulu pada waktu itu, NASDAQ tidak punya lantai bursa dan surat berharga tidak ditawarkan atau dibeli lewat petugas bursa. Di bursa NASDAQ transaksi dilakukan menggunakan komputer. Perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di NASDAQ terutama perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dan terkait komputer. NASDAQ nantinya akan berkembang menjadi bursa efek terbesa di dunia setelah Wall Street. Jika orang sekarang menyebut NASDAQ yang dimaksud bukan bursa efeknya, tetapi indeks komposit Nasdaq yang terbentuk pada 8  Februari 1971. Kelahiran NASDAQ dan keasadaran akan daya kekuatannya menambah keprihatinan Gereja akan apa yang disebut kapitalisme teknokratis yang ditopang kemajuan ilmu dan teknologi, bahwa sekalipun dapat menimbulkan utopia-utopia  oleh keyakinan dapat memecahkan masalah politik masyarakat modern lebih baik dari ideologi, dan membawa masyarakat  ke dalam perandaian sebagai alibi yang nyaman untuk melarikan diri diri tanggungjawab langsung, namun jika diarahkan dengan benar dalam semangat Kristus dan bimbingan Roh Kudus, daya kekuatan inventif dari budi manusia itu dapat mengundang lintasan daya cipta manusia ke depan, baik untuk menggali  di masa kini peluang tersembunyi , maupun menawarkan masa depan yang cerah. Pada akhir tahun 1971 nanti, kritik Gereja akan ditampilkan dalam Ensiklik Octogesima Adveniens (OA 36-37 dst).

Alan Shepard dan Edgar Mitchell dengan pesawat Apollo 14  pada 5 Februari 1971 mendarat di permukaan bulan. Misi para astronot Apollo 14 Alan Shepard, Stuart Roosa dan Edgar Mitchell kali ini berhasil menebus kegagalan misi sebelumnya, Apollo 13 (April 1970) yang mengalami ledakan tangki oksigen dan terpaksa harus pulang ke bumi. Shepard dan Mitchell tinggal 33 jam dan 31 menit di permukaan bulan. Sesudah keberhasilan pendaratan Apollo 11 pada Juli 1969, NASA mengumumkan suatu daftar yang memuat 8 tempat pendaratan lagi di luar lokasi yang diperutukkan  Apollo 12, yang mendarat di bulan selama hampir 8 jam pada akhir 1969. Tujuan utama misi Apollo adalah melakukan percobaan ilmiah untuk memahami lebih jauh geologi bulan, kegiatan seismik di dalamnya, angiin dan komposisi atmosfir bulan. Lebih banyak eksperimen ilmiah sesudah program Apollo yang akan berlangsung hingga tahun 1972, akan dilakukan lagi pada pertengahan 2020-an nanti.  Biaya setiap kali peluncuran pesawat Apollo diperkiran AS$ 445 juta pada nilai yang berlaku saat itu, dan keseluruhan program Apollo diperkirakan akan menghabiskan antara AS$ 7-12 milyar hingga 1973 dengan mempekerjakan kurang lebih 400.000 orang. Walaupun mensyukuri capaian kemajuan teknologi yang dicapai untuk maksud-maksud damai untuk lebih memahami dalamnya rahasia ciptaan Allah, dalam berbagai dokumen ajarannya Gereja juga selalu mengingatkan kegunaan dari eksperimen-eksperimen teknologi bagi kesejahteraan manusia, dihadapkan pada prioritas-prioritas mendesak kerjasama internasional dalam rangka pembangunan  dan keperluan bangsa-bangsa yang sedang berkembang.

Seolah menanggapi capaian teknologi ruang angkasa pada 5 Maret 1971 grup musik Led Zeppelin meluncurkan lagu  “Stairway to Heaven” yang kemudian sangat populer, juga di Indonesia.  Syairnya mengisahkan seorang meniti jalan ke surga namun ketika sampai di sana toko-toko tutup dan ia tidak dapat menemukan atau membeli apa yang ia cari. Pada akhirnya liriknya, Led Zeppelin mengingatkan bahwa masih ada waktu untuk mengubah jalan yang ditempuh, dengan mendengarkan sungguh-sungguh bisikan suara hati nurani, bahwa apa yang dicari ada pada semua hal, dan segalanya ada pada satu saja. Umat kristiani seraya menikmati lagu yang indah itu diingatkan secara tidak langsung melalui budaya pop pada sabda, bahwa “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). 

Denting sumbang terdengar lagi dari berita bahwa Sukatno, Sekjen Dewan Nasional Pemuda Rakyat, anggota CC PKI, divonis hukuman mati dalam sidang Mahmilub dengan Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret 1971. Kegetiran tersirat mengingat belasan ribu tahanan politik terpanjara menanti proses pemeriksaan perkaranya secara adil.

Sementara itu budaya manusia memang sulit diduga dalamnya dan menyajikan kejutan-kejutan kreatif. Dari rasa pahit pengalaman minum kopi diangkat sebagai suatu pengalaman luks ketika pada 31 Maret 1971 kedai kopi  Starbucks didirikan di Seattle, Washington. Dalam kepahitan ada kemewahan, itulah pesan revolusi kopi yang kemudian dicontoh di banyak tempat di dunia dengan menjamurnya kedai kopi, industri kopi kreatif dan budaya minum kopi  di seluruh dunia hingga sekarang. Bagi Indonesia suatu peluang untuk revitalisasi pasar internasional bagi kopi Nusantara yang sudah populer sejak zaman kolonial, dan berlanjut di dalam negeri melalui tradisi “wedangan” atau “ngangkring”. Pesannya yang lebih luas lagi memberi semangat baru dalam menjalani hidup, yaitu bahwa dalam kebersamaan, derita dan dukacita pun memberikan sukacita.

Pada masa Soekarno olahraga dijadikan alat politik. Misalnya hal itu dilakukan dalam penyelenggaraan Asian Games IV (1962) dan Ganefo (1963) di Jakarta. Pada 6 April, dalam rangka kejuaraan tenis meja dunia ke-31 di Nagoya, Jepang,  Mao Zedong mengundang tim pingpong (tenis meja) AS untuk mengunjungi RRT.  Istilah “diplomasi ping-pong” menjadi terkenal. Buahnya adalah penghentian embargo perdagangan AS atas RRT oleh Presiden Nixon pada 10 Juni 1971. AS menghentikan perdagangan dengan RRT sejak 1950 karena menganggap RRT sebagai agresor dalam Perang Korea. Sejak itu tidak ada hubungan ekonomi dan diplomatik antara AS dan RRT. Diplomasi bola kecil “ping-pong”  membuka peluang dan mengantar hubungan bilateral baik ekonomi maupun diplomatik yang lebih baik di antara AS dan RRT.  Hal-hal kecil selalu mampu menjadi hal-hal besar.

Paroki Kedaton sebagai pemekaran dari Paroki Katedral Tanjungkarang diberkati pada hari Kamis Putih, 7 April 1971 dengan nama pelindung Santo Yohanes Rasul. Suatu momen yang tepat untuk melakukan kilas balik. Paroki Tanjungkarang terus berkembang. Meski gedung gereja telah diperluas tetapi menjelang tahun 1970 sudah terasa sesak lagi. Gedung baru tak dapat mengimbangi jumlah umat. Maka Pastor bersama sejumlah tokoh umat membuat rencana untuk mengembangkan paroki baru. Panitia ditetapkan pada 8 April 1970, dan segera bekerja membeli tanah, mengurus perijinan dan sebagainya, dan berhasil melewati berbagai kendala birokrasi.  Menurut statistik Vatikan pada tahun 1969 di Keuskupan Tanjungkarang terdapat 30.031 umat katolik.  Pada saat berdirinya Prefektur Apostolik Tanjungkarang pada 1952 terdapat  4 paroki yaitu Tanjungkarang (1949), Telukbetung (1949), Pringsewu (1932) dan Metro (1937). Umat berjumlah kira-kira 2.500 orang dan dilayani oleh 7 imam. Paroki Gisting (1955) didirikan sebagai pemekaran paroki Pringsewu. Selanjutnya setelah Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan pada 1961, didirikan paroki Kotabumi (1963), Kalirejo (1966), Kotagajah (1968) dan Bandarjaya (1968). Keuskupan Tanjungkarang dilayani oleh para imam Oblat Hati Kudus Yesus (SCY) dan pada tahun 1971 hanya ada seorang imam diosesan.

Pada 24 April 1971 terjadi demo terbesar yang mengerahkan 500.000 pemrotes Perang Vietnam di Washington D.C. dan 150.000 lainnya di San Francisco. Demo itu menandai permulaan berhentinya pengiriman tentara AS ke Vietnam. Sejauh ini Perang Vietnam bahkan telah melebar ke Laos dan Kampuchea. AS telah menempatkan lebih dari 340 ribu personil di Vietnam pada awal 1971. Penggunaan senjata kimia oleh tentara AS di provinsi Ninth Thuan pada 7 Januari menghanguskan hutan dan berhasil memusnahkan tanaman pangan logistik pihak tentara komunis Vietnam. Tetapi berita itu membangkitkan kemarahan dan protes di dalam negeri AS sendiri. Pastor Jesuit Philip Berrigan SJ memimpin protes anti perang dengan meledakkan terowongan bawah tanah Gedung Federal di Washington dan diduga berusaha menculik penasehat keamanan Henry Kissinger, bersamaan dengan keluarnya tuntutan “Gerakan Perwira yang Peduli” untuk mengadili kejahatan perang para jendral AS pada 12 Januari. Pada 13 Januari Presiden Nixon menandatangani undang-undang yang mencabut Resolusi Teluk Tonkin yang selama ini menjadi dasar hukum bagi keterlibatan AS dalam perang Vietnam. Presiden Republik Khmer (Kampuchea) Lon Nol menderita stroke dan menyerahkan kendali kepada Pangeran Sisowath Sirik Matak. Majalah Newsweek 15 Maret menyajikan cerita sampul berjudul "Perang Helikopter" dan menggambarkan intensitas operasi helikopter AS dan sambutan tembakan antipesawat gerilyawan komunis Vitnam Selatan di atas Laos. Semua ini menjadi faktor yang menggerakkan demo 24 April 1971 untuk menyudahi keterlibatan AS di Vietnam.

Suatu konggres medis kongregasi religius sudah disiapkan dari tahun 1970 dan pada  25 April 1971 panitia di Jakarta menetapkan bahwa kaum awam diikut-sertakan dalam konggres medis tersebut. Dalam bulan Pebruari 1971 panitia persiapan konggres medis telah mengirimkan suatu angket ke segala rumah sakit/rumah- bersalin/poliklinik Katolik untuk inventarisasi kegiatan medis Katolik di seluruh Indonesia dan bahan-bahan lain yang dapat menjadi pokok pembahasan dalam konggres nanti. Mulanya suatu konggres ekumenis dianggap masih sedikit prematur, sebab berkumpul dalam kelompok Katolik sendirisaja belum pernah dilakukan, tetapi dalam rapat-rapat kemudian  itu dipertimbangkan lagi secara positif. Selanjutnya dipikirkan kemungkinan untuk mendirikan “Biro Medis” yang terkait dengan Waligereja Indonesia (MAWI).

Karena kebijakan moneter AS yang menurunkan suku bunga untuk mengatasi kelesuan ekonomi dalam negeri, banyak dolar Amerika mengalir keluar ke negara-negara yang menganut nilai tukar tetap dan memasang suku bunga lebih tinggi. Sekitar AS$ 30,5 milyar menuju sepuluh negara terutama di Eropa Barat.  Jerman Barat menerima inflow dolar Amerika sebesar AS$ 4,9 milyar  dan menyebabkan likuiditas berlebih. Dalam perdagangan internasional DM mengalami revaluasi merangkak dan memukul impor. Menyadari situasi sulit pada 9 Mei 1971 melepaskan kurs tetap DM dari dolar AS dan mengambil posisi nilai tukar mengambang terhadap semua mata uang utama. Langkah Jerman Barat nanti diikuti Perancis dan Swiss sehingga dengan makin banyaknya kebijakan nilai tukar mata uang mengambang dasar dasar Perjanjian Bretton-Woods dari tahun 1944 dengan sistem nilai tukar mata uang tetap secara international berangsur-angsur runtuh.  Kejadian ini sekaligus menjadi awal “krisis dollar AS” yang berdampak panjang bagi dunia. Pada tahun 1971, nilai kurs rupiah juga terpukul  oleh krisis dollar AS. Nilai rupiah merosot (terdevaluasi) dari Rp 378 menjadi Rp 420 per 1 USD (23 Agustus 1971). Bagi Indonesia, devaluasi rupiah mengurangi kebutuhan impor karena membeli dengan dollar jadi mahal, dan perolehan dollar jadi lebih menggiurkan hingga meningkatkan usaha ekspor.  Ekonomi Indonesia mulai berorientasi pada ekspor.

Pada 14 Mei 1971 Paus Paulus VI menerbitkan ajaran sosial dalam Ensiklik Octogesima Adveniens, memeringati  dengan perspektif baru 80 tahun terbitnya Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII tahun 1891. Ensiklik ini menanggapi perkembangan situasi sosial politik dan kebudayaan baru yang bermacam ragam. Di sebagian daerah muncul sistem totaliter yang menimbulkan penindasan dan peminggiran. Kaum minoritas tak berdaya dan dibungkam diam tak bersuara. Sebagian anggota Gereja tergoda menempuh cara radikal yang menggunakan kekerasan untuk memecahkan persoalan dan berusaha mencapai hasil yang lebih baik.Sebagian lagi tidak peka pada pelanggaran keadilan justru melestarikan keadaan dikelabui oleh ideologi-ideologi  yang menjanjikan hasil yang lebih baik namun toh akhirnya mengecewakan (OA 2-4). Maka Gereja merasa wajib memberikan amanatnya untuk pedoman umat dengan perspektif yang disegarkan dalam  upaya menentukan dan mengarahkan masa depan menurut kasih dan keadilan yang diajarkan Yesus Kristus dan ajaran-ajaran sosial Gereja (OA 5). Sebagian masalah keadilan akan dibahas para Uskup secara lebih seksama dan rinci dalam Sinode para Uskup yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober nanti (OA 6).

Ensiklik membahas konsekuensi gelombang Urbanisasi yang disatu pihak menunjukkan kemajuan kota dan kemewahan baru namun menyembunyikan peningkatan  erosi kerukunan warga, kriminalitas, penyalahgunaan narkotika dan pelampiasan nafsu seksual yang melukai martabat manusia (8-17).  Media komunikasi sosial seharusnya menjadi alat kesatuan dan memajukan pendidikan dan kebudayaan demi kesejahteraan umum  (20). Eksploatasi alam yang acak-acakan mengancam kerusakan lingkungan hidup (21). Aspirasi untuk memajukan keadilan dan partisipasi dalam pembangunan demi martabat dan kebebasan manusia semakin menguat dan mencari salurannya dalam politik (22-25). Ketegangan akibat tarik menarik ideologi sosialisme, marxisme dan liberalisme menantang jawaban dinamis iman kristiani (36.42).

Hubungan berdasar kekuatan tidak pernah menciptakan situasi keadilan. Dialog dan kerjasama selalu perlu dilakukan untuk kesepakatan-kesepakatan yang berkedalian dalam ekonomi dan politik, dalam menininjau tatanan produksi, stuktur perdagangan, pembagian maslahat, mengenai sistem moneter, dengan semangat solidaritas dan subsidiaritas (43-44). Ruang untuk partisipasi dalam tanggungjawab dan pengambilan keputusan politik yang menghargai kebebasan berpendapat perlu diberikan dengan semangat perdamaian (45-47). Gereja menyerukan panggilan untuk bertindak, terutama kaum awam, melalui peranan masing-masing dengan mengingat karya Allah dalam menebus manusia, penuh komitmen dan semangat solidaritas (48-50).   

Derap pembangunan di Indonesia pada 1971 mulai terasa menimbulkan masalah, utamanya penggusuran tanah seisinya milik warga yang terkena proyek pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1969 menetapkan, jika ada hak warga tergusur yang harus dipenuhi pemerintah, di antaranya pemberian penggantian yang layak, dan menikmati penambahan nilai dari kegiatan penggusuran tersebut. Maksudnya kalau ada penggusuran di suatu lokasi, kemudian di lokasi tersebut dibangun sesuatu maka warga yang  tergusur harus menikmati dan memperoleh manfaat dari pembangunan lokasi tersebut. Pembebasan tanah untuk Proyek Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta merupakan salah satu sorotan umum. Proyek TMII diluncurkan dengan cepat. Gagasan dari Ibu Tien Soeharto dilontarkan kepada pemerintah DKI Jakarta pertengahan tahun 1970 dan minta agar rancangannya selesai dalam 4 bulan. Begitu rancangan selesai dan anggaran ditetapkan, dari 1971 mulai diayunkan langkah pembebasan tanah.  Untuk proyek TMII itu tanah lokasi seluas 150 hektar dibebaskan dengan mengumpulkan kepala desa di sekitar Bambu Apus. Warga resah karena belum tahu besarnya ganti rugi yang akan diberikan untuk per meter persegi tanah mereka, pada hal rencananya proyek pembangunan TMII akan dimulai tahun 1972. Selain itu, tanah yang dibebaskan adalah tanah subur untuk usaha tani.

Menjelang Pemilihan Umum 1971, setelah menerima laporan dan mengamati situasi dari lapangan, bahwa banyak terjadi intimidasi di daerah-daerah, misalnya di Flores, MAWI bersidang di Jakarta di awal Juni 1971 dan membuat surat terbuka yang isinya dimuat dan mendapat sambutan di berbagai media antara 6-10 Juni 1971. MAWI menyatakan bahwa pemerintah wajib melaksanakan pemilihan umum dengan menjaga sifat dasarnya, yaitu bebas dan rahasia. Maka MAWI mendesak pemerintah agar mencegah segala bentuk intimidasi dan ancaman dari manapun dan oleh siapa pun. Baik itu ancaman fisik langsung maupun tak langsung, ancaman moril, psikologis, serta menghindarkan segala macam manipulasi dan kecurangan baik sebelum, selama, dan sesudah Pemilihan Umum.

Pemilihan Umum ke-2 di Indonesia dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Rakyat Indonesia menyambutnya sebagai Pesta Demokrasi. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi), Partai Kristen Indonesia mendapat 7 kursi. Partai Katolik 3 kursi. Persatuan Tarbiyah Islamiah 2 kursi. Dua partai gagal mendapat kursi yaitu Partai Musyawarah Rakyat Banyak dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Walau mulanya diragukan kemampuannya oleh partai-partai, namun Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Demi kedudukan politiknya, termasuk untuk menyongsong Pemilihan Umum 1971, pemerintah memilih Golongan Karya (Golkar) yang didirikan pada Oktober 1964 sebagai wahana politiknya, walaupun sesungguhnya Golkar bukan suatu partai politik. Pilihan ini antara lain karena Golkar didukung oleh tentara dan ikut memainkan peran penting dalam menghancurkan kekuatan PKI .  Tiga jalur kantong pemilih segera digarap yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, Birokrasi pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta perangkat pemerintahan di semua tingkat dari pusat sampai ke desa-desa menjadi alat untuk memobilisasi rakyat agar memilih Golkar. Kemudian jalur golongan karya sendiri yang meliputi hampir 120 anak organisisasi.Ketiga jalur itu disebut ABG.

Gagasan Dwifungsi ABRI yang diambil dari sejarah perjuangan kemerdekaan sudah dikemukakan dan dipersiapkan secara strategis oleh Jendral AH Nasution, ketika mengutus para perwira TNI/ABRI belajar manajemen dan ekonomi pada awal tahun 1950-an di Fakultas Ekonomi UI dan di perguruan tinggi lain. Ketika pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda antara 1957-1959 perwira tinggi TNI/ABRI yang sudah berbekal ilmu manajemen adalah yang paling siap menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pelbagai perusahaan yang kemudian menjadi milik negara. Dengan mengandalkan rantai komando, TNI/ABRI yang menjadi pemimpin perusahaan menempatkan bawahan-bawahan mereka yang terpercaya untuk menempati fungsi-fungsi penting dalam perusahaan. Dengan demikian sebenarnya TNI/ABRI sudah menjalankan Dwi Fungsi sejak 1960-an  sebagai kekuatan militer sekaligus ekonomi.  Pada tahun 1960-an awal hingga pertengahan, sudah jelas TNI/ABRI  menjadi faktor yang diperhitungkan sebagai jalan tengah yang disegani di antara ideologi agamis dan ideologi komunis. Maka pada tahun 1966, Dwi Fungsi ABRI dalam politik dan kemasyarakatan lebih mengemuka  untuk menunjang pembangunan. Demi pembangunan TNI/ABRI dapat menjadi tulang punggung politik praktis/pragmatis penyokong Orde Baru. Hal itu segera ditanamkan dalam jiwa korps seluruh jajaran TNI/ABRI sejak 1967.

Di dalam birokrasi, kekuatan pemerolehan suara digalang melalui Peraturan Monoloyalitas Pegawai Negeri. Pada 1966, Kementrian Dalam Negeri mengeluarkan dua peraturan, yaitu Peraturan Menteri No. 12 (Permen 12)/1966, yang menetapkan bahwa pegawai negeri tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota partai politik manapun. Peraturan yang kedua adalah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/1970, yang menetapkan bahwa pegawai negeri harus menerapkan loyalitas tunggal, yaitu kepada pemerintah. Peraturan ini mengarahkan Pegawai Negeri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Sekber Golkar.  Selain itu struktur panitia penyelenggara pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Dengan dikuasainya jalur-jalur strategis ABG kemenangan Golkar sudah dapat dibayangkan. Daerah kantong suara Partai Katolik di NTT terutama Flores pun tergerus oleh Golkar.

Beberapa waktu sebelum hari pemilihan Juli 1971, sudah muncul fenomen yang dinamakan “golongan putih” atau golput, yaitu orang-orang yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya, sengaja tidak datang ke tempat pemungutan suara  dan tidak mencoblos sebagai protes atas ketidakadilan, ketidakjujuran yang terjadi selama masa persiapan dan kampanye pemilihan umum. Golput di kemudian hari semakin besar dan mengurangi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, dan karena itu mengurangi nilai dan kualitas pemilihan umum.

India pada 9 Agustus 1971 menandatangani pakta perdamaian, persahabatan dan kerjasama  20 tahun dengan Uni Soviet.  Kemesraan diplomasi ping-pong yang mengeratkan hubungan AS-Beijing membuat India gerah. Perdana Menteri India Indira Gandhi menduga hubungan itu akan membuat India tertekan oleh Pakistan sebab AS dan RRT membantu Pakistan. Sementara itu Pakistan Timur sedang bergolak dan India perlu menegaskan perbatasannya, namun diancam Pakistan. Semua itu mengarahkan politik luar negeri India mencari keseimbangan dengan mendekati Uni Soviet.  Dan Uni Soviet menyambut India dengan mesra sebab pada dasarnya kerjasama kedua negara sudah dijalin dari tahun 1950 dan mengemuka ketika perang perbatasan India-RRT 1962. Walau Pakta Perdamaian, Persahabatan dan Kerjasama lebih dilaksanakan dalam bidang ekonomi namun tetap membayangkan juga kerjasama militer yang harus dipertimbangkan pihak-pihak yang hendak menggoyangkan keseimbangan situasi Asia Selatan. Postur hubungan Indo-Soviet ini ikut memuluskan kemerdekaan Bangladesh ketika Pakistan kehilangan dukungan AS dan RRT yang sedang asyik mesra mengembangkan relasi di antara mereka sendiri  pada 1971.

Sebenarnya Amerika Serikat bukannya tidak peduli, tetapi AS sedang sibuk mengurus kerepotannya sendiri juga. Karena inflasi yang meningkat tinggi di dalam negeri, berhubung  likuiditas berlebih, dan beban Perang Vietnam, pada 15 Agustus 1971  Presiden Nixon setelah berdiskusi selama tiga hari di Camp David dengan para penasehat keuangan AS terpaksa mengambil kebijakan moneter penting.  Sejauh ini nilai tukar dollar diikatkan secara tetap dengan harga emas, yaitu  AS$ 35 per satu ounce emas. Demi mengurangi inflasi Nixon selain memutuskan untuk mengurangi jumlah pasukan AS di Vietnam, kemudian melepas ikatan dollar dengan emas, membuat nilai tukar dollar mengambang dan mendapat keseimbangan baru dalam devaluasi  pada tingkat AS$ 38 per satu ounce emas.  Moment itu lazim disebut “Nixon Shock”, suatu langkah yang akan mengubah pola keuangan dunia, perdagangan dunia dan distribusi pangan.

Pada 14 Oktober 1971 Organisasi non-pemerintah (Ornop) untuk lingkungan hidup  Greenpeace didirikan di  Vancouver, Canada, sebagai bagian dari Komite  “Don’t Make a Wave.” Komite ini suatu organissi anti-nuklir yang menentang percobaan nuklir bawah tanah di  Amchitka Island. Komite Don’t Make a Wave dikemudian hari menjadi Yayasan Greenpeace. Sejak itu Greenpeace menjadi inspirasi didirikannya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi lingkungan di seluruh dunia. Bahkan berpengaruh pada semua gerakan yang berwawasan “green” dalam politik kebijakan pemerintahan. Juga di Indonesia.

Dengan Resolusi Sidang Umum PBB 2758 pada 25 Oktober 1971 RRT diterima menjadi anggota penuh PBB. Hari berikutnya Taiwan keluar dari PBB. Taiwan dianggap bagian dari RRT. Menteri Luar Negeri Adam Malik ikut berperan dalam penerimaan RRT menjadi anggota penuh PBB. Sementara itu secara diplomatik diusahakan terwujudnya kesatuan Tiongkok, dengan pendekatan pada Republik Tiongkok (Taipei) yang pernah menjadi anggota PBB penuh 1946-1971 dan dengan RRT.

Pada 3 November 1971 diterbitkan UNIX Programmer’s Manual  yang pertama. UNIX-sistem ini nanti akan melahirkan Linux, macOS, dan berbagai sistem operasi  untuk jaringan hand-phone yang merajai dunia. Tak lama kemudian pada 15 November  Intel membuat prosesor mikro yang pertama  Intel 4004. Ini merupakan langkah pertama penggunaan prosesor mikro dengan satu chip yang memuat CPU 4 bit, merintis jalan menuju digitalisasi global. Pada awalnya kehadiran komputer  belum bisa diterima di masyarakat yang mengkhawatirkan penggunaan komputer akan menghambat penciptaan lapangan pekerjaan. Namun pada  4 Juli 1969 pemerintah Indonesia membuat suatu organisasi bernama BAKOTAN (Badan Koordinasi Otomatisasi Administrasi Negara) sebagai konsultan bagi instansi-instansi yang akan membeli atau menyewa peralatan komputer untuk menjawab tantangan penggunaan komputer demi efisiensi. Memasuki tahun 1970 komputer besar  IBM S/370 (main-frame) mulai digunakan di instansi pemerintah (DKI Jakarta) dan perusahaan (Pertamina), dan mulai merambah lembaga pendidikan. Baru pada 1980-an Sistem operasi UNIX digunakan di Indonesia dengan menjamurnya penggunaan komputer mini.


Sementara itu antara 30 September-6 November 1971 diselenggarakan Sinode Para Uskup Sedunia II membahas  dua tema (1) Imamat Pelayanan dan (2) Keadilan di Dunia (Justice in the World,JIW). “Pemeriksaan batin kita sekarang menyentuh pola hidup semua anggota: para Uskup, imam-imam, religius, dan umat awam. Berkenaan dengan rakyat yang miskin perlu ditanyakan, apakah keanggotaan Gereja menempatkan orang-orang di atas pulau kaya di lingkungan orang miskin? Dalam masyarakat yang menikmati taraf lebih tinggi pembelanjaan bernada konsumerisme, harus ditanyakan, apakah pola hidup kita memberi teladan penghematan dalam menggunakan barang-barang... supaya sekian juta rakyat yang kelaparan di seluruh dunia mendapat makanan. Sumbangan khas umat Kristiani kepada keadilan adalah kenyataan hidup sehari-hari orang beriman yang bertindak ibarat ragi Injil dalam keluarga, sekolah, pekerjaan, kehidupan sosial dan sipilnya” (JIW/CEU 48-49).

Para Bapa Sinode memuji dedikasi para imam di seluruh dunia dalam mewartakan Sabda dan melayani sakramen, dalam karya pastoral dan kerasulan. Disadari banyaknya tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam karya mereka.  Ada yang merasa asing di tengah dinamika perubahan masyarakat dan tidak bisa menanggapi tuntutan baru. Kesulitan dirasakan dalam karya kerasulan karena penggunaan metode-metode usang untuk memecahkan masalah-masalah baru. Maka selain sulit membimbing awam karena sekularisasi, imam sendiri juga diterpa kemelut mengenai status selibatnya. Di pihak lain sebagian imam dengan semangat menyucikan dunia ikut hanyut dalam peristiwa-peritiwa masyarakat mewujudkan komunitas yang adil dalam kasih persaudaraan. Menyadari bahwa segala sesuatu bersifat politik, mereka berpendapat bahwa menjadi revolusioner adalah sikap yang tak bisa dielakkan. Di tengah kebimbangan umum mengenai  nilai segala yang bersifat sakramental dan kultis, para imam justru mencari cara bagaimana menyatakan iman yang dapat meresapi hidup pribadi dan sosial umat. Sulitnya, tidak cukup teladan yang bisa dilihat dalam hubungan di antara sesama Uskup dan sesama imam untuk menjadi bahasa kesaksian. Maka para imam diajak mendalami ajaran Konsili Vatikan II mulai dari  LG 10 mengenai  perbedaan imamat umum dan imamat jabatan, agar dapat dipegang mana yang seharusnya dilakukan imam sesuai imamat jabatan yang ia terima, dan mana yang seyogyanya diserahkan kepada  awam dalam melaksanakan imamat umum. Demi pembedaan ini usulan tahbisan pria yang telah menikah berpotensi menambah kerancuan sehingga ditolak.

Para imam diajak merenungkan Kristus, Alfa dan Omega, yang dikuduskan dan diutus ke dunia (Yoh 10:36) dan ditandai dengan meterai kepenuhan Roh Kudus  (Luk 4:1, 18-21; Kis 10:38) mewartakan Injil perdamaian antara Allah dengan manusia. Sebagai Gembala yang baik di kayu salib Ia menyerahkan nyawa untuk mereka yang Ia persatukan dengan diriNya di salib (Yoh 10:15; 11:52). Demikianlah Ia melaksanakan imamat tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik sekarang dan di masa depan. Kristus melalui Gereja persekutuan para Rasul (LG 18) dan dalam Roh (AG 5) menjadi gambar pedoman hidup para imam, yang dalam kesatuan hirarkis menjadi imam para umat. Berkat urapan Roh, yang menyertai jabatan imam, dilimpahkan tugas menyucikan, mengajar dan memimpin umat (PO 2) dalam persekutuan hirarkis demi pelaksanaan tugas ini dengan lebih cermat (LG 24, 27-28), memuncak pada pelaksanaan Ekaristi. Dengan tetap menghormati otonomi sekulir, imam memerhatikan urusan dunia namun tidak wajib menerapkan kuasa teknis, sebab yang terutama ditugaskan padanya adalah tertib keagamaan, bukan tertib ekonomi, sosial, politik (GS 42). Maka selanjutnya para Bapa Sinode memberikan pedoman pelaksanaan tugas pelayanan imamat jabatan dalam pewartaan dan perayaan sakramen; batasan kegiatan sekulir dan politik; mengembangkan hidup rohani; dan mempertahankan selibat.  Akhirnya mengembangkan persekutuan Gereja dengan membangun relasi dengan Uskup, sesama imam dan dengan awam.

Tema bahasan kedua para Bapa Sinode 1971 menunjukkan pengaruh kuat para pemimpin lokal Gereja-gereja di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di sini sekaligus diperlihatkan contoh kolegialitas para Uskup pasca Konsili Vatikan II dalam memikirkan secara konkret, realistis dan mendalam  soal keadilan dengan menyatakan perlunya mengaitkan Injil dengan keadaan dunia dan daerah setempat. Tahun 1970-an pada umumnya disebut sebagai “engsel perubahan” dunia, terutama dengan meningkatnya kebangunan ekonomi bangsa-bangsa dengan ekses-eksesnya yang memprihatinkan. Setelah menjadi saksi banyaknya pelanggaran keadilan berupa dominasi, penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan, para Uskup menyerukan pengembangan masyarakat yang lebih adil bersifat persaudaraan, menggalang daya-daya yang mendukung persatuan, memajukan dialog, mengingatkan hak atas pembangunan/perkembangan, terutama keadilan kasih untuk membela kaum miskin. Dalam merenungkan bahwa “perutusan Gereja” adalah juga “untuk mewartakan keadilan di dunia,” para Bapa Sinode  1971 menyatakan bahwa  Gereja harus menjadi saksi keadilan melalui cara hidupnya sendiri, dalam kegiatan pengajaran, dan dalam kegiatan internasional.

Dosa pelanggaran bersifat struktural dan membentuk jaringan dominasi, penindasan serta penyalanggunaan yang mencekik kebebasan dan menghalangi bagian besar umat manusia untuk peran serta membangun dan menikmati masyarakat yang adil dalam persaudaraan (JIW 3). Dinamika pewartaan Injil termasuk mendengarkan jeritan mereka yang menderita karena kekerasan, ditindas sistem dan stuktur yang tidak adil (JIW 5). “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan Injil, perutusan Gereja demi penebusan umat manusia serta pemerdekaan dari tiap situasi penindasan”  (JIW 6).

Tentang keadilan dan masyarakat sedunia tampak suatu paradoks modern:  bahwa ada daya kekuatan yang dahsyat dan dinamis untuk memajukan martabat manusia dan menyatukan semua anggota keluarga manusia dalam kesetaraan (JIW 7);  tetapi daya=daya yang menyebabkan perpecahan juga semakin kuat diperlengkapi teknologi yang menimbulkan penghancuran seperti perlombaan senjata, persaingan, pemusatan kekayaan, kekuasaan dan wewenang mengambil keputusan pada kelompok tertentu, melanggar keadilan ekonomi dan meniadakan partisipasi sosial sebagian besar warga untuk memeroleh hak asasi dan hak sipil (JIW 9). Perlu pengakuan bahwa hak setiap warga atas perkembangan merupakan hak dasar dan asasi manusia (JIW 15). Itu adalah panggilan modernisasi untuk pengembangan kepribadian yang otentik dan kreatif dan peka pada faktor-faktor sosial budaya (JIW  17-19). Kebanyakan para korban pelbagai bentuk  ketidakadilan hanya diam, tak mampu angkat suara (JIW 20).  Kaum korban kekerasan itu beraneka macam:  migran yang mencari pekerjaan, pengungsi korban konflik; penindasan agama; pelanggaran hak asasi; korban penyiksaan; tahanan politik; korban sikap pro-aborsi; korban sikap pro-perang; media yang membuli; korban tindakan anti-keluarga (JIW 21-26). Diserukan dialog yang berkelanjutan untuk kemajuan usaha pengembangan untuk semua pihak, terutama kaum muda dalam rangka koreksi atas siatuasi ketidakadilan (JIW 28).

Tanggungjawab Gereja untuk mewartakan keadilan dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dalam persaudaraan kasih bersumber pada amanat Injil dan perutusannya. Dengan rendah hati kita perlu terbuka kepada amanat Allah, menimba inspirasi langkah dan tindakan baru demi keadilan di dunia  (JIW 29). Dalam Perjanjian Lama Allah mewahyukan diri sebagai Pembebas kaum tertindas dan Pembela kaum miskin (JIW 30). Yesus sendiri menyerahkan diri sepenuhnya untuk penyelamanat dan pembebasan umat manusia, menyatakan campur tangan kebapaan Allah untuk semua orang, dan keadilan ilahi demi mereka yang kekurangan dan tertindas (Luk 6:21-23). Ia mengidentifikasikan diri sebagai “seorang yang paling hina” (Mat 5:40) demi menegakkan keadilan(JIW 31). • St. Paulus menyatakan hidup iman kristiani membuahkan kasih dan pengabdian pada sesama termasuk memenuhi tuntutan keadilan (JIW 33). Kasih kristiani pada sesama mencakup keadilan dengan pengakuan martabat dan menghormati hak-hak sesama (JIW 34). Gereja wajib menegakkan keadilan. Mewartakan Injil juga menghendaki pembaktian diri bagi pemerdekaan manusia dari kondisinya di dunia sekarang (JIW 35). Menyerukan keadilan di  semua tingkatan, baik  komunitas sosial lokal, nasional maupun internasional terutama dengan memberikan kesaksian akan keadilan dalam lembaga-lembaga Gereja dan kehidupan umat kristiani (JIW 36). Bukan termasuk tugas persekutuan Gereja dan hirarkis untuk ikut campur memberikan solusi masalah-masalah praktis, melainkan untuk memajukan martabat dan hak-hak asasi pibadi (JIW 37). Namun sebagai warga masyarakat, anggota Gereja berhak dan wajib memajukan kesejahteraan umum dengan setia dan cakap dengan tanggungjawab pribadi di ranah sosial, ekonomi, budaya dan politik dan seharusnya selalu cermat berhati-hati, karena tetap saja tindakan pribadi sebagai warga melibatkan Gereja seluruhnya (JIW 38).

Pelaksanaan keadilan dengan demikian dilakukan orang kristiani perorangan melalui kesaksian hidup dan cara bertindak yang adil (JIW 40). Warga Gereja yang menyuarakan keadilan pada dirinya sendiri harus dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang adil (JIW 40). Mereka yang mengabdi dalam hidup Gereja harus memeroleh hak-hak atas imbalan yang sepantasnya dan adil baik imam, religius maupun awam (JIW 43). Hak-hak imbalan itu meliputi: upah yang layak, jaminan sosial, kemajuan pangkat, kesetaraan jender, kebebasan menyatakan diri dan berpendapat dalam semangat dialog, prosedur pengadilan terutama dalam masalah-masalah pernikahan, hak peran serta dalam proses pengambilan keputusan (JIW 45-46). Gaya hidup Gereja berkenaan dengan harta milik dan penggunaannya tidak boleh menjadi skandal ketidakadilan dan bertenggangrasa dengan kaum miskin; jangan sampai menunjukkan diri sebagai kumpulan pulau orang kaya yang eksklusif di tengah samudera orang miskin, agar kabar gembira dapat dirasakan oleh kaum miskin (JIW 47-48).

Pendidikan untuk menghayati  dan mewujudkan etika keadilan dalam pergaulan sosial perlu ditingkatkan melalui perihidup pribadi dan keluarga (JIW 49-50). Pembaruan hati untuk mewujudkan corak hidup yang berkeadilan, penuh kasih dan sederhana diperlukan di mana saja. Dan di negara sedang berkembang  pembinaan hati nurani dimaksudkan agar perubahan di segala bidang secara konkret menjamin perbaikan hidup untuk semua dalam segala aspeknya, sebagai bagian dari pembaruan dunia seluruhnya  (JIW 51). Diperlukan sikap kritis jangan sampai membantu terjadi manipulasi baik oleh media komunikasi maupun kekuatan politik, dan mewujudkan rukun hidup yang mampu menentukan nasib sendiri dan sungguh manusiawi, melalui pembinaan dan pendampingan berkelanjutan (JIW 52-53). Pendidikan keadilan itu pertama-tama dalam keluarga, tetapi juga lembaga-lembaga gerejawi, sekolah-sekolah dan serikat-serikat serta partai-partai  (JIW 54). Seluruh ajaran sosial gereja yang menerapkan pokok=pokok Injil  merupakan sumber ajar untuk pembinaan keadilan (JIW 56). Kritik atas ketidakadilan haruslah bijaksana, tegas namun penuh kasih  agar mengungkapkan perihidup Gereja sendiri dan menghasilkan kesepakatan keadilan berkelanjutan dalam masyarakat (JIW 57). Liturgi dan perayaan sakramen juga merupakan saluran pendidikan keadilan (JIW 58). Pemerataan sumber-sumber daya Gereja dalam kerangka solidaritas di antara Gereja-gereja di daerah kaya dan miskin guna pengelolaan bersama seluruh karunia Allah perlu didorong untuk tujuan meningkatkan otonomi dan kemampuan tanggungjawab pihak-pihak penerima bantuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (JIW 59-60). Kerjasama Ekumenis untuk mengusahakan keadilan di antara Gereja-gereja sesuai Konsili Vatikan II perlu didukung, demikian pula kerja sama di antara mereka yang berkehendak baik lintas iman (JIW 61-62).

Disampaikan  8-butir program universal internasional untuk memajukan keadilan: 1. Agar Pernyataan dan Piagam hak-hak asasi manusia PBB diterima dan dipatuhi oleh semua negara (JIW 64). 2. Agar PBB dan organisasi-organisasi internasional terkait didukung membatasi perlombaan senjata, menghentikan perdagangan senjata , menjamin perlucutan senjata dan menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai (JIW 65). 3. Mendukung pelaksanaan Dasawarsa Pembangunan Kedua (1970-an) dengan menyalurkan dana solidaritas dari negara kaya kepada negara sedang berkembang  dengan mematok harga yang lebih wajar atas bahan mentah, membuka pasar untuk barang kerajinan negara berkembang dengan keringanan pajak, serta bantuan teknis untuk perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial (JIW 66). 4. Pusat-pusat kekuatan pasar, dominasi ekonomi, penelitian, investasi, peraturan perdagangan dan transportasi  laut hendaknya memberi kesempatan pada partisipasi yang proporsional dari negara-negara berkembang untuk pembangunan bersama (JIW 67). 5. Lembaga-lembaha khusus dalam PBB hendaknya disempurnakan dan ditingkatkan terutama yang mengatur pertanian dan pangan, kesehatan, pendidikan, penggunaan tenaga kerja, perumahan dan urbanisasi, juga untuk kesejahteraan anak-anak dan keluarga (JIW 68). 6. Seruan kesinambungan komitmen bantuan dana dari negara donor kepada negara berkembang  untuk program  pembangunan yang bertanggungjawab (JIW 69). 7. Dukungan untuk KTT Bumi di Stockholm 1972 untuk mengerem kerakusan negara kaya dalam eksploitasi sumber daya alam (JIW 70). 8. Tindakan nyata untuk memberi kemudahan pada pembangunan nasional sesuai kebudayaan setempat, kerjasama timbal balik yang meningkatkan kemampuan bangsa-bangsa untuk mengusahakan rancang bangun ekonomi dan sosial secara mandiri, tiap bangsa berhak secara aktif dan bertanggungjawab bekerjasama demi kesejahteraan umum dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain  (JIW 71).

Dengan demikian diharapkan dalam keikutsertaan umat Kristiani dapat diwujudkan  Kerajaan Allah , kerajaan keadilan, kebebasan, persaudaraan dan cinta kasih, yang akan disempurnakan Allah sendiri ketika Ia datang membarui seluruh bumi (JIW 75-76).

Dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World, JIW atau dalam bahasa Latin Convenientes ex Universo) diumumkan pada 30 November 1971. Butir-butir dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World, JIW) memberi inspirasi umat Kristiani termasuk di Indonesia untuk ikut memajukan keadilan dalam program pembangunan, terutama dalam kerja sama internasional baik melalui hubungan dengan lembaga-lembaga PBB seperti GATT (menjelang Tokyo Round 1973 berkenaan masalah pengurangan atau pembebasan hambatan tarif dan non-tarif yang meliputi Subsidi dan Tindakan Pengimbang, Hambatan Teknis Perdagangan, Tata Cara Perijinan Impor, Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, dan Penilaian Pabean), FAO (Indonesia menjadi anggota FAO sejak 1950. FAO banyak membantu  mengatasi kekurangan pangan.  Dalam pengembangan pertanian FAO telah membantu mengembangkan strategi dan kebijakan pangan dan pertanian. Pada tahun 1971 didirikan Kelompok Konsultatif untuk Riset Pertanian Internasional (Consultative Group on International Agricultural Research CGIAR), oleh kelompok yang berupa asosiasi negara, organisasi internasional dan regional, serta yayasan swasta, untuk mendukung sistem pusat penelitian dan program pertanian di seluruh dunia. CGIAR berperan dalam pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik dengan membentuk Pusat-pusat Riset Pertanian Internasional), World Health Organization (WHO) , UNICEF dalam kesejahteraan dan pendidikan anak-anak, International Labour Organization (ILO) melalui Kementerian Tenaga Kerja dan berbagai serikat buruh/pekerja di Indonesia  tentang pokok-pokok dasar dan hak-hak dalam pekerjaan, peningkatan pemerkerjaan dan perbaikan imbalan, proteksi sosial dan dialog, dan lain-lain;  juga meningkatkan hubungan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor keagamaan untuk pengembangan seperti Catholic Relief Service (CRS), Novib (Belanda), Misereor (Jerman), Justice & Peace (Canada) dan lain-lain.

Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 sudah mengantisipasi perkembangan dengan menyatakan: “Ketidakadilan dalam perdagangan internasional dirasakan dalam negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Ekspor kita sebagian besar terdiri dari bahan-bahan mentah yang harganya di pasaran internasional sangat rendah, bahkan menurun, sedang alat-alat mesin yang diimpor untuk pembangunan sangat mahal dan naik terus”. Para ahli Indonesia diharapkan membarui struktur-struktur perdagangan internasional melalui perundingan-perundingan  demi keadilan internasional yang mutlak perlu bagi pembangunan di negara kita yang sedang berkembang. Pengusaha dalam negeri dianjurkan mengembangkan produksi substitusi impor dengan cara yang baik dan efisien, meningkatkan baik jenis, kualitas maupun kuantitas produk (PKUKI 44).

1 September 1971 Perubahan nama Kotamadya Makassar ke Kotamadya Ujung Pandang akibat perluasan wilayah kota yang dilakukan oleh wali kota Makassar. Pada tahun 1999 nama Makassar kembali digunakan lagi. Perubahan nama ini juga otomatis mengubah nama Keuskupan Agung Makassar/Ujung Pandang.

MAWI belum dapat memberikan suatu ruangan kepada Panitia Kongres/Biro Medis berhubung pekerjaan renovasi gedung KWI pada waktu belum selesai. Namun diusahakan mencari tempat sewa untuk sementara agar  Biro Medis  dapat mulai berfungs mengerjakan inventarisasi pekerjaan medis yang dilakukan di kalangan Katolik diseluruh Indonesia. Dalam rapat Biro Medis tanggal 24 Oktober 1971 diputuskan demi mempermudah dan mempercepat persiapan konggres, dibentuk suatu panitia baru yang anggotanya bertempat tinggal di Jakarta dan awam yang didampingi beberapa Suster. Pada akhir November, panitia baru mulai rapat dan memutuskan bahwa Konggres Medis   akan diadakan dalam bulan Juli 1972 di Wisma Samadi Klender. Namun nama “Konggres” diubah menjadi “Rapat Kerja Kesehatan Katolik”. Segala unit-unit kesehatan di seluruh Indonesia diundang ikut serta. Bantuan biaya penyelenggaraan dimintakan dari Lembaga Donor Misereor, Jerman.

Sidang MAWI diselenggarakan pada tanggal 22 November–3 Desember 1971, di Gedung MAWI Jakarta. Sidang terutama membahas soal Pembinaan Para Imam. Perhatian kepada hidup dan pelayanan ini dimaksudkan agar jangan sampai ucapan bahwa “para imam adalah domba-domba yang paling terlantar dalam Gereja” yang berasal dari mancanegara, terjadi juga di Indonesia. Maksudnya adalah bahwa para imam yang berjerih payah menunaikan tugas, bekerja keras, melayani dan membina umat, bahkan di daerah ada yang bertahan bertahun-tahun secara heroik dalam pelbagai kesulitan dan keterbatasan, juga perlu mendapat perhatian nyata, penghargaan, penyegaran, pembinaan lanjut, serta bantuan.  Di tengah sidang Majelis Agung Wali Gereja Indonesia tanggal 28 November 1971 Mgr.Dr. Paulus Sani Kleden,SVD  Uskup Denpasar, meninggal dunia di Jakarta. Beliau dimakamkan di Jakarta. (Namun kemudian nanti  jasad Mgr. Paulus Sani Kleden dipindah dan dimakamkan kembali di Palasari Bali, pada tanggal 23 September 1980).

Dari Sinode Para Uskup Oktober yang lalu sudah banyak yang didengar tentang aspek teologis perutusan dan hidup para imam. Para imam sendiri perlu diajak mengolah dan memikirkan aspek pastoral praktis dari hal itu di setiap keuskupan. Dari mereka di lapangan diharapkan banyak masukan yang tahun depan dapat diolah untuk menjadi bahan pedoman secara nasional sebagai citarasa kebersamaan dan kesatuan Gereja Katolik Indonesia.  Persiapan para calon imam diletakkan dalam perspektif tuntutan tugas yang luas dan berat  menurut perkembangan Gereja dan negara, dalam rangka pembangunan bangsa, yang berbeda-beda tarafnya di masyarakat yang dilayani, kendati jumlah imam terbatas, tetap memerlukan pendidikan lengkap yang tidak bisa disingkat.

Seleksi para calon imam sudah dilakukan sejak awal, dan selanjutnya berlapis-lapis. Bagi calon dari pedesaan, masuk seminari dianggap kemajuan status dalam masyarakat. Tidak demikian bagi calon yang berasal dari kota yang mempunyai pilihan sekolah yang lebih luas. Maka diperlukan katekese panggilan yang berbeda,  menerapkan aspek sosiologi, psikologi perkembangan dan sosial, serta ilmiah sesuai subyek katekese (SD, SMP, SMA) walau Kristus memanggil orang yang Dia kehendaki (Mrk 3:13). Perlu perencanaan bersama untuk menyampaikan pengertian panggilan, terarah, bertahap dan terpadu dalam menggunakan semua sarana komunikasi. Tes dan penyaringan dengan pola tertentu hendaknya diterapkan bertahap diarahkan pada tantangan peningkatan tekat dan kesungguhan para calon, bukan sekedar cara eliminasi. Seminari Menengah diarahkan agar membimbing siswa menerapkan “cara memahami”, bukan sekedar menghapal.  Tekanan diberikan pada penguasaan bahasa (utamanya bahasa Inggris), segi-segi hidup agamis (katekese, liturgi, Kitab Suci),  hidup budaya (sastra, seni), dan bimbingan rohani menuju kedewasaan iman. Pengembangan kurikulum Seminari Tinggi hendaknya diarahkan pada segi pastoral, memerhatikan situasi lokal (Indonesia? Asia?). Penempatan seminaris dalam tahun pastoral dalam bimbingan dan lingkungan yang membangun, perlu rancangan bersama pihak Seminari, keuskupan dan pembimbing yang ditunjuk, demi menguatkan semangat dan memberi inspirasi. Kehidupan asrama di samping kondusif untuk belajar juga untuk menunjang kedewasaan rohani, kemandirian, sekaligus ruang eksperimen pastoral yang menekankan komitmen, keterlibatan, dan kebersamaan satu cita-cita, kendati pun memerhatikan aspek khas pengabdian pada dioses, ordo/tarekat. Selain itu ada permintaan agar mereka disiapkan untuk sanggup ditempatkan di mana pun di Indonesia menurut urgensi pastoral. 

Penempatan imam baru sangat penting dipertimbangkan dengan seksama karena menentukan perkembangannya. Diharapkan perhatian dari rekan imam yang lebih senior. Jangan sampai karena enggan lalu imam muda tak diacuhkan. Imam baru tentu saja belum dapat diharapkan mampu dalam banyak hal. Ia masih akan berkembang dan memerlukan bimbingan. Diperlukan teman untuk berdialog agar ia mengenal apa yang masih perlu dikembangkan, dan apa yang perlu dikurangi karena berlebihan. Untuk itu diperlukan suasana persahabatan yang kondusif.

Sebagian umat Katolik adalah pegawai pemerintah. Mereka dimasukkan dalam Korps Pegawai Negeri  (KORPRI) yang didirikan pada tanggal 29 November 1971 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. KORPRI merupakan wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia dan diikat dengan Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia,  yaitu sumpah/janji pegawai negri sipil yang dimaksudkan untuk menciptakan sosok PNS yang profesional, jujur, bersih dari segala korupsi, kolusi, nepotisme, berjiwa sosial, dan sebagainya. Isi  Panca Prasetya : 1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara,serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara; 3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan; 4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia ; 5. Menegakkan kejujuran, keadilan, dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Entah kapan pastinya tetapi menjelang akhir 1971 Ray Tomlinson mengirim ARPANET pertama, sebagai awal dari di mana surat elektronik dikiriman dari komputer satu ke komputer yang lain. 


Di Flores dari total penduduk tahun 1970 yang berjumlah sekitar  1 juta orang hanya 14.5% menyelesaikan pendidikan dasar. Gereja Katolik adalah perintis pendidikan dasar bagi masyarakat, telah membangun dan menyelenggarakan sekitar 1.000 sekolah dengan 155.000 murid dan menyediakan hampir 5.000 guru. Yang memprihatinkan pada waktu itu adalah besarnya drop-out, hampir 50% dari para murid karena berbagai alasan tidak dapat menyelesaikan sekolah hingga kelulusan. Agar upaya pendidikan semakin efektif pada  tahun 1971 Yayasan Pendidikan Katolik Vedapura, satu-satunya yayasan  yang menyelenggarakan seluruh persekolahan Katolik di seluruh  Flores, praktis telah dipecah menjadi lima yayasan berdasarkan kabupaten masing-masing, dengan visi sekolah umat. Kelima yayasan itu sejak 5 Agustus adalah  Yapersuktim  (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur-Lembata), Yasukda (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada-Nagekeo) ,  Sanpukat (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Sikka) , Yasukel (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ende Lio) dan Yapersukma  (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai).

Di beberapa Keuskupan pada masa itu penyelenggaraan pendidikan sekolah terkendala banyak hal terutama penyediaan dana dan SDM guru, maka upaya pendidikan dialihkan pada bidang pendidikan informal kemasyarakatan seperti kursus baca-tulis dan ketrampilan, utamanya di bidang pertanian (do-school). Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Pembangunan bukan berarti membangun gedung saja, bukan pula membangun alat-alat produksi dan penyalurannya, tetapi berarti terutama membangun, mengembangkan manusia sehingga mampu membangun gedung dan alat-alat tersebut dan mempergunakannya”. Rakyat perlu diikutsertakan seerat mungkin agar mereka dapat mengembangkan diri sebagai manusia produktif (PKUKI 38).

Dimulai dari Kursus/Pelatihan Credit Union (CU), pada tahun 1971 tumbuh 3-5 CU di Jakarta dan Bandung, dan Periangan Timur Jawa Barat. Kursus pelatihan itu diselenggarakan oleh Biro Konsultasi Koperasi Simpan Pinjam/Credit Union Counselling Office (CUCO). Lembaga yang  berfungsi mempersiapkan Program Motivasi dan Pendidikan Pelatihan Credit Union bagi masyarakat ini didirikan pada 4 Januari 1970, dikelola oleh para relawan, dipimpin oleh Romo Albrecht Karim Arbie SJ sebagai Direktur Utama dan Robby Tulus sebagai Managing Director. Credit Union yang aslinya gerakan koperasi keuangan internasional di Indonesia beroperasi dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan–ketentuan  dalam UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Dirjen Koperasi saat itu Ir. Ibnoe Soedjono memandang Credit Union layak dikembangkan di Indonesia. Ibnoe Soedjono bahkan bersedia menjadi Ketua Dewan Penyantun CUCO yang beranggotakan Raden Mas Margono Djoyohadikusumo (pendiri BNI 46), Prof. Dr. Fuad Hasan (Guru besar psikologi yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan & Kebudayaan), Mochtar Lubis (wartawan dan satrawan), Prof. Dr. A.M. Kuylaars Kadarman, SJ (Pendiri Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen), A.J. Sumandar, John Dijkstra, SJ dan  Albrecht Karim Arbie, SJ. Kemudian pada 1971, Romo Albrecht SJ menyerahkan pengelolaan CUCO sepenuhnya kepada Robby Tulus.

Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Gereja wajib berusaha ke arah otonomi keuangan lembaga-lembaganya. Usaha-usaha, proyek-proyek pembangunan kecil swadaya rakyat sangat lebih tepat dibantu dengan kredit-kredit yang harus dibayar kembali dari hasil usaha swadaya rakyat sendiri daripada (mengandalkan) derma dana melulu. Gereja ingin berswadaya bersama rakyat” (PKUKI 38).


(Bersambung Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1972)