Bambang Kussriyanto
Sejarah Gereja Katolik Indonesia
Pasca 1970
BAB I
GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN
(1970-1979)
“Kemajuan yang sejati
terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi
manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan
kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI,
Populorum Progressio 86)
Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1971
Di Mesir pembangunan bendungan Aswan berhasil diselesaikan
pada pertengahan tahun 1970, dan secara resmi diopersikan pada 15 Januari 1971. Dengan keberhasilan pembangunan
bendungan Aswan banjir tahunan dari
Sungai Nil dapat dikendalikan. Selain itu bendungan ini juga dimaksudkan untuk
pembangkit listrik. Air dimasukkan kedalam Danau Nasser yang panjangnya 500 km dan
merupakan reservoir terbesar keenam di dunia. Selanjutnya dibuat saluran
irigasi untuk pertanian di sekitarnya. Sukses pembangunan bendungan Aswan
kemudian menjadi inspirasi pembangunan bendungan-bendungan lain di dunia,
termasuk di Indonesia.
Setidaknya sekali setahun, umat kristiani diingatkan pada doa Yesus untuk para muridNya “Supaya mereka menjadi satu... agar dunia percaya” (Yoh 17:21). Dengan menyapa hati mereka, umat kristiani diajak berdoa untuk kesatuan di antara mereka. Kesatuan di antara rukun-rukun umat, paroki-paroki, gereja-gereja, di seluruh dunia. Bertukar mimbar. Menyelenggarakan perayaan dan doa-doa ekumenis antara 18-25 Januari, sekitar peringatan St Petrus dan St Paulus. Untuk perayaan tahunan, para mitra ekumenis di daerah-daerah setempat tertentu dianjurkan melakukan perjumpaan untuk menyusun teks ibadat dan tema biblis. Suatu tim mewakili Dewan Gereja Dunia dan Gereja Katolik kemudian menyempurnakan tema dan teks doa usulan untuk dibagikan ke seluruh dunia demi kesatuan yang tampak seluruh umat kristiani. Semakin banyak keuskupan dan paroki-paroki di dalamnya di Indonesia ikut serta melaksanakannya.
Setiap kali paroki baru didirikan hal itu merupakan kabar
sukacita bagi Gereja sebab dalam struktur kuno itu kesatuan umat Allah
ditampakkan, terutama dalam perayaan Ekaristi yang diselenggarakan pada hari
Minggu. Pada awal tahun 1971 paroki Kare Makassar didirikan sebagai pemekaran
dari paroki Katedral Makassar.
Di Keuskupan Malang pada tahun 1971 didirikan paroki Kepanjen
dan paroki Lodalem (keduanya pemekaran dari paroki Purworejo di Malang
Selatan). Umat Katolik di Keuskupan
Malang pada tahun 1971 sekitar 28.000 jiwa, tersebar di 23 paroki di bagian selatan Jawa Timur (hingga jazirah
Blambangan) dan Pulau Madura, dilayani seorang imam diosesan dan 58 imam
religius (khususnya Ordo Karmel, O.Carm).
Dua paroki baru juga didirikan pada 1971 di Keuskupan
Surabaya yang berada di Jawa Timur sebelah barat dan utara, yaitu paroki
Jombang (pemekaran dari paroki Mojokerto) dan paroki Ngawi (pemekaran dari
paroki Madiun). Paroki-paroki lain yang muncul pada 1971 adalah Paroki Basiem
(Keuskupan Agats Asmat), paroki Melolo (Keuskupan Weetebula), paroki Obano
(Keuskupan Jayapura), paroki Boanio
(Keuskupan Agung Ende), paroki Nela (Keuskupan Atambua), paroki Pemalang
(pemekaran dari paroki Pekalongan, Keuskupan Purworejo), dan paroki Maria
Fatima Magelang (pemekaran dari paroki Ignatius Magelang).
Pendirian paroki-paroki baru disemangati ajaran Konsili
Vatikan II mengenai partisipasi atau peran serta aktif dalam hidup Gereja, yang
seharusnya terlaksana dalam paroki. “Dari harta-kekayaan rohani Gereja kaum
awam, seperti semua orang beriman kristiani, berhak menerima secara melimpah
melalui pelayanan para Gembala hirarkis, terutama bantuan sabda Allah dan
sakramen-sakramen. Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan,
seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Sekadar
ilmu-pengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka para awam mempunyai
kesempatan, bahkan kadangkadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan
mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja. Bila itu terjadi,
hendaklah itu dijalankan melalui lembaga-lembaga yang didirikan Gereja untuk
itu, dan selalu dengan jujur, tegas dan bijaksana, dengan hormat dan cinta
kasih terhadap mereka, yang karena tugas suci bertindak atas nama Kristus.
Hendaklah para awam, seperti semua orang beriman kristiani, mengikuti
teladan Kristus, yang dengan ketaatan-Nya sampai mati, membuka jalan yang
membahagiakan bagi semua orang, jalan kebebasan anak-anak Allah. Hendaklah
mereka dengan ketaatan kristiani bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh
para Gembala hirarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin
dalam Gereja. Dan janganlah mereka lupa mendoakan di hadirat Allah para
Pemimpin mereka, – sebab para Pemimpin itu berjaga karena akan memberi
pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa kita, – supaya itu mereka jalankan dengan
gembira dan tanpa keluh kesah (lih. Ibr. 13:1).
Sebaliknya, hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan
memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah
nasihat mereka yang bijaksana dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh
kepercayaan diserahkan kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada
Gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak;
bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai
kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh
perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa, usul-usul serta
keinginan-keinginan yang diajukan oleh kaum awam. Hendaklah para Gembala dengan
saksama mengakui kebebasan sewajarnya, yang ada pada semua warga masyarakat
duniawi.
Dari pergaulan persaudaraan antara kaum awam dan para
Gembala itu, boleh diharapkan banyak manfaat bagi Gereja. Sebab dengan demikian
dalam para awam diteguhkan kesadaran bertanggungjawab dan ditingkatkan
semangat. Lagi pula tenaga kaum awam lebih mudah digabungkan dengan karya para
Gembala. Sebaliknya, dibantu oleh pengalaman para awam, para Gembala dapat
mengadakan penegasan yang lebih jelas dan tepat dalam perkara-perkara rohani
maupun jasmani. Dengan demikian seluruh Gereja, dikukuhkan oleh semua
anggotanya akan menunaikan secara lebih tepat guna perutusannya demi kehidupan
dunia.
Setiap orang awam wajib menjadi saksi kebangkitan dan
kehidupan Tuhan Yesus serta menjadi tanda Allah yang hidup di hadapan dunia.
Semua serentak dan masing-masing untuk bagiannya sendiri wajib memperkaya dunia
dengan buah-buah rohani (lih. Gal. 5:22), dan menyebarkan di dalamnya semangat,
yang menjiwai mereka yang miskin, lemah-lembut dan cinta damai, yang dalam
Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan (lih. Mat. 5:3-9). Pendek kata: ‘Seperti
jiwa dalam tubuh, begitulah umat kristiani dalam dunia’ “ (LG 37-38).
25 Januari 1971 suatu junta militer pimpinan Idi Amin
merebut kekuasaan di Uganda. Paus Paulus VI belum lama berselang pada Agustus 1969
mengunjungi Uganda dan diterima Presiden Milton Obote dan isterinya, Miria.
Kunjungan itu seperti lelucon indah. Pada bulan Maret 1969 Uskup Agung Kampala,
Mgr Emmanuel Nsubuga, mengunjungi Vatican dalam rangka menggalang dana untuk
membangun tempat ziarah Namugongo. Ia membawa sebuah kantong yang disebut kikapu untuk wadah uang. Ia menghadap
Paus Paulus VI dan mohon agar Paus memberkati kikapu yang dibawanya. Ternyata Paus tidak hanya memberkati kikapu itu tetapi juga memasukkan banyak
uang di dalamnya. Sempat bengong sesaat Mgr Emmanuel Nsubuga mengucapkan
basa-basi mengundang Paus untuk peletakan batu pertama. Paus hanya
senyum-senyum saja. Pada 19 Maret 1969
dalam pesta peringatan St Yosef, Paus Paulus
VI membuat kejutan, memutuskan akan mengunjungi Uganda. Itu akan merupakan
kunjungan Paus di Afrika yang pertama dalam sejarah. Kalangan Vatikan menentang
dengan keras rencana kunjungan Paus dengan alasan keamanan. Tetapi Paus Paulus
VI tetap berkunjung ke Uganda menggunakan pesawat East African Airways Super
VC10 31 Juli-2 Agustus 1969 dengan aman, diterima secara meriah oleh rakyat
Uganda, tanpa insiden; ia tidak diterkam
singa, tidak kena malaria, dan tidak mengalami ancaman bahaya. Umat katolik di Uganda merupakan 38% dari
total penduduk 46,2 juta. 42% beragama Kristen, utamanya Anglikan (33%).
Sekitar 14% adalam muslim.
Menurut sensus penduduk tahun 1971 jumlah umat kristiani
seluruhnya di Indonesia mendekati 10 juta atau 7.4 % dari total penduduk. Jumlah umat katolik 2.692.215 jiwa atau 2,3%; umat kristen protestan 6.049.491 atau 5,1%.
Mereka hidup bersama berdampingan dengan umat Hindu 2.296.299 atau 1,9%; umat Buddha 1.092.314 atau 0,9%; pengikut Konghucu 972.133 atau 0,8%, umat kepercayaan lainnya 1.685.902
atau 1.4% dan mayoritas umat Islam 103.579.496
atau 87.5%.
Pada waktu berkunjung di Indonesia, dalam upacara
penyambutan di Bandara Halim Perdana Kusuma 3 Desember 1970, pidato Paus Paulus
VI mendorong semangat perkembangan para imam bumiputera: “Saya
senang di sini dapat berdampingan dengan saudara setumpah darah Anda: Kardinal
Darmoyuwono, yang memegang wewenang tertinggi Gereja Katolik di negeri ini.
Selain dia juga beberapa Uskup lain putera negeri ini, dan sejumlah imam
bumiputera yang semakin bertambah jumlahnya dan menyiapkan diri untuk
menggantikan para misionaris. Para misionaris ini sudah memberikan segalanya
dengan murah hati demi membantu bangsa Indonesia di semua bidang yang dapat
mereka jangkau; mereka hidup seperti Anda, mengikuti adat kebiasaan dan
kepentingan Anda. Balasan terbaik yang dapat diberikan kepada mereka ini yang
memandang Gereja Katolik seperti tatanan Eropa adalah mewujudkan Gereja yang
katolik, artinya yang universal; di mana pun Gereja menunjukkan kenyataan
seperti yang Anda alami di sini. Hormat dan penghargaan kami kepada para
misionaris yang telah membaktikan diri tersebar di seluruh negeri kepulauan
ini. Salam yang sama hangatnya kepada generasi imam dan Uskup putera asli
Indonesia yang semakin bertambah jumlahnya.”
Para Uskup
pun mengarahkan perhatian pada seminari-seminari. Pendidikan para calon imam di
seminari-seminari berangsur-angsur diselaraskan dengan Dekrit Konsili Vatikan Optatam Totius (OT) tentang pembinaan
Imam, dan juga bertalian dengan Dekrit Presbiterorum Ordinis (PO) tentang
Pelayanan dan Hidup Para Imam, dengan
menekankan aspek pastoral.
Tradisi pendidikan calon imam sejak Konsili Trente yang meletakkan
preferensi pada pembinaan spiritual, moral dan intelektual sudah lama ditengarai
membentuk pribadi imam-imam yang feodalis dan institusionalis dan agak diubah
dengan berkembangnya gereja-gereja misi pada awal Abad XX. Surat Apostolik Maximum Illuds (1919) dari Paus
Benediktus XV menganjurkan seminari-seminari didirikan di tanah misi, mendidik
putra-putra daerah untuk gereja setempat. Ensiklik Rerum Ecclesiae (1926) dari Paus Pius XI memberi petunjuk agar
pendidikan para calon imam dilakukan selengkap-lengkapnya dan jangan
dipersingkat. Seolah menanggapi kedua dokumen itu Mgr Willekens SJ telah
membuka Seminari Tinggi St Paulus di Muntilan pada 1939. Para Uskup juga
membuka Seminari Tinggi dan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) di
tempat lain, antara lain Seminari Tinggi St Paulus Ledalero (1937), Seminari
Tinggi Hati Kudus Yesus Pineleng (1954), Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret
(1955), STFT St Yohanes Pematang Siantar
(1956), Seminari Tinggi Suryagung Bumi
Bandung (1969), STF Driyarkara Jakarta
(1969), STFT Fajar Timur Abepura (1969), dan STFT Widya Sasana Malang (1970). Dalam
Ensiklik Princeps Pastorum (1959)
Paus Yohanes XXIII memberi petunjuk agar pendidikan calon imam dilaksanakan
lebih terbuka agar mereka dapat terlibat dengan kehidupan masyarakatnya.
Disadari bahwa keberhasilan menerapkan semangat dan hasil-hasil arahan Konsili
Vatikan II akan sangat tergantung pada jumlah dan mutu imam-imam generasi baru
yang akan dihasilkan seminari-seminari ini.
Suatu
penelitian memberikan gambaran dinamika mahasiswa Seminari Tinggi di Indonesia
hingga awal 1970-an.
Periode |
Masuk |
Ditahbis |
% |
Keluar |
% |
1953-1964 |
536 |
301 |
56.2 |
235 |
43.8 |
1965-1970 |
535 |
262 |
49 |
273 |
51 |
Sementara diperlukan struktur pastoral bagi para imam yang
dihasilkan agar dapat melayani umat lebih efektif, di pihak lain perlu juga
mengembangkan peran serta awam untuk membantu para imam dalam bidang-bidang
pelayanan yang dapat didelegasikan kepada mereka. Sehubungan dengan itu
pendidikan para calon imam juga perlu mengembangkan gaya kepemimpinan yang
baru, gaya kepemimpinan yang transformatif dan partisipatif.
Dari Dinamika Moneter, Politik dan Seruan
Keadilan
Bursa efek NASDAQ atau National
Association of Securities Dealers Automated Quotations didirikan pada 4
Februar i 1971. Berbeda dari bursa efek yang sudah ada lebih dulu pada waktu
itu, NASDAQ tidak punya lantai bursa dan surat berharga tidak ditawarkan atau
dibeli lewat petugas bursa. Di bursa NASDAQ transaksi dilakukan menggunakan
komputer. Perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di NASDAQ terutama
perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dan terkait komputer. NASDAQ nantinya
akan berkembang menjadi bursa efek terbesa di dunia setelah Wall Street. Jika
orang sekarang menyebut NASDAQ yang dimaksud bukan bursa efeknya, tetapi indeks
komposit Nasdaq yang terbentuk pada 8 Februari
1971. Kelahiran NASDAQ dan keasadaran akan daya kekuatannya menambah
keprihatinan Gereja akan apa yang disebut kapitalisme teknokratis yang ditopang
kemajuan ilmu dan teknologi, bahwa sekalipun dapat menimbulkan
utopia-utopia oleh keyakinan dapat memecahkan
masalah politik masyarakat modern lebih baik dari ideologi, dan membawa
masyarakat ke dalam perandaian sebagai
alibi yang nyaman untuk melarikan diri diri tanggungjawab langsung, namun jika
diarahkan dengan benar dalam semangat Kristus dan bimbingan Roh Kudus, daya
kekuatan inventif dari budi manusia itu dapat mengundang lintasan daya cipta
manusia ke depan, baik untuk menggali di
masa kini peluang tersembunyi , maupun menawarkan masa depan yang cerah. Pada
akhir tahun 1971 nanti, kritik Gereja akan ditampilkan dalam Ensiklik Octogesima Adveniens (OA 36-37 dst).
Alan Shepard dan Edgar Mitchell dengan pesawat Apollo
14 pada 5 Februari 1971 mendarat di
permukaan bulan. Misi para astronot Apollo 14 Alan Shepard, Stuart Roosa dan
Edgar Mitchell kali ini berhasil menebus kegagalan misi sebelumnya, Apollo 13
(April 1970) yang mengalami ledakan tangki oksigen dan terpaksa harus pulang ke
bumi. Shepard dan Mitchell tinggal 33 jam dan 31 menit di permukaan bulan. Sesudah
keberhasilan pendaratan Apollo 11 pada Juli 1969, NASA mengumumkan suatu daftar
yang memuat 8 tempat pendaratan lagi di luar lokasi yang diperutukkan Apollo 12, yang mendarat di bulan selama
hampir 8 jam pada akhir 1969. Tujuan utama misi Apollo adalah melakukan
percobaan ilmiah untuk memahami lebih jauh geologi bulan, kegiatan seismik di
dalamnya, angiin dan komposisi atmosfir bulan. Lebih banyak eksperimen ilmiah
sesudah program Apollo yang akan berlangsung hingga tahun 1972, akan dilakukan
lagi pada pertengahan 2020-an nanti.
Biaya setiap kali peluncuran pesawat Apollo diperkiran AS$ 445 juta pada
nilai yang berlaku saat itu, dan keseluruhan program Apollo diperkirakan akan
menghabiskan antara AS$ 7-12 milyar hingga 1973 dengan mempekerjakan kurang
lebih 400.000 orang. Walaupun mensyukuri capaian kemajuan teknologi yang
dicapai untuk maksud-maksud damai untuk lebih memahami dalamnya rahasia ciptaan
Allah, dalam berbagai dokumen ajarannya Gereja juga selalu mengingatkan
kegunaan dari eksperimen-eksperimen teknologi bagi kesejahteraan manusia,
dihadapkan pada prioritas-prioritas mendesak kerjasama internasional dalam
rangka pembangunan dan keperluan
bangsa-bangsa yang sedang berkembang.
Seolah menanggapi capaian teknologi ruang angkasa pada 5
Maret 1971 grup musik Led Zeppelin meluncurkan lagu “Stairway to Heaven” yang kemudian sangat
populer, juga di Indonesia. Syairnya
mengisahkan seorang meniti jalan ke surga namun ketika sampai di sana toko-toko
tutup dan ia tidak dapat menemukan atau membeli apa yang ia cari. Pada akhirnya
liriknya, Led Zeppelin mengingatkan bahwa masih ada waktu untuk mengubah jalan
yang ditempuh, dengan mendengarkan sungguh-sungguh bisikan suara hati nurani,
bahwa apa yang dicari ada pada semua hal, dan segalanya ada pada satu saja.
Umat kristiani seraya menikmati lagu yang indah itu diingatkan secara tidak
langsung melalui budaya pop pada sabda, bahwa “Allah menjadi semua di dalam
semua” (1 Kor 15:28).
Denting sumbang terdengar lagi dari berita bahwa Sukatno,
Sekjen Dewan Nasional Pemuda Rakyat, anggota CC PKI, divonis hukuman mati dalam
sidang Mahmilub dengan Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret 1971.
Kegetiran tersirat mengingat belasan ribu tahanan politik terpanjara menanti
proses pemeriksaan perkaranya secara adil.
Sementara itu budaya manusia memang sulit diduga dalamnya
dan menyajikan kejutan-kejutan kreatif. Dari rasa pahit pengalaman minum kopi
diangkat sebagai suatu pengalaman luks ketika pada 31 Maret 1971 kedai kopi Starbucks
didirikan di Seattle, Washington. Dalam kepahitan ada kemewahan, itulah
pesan revolusi kopi yang kemudian dicontoh di banyak tempat di dunia dengan
menjamurnya kedai kopi, industri kopi kreatif dan budaya minum kopi di seluruh dunia hingga sekarang. Bagi
Indonesia suatu peluang untuk revitalisasi pasar internasional bagi kopi
Nusantara yang sudah populer sejak zaman kolonial, dan berlanjut di dalam
negeri melalui tradisi “wedangan” atau “ngangkring”. Pesannya yang lebih luas
lagi memberi semangat baru dalam menjalani hidup, yaitu bahwa dalam
kebersamaan, derita dan dukacita pun memberikan sukacita.
Pada masa Soekarno olahraga dijadikan alat politik. Misalnya
hal itu dilakukan dalam penyelenggaraan Asian Games IV (1962) dan Ganefo (1963)
di Jakarta. Pada 6 April, dalam rangka kejuaraan tenis meja dunia ke-31 di
Nagoya, Jepang, Mao Zedong mengundang
tim pingpong (tenis meja) AS untuk mengunjungi RRT. Istilah “diplomasi ping-pong” menjadi
terkenal. Buahnya adalah penghentian embargo perdagangan AS atas RRT oleh
Presiden Nixon pada 10 Juni 1971. AS menghentikan perdagangan dengan RRT sejak
1950 karena menganggap RRT sebagai agresor dalam Perang Korea. Sejak itu tidak
ada hubungan ekonomi dan diplomatik antara AS dan RRT. Diplomasi bola kecil
“ping-pong” membuka peluang dan
mengantar hubungan bilateral baik ekonomi maupun diplomatik yang lebih baik di
antara AS dan RRT. Hal-hal kecil selalu
mampu menjadi hal-hal besar.
Paroki Kedaton sebagai pemekaran dari Paroki Katedral
Tanjungkarang diberkati pada hari Kamis Putih, 7 April 1971 dengan nama
pelindung Santo Yohanes Rasul. Suatu momen yang tepat untuk melakukan kilas
balik. Paroki Tanjungkarang terus berkembang. Meski gedung gereja telah
diperluas tetapi menjelang tahun 1970 sudah terasa sesak lagi. Gedung baru tak
dapat mengimbangi jumlah umat. Maka Pastor bersama sejumlah tokoh umat membuat
rencana untuk mengembangkan paroki baru. Panitia ditetapkan pada 8 April 1970,
dan segera bekerja membeli tanah, mengurus perijinan dan sebagainya, dan
berhasil melewati berbagai kendala birokrasi.
Menurut statistik Vatikan pada tahun 1969 di Keuskupan Tanjungkarang
terdapat 30.031 umat katolik. Pada saat
berdirinya Prefektur Apostolik Tanjungkarang pada 1952 terdapat 4 paroki yaitu Tanjungkarang (1949),
Telukbetung (1949), Pringsewu (1932) dan Metro (1937). Umat berjumlah kira-kira
2.500 orang dan dilayani oleh 7 imam. Paroki Gisting (1955) didirikan sebagai
pemekaran paroki Pringsewu. Selanjutnya setelah Prefektur Apostolik ditingkatkan
menjadi Keuskupan pada 1961, didirikan paroki Kotabumi (1963), Kalirejo (1966),
Kotagajah (1968) dan Bandarjaya (1968). Keuskupan Tanjungkarang dilayani oleh
para imam Oblat Hati Kudus Yesus (SCY) dan pada tahun 1971 hanya ada seorang
imam diosesan.
Pada 24 April 1971 terjadi demo terbesar yang mengerahkan
500.000 pemrotes Perang Vietnam di Washington D.C. dan 150.000 lainnya di San
Francisco. Demo itu menandai permulaan berhentinya pengiriman tentara AS ke
Vietnam. Sejauh ini Perang Vietnam bahkan telah melebar ke Laos dan Kampuchea.
AS telah menempatkan lebih dari 340 ribu personil di Vietnam pada awal 1971.
Penggunaan senjata kimia oleh tentara AS di provinsi Ninth Thuan pada 7 Januari
menghanguskan hutan dan berhasil memusnahkan tanaman pangan logistik pihak
tentara komunis Vietnam. Tetapi berita itu membangkitkan kemarahan dan protes
di dalam negeri AS sendiri. Pastor Jesuit Philip Berrigan SJ memimpin protes
anti perang dengan meledakkan terowongan bawah tanah Gedung Federal di
Washington dan diduga berusaha menculik penasehat keamanan Henry Kissinger,
bersamaan dengan keluarnya tuntutan “Gerakan Perwira yang Peduli” untuk
mengadili kejahatan perang para jendral AS pada 12 Januari. Pada 13 Januari
Presiden Nixon menandatangani undang-undang yang mencabut Resolusi Teluk Tonkin
yang selama ini menjadi dasar hukum bagi keterlibatan AS dalam perang Vietnam. Presiden
Republik Khmer (Kampuchea) Lon Nol menderita stroke dan menyerahkan kendali
kepada Pangeran Sisowath Sirik Matak. Majalah Newsweek 15 Maret menyajikan
cerita sampul berjudul "Perang Helikopter" dan menggambarkan
intensitas operasi helikopter AS dan sambutan tembakan antipesawat gerilyawan
komunis Vitnam Selatan di atas Laos. Semua ini menjadi faktor yang menggerakkan
demo 24 April 1971 untuk menyudahi keterlibatan AS di Vietnam.
Suatu konggres medis kongregasi religius sudah disiapkan
dari tahun 1970 dan pada 25 April 1971
panitia di Jakarta menetapkan bahwa kaum awam diikut-sertakan dalam konggres
medis tersebut. Dalam bulan Pebruari 1971 panitia persiapan konggres medis
telah mengirimkan suatu angket ke segala rumah sakit/rumah- bersalin/poliklinik
Katolik untuk inventarisasi kegiatan medis Katolik di seluruh Indonesia dan
bahan-bahan lain yang dapat menjadi pokok pembahasan dalam konggres nanti.
Mulanya suatu konggres ekumenis dianggap masih sedikit prematur, sebab
berkumpul dalam kelompok Katolik sendirisaja belum pernah dilakukan, tetapi
dalam rapat-rapat kemudian itu dipertimbangkan
lagi secara positif. Selanjutnya dipikirkan kemungkinan untuk mendirikan “Biro
Medis” yang terkait dengan Waligereja Indonesia (MAWI).
Karena kebijakan moneter AS yang menurunkan suku bunga untuk
mengatasi kelesuan ekonomi dalam negeri, banyak dolar Amerika mengalir keluar
ke negara-negara yang menganut nilai tukar tetap dan memasang suku bunga lebih
tinggi. Sekitar AS$ 30,5 milyar menuju sepuluh negara terutama di Eropa
Barat. Jerman Barat menerima inflow
dolar Amerika sebesar AS$ 4,9 milyar dan
menyebabkan likuiditas berlebih. Dalam perdagangan internasional DM mengalami
revaluasi merangkak dan memukul impor. Menyadari situasi sulit pada 9 Mei 1971
melepaskan kurs tetap DM dari dolar AS dan mengambil posisi nilai tukar
mengambang terhadap semua mata uang utama. Langkah Jerman Barat nanti diikuti
Perancis dan Swiss sehingga dengan makin banyaknya kebijakan nilai tukar mata
uang mengambang dasar dasar Perjanjian Bretton-Woods dari tahun 1944 dengan sistem
nilai tukar mata uang tetap secara international berangsur-angsur runtuh. Kejadian ini sekaligus menjadi awal “krisis
dollar AS” yang berdampak panjang bagi dunia. Pada tahun 1971, nilai kurs
rupiah juga terpukul oleh krisis dollar
AS. Nilai rupiah merosot (terdevaluasi) dari Rp 378 menjadi Rp 420 per 1 USD
(23 Agustus 1971). Bagi Indonesia, devaluasi rupiah mengurangi kebutuhan impor
karena membeli dengan dollar jadi mahal, dan perolehan dollar jadi lebih
menggiurkan hingga meningkatkan usaha ekspor.
Ekonomi Indonesia mulai berorientasi pada ekspor.
Pada 14 Mei 1971 Paus Paulus VI menerbitkan ajaran sosial
dalam Ensiklik Octogesima Adveniens,
memeringati dengan perspektif baru 80
tahun terbitnya Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII tahun 1891. Ensiklik
ini menanggapi perkembangan situasi sosial politik dan kebudayaan baru yang bermacam
ragam. Di sebagian daerah muncul sistem totaliter yang menimbulkan penindasan
dan peminggiran. Kaum minoritas tak berdaya dan dibungkam diam tak bersuara.
Sebagian anggota Gereja tergoda menempuh cara radikal yang menggunakan
kekerasan untuk memecahkan persoalan dan berusaha mencapai hasil yang lebih
baik.Sebagian lagi tidak peka pada pelanggaran keadilan justru melestarikan
keadaan dikelabui oleh ideologi-ideologi
yang menjanjikan hasil yang lebih baik namun toh akhirnya mengecewakan
(OA 2-4). Maka Gereja merasa wajib memberikan amanatnya untuk pedoman umat
dengan perspektif yang disegarkan dalam
upaya menentukan dan mengarahkan masa depan menurut kasih dan keadilan
yang diajarkan Yesus Kristus dan ajaran-ajaran sosial Gereja (OA 5). Sebagian
masalah keadilan akan dibahas para Uskup secara lebih seksama dan rinci dalam
Sinode para Uskup yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober nanti (OA 6).
Ensiklik membahas konsekuensi gelombang Urbanisasi yang
disatu pihak menunjukkan kemajuan kota dan kemewahan baru namun menyembunyikan
peningkatan erosi kerukunan warga,
kriminalitas, penyalahgunaan narkotika dan pelampiasan nafsu seksual yang
melukai martabat manusia (8-17). Media
komunikasi sosial seharusnya menjadi alat kesatuan dan memajukan pendidikan dan
kebudayaan demi kesejahteraan umum (20).
Eksploatasi alam yang acak-acakan mengancam kerusakan lingkungan hidup (21).
Aspirasi untuk memajukan keadilan dan partisipasi dalam pembangunan demi
martabat dan kebebasan manusia semakin menguat dan mencari salurannya dalam
politik (22-25). Ketegangan akibat tarik menarik ideologi sosialisme, marxisme
dan liberalisme menantang jawaban dinamis iman kristiani (36.42).
Hubungan berdasar kekuatan tidak pernah menciptakan situasi
keadilan. Dialog dan kerjasama selalu perlu dilakukan untuk
kesepakatan-kesepakatan yang berkedalian dalam ekonomi dan politik, dalam
menininjau tatanan produksi, stuktur perdagangan, pembagian maslahat, mengenai
sistem moneter, dengan semangat solidaritas dan subsidiaritas (43-44). Ruang
untuk partisipasi dalam tanggungjawab dan pengambilan keputusan politik yang
menghargai kebebasan berpendapat perlu diberikan dengan semangat perdamaian
(45-47). Gereja menyerukan panggilan untuk bertindak, terutama kaum awam,
melalui peranan masing-masing dengan mengingat karya Allah dalam menebus
manusia, penuh komitmen dan semangat solidaritas (48-50).
Derap pembangunan di Indonesia pada 1971 mulai terasa
menimbulkan masalah, utamanya penggusuran tanah seisinya milik warga yang
terkena proyek pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1969 menetapkan,
jika ada hak warga tergusur yang harus dipenuhi pemerintah, di antaranya
pemberian penggantian yang layak, dan menikmati penambahan nilai dari kegiatan
penggusuran tersebut. Maksudnya kalau ada penggusuran di suatu lokasi, kemudian
di lokasi tersebut dibangun sesuatu maka warga yang tergusur harus menikmati dan memperoleh
manfaat dari pembangunan lokasi tersebut. Pembebasan tanah untuk Proyek
Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) di Jakarta merupakan salah satu sorotan umum. Proyek TMII diluncurkan
dengan cepat. Gagasan dari Ibu Tien Soeharto dilontarkan kepada pemerintah DKI
Jakarta pertengahan tahun 1970 dan minta agar rancangannya selesai dalam 4
bulan. Begitu rancangan selesai dan anggaran ditetapkan, dari 1971 mulai
diayunkan langkah pembebasan tanah.
Untuk proyek TMII itu tanah lokasi seluas 150 hektar dibebaskan dengan
mengumpulkan kepala desa di sekitar Bambu Apus. Warga resah karena belum tahu
besarnya ganti rugi yang akan diberikan untuk per meter persegi tanah mereka,
pada hal rencananya proyek pembangunan TMII akan dimulai tahun 1972. Selain
itu, tanah yang dibebaskan adalah tanah subur untuk usaha tani.
Menjelang Pemilihan Umum 1971, setelah menerima laporan dan
mengamati situasi dari lapangan, bahwa banyak terjadi intimidasi di
daerah-daerah, misalnya di Flores, MAWI bersidang di Jakarta di awal Juni 1971
dan membuat surat terbuka yang isinya dimuat dan mendapat sambutan di berbagai
media antara 6-10 Juni 1971. MAWI menyatakan bahwa pemerintah wajib
melaksanakan pemilihan umum dengan menjaga sifat dasarnya, yaitu bebas dan
rahasia. Maka MAWI mendesak pemerintah agar mencegah segala bentuk intimidasi
dan ancaman dari manapun dan oleh siapa pun. Baik itu ancaman fisik langsung maupun
tak langsung, ancaman moril, psikologis, serta menghindarkan segala macam
manipulasi dan kecurangan baik sebelum, selama, dan sesudah Pemilihan Umum.
Pemilihan Umum ke-2 di Indonesia dilaksanakan pada 3 Juli 1971.
Rakyat Indonesia menyambutnya sebagai Pesta Demokrasi. Golkar menang dengan
mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU)
dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24
kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi),
dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi),
Partai Kristen Indonesia mendapat 7 kursi. Partai Katolik 3 kursi. Persatuan
Tarbiyah Islamiah 2 kursi. Dua partai gagal mendapat kursi yaitu Partai
Musyawarah Rakyat Banyak dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Walau mulanya diragukan kemampuannya oleh partai-partai,
namun Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali
pertama ikut pemilu. Demi kedudukan politiknya, termasuk untuk menyongsong
Pemilihan Umum 1971, pemerintah memilih Golongan Karya (Golkar) yang didirikan
pada Oktober 1964 sebagai wahana politiknya, walaupun sesungguhnya Golkar bukan
suatu partai politik. Pilihan ini antara lain karena Golkar didukung oleh
tentara dan ikut memainkan peran penting dalam menghancurkan kekuatan PKI . Tiga jalur kantong pemilih segera digarap
yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya,
Birokrasi pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI),
serta perangkat pemerintahan di semua tingkat dari pusat sampai ke desa-desa
menjadi alat untuk memobilisasi rakyat agar memilih Golkar. Kemudian jalur
golongan karya sendiri yang meliputi hampir 120 anak organisisasi.Ketiga jalur
itu disebut ABG.
Gagasan Dwifungsi ABRI yang diambil dari sejarah perjuangan
kemerdekaan sudah dikemukakan dan dipersiapkan secara strategis oleh Jendral AH
Nasution, ketika mengutus para perwira TNI/ABRI belajar manajemen dan ekonomi
pada awal tahun 1950-an di Fakultas Ekonomi UI dan di perguruan tinggi lain.
Ketika pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda antara 1957-1959 perwira
tinggi TNI/ABRI yang sudah berbekal ilmu manajemen adalah yang paling siap
menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pelbagai perusahaan yang kemudian
menjadi milik negara. Dengan mengandalkan rantai komando, TNI/ABRI yang menjadi
pemimpin perusahaan menempatkan bawahan-bawahan mereka yang terpercaya untuk
menempati fungsi-fungsi penting dalam perusahaan. Dengan demikian sebenarnya
TNI/ABRI sudah menjalankan Dwi Fungsi sejak 1960-an sebagai kekuatan militer sekaligus ekonomi. Pada tahun 1960-an awal hingga pertengahan,
sudah jelas TNI/ABRI menjadi faktor yang
diperhitungkan sebagai jalan tengah yang disegani di antara ideologi agamis dan
ideologi komunis. Maka pada tahun 1966, Dwi Fungsi ABRI dalam politik dan
kemasyarakatan lebih mengemuka untuk
menunjang pembangunan. Demi pembangunan TNI/ABRI dapat menjadi tulang punggung politik
praktis/pragmatis penyokong Orde Baru. Hal itu segera ditanamkan dalam jiwa
korps seluruh jajaran TNI/ABRI sejak 1967.
Di dalam birokrasi, kekuatan pemerolehan suara digalang
melalui Peraturan Monoloyalitas Pegawai Negeri. Pada 1966, Kementrian Dalam
Negeri mengeluarkan dua peraturan, yaitu Peraturan Menteri No. 12 (Permen
12)/1966, yang menetapkan bahwa pegawai negeri tidak diperbolehkan untuk
menjadi anggota partai politik manapun. Peraturan yang kedua adalah, Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6/1970, yang menetapkan bahwa pegawai negeri harus menerapkan
loyalitas tunggal, yaitu kepada pemerintah. Peraturan ini mengarahkan Pegawai
Negeri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Sekber Golkar. Selain itu struktur panitia penyelenggara
pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam
Negeri. Dengan dikuasainya jalur-jalur strategis ABG kemenangan Golkar sudah
dapat dibayangkan. Daerah kantong suara Partai Katolik di NTT terutama Flores
pun tergerus oleh Golkar.
Beberapa waktu sebelum hari pemilihan Juli 1971, sudah
muncul fenomen yang dinamakan “golongan putih” atau golput, yaitu orang-orang
yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya, sengaja tidak datang ke
tempat pemungutan suara dan tidak
mencoblos sebagai protes atas ketidakadilan, ketidakjujuran yang terjadi selama
masa persiapan dan kampanye pemilihan umum. Golput di kemudian hari semakin
besar dan mengurangi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, dan
karena itu mengurangi nilai dan kualitas pemilihan umum.
India pada 9 Agustus 1971 menandatangani pakta perdamaian,
persahabatan dan kerjasama 20 tahun
dengan Uni Soviet. Kemesraan diplomasi
ping-pong yang mengeratkan hubungan AS-Beijing membuat India gerah. Perdana
Menteri India Indira Gandhi menduga hubungan itu akan membuat India tertekan
oleh Pakistan sebab AS dan RRT membantu Pakistan. Sementara itu Pakistan Timur
sedang bergolak dan India perlu menegaskan perbatasannya, namun diancam
Pakistan. Semua itu mengarahkan politik luar negeri India mencari keseimbangan
dengan mendekati Uni Soviet. Dan Uni
Soviet menyambut India dengan mesra sebab pada dasarnya kerjasama kedua negara
sudah dijalin dari tahun 1950 dan mengemuka ketika perang perbatasan India-RRT
1962. Walau Pakta Perdamaian, Persahabatan dan Kerjasama lebih dilaksanakan
dalam bidang ekonomi namun tetap membayangkan juga kerjasama militer yang harus
dipertimbangkan pihak-pihak yang hendak menggoyangkan keseimbangan situasi Asia
Selatan. Postur hubungan Indo-Soviet ini ikut memuluskan kemerdekaan Bangladesh
ketika Pakistan kehilangan dukungan AS dan RRT yang sedang asyik mesra
mengembangkan relasi di antara mereka sendiri
pada 1971.
Sebenarnya Amerika Serikat bukannya tidak peduli, tetapi AS
sedang sibuk mengurus kerepotannya sendiri juga. Karena inflasi yang meningkat
tinggi di dalam negeri, berhubung
likuiditas berlebih, dan beban Perang Vietnam, pada 15 Agustus 1971 Presiden Nixon setelah berdiskusi selama tiga
hari di Camp David dengan para penasehat keuangan AS terpaksa mengambil
kebijakan moneter penting. Sejauh ini
nilai tukar dollar diikatkan secara tetap dengan harga emas, yaitu AS$ 35 per satu ounce emas. Demi mengurangi
inflasi Nixon selain memutuskan untuk mengurangi jumlah pasukan AS di Vietnam,
kemudian melepas ikatan dollar dengan emas, membuat nilai tukar dollar
mengambang dan mendapat keseimbangan baru dalam devaluasi pada tingkat AS$ 38 per satu ounce emas. Moment itu lazim disebut “Nixon Shock”, suatu
langkah yang akan mengubah pola keuangan dunia, perdagangan dunia dan
distribusi pangan.
Pada 14 Oktober 1971 Organisasi non-pemerintah (Ornop) untuk
lingkungan hidup Greenpeace didirikan
di Vancouver, Canada, sebagai bagian
dari Komite “Don’t Make a Wave.” Komite
ini suatu organissi anti-nuklir yang menentang percobaan nuklir bawah tanah
di Amchitka Island. Komite Don’t Make a
Wave dikemudian hari menjadi Yayasan Greenpeace. Sejak itu Greenpeace menjadi
inspirasi didirikannya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di
bidang konservasi lingkungan di seluruh dunia. Bahkan berpengaruh pada semua
gerakan yang berwawasan “green” dalam politik kebijakan pemerintahan. Juga di
Indonesia.
Dengan Resolusi Sidang Umum PBB 2758 pada 25 Oktober 1971
RRT diterima menjadi anggota penuh PBB. Hari berikutnya Taiwan keluar dari PBB.
Taiwan dianggap bagian dari RRT. Menteri Luar Negeri Adam Malik ikut berperan
dalam penerimaan RRT menjadi anggota penuh PBB. Sementara itu secara diplomatik
diusahakan terwujudnya kesatuan Tiongkok, dengan pendekatan pada Republik
Tiongkok (Taipei) yang pernah menjadi anggota PBB penuh 1946-1971 dan dengan
RRT.
Pada 3 November 1971 diterbitkan UNIX Programmer’s
Manual yang pertama. UNIX-sistem ini
nanti akan melahirkan Linux, macOS, dan berbagai sistem operasi untuk jaringan hand-phone yang merajai dunia.
Tak lama kemudian pada 15 November Intel
membuat prosesor mikro yang pertama
Intel 4004. Ini merupakan langkah pertama penggunaan prosesor mikro
dengan satu chip yang memuat CPU 4 bit, merintis jalan menuju digitalisasi
global. Pada awalnya kehadiran komputer belum
bisa diterima di masyarakat yang mengkhawatirkan penggunaan komputer akan
menghambat penciptaan lapangan pekerjaan. Namun pada 4 Juli 1969 pemerintah Indonesia membuat
suatu organisasi bernama BAKOTAN (Badan Koordinasi Otomatisasi Administrasi
Negara) sebagai konsultan bagi instansi-instansi yang akan membeli atau menyewa
peralatan komputer untuk menjawab tantangan penggunaan komputer demi efisiensi.
Memasuki tahun 1970 komputer besar IBM
S/370 (main-frame) mulai digunakan di
instansi pemerintah (DKI Jakarta) dan perusahaan (Pertamina), dan mulai
merambah lembaga pendidikan. Baru pada 1980-an Sistem operasi UNIX digunakan di
Indonesia dengan menjamurnya penggunaan komputer mini.
Sementara itu antara 30 September-6 November 1971 diselenggarakan
Sinode Para Uskup Sedunia II membahas dua
tema (1) Imamat Pelayanan dan (2) Keadilan di Dunia (Justice in the World,JIW). “Pemeriksaan batin kita sekarang
menyentuh pola hidup semua anggota: para Uskup, imam-imam, religius, dan umat
awam. Berkenaan dengan rakyat yang miskin perlu ditanyakan, apakah keanggotaan
Gereja menempatkan orang-orang di atas pulau kaya di lingkungan orang miskin?
Dalam masyarakat yang menikmati taraf lebih tinggi pembelanjaan bernada
konsumerisme, harus ditanyakan, apakah pola hidup kita memberi teladan
penghematan dalam menggunakan barang-barang... supaya sekian juta rakyat yang
kelaparan di seluruh dunia mendapat makanan. Sumbangan khas umat Kristiani
kepada keadilan adalah kenyataan hidup sehari-hari orang beriman yang bertindak
ibarat ragi Injil dalam keluarga, sekolah, pekerjaan, kehidupan sosial dan
sipilnya” (JIW/CEU 48-49).
Para Bapa Sinode memuji dedikasi para imam di seluruh dunia
dalam mewartakan Sabda dan melayani sakramen, dalam karya pastoral dan
kerasulan. Disadari banyaknya tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam
karya mereka. Ada yang merasa asing di
tengah dinamika perubahan masyarakat dan tidak bisa menanggapi tuntutan baru.
Kesulitan dirasakan dalam karya kerasulan karena penggunaan metode-metode usang
untuk memecahkan masalah-masalah baru. Maka selain sulit membimbing awam karena
sekularisasi, imam sendiri juga diterpa kemelut mengenai status selibatnya. Di
pihak lain sebagian imam dengan semangat menyucikan dunia ikut hanyut dalam
peristiwa-peritiwa masyarakat mewujudkan komunitas yang adil dalam kasih persaudaraan.
Menyadari bahwa segala sesuatu bersifat politik, mereka berpendapat bahwa
menjadi revolusioner adalah sikap yang tak bisa dielakkan. Di tengah
kebimbangan umum mengenai nilai segala
yang bersifat sakramental dan kultis, para imam justru mencari cara bagaimana
menyatakan iman yang dapat meresapi hidup pribadi dan sosial umat. Sulitnya,
tidak cukup teladan yang bisa dilihat dalam hubungan di antara sesama Uskup dan
sesama imam untuk menjadi bahasa kesaksian. Maka para imam diajak mendalami
ajaran Konsili Vatikan II mulai dari LG
10 mengenai perbedaan imamat umum dan
imamat jabatan, agar dapat dipegang mana yang seharusnya dilakukan imam sesuai
imamat jabatan yang ia terima, dan mana yang seyogyanya diserahkan kepada awam dalam melaksanakan imamat umum. Demi
pembedaan ini usulan tahbisan pria yang telah menikah berpotensi menambah
kerancuan sehingga ditolak.
Para imam diajak merenungkan Kristus, Alfa dan Omega, yang
dikuduskan dan diutus ke dunia (Yoh 10:36) dan ditandai dengan meterai
kepenuhan Roh Kudus (Luk 4:1, 18-21; Kis
10:38) mewartakan Injil perdamaian antara Allah dengan manusia. Sebagai Gembala
yang baik di kayu salib Ia menyerahkan nyawa untuk mereka yang Ia persatukan
dengan diriNya di salib (Yoh 10:15; 11:52). Demikianlah Ia melaksanakan imamat
tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik sekarang dan di masa
depan. Kristus melalui Gereja persekutuan para Rasul (LG 18) dan dalam Roh (AG
5) menjadi gambar pedoman hidup para imam, yang dalam kesatuan hirarkis menjadi
imam para umat. Berkat urapan Roh, yang menyertai jabatan imam, dilimpahkan
tugas menyucikan, mengajar dan memimpin umat (PO 2) dalam persekutuan hirarkis
demi pelaksanaan tugas ini dengan lebih cermat (LG 24, 27-28), memuncak pada
pelaksanaan Ekaristi. Dengan tetap menghormati otonomi sekulir, imam
memerhatikan urusan dunia namun tidak wajib menerapkan kuasa teknis, sebab yang
terutama ditugaskan padanya adalah tertib keagamaan, bukan tertib ekonomi,
sosial, politik (GS 42). Maka selanjutnya para Bapa Sinode memberikan pedoman
pelaksanaan tugas pelayanan imamat jabatan dalam pewartaan dan perayaan
sakramen; batasan kegiatan sekulir dan politik; mengembangkan hidup rohani; dan
mempertahankan selibat. Akhirnya mengembangkan
persekutuan Gereja dengan membangun relasi dengan Uskup, sesama imam dan dengan
awam.
Tema bahasan kedua para Bapa Sinode 1971 menunjukkan
pengaruh kuat para pemimpin lokal Gereja-gereja di Afrika, Asia dan Amerika
Latin. Di sini sekaligus diperlihatkan contoh kolegialitas para Uskup pasca
Konsili Vatikan II dalam memikirkan secara konkret, realistis dan mendalam soal keadilan dengan menyatakan perlunya
mengaitkan Injil dengan keadaan dunia dan daerah setempat. Tahun 1970-an pada
umumnya disebut sebagai “engsel perubahan” dunia, terutama dengan meningkatnya
kebangunan ekonomi bangsa-bangsa dengan ekses-eksesnya yang memprihatinkan.
Setelah menjadi saksi banyaknya pelanggaran keadilan berupa dominasi,
penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan, para Uskup menyerukan
pengembangan masyarakat yang lebih adil bersifat persaudaraan, menggalang
daya-daya yang mendukung persatuan, memajukan dialog, mengingatkan hak atas
pembangunan/perkembangan, terutama keadilan kasih untuk membela kaum miskin.
Dalam merenungkan bahwa “perutusan Gereja” adalah juga “untuk mewartakan
keadilan di dunia,” para Bapa Sinode
1971 menyatakan bahwa Gereja
harus menjadi saksi keadilan melalui cara hidupnya sendiri, dalam kegiatan pengajaran,
dan dalam kegiatan internasional.
Dosa pelanggaran bersifat struktural dan membentuk jaringan
dominasi, penindasan serta penyalanggunaan yang mencekik kebebasan dan
menghalangi bagian besar umat manusia untuk peran serta membangun dan menikmati
masyarakat yang adil dalam persaudaraan (JIW 3). Dinamika pewartaan Injil termasuk
mendengarkan jeritan mereka yang menderita karena kekerasan, ditindas sistem
dan stuktur yang tidak adil (JIW 5). “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi
dalam perombakan dunia nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan
Injil, perutusan Gereja demi penebusan umat manusia serta pemerdekaan dari tiap
situasi penindasan” (JIW 6).
Tentang keadilan dan masyarakat sedunia tampak suatu
paradoks modern: bahwa ada daya kekuatan
yang dahsyat dan dinamis untuk memajukan martabat manusia dan menyatukan semua
anggota keluarga manusia dalam kesetaraan (JIW 7); tetapi daya=daya yang menyebabkan perpecahan
juga semakin kuat diperlengkapi teknologi yang menimbulkan penghancuran seperti
perlombaan senjata, persaingan, pemusatan kekayaan, kekuasaan dan wewenang
mengambil keputusan pada kelompok tertentu, melanggar keadilan ekonomi dan
meniadakan partisipasi sosial sebagian besar warga untuk memeroleh hak asasi
dan hak sipil (JIW 9). Perlu pengakuan bahwa hak setiap warga atas perkembangan
merupakan hak dasar dan asasi manusia (JIW 15). Itu adalah panggilan
modernisasi untuk pengembangan kepribadian yang otentik dan kreatif dan peka
pada faktor-faktor sosial budaya (JIW
17-19). Kebanyakan para korban pelbagai bentuk ketidakadilan hanya diam, tak mampu angkat
suara (JIW 20). Kaum korban kekerasan
itu beraneka macam: migran yang mencari
pekerjaan, pengungsi korban konflik; penindasan agama; pelanggaran hak asasi;
korban penyiksaan; tahanan politik; korban sikap pro-aborsi; korban sikap
pro-perang; media yang membuli; korban tindakan anti-keluarga (JIW 21-26).
Diserukan dialog yang berkelanjutan untuk kemajuan usaha pengembangan untuk
semua pihak, terutama kaum muda dalam rangka koreksi atas siatuasi
ketidakadilan (JIW 28).
Tanggungjawab Gereja untuk mewartakan keadilan dan
mewujudkan masyarakat yang lebih adil dalam persaudaraan kasih bersumber pada
amanat Injil dan perutusannya. Dengan rendah hati kita perlu terbuka kepada
amanat Allah, menimba inspirasi langkah dan tindakan baru demi keadilan di
dunia (JIW 29). Dalam Perjanjian Lama
Allah mewahyukan diri sebagai Pembebas kaum tertindas dan Pembela kaum miskin
(JIW 30). Yesus sendiri menyerahkan diri sepenuhnya untuk penyelamanat dan
pembebasan umat manusia, menyatakan campur tangan kebapaan Allah untuk semua
orang, dan keadilan ilahi demi mereka yang kekurangan dan tertindas (Luk
6:21-23). Ia mengidentifikasikan diri sebagai “seorang yang paling hina” (Mat
5:40) demi menegakkan keadilan(JIW 31). • St. Paulus menyatakan hidup iman
kristiani membuahkan kasih dan pengabdian pada sesama termasuk memenuhi
tuntutan keadilan (JIW 33). Kasih kristiani pada sesama mencakup keadilan
dengan pengakuan martabat dan menghormati hak-hak sesama (JIW 34). Gereja wajib
menegakkan keadilan. Mewartakan Injil juga menghendaki pembaktian diri bagi
pemerdekaan manusia dari kondisinya di dunia sekarang (JIW 35). Menyerukan keadilan
di semua tingkatan, baik komunitas sosial lokal, nasional maupun
internasional terutama dengan memberikan kesaksian akan keadilan dalam
lembaga-lembaga Gereja dan kehidupan umat kristiani (JIW 36). Bukan termasuk
tugas persekutuan Gereja dan hirarkis untuk ikut campur memberikan solusi
masalah-masalah praktis, melainkan untuk memajukan martabat dan hak-hak asasi
pibadi (JIW 37). Namun sebagai warga masyarakat, anggota Gereja berhak dan
wajib memajukan kesejahteraan umum dengan setia dan cakap dengan tanggungjawab
pribadi di ranah sosial, ekonomi, budaya dan politik dan seharusnya selalu
cermat berhati-hati, karena tetap saja tindakan pribadi sebagai warga
melibatkan Gereja seluruhnya (JIW 38).
Pelaksanaan keadilan dengan demikian dilakukan orang kristiani
perorangan melalui kesaksian hidup dan cara bertindak yang adil (JIW 40). Warga
Gereja yang menyuarakan keadilan pada dirinya sendiri harus dapat menunjukkan
sikap dan perilaku yang adil (JIW 40). Mereka yang mengabdi dalam hidup Gereja
harus memeroleh hak-hak atas imbalan yang sepantasnya dan adil baik imam,
religius maupun awam (JIW 43). Hak-hak imbalan itu meliputi: upah yang layak,
jaminan sosial, kemajuan pangkat, kesetaraan jender, kebebasan menyatakan diri
dan berpendapat dalam semangat dialog, prosedur pengadilan terutama dalam
masalah-masalah pernikahan, hak peran serta dalam proses pengambilan keputusan
(JIW 45-46). Gaya hidup Gereja berkenaan dengan harta milik dan penggunaannya
tidak boleh menjadi skandal ketidakadilan dan bertenggangrasa dengan kaum
miskin; jangan sampai menunjukkan diri sebagai kumpulan pulau orang kaya yang
eksklusif di tengah samudera orang miskin, agar kabar gembira dapat dirasakan
oleh kaum miskin (JIW 47-48).
Pendidikan untuk menghayati
dan mewujudkan etika keadilan dalam pergaulan sosial perlu ditingkatkan
melalui perihidup pribadi dan keluarga (JIW 49-50). Pembaruan hati untuk
mewujudkan corak hidup yang berkeadilan, penuh kasih dan sederhana diperlukan
di mana saja. Dan di negara sedang berkembang
pembinaan hati nurani dimaksudkan agar perubahan di segala bidang secara
konkret menjamin perbaikan hidup untuk semua dalam segala aspeknya, sebagai
bagian dari pembaruan dunia seluruhnya
(JIW 51). Diperlukan sikap kritis jangan sampai membantu terjadi
manipulasi baik oleh media komunikasi maupun kekuatan politik, dan mewujudkan
rukun hidup yang mampu menentukan nasib sendiri dan sungguh manusiawi, melalui
pembinaan dan pendampingan berkelanjutan (JIW 52-53). Pendidikan keadilan itu
pertama-tama dalam keluarga, tetapi juga lembaga-lembaga gerejawi,
sekolah-sekolah dan serikat-serikat serta partai-partai (JIW 54). Seluruh ajaran sosial gereja yang
menerapkan pokok=pokok Injil merupakan
sumber ajar untuk pembinaan keadilan (JIW 56). Kritik atas ketidakadilan
haruslah bijaksana, tegas namun penuh kasih
agar mengungkapkan perihidup Gereja sendiri dan menghasilkan kesepakatan
keadilan berkelanjutan dalam masyarakat (JIW 57). Liturgi dan perayaan sakramen
juga merupakan saluran pendidikan keadilan (JIW 58). Pemerataan sumber-sumber
daya Gereja dalam kerangka solidaritas di antara Gereja-gereja di daerah kaya
dan miskin guna pengelolaan bersama seluruh karunia Allah perlu didorong untuk
tujuan meningkatkan otonomi dan kemampuan tanggungjawab pihak-pihak penerima
bantuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (JIW 59-60). Kerjasama Ekumenis
untuk mengusahakan keadilan di antara Gereja-gereja sesuai Konsili Vatikan II
perlu didukung, demikian pula kerja sama di antara mereka yang berkehendak baik
lintas iman (JIW 61-62).
Disampaikan 8-butir
program universal internasional untuk memajukan keadilan: 1. Agar Pernyataan
dan Piagam hak-hak asasi manusia PBB diterima dan dipatuhi oleh semua negara
(JIW 64). 2. Agar PBB dan organisasi-organisasi internasional terkait didukung
membatasi perlombaan senjata, menghentikan perdagangan senjata , menjamin
perlucutan senjata dan menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai (JIW 65).
3. Mendukung pelaksanaan Dasawarsa Pembangunan Kedua (1970-an) dengan
menyalurkan dana solidaritas dari negara kaya kepada negara sedang
berkembang dengan mematok harga yang
lebih wajar atas bahan mentah, membuka pasar untuk barang kerajinan negara
berkembang dengan keringanan pajak, serta bantuan teknis untuk perencanaan
pembangunan ekonomi dan sosial (JIW 66). 4. Pusat-pusat kekuatan pasar,
dominasi ekonomi, penelitian, investasi, peraturan perdagangan dan
transportasi laut hendaknya memberi
kesempatan pada partisipasi yang proporsional dari negara-negara berkembang
untuk pembangunan bersama (JIW 67). 5. Lembaga-lembaha khusus dalam PBB
hendaknya disempurnakan dan ditingkatkan terutama yang mengatur pertanian dan
pangan, kesehatan, pendidikan, penggunaan tenaga kerja, perumahan dan
urbanisasi, juga untuk kesejahteraan anak-anak dan keluarga (JIW 68). 6. Seruan
kesinambungan komitmen bantuan dana dari negara donor kepada negara
berkembang untuk program pembangunan yang bertanggungjawab (JIW 69).
7. Dukungan untuk KTT Bumi di Stockholm 1972 untuk mengerem kerakusan negara
kaya dalam eksploitasi sumber daya alam (JIW 70). 8. Tindakan nyata untuk
memberi kemudahan pada pembangunan nasional sesuai kebudayaan setempat,
kerjasama timbal balik yang meningkatkan kemampuan bangsa-bangsa untuk
mengusahakan rancang bangun ekonomi dan sosial secara mandiri, tiap bangsa
berhak secara aktif dan bertanggungjawab bekerjasama demi kesejahteraan umum
dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain
(JIW 71).
Dengan demikian diharapkan dalam keikutsertaan umat
Kristiani dapat diwujudkan Kerajaan
Allah , kerajaan keadilan, kebebasan, persaudaraan dan cinta kasih, yang akan
disempurnakan Allah sendiri ketika Ia datang membarui seluruh bumi (JIW 75-76).
Dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World, JIW atau dalam bahasa Latin Convenientes ex Universo) diumumkan pada
30 November 1971. Butir-butir dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World,
JIW) memberi inspirasi umat Kristiani termasuk di Indonesia untuk ikut
memajukan keadilan dalam program pembangunan, terutama dalam kerja sama
internasional baik melalui hubungan dengan lembaga-lembaga PBB seperti GATT
(menjelang Tokyo Round 1973 berkenaan masalah pengurangan atau pembebasan
hambatan tarif dan non-tarif yang meliputi Subsidi dan Tindakan Pengimbang,
Hambatan Teknis Perdagangan, Tata Cara Perijinan Impor, Pengadaan Barang dan
Jasa oleh Pemerintah, dan Penilaian Pabean), FAO (Indonesia menjadi anggota FAO
sejak 1950. FAO banyak membantu
mengatasi kekurangan pangan.
Dalam pengembangan pertanian FAO telah membantu mengembangkan strategi
dan kebijakan pangan dan pertanian. Pada tahun 1971 didirikan Kelompok
Konsultatif untuk Riset Pertanian Internasional (Consultative Group on
International Agricultural Research CGIAR), oleh kelompok yang berupa asosiasi
negara, organisasi internasional dan regional, serta yayasan swasta, untuk
mendukung sistem pusat penelitian dan program pertanian di seluruh dunia. CGIAR
berperan dalam pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik dengan membentuk
Pusat-pusat Riset Pertanian Internasional), World Health Organization (WHO) ,
UNICEF dalam kesejahteraan dan pendidikan anak-anak, International Labour
Organization (ILO) melalui Kementerian Tenaga Kerja dan berbagai serikat
buruh/pekerja di Indonesia tentang
pokok-pokok dasar dan hak-hak dalam pekerjaan, peningkatan pemerkerjaan dan
perbaikan imbalan, proteksi sosial dan dialog, dan lain-lain; juga meningkatkan hubungan kerjasama dengan
lembaga-lembaga donor keagamaan untuk pengembangan seperti Catholic Relief Service (CRS), Novib
(Belanda), Misereor (Jerman), Justice & Peace (Canada) dan
lain-lain.
Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 sudah mengantisipasi
perkembangan dengan menyatakan: “Ketidakadilan dalam perdagangan internasional
dirasakan dalam negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Ekspor kita
sebagian besar terdiri dari bahan-bahan mentah yang harganya di pasaran
internasional sangat rendah, bahkan menurun, sedang alat-alat mesin yang
diimpor untuk pembangunan sangat mahal dan naik terus”. Para ahli Indonesia
diharapkan membarui struktur-struktur perdagangan internasional melalui
perundingan-perundingan demi keadilan
internasional yang mutlak perlu bagi pembangunan di negara kita yang sedang
berkembang. Pengusaha dalam negeri dianjurkan mengembangkan produksi substitusi
impor dengan cara yang baik dan efisien, meningkatkan baik jenis, kualitas
maupun kuantitas produk (PKUKI 44).
1 September 1971 Perubahan nama Kotamadya Makassar ke
Kotamadya Ujung Pandang akibat perluasan wilayah kota yang dilakukan oleh wali
kota Makassar. Pada tahun 1999 nama Makassar kembali digunakan lagi. Perubahan
nama ini juga otomatis mengubah nama Keuskupan Agung Makassar/Ujung Pandang.
MAWI belum dapat memberikan suatu ruangan kepada Panitia
Kongres/Biro Medis berhubung pekerjaan renovasi gedung KWI pada waktu belum
selesai. Namun diusahakan mencari tempat sewa untuk sementara agar Biro Medis
dapat mulai berfungs mengerjakan inventarisasi pekerjaan medis yang
dilakukan di kalangan Katolik diseluruh Indonesia. Dalam rapat Biro Medis
tanggal 24 Oktober 1971 diputuskan demi mempermudah dan mempercepat persiapan
konggres, dibentuk suatu panitia baru yang anggotanya bertempat tinggal di
Jakarta dan awam yang didampingi beberapa Suster. Pada akhir November, panitia
baru mulai rapat dan memutuskan bahwa Konggres Medis akan diadakan dalam bulan Juli 1972 di Wisma
Samadi Klender. Namun nama “Konggres” diubah menjadi “Rapat Kerja Kesehatan
Katolik”. Segala unit-unit kesehatan di seluruh Indonesia diundang ikut serta.
Bantuan biaya penyelenggaraan dimintakan dari Lembaga Donor Misereor, Jerman.
Sidang MAWI diselenggarakan pada tanggal 22 November–3
Desember 1971, di Gedung MAWI Jakarta. Sidang terutama membahas soal Pembinaan
Para Imam. Perhatian kepada hidup dan pelayanan ini dimaksudkan agar jangan
sampai ucapan bahwa “para imam adalah domba-domba yang paling terlantar dalam
Gereja” yang berasal dari mancanegara, terjadi juga di Indonesia. Maksudnya
adalah bahwa para imam yang berjerih payah menunaikan tugas, bekerja keras,
melayani dan membina umat, bahkan di daerah ada yang bertahan bertahun-tahun
secara heroik dalam pelbagai kesulitan dan keterbatasan, juga perlu mendapat
perhatian nyata, penghargaan, penyegaran, pembinaan lanjut, serta bantuan. Di tengah sidang Majelis Agung Wali Gereja
Indonesia tanggal 28 November 1971 Mgr.Dr. Paulus Sani Kleden,SVD Uskup Denpasar, meninggal dunia di Jakarta.
Beliau dimakamkan di Jakarta. (Namun kemudian nanti jasad Mgr. Paulus Sani Kleden dipindah dan dimakamkan
kembali di Palasari Bali, pada tanggal 23 September 1980).
Dari Sinode Para Uskup Oktober yang lalu sudah banyak yang
didengar tentang aspek teologis perutusan dan hidup para imam. Para imam
sendiri perlu diajak mengolah dan memikirkan aspek pastoral praktis dari hal
itu di setiap keuskupan. Dari mereka di lapangan diharapkan banyak masukan yang
tahun depan dapat diolah untuk menjadi bahan pedoman secara nasional sebagai
citarasa kebersamaan dan kesatuan Gereja Katolik Indonesia. Persiapan para calon imam diletakkan dalam
perspektif tuntutan tugas yang luas dan berat
menurut perkembangan Gereja dan negara, dalam rangka pembangunan bangsa,
yang berbeda-beda tarafnya di masyarakat yang dilayani, kendati jumlah imam
terbatas, tetap memerlukan pendidikan lengkap yang tidak bisa disingkat.
Seleksi para calon imam sudah dilakukan sejak awal, dan
selanjutnya berlapis-lapis. Bagi calon dari pedesaan, masuk seminari dianggap
kemajuan status dalam masyarakat. Tidak demikian bagi calon yang berasal dari
kota yang mempunyai pilihan sekolah yang lebih luas. Maka diperlukan katekese
panggilan yang berbeda, menerapkan aspek
sosiologi, psikologi perkembangan dan sosial, serta ilmiah sesuai subyek
katekese (SD, SMP, SMA) walau Kristus memanggil orang yang Dia kehendaki (Mrk
3:13). Perlu perencanaan bersama untuk menyampaikan pengertian panggilan,
terarah, bertahap dan terpadu dalam menggunakan semua sarana komunikasi. Tes
dan penyaringan dengan pola tertentu hendaknya diterapkan bertahap diarahkan
pada tantangan peningkatan tekat dan kesungguhan para calon, bukan sekedar cara
eliminasi. Seminari Menengah diarahkan agar membimbing siswa menerapkan “cara memahami”,
bukan sekedar menghapal. Tekanan
diberikan pada penguasaan bahasa (utamanya bahasa Inggris), segi-segi hidup
agamis (katekese, liturgi, Kitab Suci),
hidup budaya (sastra, seni), dan bimbingan rohani menuju kedewasaan
iman. Pengembangan kurikulum Seminari Tinggi hendaknya diarahkan pada segi
pastoral, memerhatikan situasi lokal (Indonesia? Asia?). Penempatan seminaris
dalam tahun pastoral dalam bimbingan dan lingkungan yang membangun, perlu
rancangan bersama pihak Seminari, keuskupan dan pembimbing yang ditunjuk, demi
menguatkan semangat dan memberi inspirasi. Kehidupan asrama di samping kondusif
untuk belajar juga untuk menunjang kedewasaan rohani, kemandirian, sekaligus
ruang eksperimen pastoral yang menekankan komitmen, keterlibatan, dan kebersamaan
satu cita-cita, kendati pun memerhatikan aspek khas pengabdian pada dioses,
ordo/tarekat. Selain itu ada permintaan agar mereka disiapkan untuk sanggup
ditempatkan di mana pun di Indonesia menurut urgensi pastoral.
Penempatan imam baru sangat penting dipertimbangkan dengan
seksama karena menentukan perkembangannya. Diharapkan perhatian dari rekan imam
yang lebih senior. Jangan sampai karena enggan lalu imam muda tak diacuhkan.
Imam baru tentu saja belum dapat diharapkan mampu dalam banyak hal. Ia masih
akan berkembang dan memerlukan bimbingan. Diperlukan teman untuk berdialog agar
ia mengenal apa yang masih perlu dikembangkan, dan apa yang perlu dikurangi
karena berlebihan. Untuk itu diperlukan suasana persahabatan yang kondusif.
Sebagian umat Katolik adalah pegawai pemerintah. Mereka
dimasukkan dalam Korps Pegawai Negeri
(KORPRI) yang didirikan pada tanggal 29 November 1971 berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. KORPRI merupakan wadah untuk menghimpun
seluruh Pegawai Republik Indonesia dan diikat dengan Panca Prasetya Korps
Pegawai Republik Indonesia, yaitu
sumpah/janji pegawai negri sipil yang dimaksudkan untuk menciptakan sosok PNS
yang profesional, jujur, bersih dari segala korupsi, kolusi, nepotisme, berjiwa
sosial, dan sebagainya. Isi Panca
Prasetya : 1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2.
Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara,serta memegang teguh rahasia
jabatan dan rahasia negara; 3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
di atas kepentingan pribadi dan golongan; 4. Memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia ; 5. Menegakkan
kejujuran, keadilan, dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan
profesionalisme.
Entah kapan pastinya tetapi menjelang akhir 1971 Ray
Tomlinson mengirim ARPANET pertama, sebagai awal dari di mana surat elektronik
dikiriman dari komputer satu ke komputer yang lain.
Di Flores dari total penduduk tahun 1970 yang berjumlah
sekitar 1 juta orang hanya 14.5%
menyelesaikan pendidikan dasar. Gereja Katolik adalah perintis pendidikan dasar
bagi masyarakat, telah membangun dan menyelenggarakan sekitar 1.000 sekolah
dengan 155.000 murid dan menyediakan hampir 5.000 guru. Yang memprihatinkan
pada waktu itu adalah besarnya drop-out, hampir 50% dari para murid karena
berbagai alasan tidak dapat menyelesaikan sekolah hingga kelulusan. Agar upaya
pendidikan semakin efektif pada tahun
1971 Yayasan Pendidikan Katolik Vedapura, satu-satunya yayasan yang menyelenggarakan seluruh persekolahan
Katolik di seluruh Flores, praktis telah
dipecah menjadi lima yayasan berdasarkan kabupaten masing-masing, dengan visi
sekolah umat. Kelima yayasan itu sejak 5 Agustus adalah Yapersuktim (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores
Timur-Lembata), Yasukda (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada-Nagekeo)
, Sanpukat (Yayasan Persekolahan Umat
Katolik Sikka) , Yasukel (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ende Lio) dan
Yapersukma (Yayasan Persekolahan Umat
Katolik Manggarai).
Di beberapa Keuskupan pada masa itu penyelenggaraan
pendidikan sekolah terkendala banyak hal terutama penyediaan dana dan SDM guru,
maka upaya pendidikan dialihkan pada bidang pendidikan informal kemasyarakatan
seperti kursus baca-tulis dan ketrampilan, utamanya di bidang pertanian
(do-school). Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Pembangunan bukan
berarti membangun gedung saja, bukan pula membangun alat-alat produksi dan
penyalurannya, tetapi berarti terutama membangun, mengembangkan manusia
sehingga mampu membangun gedung dan alat-alat tersebut dan mempergunakannya”.
Rakyat perlu diikutsertakan seerat mungkin agar mereka dapat mengembangkan diri
sebagai manusia produktif (PKUKI 38).
Dimulai dari Kursus/Pelatihan Credit Union (CU), pada tahun
1971 tumbuh 3-5 CU di Jakarta dan Bandung, dan Periangan Timur Jawa Barat.
Kursus pelatihan itu diselenggarakan oleh Biro Konsultasi Koperasi Simpan
Pinjam/Credit Union Counselling Office
(CUCO). Lembaga yang berfungsi
mempersiapkan Program Motivasi dan Pendidikan Pelatihan Credit Union bagi
masyarakat ini didirikan pada 4 Januari 1970, dikelola oleh para relawan,
dipimpin oleh Romo Albrecht Karim Arbie SJ sebagai Direktur Utama dan Robby
Tulus sebagai Managing Director. Credit Union yang aslinya gerakan koperasi
keuangan internasional di Indonesia beroperasi dengan menyesuaikan diri kepada
ketentuan–ketentuan dalam UU No. 12/1967
tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Dirjen Koperasi saat itu Ir.
Ibnoe Soedjono memandang Credit Union layak dikembangkan di Indonesia. Ibnoe
Soedjono bahkan bersedia menjadi Ketua Dewan Penyantun CUCO yang beranggotakan
Raden Mas Margono Djoyohadikusumo (pendiri BNI 46), Prof. Dr. Fuad Hasan (Guru
besar psikologi yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan & Kebudayaan),
Mochtar Lubis (wartawan dan satrawan), Prof. Dr. A.M. Kuylaars Kadarman, SJ
(Pendiri Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen), A.J. Sumandar, John
Dijkstra, SJ dan Albrecht Karim Arbie,
SJ. Kemudian pada 1971, Romo Albrecht SJ menyerahkan pengelolaan CUCO sepenuhnya
kepada Robby Tulus.
Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Gereja wajib
berusaha ke arah otonomi keuangan lembaga-lembaganya. Usaha-usaha,
proyek-proyek pembangunan kecil swadaya rakyat sangat lebih tepat dibantu
dengan kredit-kredit yang harus dibayar kembali dari hasil usaha swadaya rakyat
sendiri daripada (mengandalkan) derma dana melulu. Gereja ingin berswadaya bersama
rakyat” (PKUKI 38).