Bambang Kussriyanto
Penolakan Terhadap Allah
Adalah
fakta bahwa Indonesia menurut Undang-undang Dasar adalah negara yang
berdasarkan antara lain kepada sila “Ketuhanan yang Mahaesa”. Adalah fakta
bahwa di dalam naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan
itu diakui sebagai “berkat rahmat Tuhan yang Mahaesa”. Adalah fakta bahwa
rakyat Indonesia pada kartu penduduknya mencantumkan agama yang dipeluk. Adalah
fakta bahwa di mana-mana di Indonesia banyak orang melaksanakan ibadat
agamanya. Namun di balik itu semua masih terdapat lapisan masyarakat yang
sesungguhnya tidak percaya kepada Allah. Semakin lebih besar lagi jumlah penolakan itu di seluruh
dunia, kendati jumlah orang yang percaya masih jauh lebih banyak ketimbang mereka.
Penolakan akan Allah sudah
berlangsung sejak purba. Dan penyangkalan itu, terang-terangan maupun
tersembunyi, terus berlangsung hingga sekarang.
Mengenai penyangkalan itu dan
sebab-sebabnya, KGK melukiskan: “Sayangnya ‘hubungan kehidupan yang mesra
dengan Allah ini’ (GS 19) dapat dilupakan oleh manusia, disalahartikan, malahan
ditolak dengan tegas. Sikap yang demikian itu dapat timbul dari aneka sebab
yang berbeda-beda: protes terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di dunia,
ketidakpahaman religius atau sikap tidak peduli, kesusahan duniawi dan
kekayaan, contoh hidup yang buruk dari kaum beriman, aliran pikiran yang
bermusuhan terhadap agama, dan akhirnya kecondongan manusia berdosa yang menyembunyikan
diri karena takut akan Tuhan dan melarikan diri dari Tuhan yang memanggil” (KGK
29).
Salah arti, penolakan terhadap Allah
merupakan konsekuensi dari penggunaan akal budi juga, yang meliputi pembentukan
konsep (terminologi), pengambilan
kesimpulan (judgment, proposition)
dan penalaran (silogisma, reasoning).
Ada kemungkinan kekeliruan proses bekerjanya akal budi di dalam membuat konsep,
di dalam mengambil keputusan dan mengoperasikan nalar, dipengaruhi oleh
berbagai faktor dalam diri manusia, antara lain pilihan-pilihan kehendak
bebasnya. Semua itu lalu mengendap menjadi sikap.
Di antara sikap-sikap yang menolak
keberadaan dan karya Allah bagi manusia ada yang didasarkan pada penilaian,
bahwa semua pernyataan tentang Allah itu tidak ada artinya, serba berlawanan
(kontradiktif), atau tidak sesuai dengan fakta sains atau sejarah, sehingga
tidak memadai untuk diyakini.
Misalnya, secara empiris dalih-dalih
penolakan pada Allah didasarkan atas data ketidak-samaan gambaran tentang Allah
pada berbagai Kitab Suci, misalnya dari Kitab Tanakh Yahudi, Alkitab
Kristen, Qur’an Islam, Weda Hindu, atu Aqdas Bahai.
Jangankan pelbagai kontradiksi yang ada dalam berbagai Kitab Suci agama yang
berbeda, bahkan dalam satu Kitab Suci dari satu agama pun menurut mereka terdapat fakta
yang berbeda-beda tentang Allah.
Banyaknya kejahatan dan bencana di
dunia juga dianggap menyangkal gambaran Allah yang mahakuasa dan mahabaik.
Seandainya Ia sungguh ada, niscaya Ia tidak akan mengizinkan terjadinya
pelbagai kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, perampokan,
penipuan dan musibah seperti gunung meletus, gempabumi, tsunami, tornado,
banjir, wabah penyakit, dan lain-lain yang mendatangkan penderitaan itu.
Harold Kushner, seorang rabi Yahudi,
tak lama setelah ditinggal mati puteranya menerbitkan sebuah buku yang berjudul
When Bad Things Happen to Good People
(1961) yang langsung jadi best-seller. Buku itu merupakan hasil renungan
yang sangat mendalam atas penderitaan manusia dan bagaimana Tuhan seharusnya
dipahami dalam hal penderitaan ini. Pada pokoknya uraian Kushner adalah sebagai
berikut. Bagaimana Allah bisa mahakasih dan mahakuasa sementara ada fakta bahwa
secara acak ada banyak penderitaan yang tampaknya tak masuk akal di dunia ini?
Anak-anak kecil mati karena kanker. Ibu-ibu muda yang masih diperlukan
putra-putrinya mati karena kecelakaan, sakit dan berbagai situasi lainnya. Ada
begitu banyak penderitaan yang sangat tidak perlu dan tidak dapat dimengerti.
Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa membiarkan semua ini terjadi?
Gagasan bahwa Allah mahakuasa
yang menghendaki agar manusia percaya kepada-Nya disangkal dengan alasan bahwa
Allah semacam itu seharusnya melakukan pekerjaan yang lebih baik ketimbang
sekedar mengumpulkan umat pengikut. Lagipula, banyak orang yang mengaku percaya
kepada Allah namun bertindak main kuasa semena-mena atas nama Allah dan agama,
melakukan teror, menghalangi orang bekerja mencari nafkah, menghalangi umat
beragama lain membangun tempat ibadat dan melakukan ibadat kepada Allah. Lalu, apa
baiknya percaya kepada Allah?
Gagasan bahwa Allah yang mahasempurna
menciptakan hidup juga ditolak berdasarkan fakta bahwa bentuk-bentuk kehidupan,
termasuk manusia, tampaknya menunjukkan rancangan yang buruk.
Secara deduktif ada argumen
kosmologis (tentang ayam dan telur, mana yang lebih dulu) yang menyatakan bahwa
sesuatu tidak mungkin ada tanpa pencipta. Dan itu juga berlaku atas Allah dan
alam semesta, yang dianggap Sebab Pertama dan Sebab Kedua. Juga ada argumen
bahwa suatu tata susunan yang rumit membutuhkan rancangan, dan bahwa setiap
rancangan membutuhkan perancang menyangkal adanya perancang terakhir, tanpa
kesudahan. Selalu ada pertanyaan “siapa yang merancang si perancang?” Gagasan
bahwa Allah adalah perancang terakhir yang tidak dirancang lagi (yang diajukan
sebagai wacana bagaikan “pion” pesawat Boeing 747 paling sempurna; melawan Fred
Hoyle) adalah mustahil dan merupakan kesalahan logika (lih Richard Dawkins, God’s
Delusion, 2006, bab 4). Kerumitan sudah ada sejak awal, bukan diciptakan Allah.
Argumen rancangan tidak memperhitungkan derajat kerumitan, yang dapat
diterangkan dengan prinsip seleksi alam (teori evolusi).
Mengingat persoalan : “Bisakah Allah
menciptakan batu yang sedemikian besar sehingga Ia tidak mampu mengangkatnya?”
atau “Jika Allah mahakuasa, bisakah Ia menciptakan mahluk yang lebih hebat dari
diri-Nya?” maka gagasan Allah mahakuasa dianggap kontradiktif.
Juga gagasan tentang Allah yang mahatahu
dianggap kontradiktif dan dipatahkan oleh persoalan: “Bagaimana mungkin Dia
yang mahatahu mengubah pendapat dan keputusan-Nya?” Adanya kehendak bebas juga dianggap
bertentangan dengan sifat Allah yang mahatahu. Jika Allah sudah mengetahui masa
depan, maka manusia niscaya ditakdirkan
untuk membenarkan pengetahuan akan masa depan itu; maka manusia tidak punya
kehendak bebas untuk menyimpang darinya. Dengan demikian gagasan bahwa Allah punya kehendak bebas dan
menanamkan kehendak bebas itu pada manusia juga dianggap kontradiktif dengan
kemahatahuan Allah sendiri. Allah yang mahatahu tentulah tidak punya kehendak
bebas, karena Ia terikat untuk mengikuti apa yang sudah diketahui-Nya di masa
depan yang kekal.
Soal neraka sebagai hukuman kekal
atas tindakan yang dilakukan dalam hidup yang fana dianggap menyangkal
keberadaan Allah yang mahabaik dan ada di mana-mana (Ia tidak berada di
neraka). Gambaran nasib mereka yang tidak mengikuti kehendak Allah di neraka,
pada hal mereka tidak pernah mendengar tentang Allah dan kehendakNya, juga
kontradiksi dengan gagasan mengenai Allah yang mahaadil dan mahabaik.
Aliran pemikiran ateis menyimpulkan bahwa tidak cukup alasan untuk percaya kepada adanya Allah, sehingga para pengikutnya tidak perlu percaya kepada Allah. “Istilah ‘ateisme’ merujuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dari yang lain. Ada kelompok yang tegas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pula yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-batas ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; agaknya mereka lebih cenderung mengukuhkan kedudukan manusia daripada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga lebih merupakan hasil khayalan sendiri yang mereka tolak, sama sekali bukan Allah menurut wahyu. Orang-orang lain bahkan tidak mau mempersoalkan Allah, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan keagamaan, atau juga tidak mau tahu mengapa masih perlu mempedulikan agama. .... Peradaban zaman sekarang pun, ....acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, GS, 19).
Memang ada gradasi ateisme garis
keras dan ateisme lunak, namun kesimpulan mereka sama saja. Ateisme garis keras
bahkan melakukan propaganda dan bekerja keras secara militan aktif untuk
meruntuhkan iman kepada Allah di mana-mana (Paus Paulus VI, EN, 54). Dalam
prakteknya, secara metodis juga dikenali ateisme yang sistematis terencana,
terorganisasi, dan terstruktur sebagai sistem politik (Paus Yohanes Paulus II,
1979, RH, 11).
“Sering pula ateisme modern
mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme
sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga
menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah. Mereka yang
menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan
berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; manusialah satu-satunya
perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut mereka pandangan itu tidak
dapat diselaraskan dengan pengakuan kepada Allah sebagai Pencipta dan tujuan
segala sesuatu; atau setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja.
Ajaran itu di dukung oleh cita-rasa penuh kuasa, yang ditanam pada manusia oleh
kemajuan teknologi zaman sekarang”
-- “Di antara bentuk-bentuk
ateisme itu ada yang berpendirian, bahwa agama dan hakekatnya merintangi
kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa
mendatang yang semu saja, dan mengalihkannya dari pembangunan masyarakat dunia.
Maka dari itu para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan
negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga
dengan menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada ditangan pemerintah,
terutama dalam pendidikan kaum muda” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II,
GS, 20).
Agnostik-isme merupakan bentuk aliran pemikiran
lain yang juga melemahkan kepercayaan akan Allah, sekalipun tidak sekeras
ateisme. Di antara penganut agnostik itu terdapat banyak juga orang yang
percaya kepada Allah, tetapi mereka berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak
dapat dipikirkan, jadi percuma berusaha mengenal Allah dengan lebih mendalam.
Apatisme adalah aliran pendapat lain
yang tidak peduli kepada soal ada tidaknya Allah karena persoalan itu dianggap
praktis tidak penting.
Pemikiran-pemikiran dan sikap
terhadap Allah ini diungkapkan dalam komunikasi yang mengandaikan dialog, suatu
kebersamaan untuk mencari dan mencapai kebenaran yang lebih dalam lagi.
Allah Terus Memanggil
Mengingat
banyaknya dalih penolakan manusia terhadap Allah, teolog Jan Walgrave OP,
profesor teologi pada Universitas Katolik di Louvain, Belgia, menyatakan bahwa
“zaman kita ini membentuk suatu konspirasi menentang Allah.” Kata-kata ini lebih merujuk pada perpaduan
yang bersifat kebetulan dari berbagai situasi historis, yang mempersulit
penghayatan akan Allah, bukan konspirasi yang terencana secara sistematis.
Suatu pandangan yang sangat sederhana dan sangat umum menyatakan bahwa
kesulitan mengenal Allah mendapatkan akarnya pada perubahan sosial di tahun
1960-an. Musik rock, perang Vietnam, narkotika, revolusi seksual, kelimpahan
dan munculnya generasi pertama yang sungguh berubah dari
gelandangan-jadi-orangkaya, teknologi baru, kesempatan baru untuk keliling
dunia karena perkembangan angkutan udara (pesawat) dan kapal bertenaga jet yang
digunakan oleh perusahaan-perusahaan komersial, melakukan perjalanan dan tata
cara anonim, semua itu dikatakan mengubah konsep kita tentang keluarga,
moralitas, bahkan tentang Allah dan agama. Kehidupan di dunia berubah secara
mendasar dalam tiga puluh tahun terakhir, dan bersamaan dengan perubahan itu,
terbongkarlah juga tatanan lama yang ideal mengenai keluarga dan agama. Masalah
penolakan atas Allah dewasa ini dengan demikian berakar pada perubahan sosial
yang terjadi dalam generasi yang lalu.
Alasan mengapa generasi kita
bergumul dengan jenis ateisme praktis yang tertentu ini berakar pada
perubahan-perubahan yang mulai dalam sejarah Barat berabad-abad yang lalu
bersamaan dengan timbulnya Renaissance dan datangnya sains dan filsafat modern.
Benih yang ditaburkan di zaman itulah yang kemudian bertumbuh subur sepenuhnya
dalam bagian terakhir dari abad yang lalu. Maka akar dari krisis yang kita
alami dalam hal kepercayaan kepada Allah bergelung-gelung panjang dari awalnya
berabad-abad yang lalu.
Apa itu? Suatu campuran yang sangat
kompleks antara faktor-faktor sejarah, filsafat, budaya, psikologi, moral dan
keagamaan yang sudah mulai ratusan tahun yang lalu. Ini perlu dinyatakan dengan
tegas dan dicamkan, karena buku ini yang punya tujuan lain, tidak hendak
memaparkan akar-akar itu untuk diteliti secara rinci. Yang justru perlu diperhatikan
adalah pandangan bahwa ateisme sering ditimbulkan oleh teisme yang buruk.
Michael Buckley dalam karyanya At the
Origins of Modern Atheism, 1987, membentangkan hal ini dengan cara yang
luar biasa.
Seorang penulis menyatakan bahwa di
dalam pergumulan mengenai Allah ini, yang menjadi pokok masalah bukan soal
Allah itu ada atau tidak ada, sebab Allah selalu hadir. Pokok soalnya
adalah kita sendiri, apakah kita mau menghadirkan dan melihat Allah dalam
hidup kita atau tidak (Ronald Rolheiser, 1994, The Shattered Lantern, Rediscovering God’s presence in everyday life).
Yesus berkata, “Berbahagialah yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat
Allah” (Mat 5:8).
Penolakan atau penyangkalan terhadap
Allah lebih ditengarai oleh “hati yang tidak murni”, dalam arti tercemar oleh
berbagai motif psikologis yang semakin tebal menutupi “mata hati” untuk dapat
melihat dan mengakui Allah melalui karya-karya-Nya. Hasrat akan kuasa duniawi,
kelekatan pada hawa nafsu, keserakahan akan uang dan harta benda kekayaan,
keterikatan pada status sosial dan popularitas, serta pengejaran autonomi dan
kebebasan pribadi secara egoistis adalah faktor-faktor yang menyulitkan orang
menerima keberadaan dan panggilan Allah (Peter Kreeft & Ronald Tacelli,
2009)
“Namun, sekalipun manusia melupakan
atau menolak-Nya, Allah tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya
mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya”. Ini menjelaskan fenomena
perkembangan agama-agama yang malah bertambah subur belakangan ini. “Tetapi pencarian
itu menuntut dari manusia seluruh usaha berpikir dan penyesuaian kehendak yang
tepat, ‘hati yang tulus’, dan juga kesaksian orang lain yang mengajar kepadanya
untuk mencari Tuhan” (KGK 30).
[Bersambung]