Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Katekese Iman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Katekese Iman. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 November 2022

POKOK-POKOK KATEKESE IMAN KITA 2

Bambang Kussriyanto 



Penolakan Terhadap Allah

Adalah fakta bahwa Indonesia menurut Undang-undang Dasar adalah negara yang berdasarkan antara lain kepada sila “Ketuhanan yang Mahaesa”. Adalah fakta bahwa di dalam naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kemerdekaan itu diakui sebagai “berkat rahmat Tuhan yang Mahaesa”. Adalah fakta bahwa rakyat Indonesia pada kartu penduduknya mencantumkan agama yang dipeluk. Adalah fakta bahwa di mana-mana di Indonesia banyak orang melaksanakan ibadat agamanya. Namun di balik itu semua masih terdapat lapisan masyarakat yang sesungguhnya tidak percaya kepada Allah. Semakin lebih besar lagi jumlah penolakan itu di seluruh dunia, kendati jumlah orang yang percaya masih jauh lebih banyak ketimbang mereka.

            Penolakan akan Allah sudah berlangsung sejak purba. Dan penyangkalan itu, terang-terangan maupun tersembunyi, terus berlangsung hingga sekarang.

            Mengenai penyangkalan itu dan sebab-sebabnya, KGK melukiskan: “Sayangnya ‘hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah ini’ (GS 19) dapat dilupakan oleh manusia, disalahartikan, malahan ditolak dengan tegas. Sikap yang demikian itu dapat timbul dari aneka sebab yang berbeda-beda: protes terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di dunia, ketidakpahaman religius atau sikap tidak peduli, kesusahan duniawi dan kekayaan, contoh hidup yang buruk dari kaum beriman, aliran pikiran yang bermusuhan terhadap agama, dan akhirnya kecondongan manusia berdosa yang menyembunyikan diri karena takut akan Tuhan dan melarikan diri dari Tuhan yang memanggil” (KGK 29).

            Salah arti, penolakan terhadap Allah merupakan konsekuensi dari penggunaan akal budi juga, yang meliputi pembentukan konsep (terminologi), pengambilan kesimpulan (judgment, proposition) dan penalaran (silogisma, reasoning). Ada kemungkinan kekeliruan proses bekerjanya akal budi di dalam membuat konsep, di dalam mengambil keputusan dan mengoperasikan nalar, dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam diri manusia, antara lain pilihan-pilihan kehendak bebasnya. Semua itu lalu mengendap menjadi sikap.

            Di antara sikap-sikap yang menolak keberadaan dan karya Allah bagi manusia ada yang didasarkan pada penilaian, bahwa semua pernyataan tentang Allah itu tidak ada artinya, serba berlawanan (kontradiktif), atau tidak sesuai dengan fakta sains atau sejarah, sehingga tidak memadai untuk diyakini.

            Misalnya, secara empiris dalih-dalih penolakan pada Allah didasarkan atas data ketidak-samaan gambaran tentang Allah pada berbagai Kitab Suci, misalnya dari Kitab Tanakh Yahudi, Alkitab Kristen, Qur’an Islam, Weda Hindu, atu Aqdas Bahai. Jangankan pelbagai kontradiksi yang ada dalam berbagai Kitab Suci agama yang berbeda, bahkan dalam satu Kitab Suci dari satu agama pun menurut mereka  terdapat fakta yang berbeda-beda tentang Allah.

            Banyaknya kejahatan dan bencana di dunia juga dianggap menyangkal gambaran Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Seandainya Ia sungguh ada, niscaya Ia tidak akan mengizinkan terjadinya pelbagai kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, perampokan, penipuan dan musibah seperti gunung meletus, gempabumi, tsunami, tornado, banjir, wabah penyakit, dan lain-lain yang mendatangkan penderitaan itu.

            Harold Kushner, seorang rabi Yahudi, tak lama setelah ditinggal mati puteranya menerbitkan sebuah buku yang berjudul When Bad Things Happen to Good People  (1961) yang langsung jadi best-seller. Buku itu merupakan hasil renungan yang sangat mendalam atas penderitaan manusia dan bagaimana Tuhan seharusnya dipahami dalam hal penderitaan ini. Pada pokoknya uraian Kushner adalah sebagai berikut. Bagaimana Allah bisa mahakasih dan mahakuasa sementara ada fakta bahwa secara acak ada banyak penderitaan yang tampaknya tak masuk akal di dunia ini? Anak-anak kecil mati karena kanker. Ibu-ibu muda yang masih diperlukan putra-putrinya mati karena kecelakaan, sakit dan berbagai situasi lainnya. Ada begitu banyak penderitaan yang sangat tidak perlu dan tidak dapat dimengerti. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa membiarkan semua ini terjadi?

            Gagasan bahwa Allah mahakuasa yang menghendaki agar manusia percaya kepada-Nya disangkal dengan alasan bahwa Allah semacam itu seharusnya melakukan pekerjaan yang lebih baik ketimbang sekedar mengumpulkan umat pengikut. Lagipula, banyak orang yang mengaku percaya kepada Allah namun bertindak main kuasa semena-mena atas nama Allah dan agama, melakukan teror, menghalangi orang bekerja mencari nafkah, menghalangi umat beragama lain membangun tempat ibadat dan melakukan ibadat kepada Allah. Lalu, apa baiknya percaya kepada Allah?

            Gagasan bahwa Allah yang mahasempurna menciptakan hidup juga ditolak berdasarkan fakta bahwa bentuk-bentuk kehidupan, termasuk manusia, tampaknya menunjukkan rancangan yang buruk.

            Secara deduktif ada argumen kosmologis (tentang ayam dan telur, mana yang lebih dulu) yang menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin ada tanpa pencipta. Dan itu juga berlaku atas Allah dan alam semesta, yang dianggap Sebab Pertama dan Sebab Kedua. Juga ada argumen bahwa suatu tata susunan yang rumit membutuhkan rancangan, dan bahwa setiap rancangan membutuhkan perancang menyangkal adanya perancang terakhir, tanpa kesudahan. Selalu ada pertanyaan “siapa yang merancang si perancang?” Gagasan bahwa Allah adalah perancang terakhir yang tidak dirancang lagi (yang diajukan sebagai wacana bagaikan “pion” pesawat Boeing 747 paling sempurna; melawan Fred Hoyle) adalah mustahil dan merupakan kesalahan logika (lih Richard Dawkins, God’s Delusion, 2006, bab 4). Kerumitan sudah ada sejak awal, bukan diciptakan Allah. Argumen rancangan tidak memperhitungkan derajat kerumitan, yang dapat diterangkan dengan prinsip seleksi alam (teori evolusi).

            Mengingat persoalan : “Bisakah Allah menciptakan batu yang sedemikian besar sehingga Ia tidak mampu mengangkatnya?” atau “Jika Allah mahakuasa, bisakah Ia menciptakan mahluk yang lebih hebat dari diri-Nya?” maka gagasan Allah mahakuasa dianggap kontradiktif.

            Juga gagasan tentang Allah yang mahatahu dianggap kontradiktif dan dipatahkan oleh persoalan: “Bagaimana mungkin Dia yang mahatahu mengubah pendapat dan keputusan-Nya?” Adanya kehendak bebas juga dianggap bertentangan dengan sifat Allah yang mahatahu. Jika Allah sudah mengetahui masa depan, maka manusia niscaya ditakdirkan untuk membenarkan pengetahuan akan masa depan itu; maka manusia tidak punya kehendak bebas untuk menyimpang darinya. Dengan demikian  gagasan bahwa Allah punya kehendak bebas dan menanamkan kehendak bebas itu pada manusia juga dianggap kontradiktif dengan kemahatahuan Allah sendiri. Allah yang mahatahu tentulah tidak punya kehendak bebas, karena Ia terikat untuk mengikuti apa yang sudah diketahui-Nya di masa depan yang kekal.

            Soal neraka sebagai hukuman kekal atas tindakan yang dilakukan dalam hidup yang fana dianggap menyangkal keberadaan Allah yang mahabaik dan ada di mana-mana (Ia tidak berada di neraka). Gambaran nasib mereka yang tidak mengikuti kehendak Allah di neraka, pada hal mereka tidak pernah mendengar tentang Allah dan kehendakNya, juga kontradiksi dengan gagasan mengenai Allah yang mahaadil dan mahabaik.

            Aliran pemikiran ateis menyimpulkan bahwa tidak cukup alasan untuk percaya kepada adanya Allah, sehingga para pengikutnya tidak perlu percaya kepada Allah. “Istilah ‘ateisme’ merujuk kepada gejala-gejala yang sangat berbeda satu dari yang  lain. Ada kelompok yang tegas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pula yang menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui batas-batas ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak berdaya; agaknya mereka lebih cenderung mengukuhkan kedudukan manusia daripada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian rupa, sehingga lebih merupakan hasil khayalan sendiri yang mereka tolak, sama sekali bukan Allah menurut wahyu. Orang-orang lain bahkan tidak mau mempersoalkan Allah, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan keagamaan, atau juga tidak mau tahu mengapa masih perlu mempedulikan agama. .... Peradaban zaman sekarang pun, ....acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, GS, 19).

            Memang ada gradasi ateisme garis keras dan ateisme lunak, namun kesimpulan mereka sama saja. Ateisme garis keras bahkan melakukan propaganda dan bekerja keras secara militan aktif untuk meruntuhkan iman kepada Allah di mana-mana (Paus Paulus VI, EN, 54). Dalam prakteknya, secara metodis juga dikenali ateisme yang sistematis terencana, terorganisasi, dan terstruktur sebagai sistem politik (Paus Yohanes Paulus II, 1979, RH, 11).

            “Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah. Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; manusialah satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut mereka pandangan itu tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan kepada Allah sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu di dukung oleh cita-rasa penuh kuasa, yang ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang”  --  “Di antara bentuk-bentuk ateisme itu ada yang berpendirian, bahwa agama dan hakekatnya merintangi kebebasan itu, sejauh menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja, dan mengalihkannya dari pembangunan masyarakat dunia. Maka dari itu para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada ditangan pemerintah, terutama dalam pendidikan kaum muda” (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, GS, 20).

            Agnostik-isme merupakan bentuk aliran pemikiran lain yang juga melemahkan kepercayaan akan Allah, sekalipun tidak sekeras ateisme. Di antara penganut agnostik itu terdapat banyak juga orang yang percaya kepada Allah, tetapi mereka berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak dapat dipikirkan, jadi percuma berusaha mengenal Allah dengan lebih mendalam.

            Apatisme adalah aliran pendapat lain yang tidak peduli kepada soal ada tidaknya Allah karena persoalan itu dianggap praktis tidak penting.

            Pemikiran-pemikiran dan sikap terhadap Allah ini diungkapkan dalam komunikasi yang mengandaikan dialog, suatu kebersamaan untuk mencari dan mencapai kebenaran yang lebih dalam lagi.

Allah Terus Memanggil

Mengingat banyaknya dalih penolakan manusia terhadap Allah, teolog Jan Walgrave OP, profesor teologi pada Universitas Katolik di Louvain, Belgia, menyatakan bahwa “zaman kita ini membentuk suatu konspirasi menentang Allah.”  Kata-kata ini lebih merujuk pada perpaduan yang bersifat kebetulan dari berbagai situasi historis, yang mempersulit penghayatan akan Allah, bukan konspirasi yang terencana secara sistematis. Suatu pandangan yang sangat sederhana dan sangat umum menyatakan bahwa kesulitan mengenal Allah mendapatkan akarnya pada perubahan sosial di tahun 1960-an. Musik rock, perang Vietnam, narkotika, revolusi seksual, kelimpahan dan munculnya generasi pertama yang sungguh berubah dari gelandangan-jadi-orangkaya, teknologi baru, kesempatan baru untuk keliling dunia karena perkembangan angkutan udara (pesawat) dan kapal bertenaga jet yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan komersial, melakukan perjalanan dan tata cara anonim, semua itu dikatakan mengubah konsep kita tentang keluarga, moralitas, bahkan tentang Allah dan agama. Kehidupan di dunia berubah secara mendasar dalam tiga puluh tahun terakhir, dan bersamaan dengan perubahan itu, terbongkarlah juga tatanan lama yang ideal mengenai keluarga dan agama. Masalah penolakan atas Allah dewasa ini dengan demikian berakar pada perubahan sosial yang terjadi dalam generasi yang lalu.

            Alasan mengapa generasi kita bergumul dengan jenis ateisme praktis yang tertentu ini berakar pada perubahan-perubahan yang mulai dalam sejarah Barat berabad-abad yang lalu bersamaan dengan timbulnya Renaissance dan datangnya sains dan filsafat modern. Benih yang ditaburkan di zaman itulah yang kemudian bertumbuh subur sepenuhnya dalam bagian terakhir dari abad yang lalu. Maka akar dari krisis yang kita alami dalam hal kepercayaan kepada Allah bergelung-gelung panjang dari awalnya berabad-abad yang lalu.

            Apa itu? Suatu campuran yang sangat kompleks antara faktor-faktor sejarah, filsafat, budaya, psikologi, moral dan keagamaan yang sudah mulai ratusan tahun yang lalu. Ini perlu dinyatakan dengan tegas dan dicamkan, karena buku ini yang punya tujuan lain, tidak hendak memaparkan akar-akar itu untuk diteliti secara rinci. Yang justru perlu diperhatikan adalah pandangan bahwa ateisme sering ditimbulkan oleh teisme yang buruk. Michael Buckley dalam karyanya At the Origins of Modern Atheism, 1987, membentangkan hal ini dengan cara yang luar biasa.

            Seorang penulis menyatakan bahwa di dalam pergumulan mengenai Allah ini, yang menjadi pokok masalah bukan soal Allah itu ada atau tidak ada, sebab Allah selalu hadir. Pokok soalnya adalah kita sendiri, apakah kita mau menghadirkan dan melihat Allah dalam hidup kita atau tidak (Ronald Rolheiser, 1994, The Shattered Lantern,  Rediscovering God’s presence in everyday life). Yesus berkata, “Berbahagialah yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).

            Penolakan atau penyangkalan terhadap Allah lebih ditengarai oleh “hati yang tidak murni”, dalam arti tercemar oleh berbagai motif psikologis yang semakin tebal menutupi “mata hati” untuk dapat melihat dan mengakui Allah melalui karya-karya-Nya. Hasrat akan kuasa duniawi, kelekatan pada hawa nafsu, keserakahan akan uang dan harta benda kekayaan, keterikatan pada status sosial dan popularitas, serta pengejaran autonomi dan kebebasan pribadi secara egoistis adalah faktor-faktor yang menyulitkan orang menerima keberadaan dan panggilan Allah (Peter Kreeft & Ronald Tacelli, 2009)

            “Namun, sekalipun manusia melupakan atau menolak-Nya, Allah tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya”. Ini menjelaskan fenomena perkembangan agama-agama yang malah bertambah subur belakangan ini. “Tetapi pencarian itu menuntut dari manusia seluruh usaha berpikir dan penyesuaian kehendak yang tepat, ‘hati yang tulus’, dan juga kesaksian orang lain yang mengajar kepadanya untuk mencari Tuhan” (KGK 30).


[Bersambung]