Almarhum Paus Benediktus XVI adalah Paus terakhir yang terlibat dalam Konsili Vatikan II. Ia lebih dikenal dengan nama aslinya, Joseph Ratzinger. Bersama pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, atau Karol Woytila, keduanya sama-sama berkontribusi pada Konsili Vatikan II. Tetapi umumnya orang menghargai kontribusi Joseph Ratzinger lebih besar.
Ratzinger baru berumur 35 tahun ketika Konsili Vatikan II dibuka pada 1962. Pada tahun 1961 ia bertemu dengan Kardinal Frings dari Cologne. Kardinal Frings waktu itu mendapat undangan untuk bicara tentang "Teologi Konsili" di suatu pertemuan di Genoa 20 November 1961. Ia meminta Ratzinger membantunya menyusun suatu pidato teologi. Naskah pidato itu menyatakan bahwa suatu Konsili baru sungguh dirindukan, karena kekatolikan dalam kebudayaan selalu paling kontemporer, dan kemajuan ilmu dan teknologi sudah mengubah dunia setelah Konsili Vatikan I. Sementara itu dominasi Barat yang sekularis akan mendapat tantangan dari budaya-budaya Asia dan Afrika. Gereja dapat memetik manfaat dari pembaruan kerohanian, liturgi, telaah kitab suci dan teologi yang sudah berjalan untuk mengembangkan persekutuan yang diharapkan umat manusia dan tidak dapat dipuaskan oleh ideologi. Pidato itu berkesan bagi Paus Yohanes XXIII. Banyak pemikiran dan ungkapan dari pidato itu nantinya digunakan oleh Paus Yohanes XXIII dalam amanat pembukaan Konsili Vatikan II. Misalnya, "sebagai suatu Konsili pembaruan, Konsili hendaknya tidak banyak merumuskan ajaran." Gereja dianjurkan masuk dalam "dialog" dengan dunia sekular, menawarkan Kekristenan sebagai alternatif. “Dalam suatu masa Katolisisme yang sungguh mendunia, dan karena itu menjadi Katolik sejati, Gereja harus semakin menyesuaikan diri. Sebab tidak semua aturan dapat dijalankan di setiap negara. Terutama, liturgi yang mencerminkan kesatuan juga harus menjadi ungkapan yang tepat dari sifat budaya partikular". “Dalam banyak cara agama akan menerima bentuk yang berbeda. Lebih ramping dalam bentuk dan isi, tapi mungkin lebih mendalam. Umat zaman sekarang sungguh mengharapkan Gereja membantu mereka dalam proses perubahan ini. Mungkin Gereja perlu meninggalkan banyak rumusan kuno yang sudah tidak cocok lagi [ … ], bersedia menanggalkan busana iman yang berkait waktu.” Paus Yohanes XXIII yang begitu terkesan pada pidato itu mengundang Kardinal Frings ke kantornya; dan ketika Kardinal memberi tahu Paus orang yang menulis naskah pidato itu, Paus menyarankan agar Frings menjadikan Ratzinger yang agak liberal itu sebagai peritus (asisten teologi)-nya dalam Konsili nanti. Pengaruh Ratzinger menentukan nada dasar Konsili, dan dalam Vatikan II perannya bertambah besar sebagai penasihat teologi Kardinal Frings.
Bagi Joseph Ratzinger, kolegialitas uskup, otoritas paus, liturgi, masalah kebebasan beragama, ekumenisme, dan pendekatan Gereja pada agama-agama lain dan budaya sekular semuanya merupakan keperluan mendesak sebagai elemen-elemen pembaruan bagi para bapa-konsili. Joseph Ratzinger termasuk di antara "kaum progresif" yang paling berpengaruh dalam istilah Paus Paulus VI.
Joseph Ratzinger segera tampak kurang menghargai dokumen-dokumen yang disiapkan komisi-komisi khusus yang dibentuk Vatikan. Terutama karena nadanya yang konservatif. Ratzinger dari awal "bertabrakan dengan kelompok konservatif" dalam Konsili.
Ratzinger mendapatkan persamaan sikap dengan para imam berbahasa Jerman lainnya yang bertemu secara teratur selama sesi Konsili di Collegio Teutonico di Santa Maria dell'Anima, seminari Jerman, di Roma. Seperti disebutkan, pertemuan pertama mereka dimulai bahkan sebelum sesi pertama Konsili. Santa Maria dell'Anima berada di jantung pusaran perkembangan yang menyebabkan debat sengit, dari 'krisis Oktober', 'krisis November' dan 'Kamis Hitam' yang terkenal, yang membawa seluruh Konsili berdiri di tepi jurang. Dan di tengah-tengah itu semua Ratzinger dari awal menjadi tokoh dari Jerman yang memengaruhi jalannya Konsili. Pada 10 Oktober 1962, dalam pertemuan pertama peserta dari Jerman dalam Konsili, tepat sebelum Konsili resmi dibuka, hanya ada pembicara tunggal, dan dia adalah Joseph Ratzinger.
Berbicara tentang periti lain, Ratzinger menyukai Yves-Marie Joseph Congar, Henri de Lubac, serta Karl Rahner dari Jerman – yang semuanya “belakangan dicurigai sebagai bid'ah.” Agar kecurigaan tidak bertambah besar, Congar – salah satu periti dalam Konsili – menasihati agar pertemuan mereka diusahakan tidak menimbulkan kesan sedang berkomplot “menyiapkan rancangan”.
Terlepas dari soal kecurigaan, Ratzinger ”secara sadar mengecilkan signifikansinya sendiri”. Namun, tetap saja hampir tidak ada orang yang datang ke Roma dengan persiapan sebaik Ratzinger. Saat berbicara pada 10 Oktober, Ratzinger menjelaskan bahwa banyak dokumen yang sudah disiapkan cacat terutama skema tentang Wahyu Ilahi yang vital peranannya dan akan menentukan seluruh hasil Konsili, dan dia mengajukan kemungkinan untuk mengganti dengan teks alternatif.
Bermain Api
Tidak jelas apakah Ratzinger tahu efek kata-katanya yang dapat menggagalkan Konsili. Tapi dia pasti tahu dia sedang bermain api.” Dari refleksi Ratzinger pada tahun 2005, dia menyadari “tanggung jawab untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuh para uskup Jerman berada di pundak saya.” Ketika berbicara kepada kelompok berbahasa Jerman, Ratzinger langsung mempermasalahkan dokumen konsili – De fontibus revelationis – yang telah disetujui Paus Yohanes XXIII dan Kardinal Ottaviani. Bagi Ratzinger, judul skema ini “mengandung bahaya penyempitan konsep Wahyu.” Di sini, dia menolak paham yang mapan tentang sumber Wahyu, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci, yang baginya "bukanlah sumber Wahyu." Baginya, sumber utama wahyu adalah perkataan dan pernyataan diri Tuhan sendiri, dan darinya, Kitab Suci dan Tradisi, menjadi saluran alirannya. Ia melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa menggunakan formulasi "yang tidak menggambarkan tatanan realitas tetapi hanya menunjukkan akses kita kepada realitas", berbahaya dan sepihak.Berdasarkan tesis ini, Ratzinger melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa “Wahyu itu sendiri selalu lebih besar dari yang diungkapkan secara tetap di dalam Kitab Suci; Wahyu adalah Firman yang hidup, sejauh ditangkap dan diungkapkan Kitab Suci.” Hampir semua poin kritik dari Ratzinger kemudian diperhitungkan. Ratzinger menyatakan pada hari itu skema tentang Wahyu itu "sepenuhnya memancar dari semangat anti-Modernis, yang telah berkembang sekitar pergantian abad," sehingga "roh serba menentang ini pasti akan memiliki efek dingin, bahkan mengecutkan.”
Persiapan Kardinal Frings
Semacam kudeta yang terbentuk sesudah presentasi Ratzinger mungkin tidak direncanakan. Namun juga jauh dari dorongan sesaat. Frings sendiri telah berkonsultasi dengan seorang sejarawan Gereja pada bulan Mei 1962 tentang cara terbaik untuk mempengaruhi hasil Konsili, dan langkah pertama adalah untuk "membentuk minoritas pemblokir" dalam komisi yang menentukan. Maka, pada malam 10 Oktober 1962 itu, kelompok berbahasa Jerman merenungkan cara mengubah daftar anggota komisi yang telah ditetapkan, dan dengan perubahan daftar anggota komisi itu, mengubah dokumen itu sendiri.
Ada karakter revolusioner dari intervensi yang dipimpin Jerman dalam Konsili. Kelompok yang paling siap untuk Konsili – setelah mempelajari dengan cermat dokumen persiapan dan menyiapkan proposal untuk perbaikan – adalah Aliansi Rhine: para uskup Prancis, Jerman, Belgia, dan Belanda serta penasihat mereka, yang selanjutnya mewujudkan “Tujuh Hari yang Mengubah Selamanya Gereja Katolik.”
Salah satu pemimpin mereka, Kardinal Achille Liénart, melanggar protokol Konsili. Ia mengambil alih mikrofon pada hari pertama Konsili, 13 Oktober, meminta agar debat ditunda dan meminta waktu untuk mengenal calon anggota komisi lebih dahulu sebelum dilakukan pemilihan seperti yang telah direncanakan. Frings melakukan hal yang sama setelahnya, meminta lebih banyak waktu untuk berdiskusi sebelum pemilihan anggota komisi. Intervensi Liénart dan Frings telah disiapkan sehari sebelumnya, dan mereka berhasil: pemilihan anggota komisi ditunda.
Ratzinger di kemudian hari menegaskan bahwa “itu bukanlah tindakan revolusioner, tetapi tindakan hati nurani, tanggung jawab, dari pihak para Bapa Konsili.” Bagi kawan lain, Kardinal Leo Joseph Suenens, jelas apa yang terjadi adalah “kudeta bahagia” dan “pelanggaran aturan yang berani.” Dalam komentarnya: “Arah Konsili sebagian besar diputuskan pada saat itu. Paus Yohanes XXIII menyukainya,” tulis Suenens. Ratzinger sendiri juga senang, ketika dia menyatakan, Konsili “bertekad untuk bertindak independen dan tidak diturunkan martabatnya menjadi sekedar badan eksekutif bagi Komite Persiapan.” Tentu saja menyakitkan, bahwa Kardinal Ottaviani dipermalukan pada hari yang sama. Kardinal Alfrink mematikan mikrofon yang digunakan Ottaviani begitu saja setelah dia berbicara lebih lama dari waktu yang diizinkan, dan di antara hadirin, terdengar tepuk tangan meriah.
Menempatkan komponen progresif dalam Komisi-komisi KonsiliSetelah mendapatkan waktu, para uskup – Frings, Suenens, Alfrink, Liénart, König, dan Döpfner – bertemu pada sore hari tanggal 13 Oktober 1962 untuk mulai menjalin aliansi dengan uskup lain di dunia. Mereka menyusun daftar calon komisi mereka sendiri, untuk mempengaruhi hasil kerja tiap-tiap Komisi. Mereka misalnya, mencegah berkembangnya front persatuan di antara para uskup Italia. Untuk itu mereka menghubungi Kardinal Giovanni Montini yang sangat kolaboratif, yang kemudian menjadi Paus Paulus VI. Pada malam tanggal 15 Oktober, sekretaris Frings berhasil mengumpulkan daftar calon, yang dicetak 2.000 eksemplar dan disampaikan kepada para Bapa Konsili. Upaya ini berhasil : dari 109 kandidat dalam daftar mereka, 79 dipilih oleh Konsili, meliputi 49% dari semua kursi yang tersedia. Frings memperoleh banyak pendukung dari negara-negara misi Amerika Selatan dan di tempat lain, karena dia, sebagai pendiri lembaga donor Misereor dan Adveniat di Jerman, mendapatkan “kepercayaan, ” tentunya juga karena donasinya yang murah hati.
Draft alternatif Skema tentang Wahyu Ilahi
Pada tanggal 15 Oktober, Ratzinger menyerahkan kepada rekan-rekannya suatu draf dokumen alternatif tentang Wahyu Ilahi yang kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh Karl Rahner, Hermann Volk, dan Otto Semmelroth. Empat hari kemudian, sekelompok 25 uskup dan teolog – di antaranya Ratzinger, Congar, Chenu, de Lubac, Küng, Rahner, dan Schillebeeckx – bertemu untuk “membahas dan menyepakati taktik pergumulan skema teologis,” dalam kata-kata Congar. . Pada tanggal 25 Oktober, Frings mengundang beberapa uskup terkemuka, dan mencoba memenangkan hati mereka untuk draf baru skema Wahyu Ilahi yang ditulis oleh Ratzinger dan Rahner. Ratzinger mempresentasikan draf tersebut kepada hadirin, di antaranya Suenens, Alfrink, dan Liénart.
Kelompok tidak berhenti hanya sampai di situ. Döpfner dan Hubert Jedin telah bertemu sehari sebelumnya sehingga mereka dapat memikirkan apakah ada sarana “daya ungkit” yang dapat digunakan untuk melemahkan protokol Konsili. Pada 6 November diskusi ini dilanjutkan, dengan hadirnya Ratzinger, Frings, Congar, dan Rahner. Mereka mengajukan permintaan kepada Sekretaris Negara agar setiap Bapa Konsili punya hak meminta amandemen skema, atau menolaknya sama sekali.
Pada tanggal 14 November 1962 Kardinal Ottaviani membuka sesi tentang skema Wahyu Ilahi, dengan nada membela teks yang telah disiapkan dan menegaskan bahwa tugas Konsili adalah membela dan memajukan ajaran Katolik. Namun kemudian, beberapa anggota sayap progresif – di antaranya König, Alfrink, Suenens, dan Bea – menyatakan bahwa mereka sama sekali menolak skema tersebut. Frings juga berbicara. Dia menyampaikan ceramah yang ditulis Ratzinger. Dia mengklaim skema yang disiapkan tidak memiliki "suara seorang ibu" (Gereja), tetapi "suara seorang kepala sekolah". Sebaliknya, menurut Frings/Ratzinger, penting untuk menerapkan “gaya pastoral” seperti yang diharapkan Paus Yohanes XXIII. Satu-satunya sumber Wahyu, kata Frings di aula Konsili, adalah "firman Tuhan". Karena perlawanan yang kuat di pihak sayap progresif dalam Konsili, Paus kemudian tiba-tiba memutuskan, pada tanggal 21 November 1962 menarik skema yang telah disiapkan tentang Wahyu Ilahi, dan demikian menambah pengaruh lebih besar kepada kelompok gerejawan ini. Dan meskipun beliau telah menyetujui skema tersebut, Paus menetapkan Komisi baru untuk draf baru skema Wahyu Ilahi, dan memutuskan Kardinal Augustin Bea, Frings dan Liénart dilibatkan di dalamnya.
Ratzinger memerhatikan bahwa “para uskup tidak lagi sama seperti sebelum Konsili dibuka,” “alih-alih sikap 'anti' dan serba negatif yang lama, harapan positif yang baru tampak muncul, meninggalkan sikap defensif dalam berpikir dan bertindak dengan mengenakan cara Kristiani yang positif. Api telah dinyalakan.”
Pada tanggal 24 November 1962 Paus Yohanes XXIII menerima para uskup Jerman dalam audiensi pribadi, menekankan bahwa Konsili harus menjadi “signum caritatis,” suatu tanda cinta. Namun dia menolak usulan Suenens dan Döpfner, agar Misa di awal setiap sesi perlu ditinggalkan!
Giuseppe Ruggieri, profesor teologi fundamental di Bologna, kemudian berkomentar bahwa pekan dari tanggal 14 hingga 21 November 1962, yang dikhususkan untuk perdebatan skema De fontibus revelationis, “adalah saat terjadinya perubahan yang menentukan masa depan Konsili dan Gereja Katolik : dari Gereja Pacelli, yang pada dasarnya memusuhi modernitas […] menjadi Gereja yang bersahabat dengan seluruh umat manusia, bahwa mereka sendiri adalah anak-anak dari masyarakat modern, budaya dan sejarahnya.” Bagi Ratzinger pekan itu juga menunjukkan penolakan terhadap "kelanjutan spiritualitas anti-Modernis" dan persetujuan pada "cara baru berpikir dan berbicara positif". Ottaviani sendiri, setelah dikesampingkan, mengucapkan kata-kata berat di aula Konsili: “Mereka yang sudah lama terbiasa berkata 'Ambil dan ganti' sudah membekali diri untuk bertarung. Saya akan memberi tahu Anda hal lain: bahkan sebelum skema yang ini didistribusikan, skema alternatif telah disiapkan. Jadi yang tersisa bagiku hanyalah diam. Karena seperti yang dikatakan Kitab Suci: ketika tidak ada yang mendengarkan, tidak ada gunanya berbicara".
Sejak saat itu, Ratzinger makin diwaspadai para uskup yang lebih konservatif. Dia dianggap mempedaya Kardinal Ottaviani, dan bersama Rahner ia disebut kaum integralis Prancis sebagai “bidat yang menyangkal neraka dan yang lebih buruk daripada Teilhard dan kaum Modernis”. Draft Ratzinger/Rahner juga digambarkan sebagai “teks tipikal Freemason”.
Bagaimanapun, “Frings dan penasihatnya [Ratzinger] telah membalikkan komposisi Konsili. Kelompok mereka yang menginginkan reformasi dari minoritas berubah menjadi mayoritas.”
Kardinal Giuseppe Siri sangat khawatir dan menggambarkan kecenderungan baru di dalam Konsili sebagai “kebencian terhadap teologi”, suatu penemuan “paradigma baru”, dengan penekanan pada “pelayanan pastoral” dan “ekumenisme”, dan memperingatkan bahwa ada upaya untuk “menggusur Tradisi, Gereja, dll.” di pihak mereka "yang ingin menyesuaikan segalanya dengan Protestan, Ortodoks, dll." “Tradisi Ilahi sedang dihancurkan,” Siri menyimpulkan.