Bambang Kussriyanto
Dalam perjumpaan dengan para pengurus Ikatan Alumni
Filsafat-Teologi (Ikafite) Sanata Dharma, sebelum diangkat menjadi Rektor
Sanata Dharma Ketua Fakultas Teologi Wedabhakti Rm Bagus Laksana SJ
mengharapkan para alumni yang tergabung dalam Ikafite di dalam hidup
bermasyarakat melaksanakan “Apologia Kreatif”. Ia mengandaikan kita semua tahu
apa yang dimaksudkan dengan “apologia kreatif” itu. Dan hadirin pun tidak ada
yang bertanya apa itu “apologia kreatif”, mengandaikan masing-masing “sudah
tahu” atau “kira-kira tahu”; yang jelas tidak tampak pengandaian “tidak tahu
sama sekali”. Maklumlah, semua yang hadir waktu itu “alumni” Fakultas
Filsafat-Teologi.
Saya menempatkan diri pada asumsi “kira-kira tahu” mengandalkan pengajaran yang saya terima dulu dari IFT dan pengembangan yang saya lakukan setelah “di luar IFT”, dengan juga mengandaikan ada hal-hal yang belum saya ketahui dan masih perlu saya ketahui. Maka saya coba merekontsruk apa yang saya ketahui dengan harapan mendapat pencerahan dari dialog setelah tulisan ini saya publikasikan.
Perkembangan “pedoman-pedoman” untuk penyelenggaraan
Fakultas-fakultas Gerejawi demi menghasilkan alumni yang sesuai harapan Gereja
sudah sangat berkembang lebih jauh sejak Surat Apostolik Paus Benediktus XV “Maximum
Illud” 1919 yang mendasari penyelenggaraan Seminari-seminari di Indonesia dan
banyak dikutip dalam bagian “sejarah” lembaga pendidikan calon imam. Paus Pius
XI menerbitkan Konstitusi Apostolik Deus Scientiarum Dominus pada 1931 meneruskan
pengajaran kebijaksanaan Kristiani untuk pembinaan kehidupan dan tingkah laku
manusia. Untuk membantu universitas-universitas Katolik mencapai tujuan dengan
lebih baik, Paus Pius XII telah berusaha mendorong kegiatan bersama dari
universitas-universitas dengan mendirikan secara resmi Federasi Internasional
Universitas-Universitas Katolik lewat Surat Apostolik tertanggal 27 Juli 1949. Ketika
membuka Konsili Vatikan II dengan semangat aggiornamento Paus St Yohanes XXIII
meminta keterhubungan yang tekun dengan realitas, dan para teolog juga didorong
untuk mencari cara yang lebih sesuai untuk mengomunikasikan ajaran pada
orang-orang sezaman mereka yang bekerja di pelbagai bidang pengetahuan, karena
“khazanah iman atau kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam ajaran iman itutidaklah identik dengan cara perumusannya, meskipun makna dan arti yang samadipertahankan.” Hal ini akan menjadi sangat berguna sehingga di antara Umat
Allah, praktik religius dan kesalehan jiwa bisa bertumbuh sama cepatnya dengan
kemajuan ilmu dan teknologi, dan sehingga, dalam karya pastoral, umat dapat dituntun
secara bertahap pada kehidupan iman yang lebih dewasa dan murni. Konsili
Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Katolik (GE, 1965) menegaskan bahwa
“Gereja memberi perhatian besar pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi,” dan
juga sungguh mengusulkan agar universitas-universitas Katolik mesti “dibangun di
tempat-tempat yang cocok di seluruh dunia” dan agar “para mahasiswa
perguruan-perguruan itu menjadi sungguh unggul dalam ilmu pengetahuannya, siap
siaga untuk menunaikan tanggung jawab besar dalam masyarakat, dan menjadi saksi-saksi
iman di dunia” (GE 10). Konsili Vatikan II menyampaikan Dekret “Optatam Totius”
1965 untuk meninjau kembali secara setia dan kreatif program-program studi
gerejawi (bdk.Nomor 13-22). Pedoman-pedoman pembinaan para calon imam yang
dikeluarkan MAWI pada kurun 1970-an sudah mengisyaratkan perkembangan yang
lebih jauh, terutama setelah diskusi-diskusi Federasi Konferensi Waligereja
Asia (FABC) sejak 1974 tentang inkulturasi dalam pendidikan dan pewartaan iman.
Sesudah studi yang saksama dan percobaan yang bijak, peninjauan kembali
tersebut menghasilkan Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana, yang
dipromulgasikan oleh Santo Yohanes Paulus II pada 15 April 1979.
Dalam kurun waktu hampir 50 tahun, perubahan-perubahan besar
telah terjadi tidak hanya dalam masyarakat sipil, tetapi juga di dalam Gereja
sendiri. Peristiwa-peristiwa penting, teristimewa Konsili Vatikan II, ... telah
mempengaruhi kehidupan internal Gereja dan relasi eksternalnya dengan
orang-orang Kristen dari pelbagai gereja, dengan orang-orang non-Kristiani, dan
dengan orang-orang yang tidak beriman, serta dengan semua orang yang
menginginkan peradaban yang lebih manusiawi.
Karenanya Paus Fransiskus menerbitkan Konstitusi Apostolik
Evangelium Gaudium pada 8 Desember 2017 tentang Universitas dan Fakultas
Gerejawi. Di dalamnya ditegaskan kembali tujuan “Fakultas Gerejawi melalui
penelitian ilmiah, memelihara dan memajukan disiplin-disiplin ilmu mereka
sendiri, yaitu (disiplin-disiplin) yang secara langsung maupun tidak langsung
berhubungan dengan wahyu Kristiani atau yang secara langsung membantu misi
Gereja, dan karena itu secara khusus memperdalam pengetahuan atas wahyu
Kristiani dan hal-hal yang berkaitan dengannya, mengungkapkan secara sistematis
kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya, mempertimbangkan dalam terang
wahyu tersebut pelbagai kemajuan terbaru dari ilmu pengetahuan, dan
menghadirkannya pada manusia zaman sekarang dengan cara yang sesuai untuk
banyak budaya” (Veritatis Gaudium 3.1).
Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana telah menunjukkan
penelitian sebagai “kewajiban utama”, dalam “kontak langsung dengan realitas
[…] untuk mengomunikasikan ajaran pada orang-orang sezaman [kita] dalam
pelbagai budaya.” Namun, di zaman kita sekarang, yang ditandai dengan situasi
multikultural dan multietnik, dinamika sosial dan budaya yang baru menuntut
agar tujuan-tujuan penelitian tersebut diperluas.
Sesungguhnya, agar Gereja bisa melaksanakan perutusan penyelamatannya,
“tidaklah cukup bahwa para pewarta Injil memiliki perhatian untuk menjangkau
setiap orang, Injil juga harus diwartakan kepada kebudayaan-kebudayaan secara
menyeluruh.” (EG 133). Studi-studi gerejawi tidak dapat dibatasi sekadar untuk
mentransfer pengetahuan, kemampuan profesional dan pengalaman kepada
orang-orang sezaman kita yang ingin tumbuh dalam kesadaran Kristiani, tetapi
juga harus mengambil tugas mendesak untuk mengembangkan perangkat-perangkat
intelektual yang bisa berperan sebagai paradigma tindakan dan pemikiran, yang
berguna untuk pewartaan di dunia yang ditandai oleh pluralisme etis dan religius.
Untuk melakukan hal ini, diperlukan tidak hanya kesadaran teologis yang mendalam,
tetapi juga kemampuan untuk memahami, merancang dan membangun cara-cara untuk
menghadirkan agama Kristiani yang mampu memasuki secara mendalam sistem-sistem budaya
yang berbeda. Semua ini menuntut peningkatan kualitas penelitian ilmiah dan
juga perbaikan bertahap dalam tingkatan studi-studi teologis dan ilmu-ilmu lain
yang terkait. Yang kita butuhkan bukan hanya memperluas bidang diagnosis dan
menambahkan kumpulan data yang tersedia untuk menafsirkan realitas (LS 47, EG
50) melainkan studi yang lebih mendalam yang berusaha terus-menerus untuk “menyampaikan
secara lebih efektif kebenaran Injil dalam konteks tertentu, tanpa mengabaikan
kebenaran, kebaikan, dan cahaya yang dapat dibawanya ketika kesempurnaan tidak
dimungkinkan.”(EG 45)
Terutama, kepada penelitian yang dilakukan di Universitas-universitas,
Fakultas-fakultas dan Institut-institut gerejawi saya mempercayakan tugas
mengembangkan “apologetika kreatif” yang saya minta dalam Evangelii Gaudium
agar “mendorong keterbukaan lebih besar kepada Injil pada semua pihak.” (EG 132)
Setelah menyiapkan “civita academica” : kelembagaan,
pengurus, para dosen, dukungan administratif yang diperlukan, selanjutnya
disampaikan Dukungan Kurikulum atau Pedoman Studi sebagai bagian pokok yang penting.
Artikel 37. § 1. Dalam mengatur program-program studi, semua
prinsip dan norma yang menurut keragaman isinya terkandung dalam
dokumen-dokumen gerejawi, khususnya Konsili Vatikan II, haruslah ditaati. Namun,
pada saat yang sama harus diperhitungkan juga pelbagai kemajuan ilmiah yang
bisa menyumbang pada usaha menjawab persoalan-persoalan yang sekarang sedang
dibahas.
§ 2. Dalam sebuah Fakultas, hendaknya metode ilmiah yang
dipakai bersesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan tiap-tiap ilmu. Metode didaktik
dan pedagogis yang mutakhir haruslah digunakan secara tepat agar semakin
mengembangkan keterlibatan pribadi dan partisipasi aktif dari para mahasiswa
dalam studi mereka.
Artikel 38. § 1. Dengan mengikuti norma Konsili Vatikan II,
dan sesuai dengan sifat Fakultas masing-masing:
1) kebebasan yang sewajarnya80 haruslah diakui di dalam
bidang penelitian dan pengajaran sehingga kemajuan sejati dapat dicapai dalam
pengetahuan dan pemahaman akan kebenaran ilahi.
2) Pada saat yang sama, haruslah menjadi jelas bahwa:
a) kebebasan sejati dalam mengajar haruslah ditempatkan dalam
batas-batas Sabda Allah, seperti yang selalu diajarkan oleh Magisterium Gereja.
b) demikian juga, kebebasan sejati dalam penelitian haruslah
didasarkan pada kesetiaan yang teguh pada Sabda Allah dan dalam sikap hormat
terhadap Magisterium Gereja yang diberi tugas untuk menafsirkan Sabda Allah
secara autentik.
§ 2. Oleh karena itu, dalam perkara yang sedemikian penting
itu, orang harus bertindak dengan kepercayaan dan tanpa kecurigaan, tetapi
sekaligus juga dengan kehati-hatian tanpa kecerobohan, khususnya dalam
pengajaran; lebih-lebih, tuntutan-tuntutan ilmiah harus diselaraskan secara
hati-hati dengan kebutuhan pastoral umat Allah.
Artikel 39. Di setiap Fakultas, kurikulum studi haruslah
diatur secara tepat ke dalam langkah-langkah atau siklus-siklus, yang
disesuaikan dengan materi studi.
Dalam siklus pertama: a) - Disiplin-disiplin ilmu filsafat
yang diperlukan untuk teologi, yaitu terutama filsafat sistematik dan sejarah
filsafat (klasik, abad pertengahan, modern, kontemporer). Selain pengantar
umum, pengajaran sistematik harus meliputi semua bidang utama filsafat: 1)
metafisika (yang dimengerti sebagai filsafat ada dan teologi alamiah), 2)
filsafat alam, 3) filsafat manusia, 4) filsafat moral dan politik, 5) logika
dan filsafat pengetahuan. b) disiplin-disiplin ilmu teologi, yaitu: • Kitab
Suci: pengantar dan eksegesis • Teologi fundamental, yang juga meliputi
ekumenisme, agama-agama non-Kristiani, dan ateisme, serta pelbagai aliran
budaya kontemporer. • Teologi dogmatik; • Teologi moral dan spiritual ; •
Teologi pastoral; • Liturgi; • Sejarah Gereja, Bapa-bapa Gereja, arkeologi •
Hukum Kanonik. c) disiplin-disiplin ilmu pendukung, yaitu, ilmu-ilmu humaniora
tertentu, bahasa-bahasa biblis, selain Latin, sejauh diperlukan untuk menempuh
studi pada siklus-siklus selanjutnya. Dalam norma pelaksanaan Art 70
dikemukakan studi-studi yang dapat memberi sumbangan: • Arkeologi Kristiani •
Bioetika • Komunikasi Sosial • Hukum • Sastra Kristiani dan Klasik • Liturgi •
Misiologi • Musik Suci • Kajian Timur Dekat Kuno • Psikologi • Ilmu Pendidikan •
Ilmu-ilmu Agama • Ilmu-Ilmu Sosial • Spiritualitas • Sejarah Gereja • Kajian
Bahasa Arab dan Islam • Kajian Kitab Suci • Kajian Oriental • Kajian tentang
Perkawinan dan Keluarga.
Di mana posisi “Apologia atau apologetika kreatif”?
Saya membayangkan “Apologia atau apologetika kreatif” adalah
pengertian komprehensif dari semua studi di atas yang digunakan sebagai kiat “secara
kreatif” di dalam pewartaan dan kesaksian iman berhadapan dengan pengalaman
situasional dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks budaya termasuk teknologi
yang senyatanya.
Sebagai “kiat” karena seluruh bahan yang diterima dalam
kuliah dilepaskan dari atribut ilmiahnya dipilah untuk digunakan sesuai
keperluan khusus dan “secara kreatif” dengan diolah kembali (digested) dengan
tambahan-tambahan baru yang diperoleh dari pengalaman hidup, melalui
penghayatan pribadi dan komunal, dalam bimbingan Roh Kudus. Rekonstruksi atau reformulasi pasca digestasi
menjadi pemribadian semua bahan, menjadi milik pribadi yang menyatu dalam satu
keyakinan iman. Saya memposisikan semua itu sebagai “produk siap pakai” yang
sewaktu-waktu dapat disampaikan (delivered) menurut permintaan (on demand)
dalam dialog pergaulan.
Catatan “dalam bimbingan Roh Kudus” saya garis bawahi. Yaitu
kesadaran bahwa bukan hanya kita pribadi yang bekerja, tetapi juga Roh Kudus
dalam diri kita; artinya seluruh proses pengolahan dan pemribadian terjadi
dalam ikatan doa memohon Roh pempimbing, Roh pengetahuan dan hikmat, serta Roh
kebenaran, agar Ia memberi khasiat menghasilkan dalam diri kita “produk siap
pakai” untuk pewartaan dan kesaksian iman. Mengingat situasi Pentakosta yang
produktif, kita berharap Roh Kudus memberi kita dunamis pneuma (daya pengubah Roh): “dinamo” energi yang kita
perlukan, “dinamika” kemajuan proses yang terbaik, dan akhirnya hasil anapologetos (istilah Paulus)
penerimaan kebenaran Allah yang mengubah (metanoia). Semoga.