Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label 60 Tahun Konsili Vatikan II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 60 Tahun Konsili Vatikan II. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Oktober 2022

Sarasehan Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II oleh Ikafite

 Setelah melaksanakan persembahan Ekaristi, Puji Syukur atas anugerah Konsili Vatikan II dilanjut dengan makan siang bersama, Ikatan Alumni Filsafat Teologi (Ikafite) Sanata Dharma juga menyelenggarakan Sarasehan tentang Konsili Vatikan II di Aula Seminari Tinggi St Paulus, Kentungan, Yogyakarta pada hari Sabtu 15 Oktober 2022.

Tampil sebagai Narasumber: - Mgr. Dr. Petrus Boddeng Timang Pr, Uskup Keuskupan Samarinda - Romo Dr. CB Mulyatno, Pr Dekan Fakultas Teologi Wedabhakti, Sanata Dharma - Prof. Dr. Phil. Al Makin, S. Ag., M.A. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Romo Prof. Dr. FX. Mudji Sutrisno, SJ, dari STF Drijarkara Jakarta - Bapak FX Hadi Rudyatmoko, mantan Walikota Surakarta - Ibu MY Esti WIjayati, anggota DPR RI - Romo Dr. St. Gito Wiratmo, Pr, pembina Ikafite - Yustinus Prastowo, Staf Menkeu, dan dipandu oleh moderator - Dr. YCT Tarunasayoga dari Unika Soegijapranata Semarang yang juga anggota Ikafite.




















Mgr Rubiyatmaka Uskup dari Keuskupan Agung Semarang menyampaikan sambutan video:

"Teman-teman Ikafite dan semua hadirin yang saya cintai, selamat pagi dan Berkah Dalem. Betapa bahagianya, seandainya saya bisa ikut hadir dan bergabung dengan anda semua, merayakan syukur atas 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan II. Meskipun demikian, saya cukup bangga dan bergembira khususnya atas inisiatif dari Ikafite untuk mengadakan Perayaan Ekaristi dan Sarasehan menyambut 60 tahun pembukaan Konsili Vatikan yang kedua ini. Dari sini, saya berharap banyak bahwa semangat pembaharuan yang telah dicanangkan oleh para Bapa Konsili, tetap mewarnai semangat kehidupan menggereja kita. Dari waktu ke waktu, khususnya semenjak Konsili Vatikan II, gereja di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat luar biasa, khususnya selalu mencoba untuk mengembangkan, memajukan dinamika kehidupan bersama ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi. Semoga di tahun ke 60 dan selanjutnya, kita selalu dimampukan untuk menghadirkan semangat aggiornamento itu, sehingga gereja kita tetap senantiasa aktual, tetap senantiasa signifikan dan relevan bagi masyarakat di sekitar kita dan mampu membawa perubahan-perubahan yang memajukan kehidupan bersama di tengah masyarakat khususnya di Indonesia ini. Maka dalam kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih atas inisiatif ini, atas kebersamaan kita dan atas kehadiran anda. Semoga nanti dihasilkan butir-butir rekomendasi yang bisa kita bawa pulang untuk menjadi - katakanlah - penyemangat kita untuk hidup menggereja yang semakin berkenan kepada Tuhan dan semakin membuahkan perubahan-perubahan yang baik di tengah masyarakat kita. Matur nuwun, Berkah Dalem, dan selamat untuk bernostalgia bersama teman-teman"

Sekitar 350 hadirin mengikuti jalannya Sarasehan yang berlangsung 3 jam dimulai dari pkl 13.00 hingga pkl 16.00 itu.

Rektor Universitas Sanata Dharma Rm. Albertus Bagus Laksana SJ menyampaikan sambutannya:

Saudara-saudariku, kita sungguh bersyukur dengan pembaruan Gereja yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan II. Pembaruan ini sungguh luar biasa. Tetapi setelah 60 tahun, kebanyakan dari kita tidak ingat lagi mengenai Gereja Katolik sebelum KV II dan mungkin gema pembaruan ini agak menghilang. Beberapa tahun lalu, teolog Srilanka, Aloysius Pieris, menulis buku yang berjudul Give Vatican II A Chance. Pieris menengarai bahwa ada kekuatan-kekuatan dalam Gereja sendiri yang bergerak ke arah yang berbeda. Maka, sungguh penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan menegaskan komitmen kita kembali.

Tanda-tanda Zaman Selain wacana dan dinamika internal Gereja sendiri, pelbagai krisis dunia pun mengingatkan kita untuk melanjutkan komitmen pembaruan KV II secara lebih luas dan global. Dunia kita sedang mengalami krisis politik yang cukup serius. Setelah rezim totalitarian dan otoritarian bertumbangan sejak tahun 1990-an, dunia kita dilanda oleh gerakan politik kanan dan populis. Setelah terpilihnya Donald Trump dan kepemimpinan brutal Vladimir Putin, kita baru saja menyaksikan terpilihnya Giorgia Meloni dari partai The Brothers of Italy. Orang zaman sekarang ini merasa takut, dan cemas terhadap masa depan yang tidak jelas, lalu menggantungkan pengharapan mereka pada pihakpihak yang berjanji memberikan kepastian. Donald Trump berhasil terpilih dengan formula demikian: “Berikan aku kekuasaan, dan aku akan memberimu keamanan” (Give me the power, and I will give you the security).

Dalam analisis Zygmunt Bauman, kita hidup dalam zaman cair (liquid time). Tidak ada seorangpun, atau satu pihak manapun, yang sungguh bisa mengontrol dan memegang kendali. Kita hanya bisa melakukan peran yang begitu kecil (there is so little we can do). Semua serba sementara, dan sewaktu-waktu bisa hilang dan kolaps. Ada unsur randomness dalam dinamika masyarakat kita.

Menarik bahwa Zygmunt Bauman berbicara tentang ketakutan yang “cair” (liquid fear) dan “precariat.” Ketakutan dan kecemasan di zaman kita itu begitu mendasar dan menyebar. Kita berjalan di atas pasir; atau kita seperti berjalan di ladang ranjau (mine-field), kita sadar bahwa ranjau bisa saja ada di mana-mana, dan tidak ada wilayah yang sungguh aman. Sekali lagi, ketakutan dan kecemasan tersebar ke mana-mana, di semua ranah kehidupan. Pemerintah yang paling kuat pun tidak berdaya dan mengalami krisis. Kerapuhan ini menjadi semakin nyata selama Pandemi. Pekerjaan paling aman pun terancam. Hubungan partnership di antara manusia juga menjadi semakin rapuh. Keputusan-keputusan kita buat tanpa ada jaminan. Kata Bauman, kita semakin bebas, tetapi tidak semakin aman.

Menurut Bauman, sebab utama dari keadaan ini adalah pemisahan antara “power” dan “politics.” Power adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu, sedangkan “politik” adalah otoritas dan kemampuan untuk memilih apa yang perlu dan hendak dilakukan. Dahulu dua kekuatan ini tergabung dalam kekuatan dan legitimasi negara-bangsa (nation-state) dengan batas-batas yang jelas. Sekarang, power atau kekuasaan itu dibebaskan atau dipisahkan dari politik. Kemudian, power itu berkembang dan mengalir dalam arus-arus (flows) lain, seperti pasar (market), modal (capital), perdagangan narkoba (drug trafficking), dan di ranah dunia digital (Cf. Bauman, Liquid Fear).

Tanggapan dan dinamika Gereja Ketidakpastian mengenai perjalanan Gereja Katolik sesudah KV II waktu itu juga muncul di banyak kalangan. Ada orang yang merasa kehilangan identitas dan kepastian. Dunia modern yang hendak dimasuki Gereja dianggap dunia yang berbahaya dan tidak bisa diandalkan. Kata pepatah yang sering dikutip: “Barangsiapa mau menikahi zaman, akan cepat menjadi duda atau janda!” Artinya, jangan cepat-cepat menyesuaikan diri dengan zaman, karena zaman terus berubah dengan sangat cepat.

Namun, sesudah 60 tahun, kita bersyukur bahwa ketakutan-ketakutan ini tidak menenggelamkan usaha Gereja untuk terus membarui diri, untuk terjun dalam medan dunia sebagai medan inkarnasi, sebagai medan sejarah tempat karya penebusan terus terjadi. Gereja tidak lari dari dunia, tetapi menerima perutusan untuk diutus ke dunia tetapi bukan dari dunia. (Yoh 17:15-16), yang digaungkan dengan sangat jelas dalam Gaudium et Spes, sebuah dokumen KV II yang termasuk paling populer di Gereja Indonesia.

Konsili Vatikan II adalah pembaruan yang mengobarkan kebersamaan yang sekarang ini, di bawah Paus Fransiskus, diperkuat lagi dengan perspektif sinodalitas. Unsur berjalan bersama ini juga ditekankan oleh Federasi Konferensi-Konferensi Uskup Asia (FABC), yang sudah berusia lebih dari 50 tahun.

Selama 60 tahun terakhir Gereja Katolik merajut “identitas,” di tengah gelombang ketidakpastian dunia seperti yang digambarkan Bauman. Gereja tentu tidak bermain politik identitas. Karena, identitas ini adalah sebuah identitas yang terjaring dan terkait dengan perutusan Gereja yang mendalam (sakramen keselamatan), dengan realitas yang lebih luas, dan dengan semua pihak, dalam sebuah dinamika perjalanan peziarahan menuju pengharapan akan kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam kebersamaan ini, Gereja berusaha memberi oase, menjadi tempat bertumbuh, berteduh dan berlindung bagi manusia-manusia modern yang hidupnya terombang-ambing dan mencari makna, termasuk kaum “precariat” yang disebut Bauman.

Paus Fransiskus mengajak Gereja dan dunia untuk berjuang demi kelompok “precariat” khusus pengungsi dan migran, kaum miskin, orang muda, dan orang jompo, juga mereka yang mendambakan kabar “sukacita” dalam hidupnya yang berat.

Dalam hal ini Gereja menjadi bagian dari kekuatan global untuk bertindak demi kemanusiaan. Inspirasi ini perlu lebih menggelora lagi dalam Gereja Indonesia sesudah 60 tahun KV II ini. Secara umum Gereja Katolik di Indonesia tidak ragu untuk memeluk visi kebangsaan, sebuah warisan yang sudah dirajut oleh komunitas Katolik di Indonesia jauh sebelum KV II tetapi dikembangkan dengan lebih antusias dan programatis di zaman sekarang. Secara khusus Dokumen Gaudium et Spes dan Nostra Aetate telah menginspirasi Gereja Indonesia, mendorongnya untuk menjadi Gereja yang srawung. Perfectae Caritatis membuat kongregasi dan tarekat di Indonesia juga lebih dinamis dan kontekstual.

Gereja Katolik Indonesia pun telah berusaha mengatasi problem “keliyanan” (otherness) yang melekat dalam dirinya. Gereja tidak menjadi “liyan” yang mengancam, dan bahkan bisa berteman dengan banyak pihak, termasuk kekuatan-kekuatan Muslim. Tetapi dalam proses ini Gereja harus bisa juga melepaskan pelbagai ketakutan dan kecemasannya: cemas kalau tidak lagi menjadi pemain kunci dan dominan dalam bidang tertentu, misalnya pendidikan dan kesehatan.

Kita mungkin juga cemas karena kurang berpengaruh dalam politik nasional, dan bingung karena meningkatnya gerak Islam politik. Semangat kolaborasi mestinya menggantikan godaan dominasi. Gereja perlu terus mencari wilayah atau bidang keterlibatan yang paling dibutuhkan dan yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini. Di awal bulan November 2002 Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, ketua Komisi Kepausan untuk Dialog Antaragama (Pontifical Commission for Interreligious Dialogue) akan menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga bersama dengan KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan tokoh Muhammadiyah, Hajrianto Tohari yang sekarang juga menjabat duta besar Indonesia di Lebanon.

Setelah peringatan 60 tahun Kita semua tahu bahwa politik identitas, demokrasi dan Pemilu yang kurang bermartabat karena dipakai demi kepentingan pribadi dan kelompok, terus mengancam kehidupan kita sebagai bangsa, terutama di tahun-tahun ini dan ke depan. Kita perlu mengem-bangkan teologi publik dan interreligius, yang disertai program tindakan kolaboratif berjangka panjang. Vatikan II harus selalu menjadi inspirasi, agar Gereja semakin terlibat.

Terimakasih untuk IKAFITE yang sangat bersemangat dalam meneruskan gerak pembaruan KV II dalam pelbagai kegiatan, termasuk acara Perayaan Syukur 60 Tahun Konsili Vatikan II ini. Adalah tugas para anggota IKAFITE, bersama seluruh Fakultas Teologi Wedabhakti dan Universitas Sanata Dharma, untuk terus menggelorakan semangat pembaruan ini dalam banyak cara.

Semoga kita semua diberkati Tuhan dalam gerak Roh ini.

Mgr Agustinus Agus Uskup Keuskupan Agung Pontianak memberikan skema dokumen hasil2 Konsili Vatikan II.


Jalannya Sarasehan dapat disimak dalam rekaman live streaming berikut: