Daftar Blog Saya

Minggu, 05 Februari 2023

KATEKESE OLEH KOMUNITAS KRISTIANI

 

Dipetik dari Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio per la Catechesi) dari Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru Roma, 23 Maret 2020

KATEKESE OLEH KOMUNITAS GEREJAWI



1 GEREJA DAN PELAYANAN SABDA ALLAH 

283. Allah telah menghendaki mengumpulkan Gereja-Nya di sekitar SabdaNya dan memberinya makan dengan Tubuh dan Darah Putra-Nya. Mereka yang percaya kepada Kristus dilahirkan kembali bukan dari benih yang dapat binasa, melainkan dari sesuatu yang tidak dapat binasa yang adalah Sabda Allah yang hidup (bdk. 1Ptr 1:23). Bagaimana pun, regenerasi ini tidak pernah merupakan tindakan yang sempurna. Sabda Allah adalah roti sehari-hari, yang melahirkan kembali dan tidak putus-putusnya menguatkan peziarahan gerejawi. «Gereja didirikan di atas Sabda Allah; ia lahir dari dan hidup oleh Sabda itu. Sepanjang sejarahnya, Umat Allah selalu menemukan kekuatan di dalam Sabda Allah dan masa kini juga komunitas gerejawi tumbuh karena mendengarkan, merayakan, dan mempelajari Sabda itu.»  Keunggulan Sabda ini menempatkan seluruh Gereja dalam «pendengaran religius» (DV 1). Model dari umat Allah adalah Maria, Perawan yang mendengarkan, yang «menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya» (Luk 2:19). Maka, pelayanan Sabda muncul dari mendengarkan dan mendidik dalam seni mendengarkan, sebab hanya orang yang mendengarkan dapat juga mewartakan. «Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi.»

284. Sabda Allah itu dinamis: bertumbuh dan tersebar luas sendiri (bdk. Kis 12:24), sebab memiliki «kekuatan yang tak terduga. Injil berbicara tentang benih, yang sekali ditabur, tumbuh sendiri, bahkan pada saat petani tidur (bdk. Mrk 4:26-29). Gereja harus menerima kebebasan yang sulit dipahami ini dari sabda, yang menyelesaikan apa yang dikehendakinya dengan cara-cara yang mengatasi perkiraan-perkiraan dan cara-cara berpikir kita.»3 Seperti Maria, Gereja juga menyatakan: «Jadilah padaku menurut perkataanmu itu» (Luk 1:38). Dengan demikian, Gereja menempatkan diri bagi pelayanan pewartaan Sabda Tuhan, dengan menjadi penjaganya yang setia. Tuhan sendiri telah mempercayakan Sabda-Nya kepada Gereja, bukan supaya Sabda-Nya tinggal tersembunyi, melainkan supaya bersinar sebagai cahaya untuk semua orang. “Sabda sendirilah yang mendorong kita kepada saudara dan saudari kita: Sabda itulah yang menerangi, memurnikan, menobatkan; kita hanyalah hamba-hamba-Nya.» 

285. Dengan mengacu pada Sabda Allah, Gereja melaksanakan dengan pelayanannya suatu tugas sebagai perantara: mewartakan Sabda di setiap tempat dan waktu; menjaganya, menyebarkannya seutuhnya kepada berbagai generasi (bdk. 2Tim 1:14); menafsirkannya dengan karisma yang sungguh dari Magisterium; mewartakannya dengan kesetiaan dan kepercayaan, agar «dengan mendengarkan pewartaan keselamatan seluruh dunia mengimaninya, dengan beriman berharap, dan dengan berharap mencintainya» (DV 1); Gereja menyatukan pada dirinya umat beriman baru, yang ditambahkan kepadanya melalui penerimaan Sabda dan Pembaptisan (bdk. Kis 2:41). 

286. «Di dalam dinamisme penginjilan, seorang pribadi yang menerima Injil sebagai Sabda yang menyelamatkan, biasanya menerjemahkannya ke dalam sikap-sikap sakramental.» Untuk itu, setelah mengatasi kontras antara sabda dan sakramen, dipahami bahwa pelayanan Sabda juga sangat diperlukan bagi pelayanan sakramen. Santo Agustinus menulis bahwa «orang lahir dalam Roh melalui sabda dan sakramen.» Jalinan sabda dan sakramen mencapai efektivitas maksimalnya dalam liturgi, terutama dalam perayaan Ekaristi, yang menyatakan arti sakramental Sabda Allah. «Sabda dan Ekaristi begitu erat terikat bersama sehingga kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain: Sabda Allah secara sakramental menjadi daging dalam peristiwa Ekaristi. Ekaristi membuka kepada pemahaman akan Kitab Suci, sama seperti Kitab Suci pada gilirannya menyinari dan menjelaskan Misteri Ekaristi.» 

287. Subjek pemersatu evangelisasi adalah umat Allah «peziarah dan pewarta Injil.» Konsili Vatikan II berbicara tentang umat mesianis, yang diambil oleh Kristus sebagai sarana penebusan dan diutus kepada semua orang sebagai terang dunia dan garam dunia (bdk. LG 9). Pengurapan Roh (bdk. 1Yoh 2:20) membuatnya mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus dan memberi kepadanya karunia-karunia, seperti sensus fidei, yang memampukannya untuk menegaskan, menyaksikan dan mewartakan Sabda Allah. «Semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani (parresía)» (Kis 4:31). Sebagaimana evangelisasi, demikian pula katekese merupakan kegiatan yang dirasakan sebagai tanggung jawab seluruh Gereja. 

288. Tanggung jawab pewartaan Injil menyangkut semua orang. «Berkat pembaptisan mereka, semua anggota umat Allah telah menjadi murid-murid yang diutus (bdk. Mat 28:19). Semua orang yang dibaptis, apa pun kedudukan mereka di Gereja atau tingkat pendidikan mereka dalam iman, adalah pelaku-pelaku evangelisasi, dan akan tidak memadai membayangkan rencana evangelisasi yang dilaksanakan oleh para pelaku yang berkualitas, sementara umat beriman lainnya hanya menjadi penerima pasif. Evangelisasi baru memerlukan keterlibatan setiap orang yang telah dibaptis.» Jika semua bertanggung jawab, namun demikian, tidak semua bertanggung jawab secara sama. Tanggung jawab berbeda-beda sesuai dengan karunia karisma dan karunia pelayanan, dan keduanya sama pentingnya untuk hidup dan misi Gereja. Setiap orang berkontribusi menurut status hidup dan rahmat yang diterima dari Kristus (bdk. Ef 4:11- 12). 

289. Suatu bentuk konkret dalam jalan evangelisasi adalah praktik sinodal, yang dilaksanakan di tingkat universal dan lokal, dan yang dinyatakan dalam berbagai sinode atau konsili. Suatu kesadaran baru akan identitas misioner kini menuntut suatu kemampuan yang lebih besar untuk berbagi, berkomunikasi, berjumpa, sehingga dapat melangkah bersama di jalan Kristus dan dalam kepatuhan kepada Roh. Bahan sinodal mengusulkan pokok-pokok penting untuk evangelisasi: mengantar kepada disermen bersamaterhadap jalan-jalan yang harus ditempuh; mengarahkan untuk bertindak secara sinergis dengan karunia-karunia yang dimiliki oleh semua orang; menentang pengasingan pihak-pihak atau subjek-subjek individual. «Gereja sinodal adalah Gereja yang mendengarkan, dengan kesadaran bahwa mendengarkan itu “lebih daripada mengetahui.” Gereja seperti itu adalah Gereja yang saling mendengarkan, yang di dalamnya setiap orang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Umat yang setia, Kolegium para Uskup, Uskup Roma: seorang mendengarkan yang lain; dan semua mendengarkan Roh Kudus.»11 Apa yang telah dikatakan tentang pelayanan Sabda dilaksanakan secara nyata dalam konteks-konteks tradisi-tradisi gerejawi yang berbeda-beda dan Gereja-Gereja partikular, dalam berbagai hubungan mereka.  

2 GEREJA-GEREJA TIMUR 

290. «Gereka Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisi-tradisi gerejawi, dan disiplin hidup Kristen di dalam Gereja-Gereja Timur. Sesungguhnya, semua itu adalah Gereja-gereja yang terkemuka dan terhormat untuk zaman kuno, yang di dalamnya tradisi para rasul yang diwariskan oleh para Bapa Gereja cemerlang, dan merupakan bagian warisan yang tak terbagi dan diwahyukan secara ilahi dari Gereja semesta» (OE 1). Harta pusaka ini selalu menyumbang untuk evangelisasi. Gereja Katolik berulang kali menegaskan bahwa «Gereja-Gereja Timur memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, mengenal dan menghidupi mereka», dengan segala cara menghindari kehilangan jati dirinya sendiri. Katekese dalam komitmen ini untuk perlindungan dan penerusan iman dalam Tradisi gerejawi sendiri memiliki peran istimewa. Oleh karena itu, dalam program katekese perlulah bahwa «mereka memancarkan pentingnya Kitab Suci dan liturgi serta tradisi-tradisi Gereja sui iuris dalam patrologi, hagiografi dan dalam ikonografi itu sendiri.» 

291. «Hendaklah ditegaskan kembali bahwa di Gereja Timur, sebagaimana kini juga dianjurkan dalam Gereja Barat, katekese tidak dapat dipisahkan dari liturgi, sebab liturgi, sebagai misteri Kristus yang dirayakan in actu, memberi inspirasi kepada katekese. Metode yang sama dipakai oleh tidak sedikit Bapa-Bapa Gereja dalam pembinaan umat beriman. Pembinaan disampaikan dalam katekese bagi para katekumen dan mistagogi atau katekese mistagogi untuk inisiasi ke dalam misteri-misteri ilahi. Dengan cara ini umat beriman dibimbing terus-menerus kepada penemuan yang penuh sukacita akan Sabda dan wafat serta kebangkitan Tuhan mereka, yang telah diperkenalkan oleh Roh Bapa kepada mereka. Dari pemahaman akan apa yang akan mereka rayakan dan dari perpaduan penuh yang telah mereka rayakan, mereka mendapatkan suatu rencana hidup: maka,  mistagogi adalah isi dari keberadaan mereka yang ditebus, disucikan dan berjalan menuju keilahian dan, dengan demikian, menjadi dasar dari spiritualitas dan moral. Oleh karena itu, dianjurkan secara konkret agar program-program kateketis setiap Gereja Timur Katolik individual hendaknya memiliki perayaan-perayaan liturgi khusus mereka sendiri sebagai titik tolak mereka.» 

292. Semua klerus dan calon-calon tahbisan-tahbisan suci, demikian juga orang-orang hidup bakti dan umat awam dipercayakan misi katekese. Dengan persiapan yang matang dan kokoh, yang diatur oleh norma-norma umum gerejawi, hendaknya mereka juga dididik dan dibina dengan baik tentang ritus-ritus dan norma-norma praktis dalam bahan-bahan antar-ritus, khususnya di mana terdapat berbagai Gereja sui iuris di wilayah yang sama (bdk. OE 4). Di samping itu, «umat beriman Kristiani Gereja sui iuris mana pun, juga Gereja Latin, yang dengan alasan jabatan, pelayanan atau penugasan sering mengadakan hubungan denganumat beriman Kristiani dari Gereja sui iuris lain, hendaknya dibina dengan tepat dalam pengenalan dan penghormatan terhadap ritus Gereja yang sama, sesuai pentingnya jabatan, pelayanan atau penugasan yang mereka laksanakan.» 

3 GEREJA-GEREJA PARTIKULAR 

293. «Pewartaan, penerusan dan pengalaman Injil yang dihayati diwujudkan dalam Gereja partikular atau Keuskupan.» Gereja partikular adalah sebagian dari umat Allah, yang «dihimpun dalam Roh Kudus […], di dalamnya hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik» (CD 11). Alasannya adalah bahwa di dalamnya terdapat struktur konstitutif Gereja: Injil, sakramen-sakramen, Uskup, yang dibantu oleh presbiterium memimpin karya pastoral. Gereja partikular «adalah Gereja yang berinkarnasi di suatu tempat tertentu, yang dilengkapi dengan segala sarana keselamatan yang dianugerahkan oleh Kristus, tetapi dengan ciri-ciri setempat.» Namun demikian, Gereja dalam kepenuhannya tidak berdiri sendiri, tetapi dalam persatuan dengan segenap Gereja. Maka, hanya ada satu umat, «satu tubuh, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan» (Ef 4:4-5). Diberikan pertukaran timbal balik yang kuat dan «hanyalah perhatian yang terus-menerus terhadap dua kutub Gereja ini yang memungkinkan kita untuk menangkap kekayaan hubungan antara Gereja universal dan Gereja-Gereja setempat, Gereja individual.»  

294. Seperti halnya Gereja universal, demikian juga setiap Gereja partikular menjadi subjek evangelisasi. Apa yang membentuknya menjadi sumber misinya. Sungguh, justru melaluinya semua orang mengadakan kontak dengan suatu komunitas, mendengarkan Sabda Allah, menjadi orang-orang Kristiani dengan Pembaptisan dan berkumpul untuk merayakan Ekaristi yang, dipimpin oleh Uskup, merupakan perwujudan utama Gereja (bdk. SC 41). 

 295. Diperlengkapi dengan setiap sarana dari Roh Kudus, Gereja-Gereja partikular wajib melanjutkan karya evangelisasi, dengan memberikan sumbangan untuk kebaikan Gereja universal. Dihimpun oleh Sabda Allah, Gereja-Gereja partikular dipanggil untuk mewartakan dan menyebarluaskannya. Dengan menerima tantangan mewartakan Injil, Sabda Allah harus menjangkau wilayah-wilayah yang paling jauh, dan membuka semua daerah pinggiran. Selain itu, dengan hidup di wilayah tertentu, Gereja-Gereja partikular mengevangelisasi dengan mengakar dalam sejarah, budaya, tradisi-tradisi, bahasa-bahasa dan problem-problem umat mereka sendiri. Sabda Allah «memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya» (LG 13). Maka, terpenuhilah karunia Pentakosta, yang dengannya Gereja «yang bersabda dengan semua bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cinta kasih, dan dengan demikian mengatasi percerai-beraian Babel» (AG 4). 

 296. Setiap Gereja partikular diundang untuk melaksanakan katekese dengan cara terbaik sebagai ekspresi yang mengevangelisasi dalam konteks budaya dan sosialnya sendiri. Semua komunitas Kristiani bertanggung jawab untuk katekese, meskipun hanya sedikit orang menerima mandat dari Uskup untuk menjadi katekis-katekis. Mereka ini bertindak dan berkarya dalam bentuk gerejawi atas nama seluruh Gereja. 

297. Kegiatan katekese dilaksanakan dalam konteks yang kadang-kadang mempertanyakan bentuk-bentuk tradisional inisiasi dan pendidikan iman. Sesungguhnya, berbagai Gereja partikular dan lokal telah melibatkan diri dalam proses-proses verifikasi dan pembaruan pelayanan pastoral, dengan menentukan tujuan-tujuan, menjabarkan rencana-rencana dan dengan memulai inisiatif-inisiatif di tingkat keuskupan, nasional dan benua. Pembaruan ini juga menuntut komunitas untuk membarui struktur-struktur. Ada kebutuhan kuat untuk menempatkan semua dalam sudut pandang evangelisasi, sebagai prinsip fundamental yang mengarahkan semua kegiatan gerejawi. Katekese juga mengambil bagian dalam transformasi misioner ini, terutama dengan menciptakan ruang-ruang dan program-program konkret untuk pewartaan pertama dan pemikiran baru tentang inisiasi Kristiani dengan sudut pandang katekumenal. Dengan mengatur katekese secara sistematis bersama dimensi pelayanan pastoral lainnya dan berkat suatu disermen pastoral yang realistis, maka dimungkinkan menghindari aktivisme, empirisme dan keterpisahan program-program.  

4 PAROKI-PAROKI 

298. Muncul dari perluasan misioner Gereja, paroki-paroki tergabung secara langsung kepada Gereja partikular, dan menjadi bagaikan selnya (bdk. AA 10). «Diatur sesuai tempat dan ditempatkan di bawah bimbingan seorang pastor yang mewakili Uskup, paroki-paroki dengan cara tertentu menampilkan wajah Gereja yang nyata, yang didirikan di seluruh bumi» (SC 42). Melalui paroki, komunitas-komunitas manusia dijangkau bahkan secara fisik oleh sarana-sarana keselamatan: di antara sarana-sarana itu, yang utama adalah Sabda Allah, Pembaptisan dan Ekaristi. «Jadi, secara jelas dan sederhana, paroki itu didirikan di atas kenyataan teologis, sebab ia merupakan suatu komunitas ekaristis.»  Ekaristi, ikatan cinta kasih, mendesak kepedulian bagi orang-orang yang paling miskin, «dan pewartaan kepada mereka merupakan tanda karya Almasih» (PO 6). 

299. Paroki-paroki, yang didirikan di atas pilar-pilar Sabda Allah, sakramen-sakramen dan karya cinta kasih, yang pada gilirannya mengandaikan jaringan pelayanan, pengabdian dan karisma, «memberi teladan kerasulan jemaat yang jelas, dengan menghimpun semua anggota menjadi satu, entah bagaimanapun mereka itu diwarnai perbedaan-perbedaan manusiawi, dan menyaturagakan mereka ke dalam Gereja semesta» (AA 10). Paroki-paroki menampilkan wajah umat Allah yang membuka diri-Nya kepada semua orang, tanpa memilih orang-orang. Paroki-paroki adalah «tempat biasa di mana seseorang dilahirkan dan bertumbuh dalam iman. Oleh karena itu, paroki merupakan sebuah ruang komunitas yang memadai sehingga pelayanan Sabda, sekaligus pengajaran, pendidikan dan pengalaman hidup, dapat dilaksanakan di dalamnya.» 

300. Pentingnya paroki-paroki tidak dapat mengabaikan kesulitan-kesulitan zaman sekarang, yang ditunjukkan oleh perubahan ruang-ruang sejarah, sosial dan budaya di mana paroki-paroki itu lahir. Fenomena seperti urbanisasi, cara hidup nomaden, arus migrasi, berkurangnya jumlah klerus memiliki pengaruh terhadap paroki. Maka, perlu memulai proses pertobatan misioner yang tidak terbatas pada mempertahankan apa yang ada atau menjamin pelayanan sakramen-sakramen, melainkan mendorong maju ke arah penginjilan. «Paroki bukanlah lembaga usang, justru karena memiliki daya lentur yang tinggi, dapat menerima berbagai bentuk yang tergantung pada keterbukaan dan kreativitas perutusan dari pastor dan komunitas. Tentu saja, meskipun bukan satu-satunya lembaga yang mewartakan Injil, jika terbukti mampu membarui diri dan senantiasa menyesuaikan diri, paroki akan terus menjadi “Gereja yang hidup di tengah rumah-rumah para putra-putrinya.” Hal ini mengandaikan bahwa paroki sungguh berhubungan dengan keluarga-keluarga dan kehidupan umatnya, dan tidak menjadi struktur yang tak berguna di luar kontak dengan umat atau sekelompok orang pilihan yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri.» 

301. Sekarang paroki-paroki berkomitmen untuk membarui dinamika-dinamika hubungan-hubungan dan membuat struktur-struktur mereka terbuka dan kurang birokratis. Dengan menampilkan diri sebagai komunitas dari komunitas-komunitas, paroki-paroki akan menjadi suatu dukungan dan suatu titik acuan bagi gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok kecil untuk menghayati kegiatan evangelisasi mereka dalam persekutuan. Di beberapa Gereja, muncul bentuk-bentuk baru organisasi di dalam keuskupan, yang disebut unit-unit pastoral, yang menyertakan partisipasi lebih luas dalam pelayanan. Hadir dalam berbagai kategori, paroki-paroki memiliki tujuan untuk melaksanakan evangelisasi dengan suatu pelayanan pastoral yang sistematis dan menyeluruh, dengan cara yang inovatif dan kreatif. 

302. Dinamika pertobatan misioner berarti bahwa paroki mempertanyakan tentang jenis katekese yang ditawarkannya, terlebih dalam konteks-konteks sosial dan budaya yang baru. Katekese ini menjadi tempat istimewa untuk pendidikan iman, meskipun disadari bahwa itu bukanlah pusat daya tarik seluruh fungsi kateketis, sebab ada program-program dan kegiatan-kegiatan gerejawi lain yang tidak terkait secara erat dengan struktur-struktur yang ada. Komunitas paroki akan tahu untuk masuk dalam dialog dengan realitas-realitas yang ada, mengetahui nilai realitas dan mencapai disermen pastoral tentang cara-cara baru kehadiran yang mengevangelisasi di wilayah. 

303. Kebutuhan akan suatu antusiasme baru untuk mengevangelisasi mendorong pilihan untuk memikirkan kembali dengan perspektif misioner semua kegiatan pastoral komunitas Kristiani, pun pula kegiatan-kegiatan yang lebih umum dan tradisional. Katekese juga digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan akan pertobatan misioner, yang memanggil paroki kepadanya. Sesungguhnya, katekese berkontribusi pada dirinya sendiri ketika ia menggerakkan seluruh prosesnya dengan pewartaan pertama. Untuk sebuah pembaruan program katekese parokial, baiklah mempertimbangkan beberapa aspek berikut. a. Komunitas murid-murid misioner: pada pusat program mengevangelisasi paroki, terutama bukan pada strategi pastoral, juga bukan kelompok elit dan eksklusif dari orang-orang yang sempurna dan ahli, melainkan suatu komunitas murid-murid misioner, orang-orang yang memiliki pengalaman hidup akan Kristus yang bangkit dan menghayati hubungan-hubungan baru yang lahir oleh Kristus. Suatu komunitas Kristiani yang, juga dalam kelemahan para anggotanya dan dalam keterbatasan sumber-sumber dayanya menghayati persaudaraan mistik ini, dengan sendirinya menjadi warta iman yang pertama dan alami. b. Mentalitas misioner: pertama-tama bukanlah soal mematangkan suatu visi baru tentang realitas, dengan beralih dari suatu program pastoral yang terdiri dari ide-ide, rencana-rencana, skema-skema yang ditetapkan sebelumnya kepada suatu keterbukaan kepada karya dari Dia yang bangkit dan Roh-Nya yang selalu mendahului para utusan-Nya. Dalam pendekatan ini, juga katekese parokial dapat dipahami dalam terang suatu gerakan ganda dan timbal balik berkenaan dengan orang-orang. Ia dipanggil untuk menyerap gaya-gaya baru relasi dan komunikasi: misalnya, beralih dari menerima kepada membiarkan diri diterima; dari menahan kata, dengan mengatur komunikasi, kepada memberikan kesempatan untuk berbicara, dengan selalu mengakui dengan kekaguman inisiatif bebas Allah. Ketegangan misioner ini mengundang katekese untuk tidak berpusat diri dan menyediakan diri untuk mendengarkan serta pergi keluar kepada pengalaman-pengalaman hidup orang-orang, sambil menerangi mereka dengan cahaya Injil. Tindakan desentralisasi ini, yang menyangkut terutama sikap-sikap mental, dapat juga diungkapkan dari perspektif ruang-ruang fisik: kegembiraan Gereja untuk mengomunikasikan Yesus Kristus: «diungkapkan baik dengan kepeduliaannya untuk mewartakannya ke wilayah-wilayah yang lebih membutuhkan bantuan maupun dengan senantiasa bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayah sendiri atau menuju situasi sosio-kultural baru.» c. Program-program pembinaan dengan inspirasi katekumenal: komunitas paroki hendaknya dapat menawarkan, khususnya bagi orang-orang muda dan orang-orang dewasa, kursus-kursus pembinaan integral yang di dalamnya memungkinkan untuk menerima dan mendalami secara nyata kerygma, dengan menemukan keindahannya. Suatu program kateketis yang tidak tahu menyelaraskan diri dengan karya-karya pastoral lain berisiko menampilkan dirinya sebagai suatu teori yang tentu saja benar namun kurang relevan bagi kehidupan, maka harus bekerja keras untuk menyatakan secara efektif kebaikan Injil bagi orang-orang pada zaman kita. 

5 PERKUMPULAN-PERKUMPULAN, GERAKAN-GERAKAN DAN KELOMPOK-KELOMPOK UMAT BERIMAN 

304. Pengakuan paroki-paroki tidak mengarah untuk menutup pengalaman gerejawi di dalamnya. Berbagai perkumpulan, gerakan dan kelompok gerejawi sesudah Konsili Vatikan II telah mengalami suatu perkembangan baru. Semua merupakan realitas dalam Gereja yang menunjukkan kemampuan besar mewartakan Injil, dengan meresapi lingkungan-lingkungan yang sering kali jauh dari struktur-struktur tradisional. Kelompok-kelompok komunitas umat beriman telah menyertai sejarah Kristiani dan telah menjadi sumber daya pembaruan dan kerasulan. Oleh sebab itu, perlulah mendukung gerakan itu, dengan mengakui bahwa Roh membagikan dengan bebas karunia-karunia-Nya (bdk. 1Kor 12:11). «Gerakan-gerakan itu memperlihatkan suatu karunia pemberian sejati dari Allah untuk usaha penginjilan baru sekaligus juga untuk apa yang dengan sangat tepat disebut sebagai kegiatan missioner.» Meskipun tujuan-tujuan dan metodologi-metodologi sangat bervariasi, muncul beberapa unsur umum: penemuan kembali dimensi komuniter; penguatan aspek-aspek hidup Kristiani seperti mendengarkan Sabda, praktik kesalehan, amal kasih; pengembangan umat awam dalam misi gerejawi dan sosial. 

305. Gereja telah mengakui hak berkumpul umat beriman, dengan mendasarkannya pada dimensi sosial kodrat manusia dan martabat pembaptisan. «Alasan yang mendalam […] adalah eklesiologis, sebagaimana Konsili Vatikan II dengan terbuka menyatakan bahwa dalam kerasulan terpadu hal itu menunjukkan “tanda persekutuan dan kesatuan Gereja dalam Kristus” (AA 18).» Kadang-kadang dapat timbul kesulitan-kesulitan, yang terutama terkait risiko dari suatu program yang eksklusif, arti identifikasi yang berlebihan dan integrasi yang kurang memadai ke dalam Gereja-Gereja partikular, sehingga Gereja-Gereja partikular harus selalu menjaga persekutuan. Kriteria kegerejaan merupakan bantuan penting untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dan untuk memberi kesaksian tentang kesatuan. Perkumpulan-perkumpulan gerejawi merupakan «sumber yang memperkaya bagi Gereja, yang dibangkitkan oleh Roh untuk mewartakan Injil ke seluruh wilayah dan sektor. Seringkali mereka membawa suatu semangat evangelisasi baru dan kemampuan baru untuk berdialog dengan dunia di mana Gereja diperbarui. Tetapi terbukti bermanfaat bagi mereka untuk tidak kehilangan kontak dengan realitas yang kaya dari paroki lokal dan siap sedia berperan serta dalam seluruh kegiatan pastoral Gereja partikular». 

306. Sekarang kematangan telah diperoleh oleh komunitas-komunitas basis gerejawi, yang dikembangkan oleh berbagai Konferensi para Uskup dan sangat tersebar di beberapa negara. Komunitas-komunitas basis gerejawi telah mendorong pembaruan misi: dengan bertolak dari mendengarkan Sabda Allah; dengan mengakarkan Injil dalam budaya dan situasi-situasi para warga setempat, terutama di antara orang-orang miskin; dengan mengembangkan pengalaman-pengalaman hidup komuniter yang nyaman; dengan melibatkan orang-orang dalam suatu partisipasi yang lebih sadar dalam evangelisasi. «Komunitas-komunitas ini merupakan tanda adanya daya kehidupan di dalam Gereja, suatu sarana untuk pembinaan dan penginjilan, dan suatu titik pangkal yang kokoh bagi suatu masyarakat baru yang dilandaskan pada “peradaban cinta” […]. Jika mereka sungguh-sungguh hidup dalam kesatuan dengan Gereja, merupakan ungkapan sejati dari persekutuan dan merupakan sarana-sarana untuk membangun suatu persekutuan yang lebih mendalam. Maka mereka pun menjadi dasar munculnya harapan besar bagi kehidupan Gereja.»  

307. Perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok gerejani ini, demi tujuan mengembangkan semua dimensi fundamental kehidupan Kristiani, memberikan makna penting khusus untuk momen pembinaan. Sesungguhnya, «mereka memiliki kemungkinan, masing-masing dengan metode-metodenya sendiri, memberikan pembinaan melalui pengalaman yang dimasukkan secara mendalam di dalam pengalaman hidup kerasulan,maupun mempunyai peluang untuk mengintegrasikan, membuat konkret dan spesifik pembinaan yang diterima oleh para anggota mereka dari orang-orang atau komunitas yang lain.» Program-program pembinaan yang mendalami karisma khusus dari setiap realitas ini, tidak dapat menjadi suatu alternatif untuk katekese, yang tetap esensial dalam pembinaan Kristiani. Maka, sudah tentu penting bahwa perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok hendaknya secara teratur meluangkan waktu yang dipersembahkan untuk katekese. 

308. Terkait katekese dalam perkumpulan-perkumpulan ini, perlulah mempertimbangkan beberapa aspek berikut: a. katekese selalu merupakan karya Gereja dan, karena itu prinsip kegerejaan katekese harus selalu jelas. Dengan demikian, perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok khusus, harus selaras dengan semua rencana pastoral keuskupan; b. perlulah menghargai hakikat katekese, dengan mengembangkan semua kekayaan dan membentuk semua dimensi kehidupan Kristiani, seturut dengan kepekaan dan gaya kerasulan yang khas dari setiap karisma; c. paroki dipanggil untuk menghargai katekese yang dilaksanakan dalam perkumpulan-perkumpulan supaya ia sering kali melibatkan banyak orang secara keseluruhan dan melampaui batas-batas paroki. 

6 SEKOLAH KATOLIK 

309. Sekolah Katolik «sama halnya sekolah-sekolah lainnya, mengejar tujuan-tujuan budaya sekolah dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda. Akan tetapi, unsur khasnya adalah menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang diresapi oleh semangat Injil […] dan mengarahkan seluruh budaya manusiawi kepada pesan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman» (GE 8). Secara ringkas, ditunjukkan ciri-ciri khas berikut: keharmonisan dengan tujuan pendidikan sekolah umum; komunitas pendidikan autentik yang diresapi oleh nilai-nilai injili; perhatian kepada orang-orang muda; perhatian untuk mendidik pada suatu keterpaduan antara iman, budaya dan kehidupan. 

310. «Satu perubahan yang menentukan dalam sejarah sekolah Katolik [adalah] peralihan dari sekolah-institusi kepada sekolah-komunitas», di mana «dimensi komuniter yang seperti itu bukanlah suatu kategori sosiologis sederhana, tetapi terutama teologis.» Sekolah Katolik merupakan suatu komunitas iman, yang berlandaskan rencana pendidikan yang bercirikan nilai-nilai injili. Dimensi komuniter harus dihayati secara konkret, dengan membentuk suatu gaya relasional yang peka dan penuh hormat. Rencana ini meminta keterlibatan seluruh komunitas sekolah, termasuk para orang tua, dengan selalu mengutamakan para siswa-siswi, yang bertumbuh kembang bersama-sama, dengan menghargai ritme setiap orang. «Hendaknya para guru menyadari, bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah Katolik, untuk dapat melaksanakan tujuan-tujuan dan usaha-usahanya» (GE 8). 311. Sekolah Katolik merupakan subjek gerejani, yang membuat misi Gereja kelihatan, terutama di bidang-bidang pendidikan dan budaya. Sekolah Katolik memiliki sebagai titik acuannya Gereja partikular, yang bukan lembaga asing baginya. Karena itu tidak dapat dikesampingkan atau dipinggirkan, baik identitas Katoliknya maupun perannya dalam evangelisasi. «Sesungguhnya, dari identitas Katolik muncul ciri-ciri keaslian sekolah, yang dibangun sebagai subjek gerejani, tempat kegiatan pastoral yang autentik dan spesifik. Ia mengambil bagian dalam misi evangelisasi Gereja dan menjadi tempat istimewa di mana dilaksanakan pendidikan Kristiani.» Pelayanan Sabda dapat dijalankan di sekolah Katolik dalam banyak bentuk, dengan memperhitungkan wilayah-wilayah geografis yang berbeda-beda, identitas budaya dan para penerima. Pengajaran agama Katolik dan katekese sangat penting. 

312. Alasan-alasan para murid atau orang tua mereka lebih memilih sekolah Katolik dapat bervariasi. Beragamnya pilihan hendaklah dihormati. Meskipun demikian, juga jika alasan pemilihan berkaitan dengan kualitas program pendidikan, katekese dan pengajaran agama Katolik hendaknya disampaikan dengan seluruh nilai budaya dan pedagogis. «Sekolah Katolik, yang berkomitmen untuk menumbuhkembangkan manusia secara integral, dengan melakukan hal itu, menaati perhatian Gereja, dengan kesadaran bahwa semua nilai manusiawi menemukan realisasinya yang penuh dan karena itu juga kesatuan mereka dalam Kristus.» Dalam suatu konteks pluralisme budaya dan religius, tugas Konferensi-konferensi para Uskup dan setiap Uskup adalah mengawasi agar pelaksanaan katekese atau pengajaran agama Katolik dijamin dalam ketuntasan dan koherensinya. 

 7 PENGAJARAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH 

313. Pengajaran agama Katolik di sekolah telah mengalami perubahanperubahan penting dari waktu ke waktu. Hubungannya dengan katekese adalah hubungan perbedaan dalam komplementaritas. Jika perbedaan itu  tidak jelas, maka ada bahaya bahwa keduanya kehilangan identitas masing-masing. Katekese «mengembangkan ketaatan pribadi kepada Kristus dan kematangan hidup Kristiani, pengajaran sekolah memberi para siswa pengetahuan tentang identitas Kristianitas dan kehidupan Kristiani.» «Ciri khasnya adalah kenyataan bahwa ia dipanggil untuk meresapi suatu lingkup budaya dan untuk berhubungan dengan bidang ilmu lain. Sesungguhnya, sebagai bentuk asli pelayanan Sabda, pengajaran agama di sekolah menghadirkan Injil dalam sebuah proses asimilasi personal, yang sistematis dan kritis, dari budaya.» Pada konteks sekarang ini, «pendidikan agama kerap kali merupakan satu-satunya kesempatan yang dimiliki para siswa untuk berjumpa dengan pesan iman.»  

314. Di mana pengajaran agama dilaksanakan, maka itu adalah suatu pelayanan bagi manusia dan suatu sumbangan berharga bagi program pendidikan sekolah. «Dimensi religius sesungguhnya menjadi esensial bagi kenyataan budaya, ia menyumbang bagi pembentukan menyeluruh seorang pribadi dan memungkinkan untuk mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan hidup.» Adalah hak para orang tua dan para siswa untuk menerima suatu pembinaan seutuhnya, karena faktor religius merupakan suatu dimensi kehidupan dan tidak dapat diabaikan dalam suatu konteks, seperti sekolah, yang menawarkan pengembangan kepribadian yang harmonis. Pengajaran agama Katolik, dalam pengertian ini, memiliki nilai edukatif sangat besar dan membantu perkembangan masyarakat itu sendiri. 

Lihat juga: Pekan Sekolah Katolik di AS

 315. Sebagai suatu disiplin skolastik, pengajaran agama Katolik perlu menunjukkan kebutuhannya akan sistematika dan akurasi yang sama seperti disiplin-disiplin yang lain, sebab terutama di bidang ini improvisasi itu merugikan dan harus ditolak. Sudah seharusnya bahwa sasaran-sasaran diwujudkan menurut tujuan-tujuan khusus lembaga-lembaga persekolahan. Dibandingkan dengan disiplin-disiplin lain, pengajaran agama Katolik dipanggil untuk mematangkan kondisi jiwa bagi suatu dialog yang penuh hormat dan terbuka, khususnya pada saat sekarang, ketika keadaan-keadaan dengan mudah diperuncing hingga menimbulkan konflik-konflik ideologis yang penuh kekerasan. «Dengan demikian, agama meneruskan kesaksian dan pesan humanisme integral. Humanisme ini, yang diperkaya dengan identitas agama, menghargai tradisi luhur agama seperti: iman; hormat kepada hidup manusia dari sejak pembuahan hingga akhir alamiahnya; hormat kepada keluarga, masyarakat, pendidikan dan pekerjaan. Semua ini menjadi peluang dan sarana untuk tidak menutup diri, tetapi terbuka dan berdialog dengan setiap orang dan segala sesuatu, yang menuntun kepada apa yang baik dan benar. Dialog tetap menjadi satu-satunya solusi yang mungkin, bahkan ketika berhadapan dengan penolakan sentimen keagamaan, dengan ateisme dan agnotisisme.» 

316. «Tidaklah mungkin mengembalikan ke satu bentuk semua model pengajaran agama di sekolah-sekolah, yang telah berkembang secara historis sesuai dengan persetujuan antara negara-negara dan pertimbangan setiap Konferensi para Uskup. Namun demikian, perlu diupayakan untuk menjamin, sesuai dengan kondisi yang relevan, agar pengajaran agama di sekolah-sekolah menjawab tujuan dan sifatnya yang khusus.»38 Dengan memperhitungkan situasi-situasi setempat, Konferensi para Uskup (dan, dalam kasus-kasus khusus, Uskup-uskup Diosesan) akan menimbang-nimbang berbagai petunjuk untuk memperbarui pengajaran agama Katolik. Selain itu, diminta kepada Konferensi para Uskup untuk memastikan tersedianya buku-buku pelajaran dan, jika diperlukan, sarana-sarana lain dan bantuan-bantuan yang memadai. 

317. Diharapkan bahwa Konferensi para Uskup memiliki perhatian yang sama untuk pengajaran agama di sekolah di mana terdapat anggota-anggota dari berbagai agama Kristiani, baik jika sekolah itu dipercayakan kepada para guru dari suatu agama tertentu maupun para dosen yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengakuan iman. Bagaimanapun juga, pengajaran agama Katolik memiliki nilai ekumenis, bila doktrin Kristiani disampaikan secara sungguh-sungguh. Dalam pengertian ini, kesiapsediaan kepada dialog, meskipun lebih sulit pelaksanaannya, harus menginspirasi juga hubungan-hubungan dengan gerakan-gerakan religius baru yang berasal dari kekristenan dan dengan inspirasi Injil yang muncul pada saat-saat belakangan ini. 

318. Supaya pengajaran agama Katolik di sekolah lebih berhasil, penting bahwa para pengajar mampu mengaitkan antara iman dan budaya, unsur manusiawi dan religius, ilmu pengetahuan dan agama, sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang lain. Tugas pengajar yang terutama adalah mendidik, yang mengarah pada pendewasaan manusiawi para siswa. Pada saat yang sama, para guru dituntut menjadi orang-orang beriman dan berkomitmen dalam pertumbuhan pribadi dalam iman, masuk ke dalam suatu komunitas Kristiani dan bersedia mempertanggungjawabkan iman mereka juga melalui kompetensi profesional mereka.


Lihat juga postingan terdahulu:

KATEKESE DALAM KOMUNITAS KRISTIANI

-        PELAKUKATEKESE

-        PROSESKATEKESE. TIGA PEDAGOGI

-        KATEKISMUS GEREJA KATOLIK DAN KOMPENDIUMNYA







Tidak ada komentar:

Posting Komentar