Daftar Blog Saya

Senin, 31 Oktober 2022

Bulan Arwah November

 Tanggal 1 November dalam kalender liturgi Gereja dirayakan sebagai Hari Semua Orang Kudus. Dan tanggal 2 November dirayakan sebagai Peringatan Jiwa-jiwa Semua Orang Beriman yang telah meninggal. Suatu adat kebiasaan dikaitkan dengan hari-hari liturgis itu di negara-negara Barat untuk mengingat jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, yang lazim disebut All Hallow Eve, Malam Semua Orang Kudus, yang kemudian disingkat Halloween. Kebiasaan yang baik adalah mengunjungi pemakaman pada malam hari, menyalakan lilin dan berdoa untuk kesejahteraan jiwa sahabat dan kerabat yang telah wafat. Dengan diawali peringatan-peringatan yang berkaitan dengan orang yang sudah meninggal pada bulan November Gereja mengajak umat kristiani merenungkan aspek eskatologis dari hidupnya. Merenungkan hidup sesudah kematian.



Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Gereja Lumen Gentium menyatakan:

SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SURGA 

48. (Pendahuluan) 

Dalam Yesus Kristus kita semua dipanggil kepada Gereja, dan di situ kita memperoleh kesucian berkat rahmat Allah. Gereja itu baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga, bila akan tiba saatnya segala sesuatu diperbaharui (Kis. 3:21), dan bila bersama dengan umat manusia dunia semesta pun, yang berhubungan erat dengan manusia dan bergerak kearah tujuannya melalui manusia, akan diperbaharui secara sempurna dalam Kristus (lih. Ef. 1:10; Kol. 1:20; 2Ptr. 3:10-13). 

Adapun Kristus, yang ditinggikan dari bumi, menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh. 2:32 yun). Sesudah bangkit dari kematian (lih. Rom. 6:9) Ia mengutus Roh-Nya yang menghidupkan ke dalam hati para murid-Nya, dan melalui Roh itu Ia menjadikan TubuhNya, yakni Gereja, sakramen keselamatan bagi semua orang. Ia duduk di sisi kanan Bapa, namun tiada hentinya berkarya di dunia, untuk mengantar orang-orang kepada Gereja, dan melalui Gereja menyatukan mereka lebih erat dengan diri-Nya; lagi pula untuk memberi mereka santapan Tubuh dan Darah-Nya sendiri, serta dengan demikian mengikutsertakan mereka dalam kehidupan-Nya yang mulia. Jadi pembaharuan, janji yang kita dambakan, telah mulai dalam Kristus, digerakkan dengan perutusan Roh Kudus, dan karena Roh itu berlangsung terus dalam Gereja. Berkat iman kita di situ menerima pengertian tentang makna hidup kita yang fana, sementara karya yang oleh Bapa dipercayakan kepada kita di dunia kita selesaikan dengan baik dalam harapan akan kebahagiaan di masa mendatang, dan kita mengerjakan keselamatan kita (lih. Flp. 2:12).

Jadi sudah tibalah bagi kita akhir zaman (lih. 1Kor. 10:11). Pembaharuan dunia telah ditetapkan, tak dapat dibatalkan, dan secara nyata mulai terlaksana di dunia ini. Sebab sejak di dunia ini Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya meskipun tidak sempurna. Tetapi sampai nanti terwujudkan langit baru dan bumi baru, yang diwarnai keadilan (lih. 2Ptr. 3:13), Gereja yang tengah mengembara, dalam sakramen-sakramen serta lembaga-lembaganya yang termasuk zaman ini, mengemban citra zaman sekarang yang akan lalu. Gereja berada di tengah alam tercipta, yang hingga kini berkeluh-kesah dan menanggung sakit bersalin, serta merindukan saat anak-anak Allah dinyatakan (lih. Rom. 8:19-22). 

Jadi kita, yang bersatu dengan Kristus dalam Gereja, dan ditandai dengan Roh Kudus yakni “jaminan warisan kita” (Ef. 1:14), disebut anak-anak Allah dan memang demikian adanya (lih. 1Yoh. 3:1). Namun kita belum tampil bersama Kristus dalam kemuliaan (lih. Kol. 3:4), saatnya kita akan menyerupai Allah, karena kita akan memandang Dia sebagaimana ada-Nya (lih. 1Yoh. 3:2). Maka “selama mendiami tubuh ini, kita masih jauh dari Tuhan” (2Kor. 5:6); dan kita, yang membawa karunia-sulung Roh, berkeluh-kesah dalam hati (lih. Rom. 8:23) serta ingin bersama dengan Kristus (lih. Flp. 1:23). Namun oleh cinta kasih itu juga kita didesak, untuk lebih penuh hidupbagi Dia, yang telah wafat dan bangkit bagi kita (lih. 2Kor. 5:15). Maka kita berusaha untuk dalam segalanya berkenan kepada Tuhan (lih. 2Kor. 5:9). Dan kita kenakan perlengkapan senjata Allah, supaya kita mampu bertahan menentang tipu muslihat iblis serta mengadakan perlawanan pada hari yang jahat (lih. Ef. 6:11-13). Tetapi karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (lih. Ibr. 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati   (lih. Mat. 25:31-46), dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas (lih. Mat, 25:26) diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal (lih. Mat. 25:41), ke dalam kegelapan di luar, tempat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat. 22:13 dan 25:30). Sebab, sebelum memerintah bersama Kristus dalam kemuliaan-Nya, kita semua akan menghadap “takhta pengadilan Kristus, supaya masingmasing menerima ganjaran bagi apa yang dijalankannya dalam hidupnya ini, entah itu baik atau jahat” (2Kor. 5:10). Dan pada akhir zaman, “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk kehidupan kekal, sedangkan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh. 5:29; lih. Mat. 25:46). Maka dari itu, mengingat bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak” (Rom. 8:18; lih. 2Tim. 2:11-12), dalam keteguhan iman kita mendambakan “pengharapan yang membahagiakan serta pernyataan kemuliaan Allah dan Penyelamat kita yang mahaagung, Yesus Kristus” (Tit. 2:13), “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga menyerupai tubuhNya yang mulia” (Flp. 3:21), dan yang akan datang “untuk dimuliakan di antara para kudus-Nya, dan untuk dikagumi oleh semua orang yang beriman” (2Tes. 1:10). 



49. (Persekutuan antara Gereja di surga dan Gereja di dunia) 

Jadi hingga saatnya Tuhan datang dalam keagungan-Nya beserta semua malaikat (lih. Mat 5:31), dan saatnya segala sesuatu takluk kepada-Nya sesudah maut dihancurkan (lih. 1Kor 15:26-27), ada di antara para murid-Nya yang masih mengembara di dunia, dan ada yang telah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang “dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana ada-Nya”. Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh Roh-Nya, berpadu menjadi satu Gereja dan saling erat berhubungan dalam Dia (lih. Ef. 4:16). Jadi persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani. Sebab karena para penghuni surga bersatu lebih erat dengan Kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya; mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia; dan dengan pelbagai cara mereka membawa sumbangan bagi penyempurnaan pembangunannya (lih. 1Kor. 12:12-27). Sebab mereka, yang telah ditampung di tanah air dan menetap pada Tuhan (lih. 2Kor. 5:8), karena Dia, bersama Dia dan dalam Dia tidak pernah berhenti menjadi pengantara kita di hadirat Bapa, sambil mempersembahkan pahala-pahala, yang telah mereka peroleh di dunia, melalui Pengantara tunggal antara Allah dan manusia, yakni Kristus Yesus (lih. 1Tim. 2:5), sambil melayani Tuhan dalam segalanya, dan melengkapi apa yang kurang pada penderitaan Kristus dalam daging mereka, demi Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol. 1:24). Demikianlah kelemahan kita amat banyak dibantu oleh perhatian mereka sebagai saudara. 

 50. (Hubungan antara Gereja di dunia dan Gereja di surga) 

Gereja kaum musafir menyadari sepenuhnya persekutuan dalam seluruh Tubuh mistik Kristus itu. Sejak masa pertama agama kristiani Gereja dengan sangat khidmat merayakan kenangan mereka yang telah meninggal. Dan karena “inilah suatu pikiran yang mursid dan saleh: mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka” (2Mak. 12:46), maka Gereja juga mempersembahkan korban-korban silih bagi mereka. Adapun Gereja selalu percaya, bahwa Rasul-rasul dan para martir Kristus, yang dengan menumpahkan darah telah memberi kesaksian iman dan cinta kasih yang amat luhur, dalam Kristus berhubungan lebih erat dengan kita. Dengan bakti yang istimewa Gereja menghormati mereka bersama dengan Santa Perawan Maria dan para malaikat kudus, serta dengan khidmat memohon bantuan perantaraan mereka. Pada golongan mereka segera bergabunglah orang-orang lain, yang dari lebih dekat meneladan keperawanan dan kemiskinan Kristus; lalu akhirnya kelompok lain lagi, yang – karena mereka dengan cemerlang mengamalkan keutamaan-keutamaan kristiani serta menampilkan karunia-karunia ilahi –mengundang kaum beriman untuk berbakti dengan takzim dan meneladan mereka. Sebab sementara merenungkan hidup mereka yang dengan setia mengikuti Kristus, kita mendapat dorongan baru untuk mencari Kota yang akan datang (lih. Ibr. 13:14 dan 11:10). Sekaligus kita ditunjukkan jalan yang sangat aman, untuk di tengah situasi dunia yang silih berganti, sesuai dengan kedudukan dan kondisi masingmasing,dapat mencapai persatuan sempurna dengan Kristus atau kesucian. Dalam hidup mereka yang sama-sama manusia seperti kita, tetapi secara lebih sempurna diubah menjadi serupa dengan citra Kristus (lih. 2Kor. 3:18), Allah secara hidup-hidup menampakkan kehadiran serta wajah-Nya. Dalam diri mereka Ia menyapa kita, dan menyampaikan kepada kita tanda KerajaanNya. Kita, yang mempunyai banyak saksi ibarat awan yang meliputi kita (lih. Ibr. 12:1), dan yang menghadapi kesaksian sejelas itu tentang kebenaran Injil, kuat-kuat tertarik kepadanya. Namun kita merayakan kenangan para penghuni surga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan (lih. Ef. 4:1-6). Sebab seperti persekutuan kristiani antara para musafir mengantarkan kita untuk mendekati Kristus, begitu pula keikutsertaan dengan para Kudus menghubungkan kita dengan Kristus, yang bagaikan Sumber dan Kepala mengalirkan segala rahmat dan kehidupan Umat Allah sendiri. Jadi memang sungguh sudah sepantasnya, bahwa kita mengasihi para sahabat serta sesama ahli waris Yesus Kristus itu, serta-merta saudara-saudara dan penderma-penderma kita yang ulung. Sudah selayaknya pula kita bersyukur kepada Allah atas mereka. Sepantasnya juga “kita dengan rendah hati berseru kepada mereka, dan mempercayakan diri kepada doa-doa, bantuan serta pertolongan mereka, untuk memperoleh karunia-karunia Allah dengan perantaraan Putera-Nya Yesus Kristus Tuhan kita, satu-satunya Penebus dan Penyelamat kita”. Sebab segala kesaksian cinta kasih kita yang sejati terhadap para penghuni surga pada hakekatnya tertujukan kepada Kristus dan bermuara pada Dia, “mahkota semua para Kudus”, serta dengan perantaraan-Nya mencapai Allah, yang mengagumkan dalam para Kudus-Nya, dan diagungkan dalam diri mereka. Akan tetapi terutama dalam Liturgi suci secara paling luhur persatuan kita dengan Gereja di surga diwujudkan dengan nyata. Di situlah kekuatan Roh Kudus melalui perlambangan sakramen berkarya pada diri kita. Dalam Liturgi kita bersama bergembira merayakan dan memuji keagungan Allah. Kita semua, yang dalam darah Kristus ditebus dari setiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa (lih. Why. 5:9), serta dihimpun ke dalam satu Gereja, dengan satu madah pujian meluhurkan Allah Tritunggal. Jadi sambil merayakan korban Ekaristi kita seerat mungkin digabungkan dengan ibadat Gereja di surga, sementara kita berada dalam satu persekutuan, dan merayakan kenangan terutama Santa Maria yang mulia dan tetap Perawan, pun pula Santo Josef, para Rasul serta Martir yang suci, dan semua para Kudus. 



51. (Beberapa pedoman pastoral) 

Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulia di surga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran. Konsili suci ini penuh khidmat menerima iman itu, dan menyajikan lagi ketetapan-ketetapan Konsili-konsili suci Nisea II, Florensia, dan Trente. Namun sekaligus Konsili dalam keprihatinan pastoralnya mendorong semua pihak yang bersangkutan, supaya bila di sana-sini terjadi penyalahgunaan, penyelewengan atau penyimpangan, mereka berusaha menangkal atau membetulkannya, dan membaharui segalanya demi pujian yang lebih penuh kepada Kristus dan Allah. Maka hendaklah mereka mengajarkan kepada Umat beriman, bahwa ibadat yang sejati kepada para Kudus bukan pertama-tama diwujudkan dalam banyaknya perbuatan lahiriah, melainkan terutama dalam besarnya cinta kasih kita yang disertai tindakan nyata. Demikianlah, supaya kita dan Gereja bertambah sejahtera, kita mencari “teladan melalui pergaulan dengan para Kudus, kebahagiaan yang sama melalui persekutuan dengan mereka, dan bantuan melalui pengantaraan mereka”. Di lain pihak hendaklah mereka ajarkan kepada kaum beriman, bahwa hubungan kita dengan para penghuni surga itu – asal ditinjau dalam terang iman yang lebih penuh – sama sekali tidak melemahkan ibadat sujud, yang dalam Roh kita persembahkan kepada Allah Bapa melalui Kristus, melainkan justru memperkayanya secara limpah. Sebab kita ini semua anak-anak Allah, dan merupakan satu keluarga dalam Kristus (lih. Ibr. 3:6). Sementara kita saling mencintai dan serentak memuji Tritunggal Mahakudus, dan dengan demikian berhubungan seorang dengan yang lain, kita memenuhi panggilan Gereja yang terdalam, dan sekarang pun sudah mulai ikut menikmati Liturgi dalam kemuliaan yang sempurna. Bila Kristus kelak menampakkan Diri, dan mereka yang mati akan bangkit mulia, kemuliaan Allah akan menyinari Kota surgawi, dan Anak Dombalah lampunya (lih. Why. 21:24). Pada saat itulah seluruh Gereja para kudus dalam kebahagiaan cinta kasih yang terluhur akan bersujud menyembah Allah dan “Anak Domba yang telah disembelih” (Why. 5: 12). Mereka akan serentak berseru: “Bagi Dia yang duduk di takhta dan bagi Anak Domba: puji-pujian, dan hormat, dan kemuliaan, dan kuasa sampai selama-lamanya” (Why. 5:13-14)

Kesiapan Menghadapi Pandemi Masa Depan

 

Ketika Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, banyak negara, termasuk yang besar dan kuat, ternyata tidak siap menghadapi krisis kesehatan yang merebak cepat itu. Kelemahan yang sudah ada sebelum pandemi, menjadi mengemuka: misalnya ketimpangan dalam kesehatan masyarakat dan kurangnya komunikasi antara sistem kementerian kesehatan dan sistem pelaksana layanan kesehatan masyarakat. Banyak rencana penanggulangan krisis yang di atas kertas bagus, gagal dalam pelaksanaan. Alhasil, sistem kesehatan tidak sebanding dengan ancaman akut yang dihadapi. Kritik bertaburan sekitar respon penanggulangan awal dari sistem kesehatan nasional sampai soal cacar monyet yang dinyatakan WHO sebagai keprihatinan yang perlu diwaspadai pada 23 Juli 2022, yang menunjukkan banyak diperlukan pembenahan.

Kini banyak pemerintah melakukan investasi untuk membenahi kesiapan dalam menghadapi pandemi masa depan. Investasi untuk kesiapan menurut pengalaman yang lalu merupakan langkah yang lebih ekonomis ketimbang respon reaktif menghadapi pandemi.

Sidang Umum Kesehatan Dunia bulan Mei 2022 di Jenewa mengusung tema Forum Kesiapan Menghadapi Pandemi. Dari suatu penelitian dalam rangka itu menunjukkan lima kapabilitas yang diperlukan untuk menghadapi merebaknya wabah infeksi: pencegahan epidemis; identifikasi dan kewaspadaan atas ancaman; kesiapan darurat dan operasi respon; manufaktur darurat, pengadaan dan manajemen rantai pembekalan logistik, dan akses pada inovasi.

Kelima kapabilitas itu perlu ditopang oleh seperangkat pendukung yang didesain siap diwujudkan lintas sektoral, dengan memiliki aspek yang khas untuk kesiapan menghadapi pandemi, yaitu: teknologi dan data, komunikasi publik, keuangan, talenta sebagai sumberdaya penting ilmiah-klinis-operasional, desain organisasi, dan kemitraan. Keberhasilan kesiapan menghadapi pandemi akan sukses jika berfungsinya lebih luas melampaui batasan sistem kesehatan dan lansekap manajemen kedaruratan.



Pada pihak pemerintah empat bidang menjadi fokus yang membantu peningkatan kesiapan itu. Di masa lalu keempat bidang ini kekurangan perhatian dan mengemuka sebagai kerentanan selama Pandemi-Covid 19. 

1. Menjamin akses pada inovasi. Inovasi biomedis telah menyelamatkan jutaan orang selama krisis  COVID-19, namun jaminan penuh dan merata akan buah hasilnya tetap akan menjadi tantangan. Dalam kasus vaksin COVID-19, negara2 berpenghasilan tinggi akses itu tersedia lebih awal dan lebih luas dibanding negara2 berpenghasilan rendah. Distribusi vaksin cacar monyet menghadapi tantangan yang serupa. Untuk mengatasinya diperlukan kapasitas dan alokasi. Ini menyangkut taksiran keperluan pendanaan untuk peningkatan kapasitas pembuatan vaksin global dan untuk langkah-langkah lainnya. Diperlukan kesepakatan di antara negera-negara, mana yang berhak mendapat manfaat lebih dulu dari kapasitas ini sewaktu timbul keperluan. Dari suatu baku prestasi negara-negara dapat membuat jadwal mundur ke belakang.  Misalnya, mereka dapat memastikan jaminan bahwa warga yang berisiko tinggi bisa mendapatkan akses pada vaksin baru dalam tiga bulan dan semua warga mendapatkannya dalam enam bulan. Untuk itu diperlukan kombinasi pembangunan kapasitas manufaktur lokal dan perjanjian dengan manufaktur di negara lain. 

2. Investasi dalamsistem data kesehatan masyarakat dan IT. Pada tahap awal pandemi COVID-19, banyak negara mendapat pelajaran dari pengalaman bagaimana kurangnya investasi dalam data kesehatan masyakarat, analisis, dan teknologi  menghambat efektivitas respon penanggulangan krisis. Integrasi data kesehatan umum dan sistem data pemberi layanan kesehatan untuk mengetahui kapasitas tempat tidur dan ketersediaan preparat ventilator merupakan hal yang sangat memprihatinkan selama COVID-19, dan memerlukan tindakan ad hoc dari titik awal. Pelaporan kasus monkeypox juga demikian bervariasi lintas yurisdiksi. Infrastruktur minimal IT yang ada di banyak tempat disediakan untuk memudahkan komunikasi kepada pangsa penduduk yang menjadi target khusus. Sistem pemantauan penyakit menular sering mengandalkan proses pengolahan data  intensif on time untuk memadukan macam-macam data yang berbeda. Bahkan negara seperti AS pun harus membenahi kesenjangan dalam bidang ini.  Pendanaan baru diperlukan untuk membangun kapasitas jangka panjang yang menciptakan kemajuan terukur dan menjembatani sektor kesehatan dengan sektor-sektor lainnya dalam pemerintahan. 

3. Rencana respon cepat operasi penanggulangan besar-besaran. Menyiapkan diri menghadapi perkembangan awal epidemi biasa bisa sangat kedodoran di pihak pelaksana. Kasus COVID-19 menyebar secara eksponensial di masa awal  pandemi, namun persiapan secara eksponensial juga sangat berat untuk sistem manusia. Pemerintah dapat meningkatkan respon penganggulangan pandemi masa depan dengan menyusun rencana-rencana sedemikian sehingga perluasan skala merupakan pencet tombol aktivasi protokol dan sumberdaya yang telah tersedia. Misalnya, pengadaan logistik dapat ditingkatkan dari protokol standar kepada protokol darurat. Cadangan peralatan perlindungan pribadi dapat langsung digunakan. Dan staf yang telah dikenali dan terlatih namun diliburkan semasa "biasa" dapat dikerahkan bergabung dalam tim penanggulangan darurat dengan segera. 

4. Menyiapkan tatakelola penanggulangan efektif. Pada awal 2020, COVID-19 dengan cepat membuat eskalasi dari manajemen tim penanggungan penyakit infeksi biasa menjadi isyu kepala negara. Forum Kesiapan Jenewa mengungkapkan pentingnya mekanisme yang efektif  untuk melibatkan pemimpin pemerintahan yang lebih tinggi. Negara-negara dengan proses yang memungkinkan keahlian teknis yang relevan didengarkan seraya meningkatkan level pengambilan keputusan yang memadai pada umumnya memeroleh keberhasilan menghadapi pandemi yang lalu. Pemimpin terbaik di masa biasa-biasa saja belum tentu orang yang tepat di masa krisis untuk menyusun respon yang cepat dan tepat. Identifikasi dini pemimpin darurat yang diperlukan dapat membantu menjamin operasi respon penanggulangan yang lancar dan efektif.  Sejauh mana sentralisasi dan desentralisasi dalam hal ini juga perlu ditata.  Beberapa fungsi seperti  R&D danpenilaian evidensi, biasanya berada di lingkungan pemerintah pusat, sedang komunikasi dengan warga, biasanya lebih baik dilakukan pemerintah daerah. Namun semuanya bergantung pada etos dan kesiapan kerja masing-masing level,  pembagian peran yang disepakai lebih dulu dalam rencana penanggulangan dapat menjadi jaminan bagi respon penanggulangan yang lancar. 


PERKAWINAN DALAM KITAB SUCI

 


Perkawinan adalah kesatuan laki-laki dan perempuan yang diberkati Tuhan dari awal mula (Kej 2:23-24). Di Israel, perkawinan dilindungi dan diatur dengan Hukum (Kel 20:14.17; Im 20:10 dst). Perkawinan menurut Perjanjian Lama adalah suatu lembaga kodrati dan sah namun bukan suatu sakramen. Sebagai lembaga kodrati, kesatuan suami-isteri itu merupakan ikatan kesepakatan untuk memberi dan menerima hak satu sama lain untuk mempererat kasih mereka bersama dan mempunyai keturunan. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga suami-isteri menjadi tanda dan ikut serta dalam misteri ikatan kasih yang menghidupkan antara Kristus dan GerejaNya. Kisah Kitab Suci tentang perkawinan dimulai dari Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan dan menyatukan mereka, dan berakhir dengan kisah dalam kitab Wahyu tentang pesta jamuan nikah dari Gereja dan Anak Domba, dari Kristus dan GerejaNya (bdk Kej 1:26-27; 2:18-25; Why 19:7) (KGK 1602-1620).

 

I. Perkawinan Dalam Perjanjian Lama

A. Tuhan Menciptakan Perkawinan

B. Kemerosotan dari Situasi Ideal yang Primordial

C. Poligami

D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain

E. Bagaimana Perkawinan Disiapkan

F. Hukum Melawan Perzinahan

G. Bagaimana Perkawinan Dirayakan

H. Perkawinan Menurut Hukum Levirat

I. Perkawinan Sebagai Perjanjian

II. Perkawinan Dalam Perjanjian Baru

A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang Ideal

B. Soal “Kecuali Karena Zinah”

C. Perkawinan Dalam Surat-surat Paulus

D. Jamuan Pesta Nikah Anak Domba

 

I. Perkawinan Dalam Perjanjian Lama

A. Tuhan Menciptakan Perkawinan

Tuhan tidak ingin manusia sendirian saja (Kej 2:18) dan karena itu menciptakan darinya seorang “penolong yang sepadan” , yang adalah “daging dari dagingnya” (Kej 2:19-25), sehingga “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Tuhan dengan demikian adalah pengarang yang sesungguhnya dari perkawinan (bdk GS art 48) dan mengaturnya dengan hukum-hukum yang sesuai dengan kodrat. Kendati perbedaan-perbedaan dalam berbagai budaya dan dalam sejarh, perkawinan tidak semata-mata merupakan pranata manusiawi belaka. Kesatuan pria dan wanita dipandang baik oleh Sang Pencipta dan Tuhan memberkati pria dan wanita dan memberikan tugas khusus pada mereka: supaya beranak cucu dan bertambah banyak dan menguasai dan memelihara alam ciptaan (Kej 1:28.31).

      Dari awal mula, perkawinan dirancang sebagai kesatuan monogamis dari satu laki-laki dan satu perempuan. Ikatan kesatuan mereka berdua, bersama dengan anak keturunan mereka, merupakan dasar bagi tatanan yang baik dan stabilitas masyarakat.

 B. Kemerosotan dari Situasi Ideal yang Primordial

Kesatuan pria dan wanita dalam satu daging dimaksudkan untuk selamanya dan tak terceraikan. Tetapi pranata perkawinan menderita kerusakan karena konsekuensi Kejatuhan dalam dosa. Egoisme dan kecurigaan merenggangkan hubungan di antara laki-laki dan wanita (Kej 3:12.16-19). Maka Hukum Musa memperbolehkan perceraian dan kawin lagi dalam beberapa kesempatan sebagai kelonggaran atas kekerasan hati bangsa Israel (Ul 24:1-4). Namun bukan seperti itu norma awalnya (Mat 19:8), dan di kemudian hari Kristus menyatakan bahwa “apa yang sudah disatukan Tuhan, jangan dicerikan oleh manusia” (Mat 19:6; bdk 1 Kor 7:10-11). Poligami tidak dianjurkan (Im 18:18; Ul 17:17) dan hukum yang berusaha melindungi perkawinan ada banyak sekali (Kel 20|:17; 21:5; Im 18:6-20, 20:10; 21:13-14; Bil 5:11-31; Ul 5:21; 22:13-20).

 C. Poligami

Namun, norma monogami dengan segera dilanggar dan poligami sudah tampak dari zaman yang sangat kuno. Keturunan Kain, Lamekh, adalah bigamis pertama yang muncul dalam Kitab Suci: ia mengambil Ada dan Zila menjadi isterinya (Kej 4:19-24). Abraham menikah dengan Sara namun mempunyai anak dari hamba Sara, Hagar, dengan persetujuan Sara (Kej 16:1-2; 25:6). Begitu pula Yakub menikahi kakak-adik Lea dan Rahel (Kej 29:15-30) dan kemudian punya anak-anak dari hamba-hamba mereka masing-masing, Bila dan Zilpa (Kej 30:1-8.9-13). Esau mempunyai tiga isteri (Kej 26:34; 28:9; 36:2-3). Gideon menjadi ayah dari tujuhpuluh anak dari isteri-isteri dan selir-selirnya (Hak 8:30-31).

      Poligami diakui dalam Hukum Musa (Kel 21:10; Im 18:18), dan hukum Deuteronomis (dari kitab Ulangan) mengandaikan poligami dan berusaha mengatasi persaingan yang mungkin timbul di antara para isteri dan keturunan (Ul 21:15-17).

      Pada masa kerajaan di Israel poligami yang berlebih-lebihan menjadi kebiasaan di antara para bangsawan dan raja-raja (2 Sam 3:2-5; 1 Raj 11:3). Saul mempunyai beberapa isteri dan selir (2 Sam 12:8). Daud disebutkan mempuyai tujuh isteri yang diketahui namanya (1 Sam 25:42-44; 2 Sam 3:2-5) dan beberapa yang tidak dikenal (2 Sam 5:13). Salomo mempunyai tujuh ratus isteri dan tiga ratus selir (1 Raj 3:1; 11:3; Kid 6:8). Rehabeam mempunyai delapan belas isteri dan enam puluh selir (2 Taw 11:21).

      Tantangan rumahtangga yang timbul atas poligami terbukti dari perselisihan interen di dalam keluarga-keluarga poligamis, terutama kecemburuan Sara terhadap kesuburan Hagar (Kej 16:4-6) dan irihati Rahel terhadap Lea (Kej 30:1); pembinasaan ketujuhpuluh anak Gideon yang dilakukan Abimelekh, anak Gideon dari seorang selir (Hak 9:1-50); berbagai intrik istana dalam masa pemerintahan Daud (2 Sam 13; 1 Raj 1-2) dan Salomo (1 Raj 11).



 D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain

Ul 7:3 melarang kawin campur dengan orang-orang suku Kanaan; akibatnya hal itu juga menyebabkan tidak diminatinya perkawinan dengan bangsa-bangsa lain pada umumnya, walau selalu terjadi kekecualian dalam sejarah Israel. Selanjutnya kitab Ulangan mengizinkan seorang tentara mengambil isteri di antara para wanita tawanan perang (Ul 21:10-14) dan beberapa ahli menyatakan bahwa juga diberikan izin (dalam Ul 23:7.8) untuk menikah dengan suku Edom dan bangsa Mesir setelah generasi ketiga (namun perkawinan dengan suku Amalek dilarang secara permanen, Ul 25:17-19). Di antara tujuh ratus isteri dan tiga ratus selirnya, Salomo menikahi seorang wanita Mesir puteri seorang Firaun, dan juga menikahi wanita-wanita Edom, Moab, Het dan Sidon (1 Raj 11:1-3).

      Pada masa Ezra dan Nehemia menikahi wanita bangsa asing dilarang (Ezr 9-10; Neh 13:23-30). Poligami merosot pada masa sesudah Pembuangan.

 E. Bagaimana Perkawinan Disiapkan

Perkawinan dalam zaman Perjanjian Lama biasanya diatur oleh keluarga-keluarga pihak mempelai laki-laki dan perempuan. Berbagai budaya lain di Timur Dekat kuno melakukan hal yang serupa. Tata-aturan perkawinan yang pertama kalinya tercatat dalam Perjanjian Lama adalah yang diatur Hagar untuk Ismael (Kej 21:21). Kebanyakan pasangan menikah pada usaha yang sangat muda, dengan pihak wanita menikah pada awal usia belasannya. Mungkin saja perkawinan itu didasarkan pada cinta (Kej 29:20) seperti yang diperlihatkan dalam perjodohan Daud dengan Mikhal (1 Sam 18:20.27). Kontrak di antara keluarga-keluarga diselesaikan dan dimeteraikan dengan pembayaran suatu mas kawin atau “tebusan pertunangan”. Jumlahnya tidak tentu, namun suatu perkiraan kasar bisa dibuat berdasarkan Ul 22:28-29, yang menetapkan denda bagi seorang laki-laki yang merusak keperawanan seorang wanita muda: “Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan -- maka haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi.” Mungkin dapat disimpulkan bahwa mas kawin biasanya kurang lebih sejumlah itu walaupun jumlahnya yang pasti dirundingkan (bdk Kej 24:53; 34:12; Kel 22:16; 1 Sam 18:25). Mas kawin juga bisa dibayar melalui kerja bakti, seperti yang terjadi di antara Yakub dan Laban (Kej 29:18-20.27-30). Besarnya pembayaran mas kawin tidak mengurangi martabat isteri menjadi setaraf selir atau budak (bdk Kel 21:7-11); juga ada perbedaan yang jelas di antara isteri dan selir, sekalipun keduanya (dalam kasus Salomo) jumlahnya begitu banyak hingga sungguh sangat berlebihan.

 F. Hukum Melawan Perzinahan

Hukum Musa membuat kodifikasi peraturan hukum yang melawan ketidak setiaan pasangan yang sudah menikah, dan bahkan pasangan-pasangan yang sudah dituangkan namun belum tinggal bersama sebagai suami-isteri. Tunangan diatur dalam peraturan hukum khusus yang diuraikan dalam Ul 22:23-27. Hukum ini mengandaikan tunangan sudah menikah secara hukum, sehingga terjadinya hubungan seksual dengan wanita yang sudah bertunangan oleh lelaki yang bukan tunangannya dianggap zinah dan diancam dengan hukuman mati dengan dilempari batu (Ul 22:23-24). Melalui perluasan pengertian ini, hubungan seksual di antara pasangan yang bertunangan, walaupun tidak dianjurkan sebelum mereka tinggal serumah, tidak dianggap zinah karena mereka sudah diikat oleh persetujuan bersama. Jika seorang wanita yang sudah terikat pertunangan diperkosa di luar kota – ia tidak dihukum; hanya yang laki-laki yang dihukum mati. Tetapi jika wanita yang bertunangan tidur dengan seorang laki-laki di dalam kota dan ia tidak berteriak minta tolong, maka ia dianggap bersalah dan keduanya dapat dihukum mati (Ul 22:23-27).

      Perzinahan dilarang dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:14; Ul 5:18) dan kemudian nanti oleh hukum berikutnya dari Pentateukh (Im 18:20; Ul 22:22), walau di abad-abad berikutnya hukuman mati tidak diterapkan, kadang-kadang karena kendala politik (Yoh 18:31).

 G. Bagaimana Perkawinan Dirayakan

Upacara perkawinan di Israel kuno tidak diketahui dengan pasti, namun beberapa detilnya bisa digambarkan. Untuk menunjukkan maksudnya hendak menikah dengan seorang wanita, seorang lelaki meletakkan sesuatu dari pakaiannya atas wanita itu (Rut 3:9; Yeh 16:18). Sesudah suatu lamaran resmi (Kej 24:63-67) dan biasanya sesudah suatu masa pertunangan, dilakukan suatu arak-arakan perkawinan, di mana mempelai laki-laki menjemput mempelai perempuan, yang menunggunya dengan berdandan mengenakan baju yang terbaik dan mengenakan selubung (Kid 3:11; 4:11; 6:7; Mzm 45:15; Yes 61:10; 1 Mak 9:37; Mat 9:15). Pesta berikutnya bisa berlangsung sepekan penuh (Kej 29:27; Hak 14:12) atau malah dua pekan (Tob 8:20; 10:7). Perkawinan dilengkapkan dengan hubungan seksual pada malam perkawinan (Kej 29:21-23; Tob 8:1-8).

 H. Perkawinan Menurut Hukum Levirat

Perkawinan di antara kerabat dekat dilarang (Im 18:6-18) walaupun hukum perkawinan Levirat (dari bahasa Latin levir, artinya “ipar”) menganjurkan seorang saudara mengawini janda mendiang saudaranyanya untuk memberikan keturunan dan melanjutkan namanya (Ul 25:5-10). Jika tidak ada saudara kandung yang masih hidup maka kerabat yang terdekat dapat memikul tanggungjawab ini (Rut 3;12; 4:4-10).

      Im 18:6 dan 20:21 melarang hubungan seks dengan ipar wanita. Kelihatannya ini kontradiktif dengan hukum perkawinan levirat, namun kitab Ulangan mengandaikan situasi (prasyarat) di mana suami dari ipar wanita itu mati tanpa meninggalkan anak laki-laki pewaris; hanya jika demikianlah maka seorang saudara dapat menikahi janda saudaranya. Pertanyaan orang Saduki kepada Yesus mengenai wanita tanpa anak yang menikah berturut-turut dengan enam orang saudara dari mendiang suaminya (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-23; Luk 20:27-33) tidak serta merta membuktikan kelangsungan praktek hukum perkawinan levirat di masa Perjanjian Baru.  Pertanyaan itu hanya bersifat ujian kecerdasan belaka.

 I. Perkawinan Sebagai Perjanjian

Bagi para nabi, perkawinan yang sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian di Israel (Mal 2:14), perkawinan juga merupakan kiasan hubungan perjanjian antara Tuhan dan umat pilihanNya. Dalam hubungan itu, Tuhan sebagai mempelai pria dan Israel sebagai mempelai wanita, tersirat di dalam Pentateukh, khususnya di mana Tuhan digambarkan “cemburu” (Kel 20:5; 34:14; Bil 5:14.30). Apa yang tersirat dalam Pentateukh selanjutnya diungkapkan secara eksplisit oleh para nabi. Hos 2 dan 3 misalnya, menekankan kasih dan kesetiaan Tuhan pengantin ilahi, dan kesabaranNya yang tak terbatas menghadapi penyelewengan isterinya, Israel. Gambaran serupa digunakan dalam tulisan nabi-nabi lainnya (Yes 54:3; 62:5; Yer 2:2; 3:20; Yeh 16:8-14).

 II. Perkawinan Dalam Perjanjian Baru

A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang Ideal

Dalam perjamuan nikah di Kana, Yesus melakukan tanda ajaibNya (mujizat) yang pertama atas permintaan ibuNya (Yoh 2:1-11). Kehadiran Yesus di dalam pesta nikah itu menyiratkan penghargaanNya pada pranata perkawinan dan dari situ membangun dasar ajaran selanjutnya. Tafsir tradisional menyatakan bahwa Yesus menguduskan perkawinan dengan hadir dalam pesta nikah di Kana, dan memberikan berkatNya pada perayaan pesta itu (berupa anggur yang baik).

      Yesus memulihkan makna asli perkawinan seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta dalam Kej 2:18-25. Ia menentang zinah melalui ajaranNya dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:27-28) dan di tempat lain Ia berbicara tentang kewajiban anak-anak menghormati orangtua (Mat 19:16-22; Mrk 10:17-22; Luk 18:18-23). Yang terutama, Ia menebus perkawinan dari situasi dosa yang merusaknya selama berabad-abad, khususnya sehubungan dengan perceraian (Mat 19:8). Ia menyatakan sifat ikatan perkawinan yang tak terceraikan: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6; bdk Mat 5:32; Mrk 10:9; Luk 16:18).

      Cita-cita monogami sepanjang hayat bukanlah beban yang mustahil. Sebaliknya, itu merupakan salah satu aspek pemuridan yang bisa dilakukan dengan mengikuti Kristus, yang datang untuk memulihkan tata ciptaan yang asali (Mat 11:29-30; 19:11). Dengan hidup dalam Kristus dan dibantu oleh rahmatNya, suatu pasangan yang menikah dapat hidup setia pada ciptaan baru (Ef 5:21-33) (KGK 1615-1616).



 B. Soal “Kecuali Karena zinah”

Dalam Mat 19:9 Yesus berkata kepada orang Farisi: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat 5:32; teks dalam Mrk 10:11 dan Luk 16:18 tidak mengandung kekecualian). Apakah ini berarti bahwa Yesus mengizinkan perceraian dalam situasi tertentu?

      Pertama kita perlu memahami latar belakang ajaran Yahudi tentang perceraian. Sebab ada banyak sekali kontroversi di kalangan Yahudi mengenai dasar-dasar yang sah bagi perceraian yang dibolehkan dalam Ul 24:1-4. Perbantahan berkisar di seputar pernyataan yang kabur mengenai “yang tidak senonoh” (Ul 24:1). Aliran rabi Hilel menyatakan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan sisterinya untuk alasan apapun [bahasa Ibrani : ‘erwath dabar] yang bisa dibayangkan. Tetapi aliran Syamai membatasi dasar yang sah bagi perceraian hanya karena penyelewengan dari perkawinan dalm arti zinah. Kemudian Yesus ternyata tidak hanya tak mau berpihak dalam perbantahan ini tetapi Ia lebih jauh lagi menganggap soal itu tidak relevan dan sudah kuno. Maksudnya, pertama-tama ia membatalkan aturan Musa yang membolehkan perceraian (Ul 24:14), dengan menyatakan bahwa perceraian hanyalah kelonggaran sementara yang diberikan demi kekerasan hati Israel (Mat 19:8).

      Kedua, kita perlu memeriksa kata-kata Yesus sendiri, karena jika Yesus membatalkan hak untuk bercerai dan menikah lagi, maka tafsiran atas perkataanNya dalam Mat 19:9 harus sesuai dengan maksud itu. Kata-kata yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” (bahasa Yunani porneia) merujuk pada “perilaku seksual yang menyimpang” secara umum. Dalam konteks yang berbeda hal itu bisa berarti percabulan (1 Kor 5:1), perzinahan (Sir 23:23) bahkan hubungan sekerabat atau incest (1 Kor 5:1). Dengan demikian tafsir Kristen memahami “klausul kekecualian” dalam Mat 5:32 dan 19:9 itu secara berbeda:

      1. Dalam kalangan patristik diyakini bahwa Yesus membolehkan perceraian jika salah satu pasangan berzinah, tetapi pasangan yang bercerai tidak diperbolehkan menikah lagi selama yang satu masih hidup. Dengan kata lain, ada kekecualian untuk bercerai, tetapi tidak ada kekecualian dalam hal larangan menikah lagi bagi mereka yang telah bercerai.

      2. Dalam pemikiran Santo Agustinus, klausul kekecualian itu sebenarnya semata-mata penegasan sesuatu yang sudah dalu-warsa. Perkataan “kecuali karena zinah” ditafsirkan “lepas sama sekali dari hukum perceraian dalam kitab Ulangan dan perbantahan kaum Farisi mengenai maknanya”. Menurut tafsir ini Yesus mengabaikan soal itu karena dianggap sudah daluwarsa dan tidak relevan dengan ajaranNya sendiri.

      3. Para ahli modern umumnya lebih suka menafsirkan Yesus dengan cara lain. Karena istilah pokok “tidak senonoh” bisa berarti ikatan incest (sedarah), dikatakan bahwa Yesus membolehkan bahkan mengharuskan perkawinan yang melanggar hukum itu diakhiri – yaitu ikatan di antara orang-orang yang hubungan kekerabatannya terlalu dekat (untuk tingkatan-tingkatan semenda atau sedarah yang dimaksudkan, lihat Im 18:6-18). Dalam situasi ini, baik laki-laki maupun wanita bebas untuk mendapatkan pasangan baru karena pada hakekatnya mereka tidak pernah sungguh-sungguh menikah.

      Maka, tidak peduli apakah suatu perceraian yang sah ataukah semata-mata hanya pembatalan suatu hubungan yang cacat dari awalnya, yang jelas dalam Perjanjian Baru tidak ada dasar yang menyatakan bahwa Yesus membolehkan pasangan yang telah menikah bercerai dan kawin lagi. (KGK 1638-1640, 1644-1645, 2367; bdk KHK 1141-1155).

 C. Perkawinan Dalam Surat-surat Paulus

Nasehat pastoral Paulus mengenai perkawinan, selibat dan keadaan menjanda/duda tampak terpusat dalam 1 Kor 7:1-40. Paulus jelas-jelas menganggap keperawanan merupakan status hidup yang lebih unggul daripada perkawinan (mis 1 Kor 7:32-35), tetapi perkawinan adalah wajar dan merupakan suatu penawar bagi sikap melawan moral (1 Kor 7:2-5; bdk 1 Tes 4:3-8). Status menikah adalah penyerahan diri timbal balik antara suami dan isteri (1 Kor 7:3-4). Paulus mengemukakan lagi ajaran Kristus mengenai perceraian, dengan menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan sepanjang hayat yang hanya bisa diceraikan oleh kematian (1 Kor 7:10-11.39; bdk Rm 7:2-3) (KGK 2364, 2382). Ia juga membahas perbedaan agama (yaitu perkawinan antara seorang yang dibaptis Kristen dan orang yang beragama lain, 1 Kor 7:12), yang dikenal sebagai Privilese Paulus, dengan mana dalam keadaan tertentu seorang Kristen dapat dibebaskan dari suatu perkawinan dengan seorang yang buan Kristen (1 Kor 7:15).

      Teologi perkawinan Kristen dari Paulus terutama dikemukakan dalam Ef 5:22-23. Ia mengembangkan tema teologis dari Perjanjian Lama yang mengaitkan perkawinan dengan perjanjian antara Israel dan Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, tema ini diubah menjadi citra Gereja dan Kristus sebagai mempelai perempuan dan laki-laki. “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef 5:24-25). Mengingatkan ajaran kitab Kejadian bahwa keduanya menjadi satu daging, Paulus menambahkan “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:32) (KGK 1616).

 D. Jamuan Pesta Nikah Anak Domba

Gereja sebagai mempelai wanita juga ditemukan pada puncak kitab Wahyu. Jamuan pesta nikah Anak Domba tampak merupakan penggenapan yang tertinggi dari perjanjian kekal yang telah dipersiapkan dalam sejarah dengan perjanjian di antara Tuhan dan Israel. Gereja, “yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya” (Why 21:2) diantar kepada suaminya dalam “perkawinan Anak Domba” (Why 19:7).

PESAN UNTUK ASIA: AGENDA KITA SEMUA



 Para Uskup Asia menyelenggarakan pertemuan dalam rangka 50 tahun Federasi Konferensi Uskup Asia di Baan Phu Waan, Bangkok, Thailand 12-30 Oktober 2022. Konferensi Uskup Thailand, utamanya Dioses Bangkok menjadi tuan rumah pertemuan. Para wakil dari 17 Konferensi Waligereja dan dua Synode Gereja Timur hadir mengusung tema “Journeying together as Peoples of Asia”, Berjalan Bersama sebagai Orang Asia.

"Dalam renungan dan percakapan kami menyentuh jiwa Asia. Disemangati oleh harapan dan keberanian serta tekat Gereja-gereja Asia untuk berjalan bersama dan bekerja dengan lebih sungguh untuk Asia yang lebih baik".

FABC merasa ditantang oleh suara-suara yang berlainan dari benua yang multifaset, mendengarkan seruan minta tolong dan tuntutan keadilan dari:

# penderitaan kaum miskin, tersingkir dan terpinggirkan yang merindukan hidup bermartabat;

# duka dan kecemasan para pengungsi, migran, tergusur, penduduk asli yang merindukan martabat sejati dan tempat yang aman;

# keluhan alam yang terluka oleh eksploitasi, perubahan iklim, pemanasan global, yang meminta perhatian sepadan;

# impian kaum muda untuk peran yang lebih berarti dalam Gereja dan masyarakat;

# suara kaum perempuan yang menghendaki Gereja yang lebih terbuka dan menghargai martabat mereka dan memberikan tempat yang tepat pada mereka;

# hasrat keluarga-keluarga untuk stabilitas hidup dan dukungan dari semua.



FABC juga prihatin atas:

# duka dan penderitaan gereja-gereja perlu diringankan dengan empati dan solidaritas kita semua;

# sikap-sikap ekstrem yang perlu ditanggapi secara bijaksana;

# mendesaknya keperluan akan penghargaan atas hidup untuk ditanamkan dalam masyarakat;

# meningkatnya kekerasan dan konflik di Asia yang memerlukan peningkatan dialog dan rekonsiliasi;

# tantangan revolusi digital yang menghasilkan dampak baik positif maupun negatif.

"Dengan doa dan semangat kerjasama, kami hendak menanggapi semua tantangan itu dengan mengandalkan kekuatan kasih, belarasa, keadilan dan pengampunan. Kami yakin bahwa perdamaian dan rekonsiliasi adalah jalan satu-satunya untuk maju. Kami mengancang jalan-jalan baru untuk pelayanan kami atas dasar saling mendengarkan dan pertimbangan yang bersungguh-sungguh."

Dalam terang Injil dan ajaran Paus Fransiskus:

# mengikatkan diri pada upaya merangkul kaum pinggiran. Terpanggil untuk melayani mereka yang sangat membutuhkan.

# terpanggil melaksanakan pertobatan pastoral dan ekologis untuk menanggapi secara positif jeritan bumi dan kaum miskin

# hidup dalam semangat saling melengkapi dan harmonis dengan  mendengarkan sesama dan melakukan dialog sejati;

# memajukan budaya damai dan rukun bekerjasama dengan saudara dan saudari umat agama lain dan tradisi lain;

# berkomitmen untuk membangun jembatan penghubung bukan hanya di antara agama-agama dan tradisi-tradisi yang berbeda tetapi juga di antara pemerintah-pemerintah, ornop, ormas, berkenaan dengan hak-hak asasi manusia, pengentasan kemiskinan, human trafficking, perawatan bumi, dan berbagai masalah bersama lainnya.

# melakukan transformasi diri dalam memajukan budaya "saling mendengarkan" di mana kita  mendengarkan satu sama lain dan mendengarkan suara Tuhan; 

# bertekat memajukan cara kita membina diri dalam iman dan mendampingi keluarga, komunitas khususnya yang berkekurangan.

"Bersama-sama kita berjalan melayani keluarga manusia dan alam ciptaan".

Demikian pesan bersama FABC yang disampaikan dari Bangkok, 30 Oktober 2022 melalui Charles Kardinal Bo, SDB, Presiden FABC; Oswald Kardinal Gracias, Panitia Penyelenggara Sidang FABC; Francis Xavier Kardinal Kriengsak Kovithavanij, Uskup Agung Bangkok, dan Tarcisio Isao Kukuchi SVD, Sekretaris Umum FABC.





Minggu, 30 Oktober 2022

Surat Paus Fransiskus Kepada Kardinal Tagle

 



Dengan surat bertanggal 22 Oktober ini Paus Fransiskus mengirim Uskup Agung emeritus Manila, Prefek Dikasteri Evangelisasi Kardinal Aloysius Antonius Tagle memenuhi permintaan Charles Maung Kardinal Bo, S.D.B., Uskup Agung Yangon, Presiden Federasi Para Uskup Asia (FABC), untuk hadir dan menyampaikan kata-kata sambutan atas nama Paus, sebagai UTUSAN LUARBIASA dalam kesempatan Perayaan 50 Tahun FABC di Bangkok, Thailand. Menjadi pernyataan kedekatan dan sukacita Paus pada pertemuan yang berlangsung, sebagai utusan yang sangat mengerti kebutuhan Gereja di Asia, dalam perayaan penutupan yang akan dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2022 dan mengingatkan “Dia yang menerima rahmat Allah, terus menerus memohon pada Puteranya keselamatan orang-orang, yang di dalam mencari perlindungan kepadanya dengan penuh keyakinan, dan didengarkan keluhannya di masa pencobaan, maka marilah kita menghormati Sang Ratu Damai dan Bunda kerahiman, karena dia telah melahirkan Yesus Kristus, kerahiman yang nampak dari Allah maharahim yang tak kelihatan,  yang melalui Maria, selalu mendengarkan doa-doa anak-anaknya, agar Gereja dan keluarga manusia dalam kekurangannya dilimpahi kekayaan rahmat, dikuatkan dalam kelemahannya, diteguhkan dengan semangat cinta kasih, dikaruniai persatuan, memeroleh damai sejahtera di masa kini (bdk. Misa Santa Perawan Maria 39: Santa Maria, ratu dan bunda kerahiman, pref.)

Melalui Kardinal Tagle, Paus berkenan menyampaikan salam dan berkatnya dan memercayakan pelayanan Kepausannya pada doa-doa semua hadirin yang berhimpun dalam perayaan itu. Paus Fransiskus menyampaikan harapannya agar umat beriman memeroleh buah-buah kasih yang berkelimpahan dari kegiatan FABC.




 

FRANCISCUS

EPISTULA DATA

ALOISIO ANTONIO G. TAGLE
Archiepiscopo emerito Manilensi
Dicasterium pro Evangelizatione

Quae benignitatem Dei extollit, Filium suum indesinenter exorans pro populi salute, qui in aerumnis ad eam fidenter confugit ac de tribulationibus clamans exauditur, Reginam pacis veneramur et Matrem misericordiae, quia nobis genuit Iesum Christum, visibilem misericordiam invisibilis Dei miserentis, qui, illa intercedente, ad preces filiorum semper inclinata, Ecclesiae et humanae familiae sua gratia nostram ditet paupertatem, sua virtute nostram roboret infirmitatem, spiritum largiens caritatis, unitatis dona, optatae tranquillitatis nostris temporibus nutrimentum (cfr Collectio Missarum BMV, 39: Sancta Maria, regina et mater misericordiae, praef.).

Qua in Deo sustentati spe tantoque devotionis innisi consilio, in universae Ecclesiae necessitatum studium incumbentes, potissimum laetamur de quinquagesima Conferentia Generali Foederationis Conferentiarum Episcoporum Asiae, propediem Bancokii in Thailandia celebrata, ac, tantam recolentes occasionem, Venerabilis Fratris Nostri Caroli Maung S.R.E. Cardinalis Bo, S.D.B., Archiepiscopi Yangonensis atque dictae Foederationis Praesidis, humanissimae petitioni concedere volumus, ut tu, Nostras vices ibi gerens, erga dilectissimum istum concursum proximitatem Nostram manifestes, praesentia ac verbo tuo hunc Coetum exornans.

Libenter ergo, Venerabilis Frater Noster, qui cotidiano in Nostro ministerio exercendo validum Nobis praestas auxilium in Dicasterio pro Evangelizatione ac praecipuas Ecclesiae, quae est in Asia, optime comperis necessitates, Te ad hanc legationem obeundam elegimus et, hisce Litteris, MISSUM EXTRAORDINARIUM Nostrum nominamus ad sollemnia, quae proximo die XXX mensis Octobris in conclusione praefatae Conferentiae Generalis Bancokii celebrabuntur.

Libenter tibi potestatem facimus, dum celebrationibus praesidebis, illum coetum, publicas auctoritates atque universos christifideles Nostro nomine salutandi ac benedicendi, quos cohorteris, ut, beata Virgine Maria advocata gratiae maternam suam caritatem dispensante, dispensent ipsi misercordiam, quam de Domino experiuntur. Simul, insuper, gravissimum Nostrum ministerium Petrinum precibus committimus universo coetui ibi congregato.

Dum tibi, Venerabilis Frater Noster, Benedictionem impertimur omnibus, qui celebrationi intererunt, transmittendam, legationem tuam ardentibus precibus comitamur, a Deo misericordiae suppliciter obsecrantes, ut de huius Conventus navitate, Episcoporum moderatione, fructus carpant fideles multiplicis caritatis.

Datum Romae, Laterani, die XXII mensis Octobris, anno Domini MMXXII, Pontificatus Nostri decimo.
 

FRANCISCUS


Ketenangan Pemimpin Mengatasi Krisis

 


Deliberate Calm

Penulis:

Penerbit: Harper Collins (akan terbit 29 November, 2022); Imprint: Harper Business; Jumlah halaman: 352; ISBN: 9780063208964; ISBN 10: 0063208962
Menyajikan paduan psikologi, neuroscience dan kajian praktek pengalaman puluhan tahun berkenaan dengan sikap pemimpin dalam situasi yang sangat tidak menentu. 

Ketika setiap hari kecepatan perubahan di dunia yang semakin kompleks bertambah, para pemimpin ditantang untuk keluar dari zona yang akrab dikenalnya baik secara pribadi maupun secara profesional. Diperlukan penyesuaian diri. Namun kondisi yang menuntut penyesuaian diri itu sekaligus menakutkan, sehingga membuat kita enggan berubah dan malah menjadi reaktif. Para penulis menyebut situasi ini “paradox penyesuaian diri”: ketika kita harus belajar dan berubah, kita justru berpegang teguh pada pengetahuan lama yang kita kuasai dengan cara yang melumpuhkan semangat belajar dan daya pembaruan. Untuk lepas dari perangkap ini, pemimpin harus proaktif agar dapat memimpin lembaganya melampaui kurva situasi. 

Buku Deliberate Calm, memberi panduan untuk memraktekkan kesadaran ganda yang memadukan daya neuroscience, psikologi, dan latihan kesadaran yang dikenali dari pengalaman kerja puluhan tahun para pemimpin dari seluruh dunia. Dual Awareness atau kesadaran ganda, memadukan pengalaman batin dan lahiriah, menuntun para pemimpin menjadi cair dan menanggapi tantangan dengan pilihan-pilihan sadar dan dikehendaki alih-alih terkungkunga oleh model-model keberhasilan lama. Dengan Deliberate Calm, siapapun dapat memimpin dan belajar dengan sadar dan sengaja mewujudkan potensi mereka sepenuhnya, terutama di masa yang sarat perubahan yang tidak menentu dan kompleks. 

Setelah membaca terbitan contoh buku ini, Paul Polman, CEO Unilever, 2009–2019 memberi komentar “Para CEO dan pemimpin terus menerus menghadapi tantangan penting dan baru — setidaknya masalah pandemi global, perubahan iklim dan peningkatan kemiskinan—yang memerlukan kemampuan penyesuaian diri sungguh-sungguh. Deliberate Calm merupakan bacaan wajib yang didasarkan pada ilmu dan telah teruji di lapangan dan bantuan untuk melaksanakan kepemimpinan melampaui masa-masa yang berat ini dan memanfaatkan banyak sekali peluang.”

Amy C. Edmondson, profesor  Harvard Business School menulis “Buku bagus ini dapat mengubah hidup anda. Para penulis memberikan pandangan mendalam yang diperoleh dari gabungan antara penelitian dan praktek puluhan tahun mereka — menyajikannya dalam kisah-kisah yang menarik dan hidup—sebagai pedoman yang dapat dilakukan dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan sangat menekan sekarang.”

Tentang penulis Jacqueline Brassey; Jacqui adalah ilmuwan utama dan direktur ilmu riset dalam  "People & Organizational Performance Practice" Perusahaan McKinsey. Ia juga memimpin "Center for Societal Benefit through Healthcare". Jacqui berpengalaman 20 tahun sebagai akademisi praktisi di bidang pengempangan kepemimpinan dan organisasi dan neuroscience positif. Ia juga fellow peneliti pada Vrije Universiteit Amsterdam, dan  profesor pada IE University di Madrid, Spanyol.

  • Aaron De Smet adalah konselor tim kepemimpinan dalam transformasi organisasi untuk meningkatkan prestasi, kesehatan, kecepatan dan ketrampilan organisasi. Smet ahli dalam desain  organisasi, corporate culture, leadership development, team effectiveness, capability building, dan transformational change. Ia melayani klien dari berbagai bidang industri, pertanian, teknologi-hayati, kimia, energi, jasa keuangan dan kesehatan.


  • Michiel Kruyt CEO dari IMAGINE, suatu social venture untuk percepatan kepemimpinan  bisnis dalam mencapai Global Goals. Ia berpengalaman 15 tahun dalam bidang  transformasi skala besar, perubahan budaya kerja, dan pengembangan tim dan kepemimpinan puncak.