Daftar Blog Saya

Minggu, 09 Oktober 2022

PENANGANAN PELECEHAN SEKSUAL THD ANAK OLEH KLERIKUS III

Melanjutkan postingan kedua. Postingan ketiga ini juga dipetik dari VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Kongregasi Ajaran Iman, Roma 16 Juli 2020, yang diterjemahkan RD Yohanes Driyanto. Diterbitkan Dokpen KWI. Pada tahun 2021 KAI menerbitkan Vademecum versi 2.0. Beberapa perubahan di dalamnya saya cantumkan dalam postingan ini dengan huruf merah. Jelas perubahan terjemahan dengan huruf merah ini menjadi tanggungjawab saya.

d/ Bagaimana tindakan pencegahan diberlakukan?

61. Pertama, hendaknya dinyatakan bahwa tindakan pencegahan bukanlah suatu hukuman (karena hukuman dijatuhkan hanya di akhir proses pidana), tetapi tindakan administratif yang tujuannya dijelaskan oleh kan. 1722 KHK dan 1473 KKGKT yang sudah disebut di depan. Hendaknya diterangkan dengan jelas kepada pihak yang bersangkutan bahwa tindakan itu pada hakikatnya bukan hukuman, agar ia tidak berpikir bahwa ia telah diadili dan dihukum dari awal. Harus juga ditegaskan bahwa tindakan-tindakan pencegahan harus ditarik apabila alasannya telah berhenti dan bahwa tindakan pencegahan itu sendiri selesai dengan berakhirnya proses pidananya. Selain itu, tindakan pencegahan tersebut dapat diubah (dibuat lebih atau kurang keras), apabila keadaan sangat menuntutnya. Namun, kehati-hatian dan pertimbangan yang saksama dituntut dalam menilai apakah alasan yang menganjurkannya telah terhenti; atau juga tidak boleh dikecualikan bahwa – sekali ditarik – hal itu dapat dikenakan lagi.

62. Telah ditegaskan bahwa peristilahan lama suspensio a divinis masih sering digunakan untuk menunjuk pada larangan melaksanakan pelayanan yang dikenakan pada klerikus sebagai tindakan pencegahan. Sebaiknya istilah itu dihindari dan juga istilah suspensio ad cautelam, karena dalam perundangan yang sekarang berlaku suspensi itu adalah sebuah hukuman dan belum dapat dikenakan pada tahap ini. Ketentuan itu lebih tepat disebut, misalnya, larangan melaksanakan pelayanan.

63. Suatu keputusan yang harus dihindari adalah sekadar memindahkan klerikus yang disangka dari jabatan, daerah, atau rumah religiusnya, dengan pemikiran bahwa menjauhkan dia dari tempat tindak kejahatan yang disangkakan atau terduga korban merupakan pemecahan perkara yang memadai.

64. Tindakan-tindakan pencegahan yang disebut dalam no. 58 dikenakan melalui perintah kasus demi kasus yang diberitahukan secara legitim (bdk. kan. 49 dst. dan 1319 KHK dan 1406 dan 1510 dst. KKGKT).

65. Harus diperhatikan bahwa ketika keputusan dibuat untuk mengubah atau menarik kembali tindakan pencegahan, hal ini harus dilakukan dengan dekret yang sesuai, yang diberitahukan secara legitim. Tetapi, hal ini tidak diperlukan pada akhir proses yang mungkin terjadi, karena pada saat itu tindakan pencegahan berhenti memiliki efek hukum.

e/ Apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri penyelidikan awal?

66. Dianjurkan, demi persamaan dan pelaksanaan keadilan yang masuk akal, bahwa lamanya penyelidikan awal sesuai dengan tujuan penyelidikan, yaitu diperolehnya jalan masuk pada indikasi kemungkinan kebenaran yang masuk akal dari notitia de delicto dan adanya fumus delicti. Penundaan yang tidak dapat dibenarkan dalam penyelidikan awal dapat merupakan tindakan kelalaian pada pihak otoritas gerejawi.

67. Apabila penyelidikan telah dilaksanakan oleh orang yang cakap yang ditunjuk oleh Ordinaris atau Hierarki, dia harus menyerahkan semua berkas penyelidikan bersama dengan penilaiannya sendiri atas hasilnya. 68. Sesuai dengan kan. 1719 KHK dan 1470 KKGKT, Ordinaris atau Hierarki harus mengeluarkan dekret konklusi penyelidikan awal.

69. Sesuai dengan art. 10 § 1 SST, sesudah penyelidikan awal selesai, apa pun hasilnya, Ordinaris atau Hierarki wajib mengirimkan secepatnya, salinan otentik berkas penyelidikan itu kepada KAI. Bersama dengan salinan berkas dan formulir yang ditemukan di akhir buku manual ini yang secara lengkap diisi, ia harus menawarkan penilaiannya sendiri atas hasil penyelidikan (votum) dan menawarkan usulan yang mungkin ia miliki mengenai bagaimana melanjutkan proses (misalnya, apakah ia menganggap tepat memulai prosedur pidana dan macamnya yang mana; apakah ia menilai cukup hukuman yang dijatuhkan oleh otoritas sipil; apakah penerapan tindakan-tindakan administratif oleh Ordinaris atau Hierarki lebih baik; apakah daluwarsa tindak pidana hendaknya dinyatakan atau penghapusan diberikan).

70. Apabila Ordinaris atau Hierarki yang melaksanakan penyelidikan awal adalah Pemimpin Tinggi, sebaiknya ia juga mengirimkan salinan semua dokumentasi yang berkaitan dengan penyelidikan awal kepada Moderator Tertinggi (atau kepada Uskup bila Lembaga atau Serikat berhukum diosesan), karena mereka adalah orang-orang yang dengannya KAI biasanya akan berkomunikasi sesudahnya. Moderator Tertinggi akan mengirim kepada KAI votum-nya sendiri seperti di atas pada no. 69.

71. Apabila Ordinaris yang melaksanakan penyelidikan awal bukan Ordinaris dari tempat tindak pidana yang disangkakan dilakukan, ia harus menyampaikan hasil penyelidikan kepada Ordinaris dari tempat tindak pidana yang disangkakan dilakukan itu.

72. Berkas harus dikirimkan dalam satu salinan; adalah berguna apabila berkas itu diautentikasi oleh Notarius yang merupakan anggota kuria, kecuali seorang notarius khusus telah ditunjuk untuk penyelidikan awal itu.

73. Kan. 1719 KHK dan 1470 KKGKT menyatakan bahwa seluruh berkas asli harus disimpan dalam arsip rahasia kuria.

74. Juga menurut art. 10 § 1 SST, setelah berkas penyelidikan awal dikirim kepada KAI, Ordinaris atau Hierarki harus menunggu pemberitahuan atau instruksi dari KAI mengenai hal itu.

75. Jelaslah, apabila sementara itu muncul unsur-unsur lain yang berkaitan dengan penyelidikan awal atau dakwaan baru, hal-hal itu harus disampaikan kepada KAI secepat mungkin agar ditambahkan pada apa yang sudah dimilikinya. Apabila tampaknya berguna untuk memulai kembali penyelidikan awal berdasarkan unsur-unsur itu, KAI harus segera diberitahu.

IV. Apa yang dapat dilakukan KAI pada tahap ini?

76. Setelah penerimaan berkas penyelidikan awal, biasanya KAI segera mengirimkan surat tanda terima kepada Ordinaris, Hierarki, Moderator Tertinggi (dalam perkara religius, juga kepada Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan; jika klerikus dari Gereja Timur, kepada Kongregasi untuk Gereja-Gereja Timur; dan kepada Kongregasi untuk Evangelisasi kepada Bangsa-Bangsa bila klerikus berasal dari wilayah yang berada di bawah kekuasaan Dikasteri itu), dengan memberitahukan – kecuali sudah dilakukan sebelumnya – nomor protokol perkaranya. Untuk selanjutnya nomor itu harus dicantumkan tiap kali berkomunikasi dengan KAI.

77. Kemudian, setelah mencermati dengan saksama berkas itu, KAI dapat memilih bertindak dalam berbagai cara: mengarsipkan perkara; meminta penyelidikan yang lebih mendalam; mengenakan tindakan-tindakan disipliner yang bukan-hukuman, yang biasanya berupa perintah hukuman; mengenakan remedium poenale (penawar pidana) atau penitensi, memberikan peringatan atau teguran; memulai proses pidana; atau menentukan cara-cara lain sebagai tanggapan pastoral. Setelah dibuat, keputusan itu selanjutnya diberitahukan kepada Ordinaris dengan disertai instruksi yang memadai untuk pelaksanaannya.

a/ Apa tindakan-tindakan disipliner yang bukan-hukuman?

78. Tindakan-tindakan disipliner yang bukan-hukuman memerintahkan seorang tersangka untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dijatuhkan dengan satu perintah (cf. kan. 49 KHK and 1510 §2, 2° KKGT) yang diterbitkan Ordinaris atau Hierarki, atau KAI. Dalam hal ini, pembatasan biasanya dikenakan pada pelaksanaan pelayanan, lebih luas atau lebih sempit mengingat perkaranya, dan juga kadang-kadang kewajiban untuk tinggal di suatu tempat tertentu. Harus ditekankan bahwa semua ini bukan hukuman, melainkan tindakan pemerintahan yang dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi kebaikan umum dan disiplin gerejawi, serta menghindari skandal bagi umat beriman. Perintah ini tidak menyebabkan penalti jika tidak dipatuhi.

b/ Apa itu perintah pidana?

79. Bentuk biasa yang dengannya tindakan-tindakan ini dikenakan adalah perintah hukuman yang disebut dalam kan. 1319 § 1 KHK dan 1406 § 1 KKGKT. Kan. 1406 § 2 KKGKT menyatakan bahwa peringatan yang berisi ancaman hukuman setara dengan perintah hukuman.

80. Formalitas yang dituntut oleh sebuah perintah adalah yang sudah disebut sebelumnya (kan. 49 dst. KHK dan 1510 dst. KKGKT). Meskipun demikian, karena itu merupakan perintah hukuman, teks harus dengan jelas menunjukkan hukuman yang diancamkan apabila penerima perintah melanggar tindakan yang dikenakan padanya.

81. Harus tetap diperhatikan bahwa, sesuai kan. 1319 § 1 KHK, perintah hukuman tidak dapat mengenakan hukuman silih yang tetap; Selain itu, hukuman harus didefinisikan secara jelas.

Pengecualian hukuman lainnya disarankan oleh kan. 1406 § 1 KKGKT untuk Umat dengan ritus Timur.

82. Tindakan administratif demikian itu memungkinkan dilakukannya rekursus dalam batas waktu hukum.

c/ Apakah remedium poenale, penitensi dan teguran publik itu?

83. Berkenaan dengan definisi tentang remedium poenale, penitensi, dan teguran, harus dirujuk kan. 1339 dan 1340 § 1 KHK dan kan. 1427 KKGKT.[6]

V. Keputusan apa yang mungkin dalam proses pidana?

84. Keputusan yang mengakhiri proses pidana, baik yudisial maupun ekstrayudisial, dapat merupakan 3 macam:

• bersalah (“constat”), apabila dengan kepastian moral kesalahan terdakwa berkenaan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya ditetapkan. Dalam hal ini, keputusan harus menunjukkan secara khusus jenis sanksi kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan.

• bebas (“constat de non”), apabila dengan kepastian moral terdakwa dinyatakan tidak bersalah, karena tak ada pelanggaran yang dilakukan, terdakwa tidak melakukan pelanggaran, pelanggaran tidak dianggap tindak pidana oleh hukum atau dilakukan oleh orang yang tidak dapat disalahkan.

• ditolak (“non constat”), apabila tidak mungkin dicapai kepastian moral berkenaan dengan kesalahan terdakwa karena kurangnya bukti atau bukti tidak mencukupi atau bukti yang menentang bahwa pelanggaran pada kenyataannya dilakukan, bahwa terdakwa melakukan pelanggaran, atau bahwa tindak pidana dilakukan oleh orang yang tidak dapat disalahkan.

Dimungkinkan, demi kebaikan umum dan kesejahteraan terdakwa, diberikan peringatan-peringatan yang tepat, remedium poenale dan sarana-sarana keprihatinan pastoral yang lain. (bdk. kan. 1348 KHK).

Keputusan (yang dikeluarkan dengan putusan atau dekret) harus menunjuk salah satu dari tiga macam ini sehingga jelas apakah “constat”, “constat de non”, atau “non constat.”

VI. Prosedur pidana apa yang mungkin?

85. Sesuai dengan hukum, ada tiga prosedur pidana yang mungkin: proses pidana yudisial; proses pidana ekstrayudisial; atau prosedur yang dinyatakan oleh art 26 SST.

86. Prosedur yang dinyatakan dalam art 26 SST[7] direservasi untuk perkara-perkara sangat berat, diakhiri dengan keputusan langsung dari Paus dan menuntut dijaminnya hak terdakwa untuk membela diri walaupun pelanggaran tindak pidana nyata dengan jelas.

87. Untuk proses pidana yudisial, hendaknya diacu ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengannya, baik dalam KHK maupun art 9, 10 § 2, 11-18, 26-29 SST.

88. Proses pidana yudisial tidak menuntut dua putusan yang sama; karena itu, keputusan yang dibuat dengan putusan pada intansi kedua menjadi res iudicata (bdk. art. 18 SST). Putusan definitif yang demikian hanya dapat disanggah dengan restitutio in integrum, asalkan ada unsur-unsur yang menunjukkan secara jelas ketidak-adilannya (bdk. kan.1645 KHK, 1326 KKGKT), atau dengan keberatan atas nulitas (bdk. kan.1619 dst. KHK, 1302 dst. KKGKT). Tribunal yang dibentuk untuk proses semacam ini selalu kolegial dan terdiri dari sekurang-kurangnya tiga hakim. Mereka yang memiliki hak banding melawan putusan instansi pertama tidak hanya pihak terdakwa yang menganggap dirinya diberatkan dengan putusan secara tidak adil, tetapi juga promotor iustitiae KAI (bdk. art. 16 § 2 SST).

89. Sesuai dengan art 10 § 1 dan 16 § 3 SST, proses pidana yudisial dapat dilaksanakan dalam KAI atau dapat dipercayakan kepada tribunal yang lebih rendah. Berkenaan dengan keputusan yang dibuat, surat khusus pelaksanaannya dikirimkan kepada semua pihak yang bersangkutan.

90. Juga sewaktu proses pidana berjalan, entah yudisial atau ekstrayudisial, tindakan-tindakan pencegahan seperti disebut dalam no. 58-65 dapat dikenakan pada terdakwa.

a/ Apakah proses pidana ekstrayudisial itu?

91. Proses pidana ekstrayudisial, yang kadang disebut proses administratif, adalah suatu bentuk proses pidana yang mengurangi formalitas-formalitas yang dilakukan dalam proses yudisial (dengan maksud) untuk mempercepat jalannya keadilan tanpa menghilangkan jaminan prosedural yang dituntut oleh peradilan yang adil (bdk. kan 221 KHK dan 24 KKGKT).

92. Dalam perkara tindak pidana yang direservasi bagi KAI, art 19 SST, menyatakan bahwa KAI saja, dalam perkara kasus demi kasus, secara ex officio atau diminta oleh Ordinaris atau Hierarki, memutuskan untuk melakukan proses dengan cara (proses ekstrayudisial) itu.

93. Seperti proses yudisial, proses ekstrayudisial dapat dilaksanakan dalam KAI atau dipercayakan kepada instansi yang lebih rendah atau kepada Ordinaris atau Hierarki dari terdakwa, atau kepada pihak-pihak ketiga yang diberi tugas untuk itu oleh KAI, yang mungkin atas permintaan Ordinaris atau Hierarki. Berkenaan dengan keputusan yang dibuat, surat khusus pelaksanaannya dikirim kepada semua pihak yang berkepentingan.

94. Proses pidana ekstrayudisial dilaksanakan dengan formalitas yang sedikit berbeda menurut kedua Kitab Hukum. Apabila muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Hukum mana yang diterapkan (misalnya, dalam perkara klerikus dari ritus Latin yang bekerja di Gereja Timur atau klerikus dari ritus Timur yang aktif dalam lingkungan ritus Latin), perlulah meminta kejelasan kepada KAI Kitab Hukum mana yang harus diikuti dan selanjutnya menaati secara ketat keputusan KAI.

Bersambung postingan keempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar