Melanjutkan postingan kedua. Postingan ketiga ini juga dipetik dari VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Kongregasi Ajaran Iman, Roma 16 Juli 2020, yang diterjemahkan RD Yohanes Driyanto. Diterbitkan Dokpen KWI. Pada tahun 2021 KAI menerbitkan Vademecum versi 2.0. Beberapa perubahan di dalamnya saya cantumkan dalam postingan ini dengan huruf merah. Jelas perubahan terjemahan dengan huruf merah ini menjadi tanggungjawab saya.
d/ Bagaimana tindakan pencegahan diberlakukan?
61. Pertama, hendaknya dinyatakan bahwa tindakan pencegahan
bukanlah suatu hukuman (karena hukuman dijatuhkan hanya di akhir proses
pidana), tetapi tindakan administratif yang tujuannya dijelaskan oleh kan. 1722
KHK dan 1473 KKGKT yang sudah disebut di depan. Hendaknya diterangkan dengan jelas
kepada pihak yang bersangkutan bahwa tindakan itu pada hakikatnya bukan
hukuman, agar ia tidak berpikir bahwa ia telah diadili dan dihukum dari awal.
Harus juga ditegaskan bahwa tindakan-tindakan pencegahan harus ditarik apabila
alasannya telah berhenti dan bahwa tindakan pencegahan itu sendiri selesai
dengan berakhirnya proses pidananya. Selain itu, tindakan pencegahan tersebut
dapat diubah (dibuat lebih atau kurang keras), apabila keadaan sangat
menuntutnya. Namun, kehati-hatian dan pertimbangan yang saksama dituntut dalam
menilai apakah alasan yang menganjurkannya telah terhenti; atau juga tidak
boleh dikecualikan bahwa – sekali ditarik – hal itu dapat dikenakan lagi.
62. Telah ditegaskan bahwa peristilahan lama suspensio a divinis
masih sering digunakan untuk menunjuk pada larangan melaksanakan pelayanan yang
dikenakan pada klerikus sebagai tindakan pencegahan. Sebaiknya istilah itu
dihindari dan juga istilah suspensio ad cautelam, karena dalam perundangan yang
sekarang berlaku suspensi itu adalah sebuah hukuman dan belum dapat dikenakan
pada tahap ini. Ketentuan itu lebih tepat disebut, misalnya, larangan
melaksanakan pelayanan.
63. Suatu keputusan yang harus dihindari adalah sekadar
memindahkan klerikus yang disangka dari jabatan, daerah, atau rumah religiusnya,
dengan pemikiran bahwa menjauhkan dia dari tempat tindak kejahatan yang
disangkakan atau terduga korban merupakan pemecahan perkara yang memadai.
64. Tindakan-tindakan pencegahan yang disebut dalam no. 58
dikenakan melalui perintah kasus demi kasus yang diberitahukan secara legitim
(bdk. kan. 49 dst. dan 1319 KHK dan 1406 dan 1510 dst. KKGKT).
65. Harus diperhatikan bahwa ketika keputusan dibuat untuk
mengubah atau menarik kembali tindakan pencegahan, hal ini harus dilakukan
dengan dekret yang sesuai, yang diberitahukan secara legitim. Tetapi, hal ini
tidak diperlukan pada akhir proses yang mungkin terjadi, karena pada saat itu
tindakan pencegahan berhenti memiliki efek hukum.
e/ Apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri penyelidikan
awal?
66. Dianjurkan, demi persamaan dan pelaksanaan keadilan yang
masuk akal, bahwa lamanya penyelidikan awal sesuai dengan tujuan penyelidikan,
yaitu diperolehnya jalan masuk pada indikasi kemungkinan kebenaran yang masuk
akal dari notitia de delicto dan adanya fumus delicti. Penundaan yang tidak
dapat dibenarkan dalam penyelidikan awal dapat merupakan tindakan kelalaian
pada pihak otoritas gerejawi.
67. Apabila penyelidikan telah dilaksanakan oleh orang yang
cakap yang ditunjuk oleh Ordinaris atau Hierarki, dia harus menyerahkan semua
berkas penyelidikan bersama dengan penilaiannya sendiri atas hasilnya. 68.
Sesuai dengan kan. 1719 KHK dan 1470 KKGKT, Ordinaris atau Hierarki harus
mengeluarkan dekret konklusi penyelidikan awal.
69. Sesuai dengan art. 10 § 1 SST,
sesudah penyelidikan awal selesai, apa pun hasilnya, Ordinaris atau Hierarki
wajib mengirimkan secepatnya, salinan otentik berkas penyelidikan itu kepada
KAI. Bersama dengan salinan berkas dan formulir yang ditemukan di akhir buku
manual ini yang secara lengkap diisi, ia harus menawarkan penilaiannya sendiri
atas hasil penyelidikan (votum) dan menawarkan usulan yang mungkin ia miliki
mengenai bagaimana melanjutkan proses (misalnya, apakah ia menganggap tepat
memulai prosedur pidana dan macamnya yang mana; apakah ia menilai cukup hukuman
yang dijatuhkan oleh otoritas sipil; apakah penerapan tindakan-tindakan
administratif oleh Ordinaris atau Hierarki lebih baik; apakah daluwarsa tindak
pidana hendaknya dinyatakan atau penghapusan diberikan).
70. Apabila Ordinaris atau Hierarki yang melaksanakan
penyelidikan awal adalah Pemimpin Tinggi, sebaiknya ia juga mengirimkan salinan
semua dokumentasi yang berkaitan dengan penyelidikan awal kepada Moderator
Tertinggi (atau kepada Uskup bila Lembaga atau Serikat berhukum diosesan),
karena mereka adalah orang-orang yang dengannya KAI biasanya akan berkomunikasi
sesudahnya. Moderator Tertinggi akan mengirim kepada KAI votum-nya sendiri
seperti di atas pada no. 69.
71. Apabila Ordinaris yang melaksanakan penyelidikan awal bukan
Ordinaris dari tempat tindak pidana yang disangkakan dilakukan, ia harus
menyampaikan hasil penyelidikan kepada Ordinaris dari tempat tindak pidana yang
disangkakan dilakukan itu.
72. Berkas harus dikirimkan dalam satu salinan; adalah
berguna apabila berkas itu diautentikasi oleh Notarius yang merupakan anggota
kuria, kecuali seorang notarius khusus telah ditunjuk untuk penyelidikan awal
itu.
73. Kan. 1719 KHK dan 1470 KKGKT menyatakan bahwa seluruh
berkas asli harus disimpan dalam arsip rahasia kuria.
74. Juga menurut art. 10 § 1 SST,
setelah berkas penyelidikan awal dikirim kepada KAI, Ordinaris atau Hierarki
harus menunggu pemberitahuan atau instruksi dari KAI mengenai hal itu.
75. Jelaslah, apabila sementara itu muncul unsur-unsur lain
yang berkaitan dengan penyelidikan awal atau dakwaan baru, hal-hal itu harus
disampaikan kepada KAI secepat mungkin agar ditambahkan pada apa yang sudah
dimilikinya. Apabila tampaknya berguna untuk memulai kembali penyelidikan awal
berdasarkan unsur-unsur itu, KAI harus segera diberitahu.
IV. Apa yang dapat dilakukan KAI pada tahap ini?
76. Setelah penerimaan berkas penyelidikan awal, biasanya
KAI segera mengirimkan surat tanda terima kepada Ordinaris, Hierarki, Moderator
Tertinggi (dalam perkara religius, juga kepada Kongregasi untuk Lembaga Hidup
Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan; jika klerikus dari Gereja Timur, kepada
Kongregasi untuk Gereja-Gereja Timur; dan kepada Kongregasi untuk Evangelisasi
kepada Bangsa-Bangsa bila klerikus berasal dari wilayah yang berada di bawah
kekuasaan Dikasteri itu), dengan memberitahukan – kecuali sudah dilakukan
sebelumnya – nomor protokol perkaranya. Untuk selanjutnya nomor itu harus
dicantumkan tiap kali berkomunikasi dengan KAI.
77. Kemudian, setelah mencermati dengan saksama berkas itu,
KAI dapat memilih bertindak dalam berbagai cara: mengarsipkan perkara; meminta
penyelidikan yang lebih mendalam; mengenakan tindakan-tindakan disipliner yang
bukan-hukuman, yang biasanya berupa perintah hukuman; mengenakan remedium
poenale (penawar pidana) atau penitensi, memberikan peringatan atau teguran;
memulai proses pidana; atau menentukan cara-cara lain sebagai tanggapan
pastoral. Setelah dibuat, keputusan itu selanjutnya diberitahukan kepada
Ordinaris dengan disertai instruksi yang memadai untuk pelaksanaannya.
a/ Apa tindakan-tindakan disipliner yang bukan-hukuman?
78. Tindakan-tindakan disipliner yang bukan-hukuman memerintahkan seorang tersangka untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Dijatuhkan dengan satu
perintah (cf. kan. 49 KHK and 1510 §2, 2° KKGT) yang diterbitkan Ordinaris atau
Hierarki, atau KAI. Dalam hal ini, pembatasan biasanya dikenakan pada
pelaksanaan pelayanan, lebih luas atau lebih sempit mengingat perkaranya, dan
juga kadang-kadang kewajiban untuk tinggal di suatu tempat tertentu. Harus
ditekankan bahwa semua ini bukan hukuman, melainkan tindakan pemerintahan yang
dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi kebaikan umum dan disiplin gerejawi,
serta menghindari skandal bagi umat beriman. Perintah
ini tidak menyebabkan penalti jika tidak dipatuhi.
b/ Apa itu perintah pidana?
79. Bentuk biasa yang dengannya tindakan-tindakan ini
dikenakan adalah perintah hukuman yang disebut dalam kan. 1319 § 1 KHK dan 1406
§ 1 KKGKT. Kan. 1406 § 2 KKGKT menyatakan bahwa peringatan yang berisi ancaman
hukuman setara dengan perintah hukuman.
80. Formalitas yang dituntut oleh sebuah perintah adalah
yang sudah disebut sebelumnya (kan. 49 dst. KHK dan 1510 dst. KKGKT). Meskipun
demikian, karena itu merupakan perintah hukuman, teks harus dengan jelas
menunjukkan hukuman yang diancamkan apabila penerima perintah melanggar
tindakan yang dikenakan padanya.
81. Harus tetap diperhatikan bahwa, sesuai kan. 1319 § 1
KHK, perintah hukuman tidak dapat mengenakan hukuman silih yang tetap; Selain
itu, hukuman harus didefinisikan secara jelas.
Pengecualian hukuman lainnya disarankan oleh kan. 1406 § 1
KKGKT untuk Umat dengan ritus Timur.
82. Tindakan administratif demikian itu memungkinkan
dilakukannya rekursus dalam batas waktu hukum.
c/ Apakah remedium poenale, penitensi dan teguran publik
itu?
83. Berkenaan dengan definisi tentang remedium poenale,
penitensi, dan teguran, harus dirujuk kan. 1339 dan 1340 § 1 KHK dan kan. 1427
KKGKT.[6]
V. Keputusan apa yang mungkin dalam proses pidana?
84. Keputusan yang mengakhiri proses pidana, baik yudisial
maupun ekstrayudisial, dapat merupakan 3 macam:
• bersalah (“constat”), apabila dengan kepastian moral
kesalahan terdakwa berkenaan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
ditetapkan. Dalam hal ini, keputusan harus menunjukkan secara khusus jenis
sanksi kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan.
• bebas (“constat de non”), apabila dengan kepastian moral
terdakwa dinyatakan tidak bersalah, karena tak ada pelanggaran yang dilakukan,
terdakwa tidak melakukan pelanggaran, pelanggaran tidak dianggap tindak pidana
oleh hukum atau dilakukan oleh orang yang tidak dapat disalahkan.
• ditolak (“non constat”), apabila tidak mungkin dicapai
kepastian moral berkenaan dengan kesalahan terdakwa karena kurangnya bukti atau
bukti tidak mencukupi atau bukti yang menentang bahwa pelanggaran pada
kenyataannya dilakukan, bahwa terdakwa melakukan pelanggaran, atau bahwa tindak
pidana dilakukan oleh orang yang tidak dapat disalahkan.
Dimungkinkan, demi kebaikan umum dan kesejahteraan terdakwa,
diberikan peringatan-peringatan yang tepat, remedium poenale dan sarana-sarana
keprihatinan pastoral yang lain. (bdk. kan. 1348 KHK).
Keputusan (yang dikeluarkan dengan putusan atau dekret)
harus menunjuk salah satu dari tiga macam ini sehingga jelas apakah “constat”,
“constat de non”, atau “non constat.”
VI. Prosedur pidana apa yang mungkin?
85. Sesuai dengan hukum, ada tiga prosedur pidana yang
mungkin: proses pidana yudisial; proses pidana ekstrayudisial; atau prosedur
yang dinyatakan oleh art 26 SST.
86. Prosedur yang dinyatakan dalam art 26 SST[7] direservasi untuk perkara-perkara sangat
berat, diakhiri dengan keputusan langsung dari Paus dan menuntut dijaminnya hak
terdakwa untuk membela diri walaupun pelanggaran tindak pidana nyata dengan
jelas.
87. Untuk proses pidana yudisial, hendaknya diacu
ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengannya, baik dalam KHK maupun art 9, 10 § 2, 11-18, 26-29 SST.
88. Proses pidana yudisial tidak menuntut dua putusan yang
sama; karena itu, keputusan yang dibuat dengan putusan pada intansi kedua menjadi
res iudicata (bdk. art. 18 SST). Putusan
definitif yang demikian hanya dapat disanggah dengan restitutio in integrum,
asalkan ada unsur-unsur yang menunjukkan secara jelas ketidak-adilannya (bdk.
kan.1645 KHK, 1326 KKGKT), atau dengan keberatan atas nulitas (bdk. kan.1619
dst. KHK, 1302 dst. KKGKT). Tribunal yang dibentuk untuk proses semacam ini
selalu kolegial dan terdiri dari sekurang-kurangnya tiga hakim. Mereka yang
memiliki hak banding melawan putusan instansi pertama tidak hanya pihak terdakwa
yang menganggap dirinya diberatkan dengan putusan secara tidak adil, tetapi
juga promotor iustitiae KAI (bdk. art. 16 § 2 SST).
89. Sesuai dengan art 10 § 1 dan 16
§ 3 SST, proses pidana yudisial dapat dilaksanakan dalam KAI atau dapat
dipercayakan kepada tribunal yang lebih rendah. Berkenaan dengan keputusan yang
dibuat, surat khusus pelaksanaannya dikirimkan kepada semua pihak yang
bersangkutan.
90. Juga sewaktu proses pidana berjalan, entah yudisial atau
ekstrayudisial, tindakan-tindakan pencegahan seperti disebut dalam no. 58-65
dapat dikenakan pada terdakwa.
a/ Apakah proses pidana ekstrayudisial itu?
91. Proses pidana ekstrayudisial, yang kadang disebut proses
administratif, adalah suatu bentuk proses pidana yang mengurangi
formalitas-formalitas yang dilakukan dalam proses yudisial (dengan maksud)
untuk mempercepat jalannya keadilan tanpa menghilangkan jaminan prosedural yang
dituntut oleh peradilan yang adil (bdk. kan 221 KHK dan 24 KKGKT).
92. Dalam perkara tindak pidana yang direservasi bagi KAI,
art 19 SST, menyatakan bahwa KAI saja, dalam
perkara kasus demi kasus, secara ex officio atau diminta oleh Ordinaris atau
Hierarki, memutuskan untuk melakukan proses dengan cara (proses ekstrayudisial)
itu.
93. Seperti proses yudisial, proses ekstrayudisial dapat
dilaksanakan dalam KAI atau dipercayakan kepada instansi yang lebih rendah atau
kepada Ordinaris atau Hierarki dari terdakwa, atau kepada pihak-pihak ketiga
yang diberi tugas untuk itu oleh KAI, yang mungkin atas permintaan Ordinaris
atau Hierarki. Berkenaan dengan keputusan yang dibuat, surat khusus
pelaksanaannya dikirim kepada semua pihak yang berkepentingan.
94. Proses pidana ekstrayudisial dilaksanakan dengan
formalitas yang sedikit berbeda menurut kedua Kitab Hukum. Apabila muncul
pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Hukum mana yang diterapkan (misalnya,
dalam perkara klerikus dari ritus Latin yang bekerja di Gereja Timur atau
klerikus dari ritus Timur yang aktif dalam lingkungan ritus Latin), perlulah
meminta kejelasan kepada KAI Kitab Hukum mana yang harus diikuti dan
selanjutnya menaati secara ketat keputusan KAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar