POKOK2 KATEKESE IMAN KITA #6
Bambang Kussriyanto
Pentradisian Wahyu Ilahi
Gereja, dalam pribadi para rasul, mendapat wewenang
dari Kristus untuk mengajar; Gereja menjadi pengganti-Nya. “Pergilah, jadikan
semua orang muridKu” (Mat 28: 19). ”Barangsiapa mendengarkan kamu, ia
mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku” (Luk 10: 16).
Sesuai dengan kehendak Allah,
terjadilah pewartaan Injil dengan dua cara:
-- secara
lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta
penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut,
pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus
telah mereka pelajari”;
-- secara
tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus
itu juga telah membukukan amanat keselamatan” dalam Kitab Suci (DV 7; KGK 76).
Jemaat Kristiani perdana dikisahkan “bertekun
dalam pengajaran para rasul” (Kis 2:42), yaitu dalam pengajaran lisan yang
diberikan, cukup lama sebelum ajaran-ajaran lisan itu dituliskan, lalu dipilah
dan kemudian dihimpun menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru. Rasul Paulus
memberikan gambaran atas apa sesungguhnya dilaksanakan: “Yang sangat penting
telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang kuterima sendiri, ialah bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci... Sebab
itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar, dan demikianlah kamu
percaya” (1Kor 15:3.11). Ia juga berkata kepada Timoteus yang kemudian menjadi
uskup, “Apa yang telah engkau dengar daripadaku di depan banyak saksi,
percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap
mengajar orang lain” (2Tim 2:2). Dengan kata lain, Timoteus, salah seorang
pengganti para rasul, harus mengajarkan apa yang dulu dipelajarinya dari
pendahulunya, yaitu Paulus. Rasul memuji jemaat: “Aku harus memuji kamu, sebab
dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang kepada
ajaran yang kuteruskan kepadamu” (1Kor 11:2).
Gambaran di atas menunjukkan
bagaimana tugas para rasul dilanjutkan oleh para pengganti mereka. “Supaya
Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para Rasul
meninggalkan Uskup-Uskup sebagai pengganti-pengganti mereka, yang `mereka
serahi kedudukan mereka untuk mengajar” (DV 7). Maka, “pewartaan para Rasul,
yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus
dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada
putusnya” (DV 8; KGK 77). Bagaimana
amanat ini dilaksanakan? Dengan berkhotbah, dengan pengajaran lisan. “Jadi,
iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rm 10:17).
Gereja selalu tersedia sebagai pengajar yang hidup.
Allah jauh sebelumnya telah menjanjikan
suara yang hidup di dalam jemaat-Nya (Yes 59:21). Nubuat ini tentulah merujuk
kepada Gereja yang hidup.
Dalam KGK 78 dikatakan bahwa: “Penerusan
yang hidup ini, yang berlangsung dengan bantuan Roh Kudus, dinamakan ‘Tradisi’,
yang walaupun berbeda dengan Kitab Suci namun sangat erat berhubungan dengannya”.
‘Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya
melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya,
imannya seutuhnya..... Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan
kehadiran tradisi itu yang menghidupkan, dan yang kekayaannya meresapi praktik
serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa’ (DV 8).
Perlu dicermati dengan benar apa
yang dimaksudkan Gereja Katolik dengan ‘Tradisi’. Istilah Tradisi itu sekalipun
bernuansa pengajaran lisan bukan merujuk pada cerita dongeng atau legenda
ataupun mitologi; juga bukan kebiasaan-kebiasaan sementara atau praktek-praktek
yang bisa datang pergi menurut situasi, misalnya sehubungan dengan pakaian
imam, bentuk devosi tertentu kepada para santo, atau bahkan tata upacara
liturgis tertentu yang bisa berubah.
Tradisi berarti ajaran-ajaran dan wewenang mengajar dari
Yesus dan yang disampaikan-Nya kepada para rasul secara utuh. Inilah yang
diteruskan turun temurun dan dipercayakan kepada Gereja (artinya kepada para
pengajar yang resmi, yaitu para uskup dalam kesatuan dengan Paus). Adalah
penting bagi umat Katolik untuk memercayai dan mengikuti Tradisi ini dan Kitab
Suci (Luk 10:16). Kebenaran iman diberikan pertama-tama kepada para pemimpin
Gereja (Ef 3:5), yang bersama Kristus merupakan landasan dari Gereja (Ef 2:20).
Gereja dibimbing oleh Roh Kudus, yang melindungi ajaran ini (Yoh 14:16).
Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci
Mengenai
hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci, KGK mengajarkan, pertama-tama dengan
mengutip Konsili Vatikan II bahwa: ‘Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan
erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama,
dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan
yang sama’ (DV 9). “Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri
Kristus, yang berjanji akan tinggal menyertai umat-Nya ‘sampai akhir zaman’
(Mat 28:20) di dalam Gereja” (KGK 80).
Demi jelasnya, Konsili Vatikan Kedua
membedakan Tradisi Suci dari Kitab Suci, walaupun Perjanjian Baru sendiri
merupakan kumpulan tradisi jemaat Kristiani purba tentang Yesus dan tentang
ajaran-Nya. Di satu pihak "Kitab Suci adalah pembicaraan Allah sejauh itu
termaktub dengan ilham Roh ilahi". Sedangkan "Oleh Tradisi Suci,
Sabda Allah yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para
Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini
dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan, dan
menyebarkannya dengan setia" (DV 9; KGK 81).
Konstitusi Konsili Vatikan II Dei Verbum menyatakan bahwa “Tradisi
Suci dan Kitab Suci membentuk satu khasanah suci Sabda Allah yang dipercayakan
kepada Gereja” (DV 10).
Memang lebih mudah membayangkan
keseluruhan Sabda Allah sebagai satu buku yang dibendel rapi : Kitab Suci.
Tetapi ada banyak segi hidup Kristiani, nasehat, teladan, ibadat, dan keyakinan
yang berasal dari zaman para rasul tidak tertulis dalam Kitab Suci. Semua itu
terus dilanjutkan (inilah makna harfiah dari “Tradisi”) oleh rasul-rasul dan
para pengganti mereka sebagai bagian yang mendasar dari kehidupan umat
Perjanjian Baru dari Allah, Gereja.
Para rasul seraya menyampaikan apa yang telah mereka terima,
mengingatkan umat beriman agar berpegang
teguh kepada ajaran-ajaran yang telah mereka terima baik secara lisan maupun
secara tertulis (lih 2Tes 2:15), dan berusaha keras memertahankan iman yang
telah disampaikan sekali untuk selamanya (lih Yud 3). Apa yang diteruskan oleh
para rasul itu meliputi segala sesuatu yang bermanfaat untuk kekudusan hidup
dan bagi kemajuan iman umat Allah. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta
ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan seluruh dirinya,
dan imannya seutuhnya” (DV 8).
Telah
disebutkan bahwa Allah melalui Nabi Yesaya, telah menjanjikan suara yang hidup di dalam jemaat yang akan didirikan
Kristus: “Inilah perjanjian-Ku dengan mereka: RohKu yang menghinggapi engkau
dan frimanKu yang Kutaruh dalam mulutmu tidak akan meninggalkan mulutmu dan
mulut keturunanmu dan mulut keturunan mereka, dari sekarang sampai
selama-lamanya” (Yes 59:21). Nubuat ini tentulah merujuk kepada Gereja yang
hidup, yang merupakan pengajar yang hidup. Pengajaran lisan ini akan terus
berlangsung sampai akhir zaman. ”Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.
Inilah firman yang disampaikan Injil
kepadamu” (1Ptr 1:25).
“Dengan demikian maka Gereja”, yang
dipercaya untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastian tentang
segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu
keduanya [baik tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan
cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (DV 9; KGK 82).
Tradisi Apostolik dan Tradisi Gerejani
KGK 83
menyatakan bahwa: “Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para
Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan
yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum
mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri
memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.” Ini adalah Tradisi
Rasuli atau Tradisi Apostolik.
“Tradisi ini berbeda dari tradisi-tradisi
teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam perjalanan waktu
terjadi di Gereja-gereja setempat.” Yaitu Tradisi Gerejani. “Mereka merupakan
ungkapan-ungkapan khas dari Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan
zaman yang berbeda-beda. Dalam terang tradisi utama dan di bawah bimbingan
Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah,
atau juga dihapus” (KGK 83).
Katekismus menunjukkan bahwa tidak
semua tradisi yang berkembang di dalam Gereja merupakan bagian dari wahyu ilahi
yang oleh umat Katolik disebut Tradisi Suci. Ada banyak tradisi manusia yang
merupakan bagian dari kehidupan Gereja perlu diubah. Tradisi-tradisi itu
mungkin semata-mata adat manusia, tetapi juga mungkin merupakan bagian dari
kehendak Allah dan dimaksudkan Gereja untuk situasi khusus atau penggal masa
tertentu dalam kehidupan umat Allah, namun tidak dimaksudkan untuk segala masa
dan tidak untuk setiap situasi.
Terhadap tradisi semacam itulah Yesus
berkata, ”Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek
moyangmu?” (Mat 15:3) Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah supaya jangan ada yang
menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol 2:8).
Sesungguhnya ayat-ayat ini hanya mengenai tradisi tertentu buatan manusia di
tempat dan kurun waktu tertentu yang bertentangan dengan perintah Allah saja,
bukan mengutuk kebenaran yang disampaikan secara lisan dan dipercayakan kepada
Gereja secara umum di segala masa.
Perhatikan Mat 15:6-9: “Firman Allah
kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. Hai orang-orang
munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang
kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan
bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaku. Percuma mereka beribadah kepadaKu
sedang ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” Di dalam konteksnya.
Yesus tidak mengutuk semua tradisi. Ia hanya mengutuk tradisi yang mengabaikan
Sabda Allah.
Di tempat lain, Yesus mengajar para
pengikut-Nya agar mengikuti tradisi yang tidak berlawanan dengan perintah
Allah. “Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi telah menduduki kursi Musa, sebab itu
turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi
janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya
tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3).
Memang, ada masalah besar untuk
menentukan apa yang merupakan Tradisi yang autentik. Bagaimana kita tahu bahwa
apa yang diteruskan turun temurun oleh Gereja Katolik adalah ajaran dan praktek
yang benar? Kita tahu bahwa ajaran dan
praktek itu benar sebab Kristus berjanji akan melindungi Gereja dari kuasa alam
maut (Mat 16:18). Gereja tak akan
hancur, ajarannya tak akan keliru. Untuk itu, melalui Petrus, Kristus
memberikan wewenang mengajar (Mat 16:19;
28: 18-20).
Para Uskup Gereja yang termasuk
dalam Magisterium atau “Wewenang Mengajar” dalam Gereja mempunyai tanggungjawab
dan karisma untuk merenungkan perbedaan di antara Tradisi Suci yang autentik
dengan tradisi-tradisi lainnya. Magisterium dengan setia memelihara,
menafsirkan dan menyatakan wahyu Allah hingga sampai kepada kita berkat Roh Kudus,
melalui baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci.
Tradisi Suci yang kadang-kadang
disebut tradisi apostolik atau singkatnya Tradisi, meliputi semua aspek
perwahyuan Allah selain Kitab Suci yang dimaksudkan Allah supaya dipercaya dan
diikuti oleh seluruh Gereja di setiap zaman: “seluruh dirinya, dan imannya
seutuhnya.” (Beberapa buku yang memberi inspirasi: Yves M.-J. Congar, 1997: Tradition
and Traditions: The Biblical, Historical, and Theological Evidence for Catholic
Teaching on Tradition; juga Yves M.-J. Congar, 2004: The Meaning of
Tradition)
Sebagian unsur Tradisi Suci
disampaikan sepenuhnya dalam bentuk ibadat dan doa-doa untuk memuliakan Allah
dalam Gereja, atau cara yang tepat untuk menghormati para malaikat dan orang
kudus, termasuk Maria, Bunda Allah. Unsur yang lain dari Tradisi Suci
menyatakan kehendak Allah sehubungan dengan cara hidup kita (ajaran tata-kehidupan
moral), yang tidak selalu eksplisit atau sepenuhnya dinyatakan dalam Kitab
Suci. Sebagian dari keyakinan Katolik
dalam bidang hidup dan moralitas Katolik tercakup dalam kategori ini, misalnya
mengenai penolakan aborsi, eutanasia dan pembunuhan anak-anak (GS 27). Sedari
awalnya Gereja Kristiani menolak hal-hal ini dan berbagai praktek pelanggaran moral lainnya.
Sebagian dari peranan Tradisi Suci
adalah memelihara makna yang benar dari Kitab Suci dengan menyampaikan tafsiran
pemimpin Gereja atas perikop tertentu dari Kitab Suci.
Sebagian umat Kristiani mengira umat
Katolik mengurangi pentingnya Kitab Suci karena juga mengikuti Tradisi Suci.
Sebaliknya, umat Katolik sangat menghargai Kitab Suci, justru dengan mengakui
bahwa kita sering harus mengandalkan Tradisi Suci dalam memelihara makna yang
benar dari Kitab Suci. Tidak ada elemen Tradisi Suci yang berlawanan dengan
ajaran Kitab Suci, karena keduanya merupakan pernyataan kebenaran Allah yang
tunggal. Namun, Tradisi Suci kadang-kadang justru memampukan kita menafsirkan
perikop tertentu dari Kitab Suci secara tepat (terutama ayat-ayat yang
tampaknya sulit dipahami).
Roh Kudus juga menggunakan Tradisi
Suci untuk menyampaikan kepada Gereja pemahaman yang lebih penuh dan mendalam
akan Kitab Suci. Beberapa tema tertentu yang hanya secara singkat disebut atau
dinyatakan dalam Kitab Suci disampaikan dengan lebih penuh dan mendalam melalui
Tradisi Suci. Sebagai contoh adalah ajaran tentang Tritunggal Mahakudus. Ajaran
itu tidak tercantum secara eksplisit dalam halaman-halaman Kitab Suci, bukan
hanya karena istilah Tritunggal tidak pernah digunakan – sebab istilah itu
mula-mula digunakan oleh Teofilus dari Antiokia pada tahun 181 (Teofilus dari
Antiokia, Ad Autolycum, 2, 15) – namun juga karena dari halaman-halaman
naskah Kitab Suci tidak jelas apakah Roh Kudus adalah juga Pribadi Allah.
Kemudian juga keyakinan Katolik mengenai Maria yang dikandung tanpa noda dan
Maria yang diangkat ke surga, yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
Kitab Suci, namun mengalir keluar darinya.
Dalam Kitab Suci tidak diajarkan
bahwa hanya Kitab Suci saja yang dilhami oleh Allah. Mengenai Tradisi Suci dan
tempatnya dalam Gereja, Dei Verbum
mengajar:
Tradisi yang berasal dari para rasul ini berkembang dalam
Gereja dengan pertolongan Roh Kudus. Di sanalah bertumbuh pemahaman akan
kenyataan dan Sabda yang telah disampaikan turun termurun. Ini terjadi berkat
kaum beriman yang menyimpannya dalam hati (lih Luk 2:19 dan 51), merenungkan
dan mempelajarinya, melalui pemahaman yang mendalam akan hal-hal rohani yang
mereka alami, dan melalui pewartaan dari mereka yang berdasarkan pergantian
jabatan Uskup telah menerima karisma kebenaran yang pasti. Karena, ketika abad
demi abad berganti, Gereja terus menerus maju ke depan menuju kepenuhan kebenaran ilahi sampai Sabda Allah
mencapai terlaksana sepenuhnya dalam dirinya (DV 8).
Walaupun Gereja telah menerima
”wahyu umum” yang mendasar selama masa hidup Yesus dan para rasul-Nya, namun
Roh Kudus terus bekerja di dalam Gereja, sebagaimana dijanjikan oleh Yesus,
untuk memberikan kepada kita pemahaman yang lebih penuh dan lebih lengkap akan
kebenaran Allah. Hal ini dilakukan Allah melalui Tradisi Suci.
Kitab Tradisi?
Satu
pertanyaan terakhir yang sering diajukan adalah di mana Tradisi Suci Gereja itu
bisa ditemukan. Tidak ada satu buku yang secara lengkap dan menyeluruh memuat
apa yang oleh Gereja Katolik dianggap Tradisi Suci, karena Tradisi ini meliputi
sebagian besar kehidupan umat Allah, seperti tata-cara ibadat, devosi, ajaran
moral dan kebijaksanaan, dan penafsiran Kitab Suci. Tradisi Suci dapat
dikatakan sebagai semua unsur yang mendasar dan tidak berubah dari “cara hidup”
Gereja, dan rumusan doktrin yang diberikan oleh Magisterium kepada kita sebagai
pemahaman autentik atas semua keyakinan dan praktek Gereja.
Ada buku-buku yang mengikhtisarkan
ajaran resmi dari berbagai Konsili Ekumenis dan ajaran para Paus Gereja Katolik.
Mereka menyampaikan sebagian besar dari Tradisi Suci di mana rumusan formal
dari keyakinan dan praktek Katolik disusun oleh Magisterium sepanjang sejarah.
Tetapi Tradisi Suci juga meliputi hal-hal yang secara konsisten diajarkan oleh
para Bapa Gereja, para Pujangga Gereja dan para orang kudus, yang oleh
Magisterium dianggap tidak perlu dirumuskan secara formal.