Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Injil-injil Apokrif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Injil-injil Apokrif. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 November 2022

INJIL, KANONIK DAN APOKRIF

 


Injil    [Bahasa Indonesia ini merupakan serapan dari bahasa Yunani, eu-angelion, yang berarti kabar baik atau kabar gembira]. (Bahasa Anglo Saxon menerjemahkannya dengan god-spell, yang kemudian menjadi gospel). Nama yang pada umumnya diberikan kepada empat kitab yang ditulis dengan ilham ilahi tentang hidup, wafat dan kebangkitan Tuhan Kita Yesus Kristus di dalam Kitab Suci. Secara lebih luas “Injil Kerajaan” (Mat 4:23; Mrk 1:15; Luk 4:43; 8:1; 16:16), kabar baik tentang keselamatan bagi sluruh umat manusia melalui Yesus; atau yang paling luas, seluruh wahyu keselamatan oleh Kristus (bdk Mat 9:35; 24:14; Mrk 1:14; 13:10; 16:15; Kis 5:42; 11:20; 14:7; 20:24; Rm 1:9; 10:16; 15:20; 1 Kor 15:1; 2 Kor 4:3). Paulus menyampaikan suatu rumusan yang bermanfaat:

Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya. Kamu juga termasuk di antara mereka, kamu yang telah dipanggil menjadi milik Kristus. (Rm 1:1-6).

 

Pengarahan dan ajaran yang jelas mengenai pemahaman Katolik atas Injil-injil disampaikan oleh dua dokumen penting: Konstitusi Dogmatik tentang “Wahyu Ilahi”, Dei Verbum, dari Konsili Vatikan II; dan dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan, Sancta Mater Ecclesia, “Tentang Kesejarahan Injil-injil”.

 


I. ASAL MULA

Paham Perjanjian Baru tentang Injil dilacak untuk sebagian dari tulisan nabi-nabi Perjanjian Lama, khususnya nubuat Yesaya tentang kabar baik keselamatan bagi Sion (Yes 40:9; 41:27; 52:7; 61:1). Yes 61:1 menyatakan bahwa “kabar baik” itu adalah “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara”. Paham tradisional dari kata Yunani eu-angelion adalah “menyampaikan kabar baik” yang diterapkan untuk orang yang membawa berita, khususnya berita kemenangan. Pada abad pertama Masehi kata eu-angelion dimengerti orang Roma sehubungan dengan “kabar baik” mengenai kelahiran seorang anak pewaris kaisar atau kenaikan tahta seorang kaisar baru. Bahwa Lukas menggunakan kata itu dalam arti kata yang terakhir jelas dalam pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis (Luk 1:19) dan Yesus (Luk 2:10). Demikian pulalah Yohanes Pembaptis mewartakan Kabar Gembira (Luk 3:19), seperti Yesus (Mat 4:23; Mrk 1:35-39; Luk 4:43-45).

 

II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN

Seperti yang kita lihat, pewartaan Injil dalam Perjanjian Baru tidak berkenaan dengan keempat Injil yang kita miliki sekarang dalam bentuk tertulis. Sebailknya, eu-angelion berhubungan dengan Kabar Baik Kerajaan. Perbedaan ini membentuk elemen pokok di dalam memahami tempat keempat Injil tertulis di dalam proses pelaksanaan pewartaan Kabar Baik.

      Sejauh tidak ada catatan tertulis yang resmi dan autentik mengenai Kabar Baik itu, pengertian Perjanjian Baru tentang “Injil” hanya mengandung satu makna. Jelas, paham tentang Injil sebagai wujud pewartaan Kerajaan Allah dan keselamatan yang dilaksanakan Yesus Kristus tidak berubah bahkan setelah para penginjil menuliskan Injil-injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes]. Bagaimanapun, hanya ada satu Injil, dan tampilnya keempat catatan mengenai Injil itu tidak menggambarkan empat Injil yang berbeda-beda, melainkan empat gaya penceritaan pribadi atas Injil yang sama. Namun justru pada awal sekali, kata “Injil” dicantumkan pada karya tertulis. Ini sudah tampak dalam tulisan Santo Yustinus yang pertama Apology (46), ketika ia menulis “Kenangan Para Rasul yang disebut Euangelia”, dengan jelas menunjuk bukan  pada suatu pewartaan Injil, melainkan pada keempat kitab Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] (KGK 2763(?)).

      Sebelum munculnya Injil-injil tertulis yang diilhamkan [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], sudah ada tradisi lisan yang menjadi dasar dari Injil-injil tertulis itu (DV 7-10.18; Sancta Mater Ecclesia II, “Penjabaran Pesan Injil”) (KGK 76-79). Dei Verbum menyatakan:

Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran. Adapun cara penilulis suci mengarang keempat Injil dan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus. Sebab mereka menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah berdasarkan kesaksian mereka “yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan sabda”, dengan maksud supaya kita mengenal “kebenaran” kata-kata yang diajarkan kepada kita (lih. Luk 1:2-4). (DV 19)

 

Sancta Mater Ecclesia mengingatkan para penafsir Kitab Suci agar memperhatikan ketiga tahapan dalam tradisi, “melalui mana hidup dan ajaran Yesus diturunkan kepada kita”. Yang pertama adalah ajaran-ajaran Kristus, dan ketika Ia memberikan ajaranNya secara lisan,  Ia “menggunakan bentuk-bentuk gagasan dan ungkapan yang lazim pada zaman itu” dan ”menyesuaikan Diri kepada jalan pikiran pendengarNya sedemikian sehingga ajaranNya dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dalam benak mereka dan mudah diingat oleh para muridNya”.

      Yang kedua, adalah ajaran para rasul, yaitu kesaksian yang disampaikan para rasul tentang Yesus dan pewartaan wafat dan kebangkitanNya. Di dalam menyampaikan cerita tentang hidup Yesus dan menyampaikan kata-katanya, para rasul menggunakan perkataan dan frasa yang disesuaikan sebaik-baiknya dengan khalayak mereka, termasuk bentuk-bentuk percakapan seperti “rumusan pengajaran, penyampaian kisah, pernyataan saksi mata, kidung, doksologi, doa, dan gaya sastra yang umum terdapat dalam Kitab Suci dan percakapan pada waktu itu.”

      Yang Ketiga, keempat penginjil yang menuliskan ajaran para rasul, dengan menggunakan metode-metode yang terbaik bagi para pembaca khusus mereka dan yang terutama bagi seluruh gereja:

Dari berbagai unsur yang ada pada mereka, mereka menyampaikan sebagian, membuat ikhtisar dari yang lain, dan juga mengembangkan yang lain lagi sesuai dengan kebutuhan berbagai jemaat. Mereka menggunakan setiap cara yang mungkin untuk menjamin pembaca mereka mendapatkan kebenaran dari segala yang diajarkan kepada mereka. Dari bahan yang tersedia para Penginjil memilah hal-hal yang paling cocok bagi maksud khusus dan kondisi pembaca tertentu. Dan mereka mengisahkan peristiwa-peristiwa itu dengan cara yang paling memuaskan maksud mereka dan situasi khusus khalayak mereka. (Sancta Mater Ecclesia II)

 


Berdasarkan ketiga pola tradisi ini, kita dapat mengetahui bagaimana dan mengapa ada perbedaan-perbedaan di antara keempat Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes]. Perbedaan yang tampak itu adalah berhubungan dengan maksud dari para Penginjil. Tugas kita selaku pembaca adalah memahami semua faktor yang relevan yang terkait dengan asal mula dan penulisan Injil-injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] dengan memerhatikan maksud para Penginjil. Harus kita ingat bahwa ajaran Yesus tidak hanya disimpan dan disampaikan supaya diingat saja; ajaran itu diajarkan: “Maka penafsir, dengan memeriksa kesaksian para Penginjil berulang kali niscaya akan dapat menjelaskan dengan lebih baik nilai teologis yang tak terperikan dari Injil-injil serta pentingnya dan perlunya penafsiran Gereja.” (Sancta Mater Ecclesia,II) (KGK 109-119). 

 

III. INJIL-INJIL YANG NON-KANONIK

Selain dari keempat Injil yang diilhami [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], ada banyak injil-injil apokrip yang ditemukan tersebar di abad-abad pertama Gereja (bdk Luk 1:1-4). Injil-injil yang tidak kanonik ini menyolok karena gaya sastranya yang sering falmboyan, mengandung ajaran yang sungguh berbeda entah yang sangat Yahudi entah Gnostis hingga bersifat bidat dan kontras dengan ajaran autentik dari keempat Injil [kanonik]; mereka juga berasal dari masa yang berbeda, dari abad pertama hingga abad keempat. Keempat Injil kanonik [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] diakui sejak awal berasal dari para rasul; sementara itu banyak injil-injil apokrip “menyatakan diri” dikarang oleh rasul-rasul, tetapi pernyataan itu ditolak Gereja awal. Para ahli modern memastikan asal-usul yang tidak jelas dari kebanyakan dokumen ini. Di antara injil-injil apokrip itu yang banyak dikenal adalah:

Injil Ebion Basiliades

Injil Menurut Orang-orang Mesir

Injil Hawa

Injil Menurut Orang-orang Ibrani

Injil Marcion

Injil Mattia

Injil Nikodemus (Kisah Pilatus)

Injil Petrus

Injil Filipus

Injil Teleiseos

Injil Tomas

Injil Kedua Belas Rasul

Injil Valentinus

Injil Yudas

Proto-injil Yakobus