Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Hermeneutik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hermeneutik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Desember 2022

SPIRITUALITAS INKARNASI

Tiga hari lagi Hari Natal Kelahiran Tuhan Yesus. Saya membarui spiritualitas dengan bacaan renungan tentang Inkarnasi.



Kita menentukan waktu, masa, dalam kaitan dengan kelahiran Yesus. Kita mengetahui suatu masa dari imbuhan seperti Seb.M atau M, yang menunjukkan apakah sesuatu peristiwa terjadi sebelum atau sesudah kelahiran Yesus Kristus, sang Mesias, atau Masehi. Seluruh dunia melakukan ini.* Ada alasan-alasan di luar yang bersifat religius mengapa demikian. Yang jelas, fakta bahwa seluruh dunia mencatat waktu [untuk keperluan resmi, sekalipun disebut oleh kaum sekular Common Era] sehubungan dengan kelahiran Yesus menunjukkan sesuatu tentang pentingnya Yesus.

Bagi kita yang umat Kristiani, waktu jelas ditentukan dengan saat kelahiran Yesus. Bagi kita, Yesus adalah pusat segalanya: makna diri kita, harapan kita, pengertian kita akan diri sendiri, kehidupan gereja kita, teologi kita, dan spiritualitas kita. Dialah pedoman kita dalam pemuridan.

            Spiritualitas berkenaan dengan bagaimana secara kreatif kita menertibkan energi yang ganas yang ditempatkan dalam dan mengalir dari diri kita. Spiritualitas yang baik memerlukan tata tertib disiplin tertentu (seperti dalam pemuridan). Seorang murid adalah seseorang yang melakukan tata tertib disiplin tertentu. Yesus membeberkan disiplin (ajaran) tertentu untuk menyalurkan berbagai energi secara kreatif. Namun yang dilakukan-Nya lebih dari itu, dan Dia sendiri lebih dari itu juga.

            Siapakah Yesus Kristus? Seandainya Yesus sendiri membuat suatu survai saat ini kepada kita secara pribadi dan mengajukan pertanyaan yang dulu pernah diajukannya kepada Petrus: “Menurut kamu siapakah Aku ini?” Ia niscaya mendapat macam-ragam jawaban yang amat luas. Siapa sebenarnya Yesus bagi kita? Seorang tokoh sejarah, seorang Allah-manusia, seorang pengajar moral yang hebat, seorang filsuf, suatu gereja, suatu dogma, sosok yang saleh, semacam klenik, seorang super-Santa yang mitis, seorang dewa keluarga? Siapa sesungguhnya Yesus bagi kita?

            Sebagai orang Kristiani kita sekurangnya mempunyai kesamaan dalam hubungan dengan Yesus. Kita kagum kepada-Nya. Soren Kierkegaard pernah menyatakannya namun itu tidak cukup. Yang dikehendaki Yesus dari kita bukanlah kekaguman, namun  Dia ingin kita menjadi seperti Dia. Adalah lebih mudah untuk mengagumi tokoh-tokoh moral dan keberanian yang besar dari pada mencontoh apa yang mereka lakukan. Kekaguman saja sesuatu lemah. Mencontoh, meniru adalah lebih penting, walaupun kita juga ingin lebih dari sekedar meniru Yesus. Dia lebih dari sekedar suatu model untuk ditiru. Maka yang dikehendaki Yesus bukan kekaguman, bukan juga sekedar peniruan belaka (sekali pun tak ada seorangpun juga yang dapat meniru Yesus dengan sangat baik!). Yang dikehendaki Yesus dari kita adalah menyertai kehadiran-Nya sedemikian hingga meresap masuk dalam suatu komunitas hidup dan ibadat bersama dengan Dia. Yesus, seperti yang dikatakan oleh John Sea, bukanlah suatu hukum yang harus ditaati atau suatu model yang yang harus ditiru, melainkan suatu kehadiran yang harus dirangkul dan diwujudkan.[i] 

            Menyertai Yesus niscaya menjadi pusat dari setiap spiritualitas Kristiani. Di dalam spiritualitas Kristiani, jauh sebelum kita bicara tentang hal-hal yang lain (gereja, dogma, perintah, bahkan seruan untuk melaksanakan kasih dan keadilan), kita pertama-tama tentu bicara tentang Yesus, pribadinya, energinya, yang melandasi segala sesuatu yang lainnya; semua yang lain hanyalah cabang-cabang, ranting atau carang saja. Yesus adalah pokok anggur, darah, pulsa dan jantungnya. Namun bagaimana caranya mengenal Yesus? Gampangnya, ada sekitar lima ratus buku teologi yang serius yang telah ditulis orang tentang Yesus dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Di sini bukan maksudnya untuk membuat ikhtisar dari semua buku itu, namun bagaimana menempatkan Yesus dalam situasi kita dan sikap sebagai murid yang dikehendaki-Nya dari kita di dalam konteks misteri sentral dari Kristianitas, yaitu Inkarnasi, misteri Sabda yang menjadi manusia.

            Yesus dan sikap sebagai murid yang diharapkanNya dari kita, dengan sangat baik dinyatakan dalam satu frasa: Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14).[ii]

 

Misteri pusat di dalam semua Kristianitas yang mendasari semua yang lain adalah misteri Inkarnasi. Sayangnya, misteri itu justru merupakan misteri yang paling  kurang dipahami. Yang mau dikatakan adalah bahwa pemahaman kita tentang makna Inkarnasi hanya meraup seujung kecil saja dari permukaan suatu gunung es [yang sebagian besarnya masih tersembunyi di bawah air laut]. Kita tak dapat menangkap maknanya karena kita tidak dapat melihat seberapa besarnya gunung es itu.

            Pada umumnya kita memikirkan Inkarnasi begini: Pada mulanya, Allah menciptakan dunia dan segala isinya, termasuk menciptakan manusia. Tetapi manusia lalu berdosa (dosa asal) dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Allah dengan segala kebaikan dan kerahiman-Nya lalu memutuskan untuk menyelamatkan manusia kendati manusia itu berdosa. Maka Allah menyiapkan suatu umat melalui para bapa bangsa dan para nabi. Melalui mereka Allah berangsur-angsur menyiapkan umat-Nya itu (Kitab-Suci Yahudi). Pada akhirnya, ketika tiba waktunya, Allah mengutus Putera-Nya sendiri, Yesus, yang dilahirkan di Palestina dua ribu tahun yang lalu. Yesus adalah Allah, tetapi Dia juga sepenuhnya manusia. Dia mempunyai dua hakekat: sungguh Allah, sungguh manusia. Dia mewahyukan hakekat ke-Allah-an-Nya, mengajarkan berbagai kebenaran besar, menyembuhkan orang, melakukan mujizat, namun akhirnya Dia mendapat tuduhan palsu, ditangkap, disalibkan dan mati. Dia bangkit tiga hari berikutnya, dan dalam empat puluh hari berkali-kali Ia menampakkan diri kepada para pengikut-Nya. Pada akhirnya, setelah para murid-Nya makin menyesuaikan diri dengan realitas kebangkitan-Nya, Yesus membawa mereka ke kaki bukit di luar Yerusalem, memberkati mereka dan secara fisik naik ke surga.

            Dalam konsep ini, Tuhan melawat ke bumi secara fisik selama tiga-puluh-tiga tahun, dan kemudian pulang kembali ke surga, meninggalkan Roh Kudus bagi kita, yaitu kehadiran Allah yang tidak secara fisik. Tubuh fisik Kristus, Sabda yang menjadi manusia, sudah tinggal bersama kita selama tiga-puluh-tiga tahun itu, dan kini berada di surga.

            Apa yang salah di sini? Konsep ini benar – dalam bahasanya sendiri yang indah dan penuh dengan lambang – dalam banyak hal: dosa kita, kerahiman Allah, Tuhan yang datang secara fisik ke bumi. Yang salah adalah kesan yang ditimbulkannya bahwa Inkarnasi itu adalah pengalaman tiga puluh tahun, suatu kunjungan pendek dari Allah dalam sejarah manusia. Di dalam versi ini, Allah telah menjadi manusia secara fisik dan kemudian, setelah tiga puluh tahun, pulang kembali lagi ke surga.  Digunakan kalimat masa lalu (“telah”) untuk Inkarnasi itu, dan itu adalah pemahaman yang kurang tepat dan berbahaya. Sesungguhnya Inkarnasi masih terus berlangsung dan sama nyatanya dan secara fisik sama radikalnya dengan ketika Yesus dari Nasaret, dengan tubuh-Nya, mondar-mandir di jalan-jalan di Palestina. 

Misteri Inkarnasi bila dikatakan dengan sederhana adalah misteri tentang Allah yang mengambil rupa manusia dan berhubungan dengan manusia dengan cara yang tampak dan dapat dicerap dengan indera. Namun karena sifatnya yang radikal pernyataan ini memerlukan semacam penjelasan, terutama dalam kaitan dengan tiga hal: mengapa Allah bertindak dengan cara demikian; tindakan semacam ini sangat mengguncangkan; dan tindakan ini berlangsung terus, bukan bersifat sekali-lalu-selesai.

Mengapa Inkarnasi

Mengapa Tuhan menghendaki mengambil rupa manusia? Mengapa Dia yang mahakuasa tanpa batas berkenan menempatkan diri dalam sejarah manusia dan tubuh manusia yang terbatas? Mengapa ber-Inkarnasi?

            Ada suatu cerita yang bagus mengisahkan seorang anak perempuan berumur empat tahun yang bangun di tengah malam dengan ketakutan, karena yakin bahwa dalam kegelapan di sekitarnya ada segala macam hantu dan monster. Karena sendirian dan ketakutan, ia lari ke kamar kedua orang tuanya. Ibunya menenangkan anak itu, menyalakan lampu dan berusaha meyakinkan anak itu dengan kata-kata ini: “Kamu tak perlu takut, kamu tidak sendirian di sini. Tuhan ada di dalam kamar ini bersama dengan kita.” Anak perempuan itu menjawab: “Aku tahu bahwa Tuhan ada di sini, tetapi aku memerlukan seseorang di dalam kamar ini yang punya semacam kulit!”

            Pada hakekatnya, cerita itu memberikan kepada kita suatu alasan bagi Inkarnasi, dan suatu definisi yang sangat bagus tentang Inkarnasi itu. Tuhan menjadi manusia karena seperti gadis cilik itu, kita semua memerlukan seseorang yang menyertai kita dan punya semacam kulit. Tuhan yang berada di mana-mana dengan gampang juga bisa dikatakan tidak ada di mana-mana. Kita percaya kepada apa yang dapat kita sentuh, kita lihat, kita dengar, kita cium baunya, dan kita rasakan. Kita bukan malaikat yang tidak punya tubuh, melainkan mahluk yang diberi indera, sensual dalam arti kata yang sebenarnya, punya sensualitas (daya-daya inderawi). Kita punya panca indera, kelima indera, dan kita berada di dunia ini melalui seluruh indera itu. Kita tahu sesuatu dari indera itu, melakukan komunikasi dengan indera itu, terbuka satu sama lain dan kepada dunia hanya melalui indera itu. Dan Allah berhubungan dengan kita melalui indera-indera kita. Yesus yang mondar-mandir di jalan-jalan Palestina dapat dilihat, disentuh, dan didengar. Di dalam Inkarnasi itu Tuhan mengambil rupa manusia, menjadi fisik, karena kita adalah mahluk yang punya indera, dan pada titik tertentu memerlukan seorang Tuhan yang punya kulit.

            Nikos Kazantzakis* suatu ketika menjelaskan soal ini dengan memberikan suatu perumpamaan:

 Ada seseorang yang datang kepada Yesus dan mengeluh tentang Allah yang tersembunyi. “Rabbi”, katanya, “saya sudah tua. Sepanjang hidup saya, saya selalu melaksanakan perintah Allah. Setiap tahun saya pergi ke Yerusalem dan mempersembahkan kurban sajian yang diwajibkan. Setiap malam selama hidup saya ini, saya tak pernah berangkat tidur tanpa berdoa lebih dahulu. Tetapi... saya melihat bintang-bintang dan kadang-kadang memandang gunung – dan terus menunggu, menunggu terus kedatangan Tuhan sehingga saya dapat melihat Dia. Saya terus menunggu selama bertahun-tahun dengan sia-sia. Mengapa? Mengapa? Keluhan saya ini sungguh berat saya rasakan, Rabbi? Mengapa Tuhan tidak juga menunjukkan diri-Nya sendiri?

   Yesus tersenyum dan menjawab dengan lembut: “Pada suatu ketika ada sebuah singgasana marmer di gapura timur suatu kota besar. Pada singgasana ini sudah duduk 3000 raja. Semuanya mengharapkan Tuhan agar menampakkan diri supaya mereka dapat melihat Dia, tetapi semuanya mati dan dimakamkan membawa harapan mereka yang tidak terpenuhi.

   Kemudian setelah para raja itu mati, seorang yang miskin, bertelanjang kaki dan kelaparan datang dan duduk di singgasana itu. ‘Ya, Tuhan,’ katanya, ‘mata manusia tidak dapat melihat langsung pada matahari, karena sinarnya dapat membutakan mereka. Bagaimana mungkin mereka itu dapat tahan memandang Dikau, o Yang Mahakuasa? Berkasihanilah kiranya, ya Allah, kecilkanlah kuasa-Mu, lembutkanlah cahaya-Mu yang begitu gemilang agar saya yang malang dan rindu pada-Mu dapat melihat Dikau!’

   Maka dengarkanlah, orang tua – Tuhan menjadi sepotong roti, secangkir air sejuk, sepotong jubah yang hangat, sebuah pondok, dan di depan pondok itu seorang ibu sedang menyusui bayinya.”

   “Terima kasih, ya Tuhan,” bisik lelaki tua itu. “Engkau telah berkenan merendahkan diri-Mu demi saya. Engkau menjadi roti bagi saya, menjadi secangkir air, sepotong jubah dan seorang isteri dan seorang anak supaya dapat memandang Dikau. Dan saya sungguh melihat Dikau. Saya bertelut di hadapan-Mu dan menghormati wajah-Mu dalam sejuta rupa yang terkasih.”[iii]

 

Allah menjadi manusia agar setiap rumah menjadi suatu gereja, setiap anak menjadi anak-Allah, dan semua makanan dan minuman menjadi sakramen. Wajah Allah yang berjuta rupa itu kini ada di mana-mana, dalam rupa daging, begitu lembut dan rendah hati, agar setiap mata manusia dapat memandang-Nya. Tuhan dalam jutaan rupa ini lalu bisa dihubungi dan tampak, sedekat keran air yang dapat dijangkau. Itulah alasannya mengapa Dia ber-Inkarnasi.

 

Sifat fisik Inkarnasi yang Mengguncangkan

Inkarnasi mengguncangkan jika dipandang dari sifat fisik semata-mata. Kata bahasa Inggris “incarnation” (inkarnasi) berasal dari akar kata Latin “carnus”, yang berarti daging, daging fisik. Namun ungkapan bahasa Latin seperti halnya bahasa Inggris, bukanlah kata yang bersifat Platonis (dalam arti di-ideal-kan, atau diberi muatan keluhuran). Tidak ada sifat spiritual dalam kata itu. Kata itu menekankan, sebagaimana kata turunannya dalam bahasa Inggris (carnality: kedagingan, carnal: nafsu badaniah, carnivorous: yang makan daging), tubuh dalam bentuknya yang kasar, mentah-mentah (belum diolah, didandani), fisik sebagaimana adanya. Incarnation berarti dalam daging, atau secara harafiah menjadi daging fisik.

            Biasanya kita tidak merasa kesulitan menerima Yesus dalam cara ini, namun sekalipun begitu kita lalu sering meragukan pemikiran akan tubuh Yesus sebagai yang fana, yang seksual, bisa sakit, berbau dan mengalami berbagai proses ragawi yang lebih rendah. Kemudian masalahnya jadi makin nyata, seperti yang akan kita lihat nanti, yaitu bahwa kita tidak bisa membayangkan realitas ragawi itu kepada keseluruhan Tubuh Kristus, yaitu Ekaristi dan (Gereja) umat beriman.[iv]

Terus Berlangsung

Akhirnya, sifat yang kritis penting adalah masalah hakekat Inkarnasi yang terus berlangsung. Inkarnasi bukanlah suatu eksperimen tiga puluh tiga tahun Tuhan berada dalam sejarah, suatu yang bersifat “sekali peristiwa”, kehadiran fisik Tuhan dalam hidup kita. Inkarnasi bermula dengan Yesus dan hal itu tidak pernah berhenti. Kenaikan Yesus ke surga tidak mengakhiri dan juga tidak mengubah dasar-dasar dari Inkarnasi. Tubuh fisik Tuhan tetap ada di antara kita. Tuhan selalu hadir saat ini secara fisik dan nyata sebagaimana Dia dulu di dalam Yesus sejarah. Tuhan tetap punya kulit insani dan secara fisik melawat dunia seperti yang dilakukan Yesus. Dalam arti tertentu, perkataan bahwa pada waktu kenaikan ke surga, Tubuh fisik Yesus meninggalkan dunia ini adalah benar, tetapi Tubuh Kristus tidak demikian. Kehadiran inkarnasi Tuhan di antara kita terus berlanjut seperti dahulu.

            Kunci pembedanya mula-mula adalah “Kristus”, yang sebagaimana kita  ketahui, bukanlah nama keluarga Yesus. Ketika kita menyebut nama “Yesus Kristus”, cara kita lain dengan ketika kita menyebut nama misalnya “Susan [yang adalah puteri dari Pak] Parker” [= Nola Siregar, Vivian Sumanti, Pretty Pattinasarane) atau pun “Jack [putra keturunan] Smith” [=Alex Marbun, Bernard Waworuntu, Robby Beding). Soalnya Yesus tidak punya nama keluarga. Kristus adalah sebuah gelar, yang menunjukkan Dia yang diurapi oleh Allah, yaitu Mesias yang ada di dunia. Kitab Suci menggunakan ungkapan “Tubuh Kristus” untuk tiga arti, yaitu: Yesus, pribadi historis yang pernah ada di dunia selama tiga puluh tiga tahun; Ekaristi, yang merupakan kehadian fisik Tuhan di antara kita; dan badan kaum beriman, yaitu Gereja, yang juga merupakan kehadiran nyata dari Tuhan. Menyebutkan kata “Kristus” dengan demikian kita serentak merujuk kepada Yesus, Ekaristi dan komunitas kaum beriman atau Gereja.

            Kita adalah Tubuh Kristus. Ini bukan suatu ungkapan yang berlebihan, juga bukan suatu kiasan.[v] Menyatakan bahwa badan persekutuan kaum beriman atau Gereja adalah Tubuh Kristus sama saja dengan menyatakan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci. Sebab Kitab Suci, terutama tulisan-tulisan Paulus, tidak pernah menyatakan bahwa badan persekutuan kaum beriman (Gereja) menggantikan tubuh Kristus, juga bukan merupakan perwakilan dari Tubuh Kristus, bahkan bukan Tubuh Kristus yang mistik. Yang dikatakan hanyalah : “Kita adalah Tubuh Kristus.”[vi]

            Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda di dalam berusaha mengartikan perkataan Paulus ini.[vii] Jika dia mengatakan bahwa kita adalah Tubuh Kristus, apakah ini merupakan badan hukum (corporate) ataukah badan jasmaniah? Apakah kita ini Tubuh Kristus seperti suatu bebadan kelompok yang dijiwai oleh suatu semangat yang sama (misalnya Yesuit)? Atau, apakah kita ini suatu tubuh seperti yang dimaksudkan dengan tubuh organisme fisik? Dengan semacam kriteria (dan tentu saja di sini pun ada beberapa kekecualian) pada ahli Kitab Suci sepakat bahwa yang dimaksudkan adalah seperti yang terakhir itu (tubuh organisme fisik). Badan persekutuan kaum beriman, seperti Ekaristi, adalah Tubuh Kristus yang organik. Bukan suatu badan hukum, tetepi suatu tubuh; bukan suatu realitas mistik, tetapi tubuh fisik; dan bukan sesuatu yang mewakili Kristus, tetapi sesuatu yang adalah Dia.[viii]

            Ini mempunyai implikasi yang besar. Sebab dengan demikian lalu Inkarnasi itu tidak berarkhir sesudah tiga-puluh-tiga tahun ketika Yesus naik ke surga. Tuhan masih berada di sini, dalam daging, baik secara nyata maupun secara fisik, sebagaimana Allah dalam Yesus. Sang Sabda bukannya telah pernah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, tetapi menjadi manusia dan terus tinggal di antara kita. Dalam persekutuan kaum beriman dan dalam Ekaristi, Tuhan punya kulit fisik dan secara fisik masih bisa dilihat, disentuh, dicium baunya, didengar dan dirasakan.

            Ini bukanlah hanya sekedar suatu kebenaran teologi, suatu dogma untuk diyakini. Namun ini merupakan suatu inti dari spiritualitas Kristiani. Jika benar kita ini Tubuh Kristus, maka selanjutnya kehadiran Tuhan di dunia dewasa ini sangat bergantung pada kita. Kita harus menghadirkan Tuhan di dunia dengan cara yang sama dengan yang dilakukan Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Santa Teresa dari Avila, kita harus menjadi tangan Tuhan, menjadi kaki Tuhan, menjadi mulut-Nya dan menjadi hati-Nya bagi dunia ini. Ahli Kitab Suci Jerome O’Connor membuat ikhtisar pentingnya hal ini, walaupun tidak sesederhana yang dikatakan Santa Teresa, namun sangat akurat:

Komunitas merupakan pengantara Kristus bagi dunia. Sabda yang dikatakan-Nya tidak didengar oleh orang-orang dari zaman kita jika tidak diwartakan oleh komunitas kita. Kuasa yang mengalir dari-Nya untuk memungkinkan tanggapan tidak akan efektif jika tidak diwujudkan dalam komunitas. Sebagaimana Allah telah bertindak melalui Kristus, maka Dia kini juga bertindak melalui mereka yang selaras dengan citra Putera-Nya dan yang perilakunya terpola menurut teladan-Nya. Apa yang dilakukan Kristus di dalam dan untuk dunia dulu melalui kehadiran fisik-Nya, kini dilakukan komunitas di dalam dan untuk dunianya... Untuk melanjutkan karya keselamatan dari Kristus yang telah Dibangkitkan niscaya akan efektif terwujudkan dalam konteks kehadiran yang nyata dengan suatu otensitas yang modelnya dibuat berdasarkan Kristus.[ix]

 

Apakah yang membedakan seorang yang percaya kepada Kristus dengan dia yang hanya percaya kepada Allah? Apa yang ditambahkan Kristus kepada Allah? Apa lebihnya menjadi orang Kristiani dibanding dengan mereka yang berTuhan?

            Perbedaannya sungguh besar, bukan hanya di dalam teologi, namun terutama di dalam spiritualitasnya, yaitu dalam cara yang dituntut dari kita untuk menghayati kehidupan iman kita. Seorang yang berTuhan percaya kepada Allah. Tetapi seorang Kristiani selain percaya kepada Allah, juga percaya kepada Allah yang menjadi manusia. Apa bedanya? Jika menggunakan bahasa orang biasa, dapatlah dikatakan bahwa seorang yang berTuhan percaya kepada Allah di surga, sedangkan seorang Kristiani percaya kepada Allah di surga yang secara fisik juga hadir di dunia dalam rupa manusia. Allah bagi kaum yang berTuhan adalah transenden, atau jika tidak sepenuhnya demikian, hadir secara samar-samar. Allah bagi umat Kristiani juga transenden, namun juga tersembunyi, namun sekali gus punya tubuh fisik di dunia. Allah bagi umat Kristiani dapat dilihat, dapat didengar, dapat dirasakan, dapat dicerap, dan tercium aromanya, melalui indera-indera. Bagi orang Kristiani, Allah punya kulit.

            Allah bagi umat Kristiani adalah in-carnus, di dalam daging di dunia ini. Ini mungkin serasa abstrak bagi kita, namun implikasinya mewarnai setiap aspek dari cara kita untuk berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan satu sama lain – sejauh mana kita berdoa, bagaimana kita mengusahakan kesembuhan dan rekonsiliasi, bagaimana kita mencari bimbingan, dan bagaimana kita memahami komunitas, pengalaman dan misi keagamaan. Namun hal ini membutuhkan pengungkapan. Maka marilah kita melihat apa maksudnya secara konkret kita percaya kepada Inkarnasi sesuai dengan spiritualitas.

 


               * Penulis dan filsuf dari Yunani yang terbesar di abad ke-20 (1883-1957).



[i] John Sea, Stories of Faith, Chicago, Thomas More Press, 1980. Komentar yang dikutip di sini merupakan tesis dari buku ini dan buku sebelumnya, Stories of God – An Unauthorized Biography, Chicago, Thomas More Press. Namun untuk komentar yang tepat tentang cara menyertai yang berbeda dari mengagumi dan menirukan, lihat bagian pertama dari Stories of Faith.

 

[ii] Perhatikan kata tinggal  dalam kalimat masa sekarang, walaupun biasanya kalimat itu diterjemahkan dalam kalimat masa lampau. Walaupun secara linguistis teknis  hal itu tidak tepat, tetapi penggunaan kalimat masa kini lebih tepat mengungkapkan apa yang disampaikan Yohanes – karena ia menggunakan kalimatnya itu untuk menunjukkan suatu tindakan yang dimulai pada suatu titik yang jelas di masa lampau dan terus berlanjut hingga sekarang. Karena itu kalimat itu dapat juga diterjemahkan: “Sabda itu telah mulai untuk menjadi manusia.”

 

[iii] Nikos Kazantzakis, The Last Tempation of Christ, New York, Simon & Schuster, 1960 hal 189dst.

 

[iv] Tentang gambaran yang brilyan bagaimana segi yang fisik duniawi dari Inkarnasi ini sungguh mengguncangkan, lihat uraian yang diberikan oleh Graham Greene mengenai pengalaman tokoh Sarah Miles dalam novel karya Greene, The End of the Affair, London, Penguin Books, 1951, hal 109-112.

 

[v] Paus Pius XII ketika menyampaikan Surat Ensiklik tentang Tubuh Kristus, Mystici Corporis Christi, pada tahun 1943 diberitakan berkata: “Jika menjelaskan misteri tentang Tubuh Kristus janganlah takut bahwa berlebihan, karena tidaklah mungkin kita berlebihan melebihi misteri yang sangat agung itu.” 

 

[vi] Teks yang eksplisit adalah 1 Kor 12:27 dan 1 Kor 6:15, namun gagasan pokoknya ada di mana-mana dalam ajaran Yesus dan di dalam ajaran Perjanjian Baru sebagai keseluruhan.

 

[vii] Maka perlu ada catatan yang panjang untuk ini. Tidak ada consensus di antara para ahli tentang maksud yang sebenarnya secara tepat dari Paulus ini, dan dari Perjanjian Baru pada umumnya, untuk memahami perkataan ini. John A.T. Robinson misalnya memahami makna literer dari Paulus sebagai berikut:

                              Sesuatu yang bukan “corporate” (kata benda yang merujuk pada suatu badan hukum), tetapi “corporeal” (kata sifat, yang berarti badaniah, jasmaniah) .... untuk menyatakan bahwa gereja adalah Tubuh Kristus bukan sebagai kiasan, tetapi setara dengan mengartikan daging dari Inkarnasi Yesus, atau pun roti Ekaristi adalah Tubuh Kristus. Dalam ketiga hal itu mereka bukanlah sekedar “seperti” Tubuh Kristus (Paulus tidak pernah mengatakan demikian): masing-masing adalah Tubuh Kristus, dalam arti bahwa masing-masing merupakan kelengkapan fisik dan perluasan dari Pribadi dan Hidup yang sama. Mereka merupakan ungkapan dari Kristologi yang satu. Adalah nyaris mustahil secara berlebihan menyatakan bahwa materialisme dan kelugasan ajaran Paulus mengenai gereja adalah sama dengan Tubuh Kristus yang dibangkitkan... Tubuh yang dikenangkannya adalah konkret dan satu sebagaimana Tubuh dalam Inkarnasi. Konsepsi dasarnya bukan suatu bentuk kolektif supra-personal, tetapi suatu organisme personal yang unik. (The Body: A Study in Pauline Theology, London, SCM Press, 1966, hal 50-51).

                              Sekalipun demikian beberapa ahli akan memandang pendapat Robinson ini sebagai tafsiran yang terlalu bersifat fisik. Robert Gundry dalam Soma in Biblical Theology – With Emphasis on Pauline Anthropology (Cambridge University Press, London, 1976) menerima pokok pandangan Robinson bahwa kata-kata Paulus ini bukanlah kiasan, namun baginya Robinson melangkah terlalu jauh. Kemudian ia menyampaikan suatu survai kritis atas semua pandangan atau pendapat.

 

[viii] Untuk suatu keseimbangan teologis tentang hal ini, lihat Jerome Murphy-O’Connor, Becoming Human Together (Wilmington, Del., Michael Glazier Press, 1977). O’Connor memeriksa berbagai pendirian dan memberi kesimpulan dengan berkata, lepas dari nuansa teologis yang setepatnya, apa yang diajarkan Paulus adalah bahwa Kristus dan komunitas kaum beriman melaksanakan fungsi-sungsi yang sama. Lihat hal 202-203.

 

[ix] Idem hal 203.



               * Dengan tanda yang berlainan menurut bahasanya, semisal BC, av.J.C., (Before Christ, avant  Jesus-Christ), A.D., C.E., apr. J.C. (Anno Domini, Christian Era – yang oleh kaum sekular diubah menjadi Common Era, dan après Jesus-Christ) dll. Namun hendaknya disadari bahwa kata-kata ini terutama dimaksudkan untuk dunia budaya Yudeo-Kristiani, dan hal ini juga tidak mengabaikan bahwa di dunia ini ada sebagian juga yang menggunakan petunjuk waktu Islam tahun Hijriah (H) dan penanggalan Cina.