Tiga hari lagi Hari Natal Kelahiran Tuhan Yesus. Saya membarui spiritualitas dengan bacaan renungan tentang Inkarnasi.
Kita menentukan waktu, masa, dalam kaitan dengan kelahiran Yesus. Kita mengetahui suatu masa dari imbuhan seperti Seb.M atau M, yang menunjukkan apakah sesuatu peristiwa terjadi sebelum atau sesudah kelahiran Yesus Kristus, sang Mesias, atau Masehi. Seluruh dunia melakukan ini.* Ada alasan-alasan di luar yang bersifat religius mengapa demikian. Yang jelas, fakta bahwa seluruh dunia mencatat waktu [untuk keperluan resmi, sekalipun disebut oleh kaum sekular Common Era] sehubungan dengan kelahiran Yesus menunjukkan sesuatu tentang pentingnya Yesus.
Bagi kita yang umat Kristiani,
waktu jelas ditentukan dengan saat kelahiran Yesus. Bagi kita, Yesus adalah
pusat segalanya: makna diri kita, harapan kita, pengertian kita akan diri
sendiri, kehidupan gereja kita, teologi kita, dan spiritualitas kita. Dialah
pedoman kita dalam pemuridan.
Spiritualitas berkenaan dengan bagaimana secara kreatif kita
menertibkan energi yang ganas yang ditempatkan dalam dan mengalir dari diri kita. Spiritualitas yang baik memerlukan tata tertib disiplin tertentu (seperti dalam
pemuridan). Seorang murid adalah seseorang yang melakukan tata tertib disiplin
tertentu. Yesus membeberkan disiplin (ajaran) tertentu untuk menyalurkan
berbagai energi secara kreatif. Namun yang dilakukan-Nya lebih dari itu, dan
Dia sendiri lebih dari itu juga.
Siapakah
Yesus Kristus? Seandainya Yesus sendiri membuat suatu survai saat ini kepada
kita secara pribadi dan mengajukan pertanyaan yang dulu pernah diajukannya
kepada Petrus: “Menurut kamu siapakah Aku ini?” Ia niscaya mendapat macam-ragam
jawaban yang amat luas. Siapa sebenarnya Yesus bagi kita? Seorang tokoh
sejarah, seorang Allah-manusia, seorang pengajar moral yang hebat, seorang
filsuf, suatu gereja, suatu dogma, sosok yang saleh, semacam klenik, seorang
super-Santa yang mitis, seorang dewa keluarga? Siapa sesungguhnya Yesus bagi
kita?
Sebagai
orang Kristiani kita sekurangnya mempunyai kesamaan dalam hubungan dengan Yesus.
Kita kagum kepada-Nya. Soren Kierkegaard pernah menyatakannya namun itu tidak
cukup. Yang dikehendaki Yesus dari kita bukanlah kekaguman, namun Dia ingin kita menjadi seperti Dia. Adalah
lebih mudah untuk mengagumi tokoh-tokoh moral dan keberanian yang besar dari
pada mencontoh apa yang mereka lakukan. Kekaguman saja sesuatu lemah. Mencontoh,
meniru adalah lebih penting, walaupun kita juga ingin lebih dari sekedar meniru Yesus. Dia lebih dari sekedar suatu model
untuk ditiru. Maka yang dikehendaki Yesus bukan kekaguman, bukan juga
sekedar peniruan belaka (sekali pun tak ada seorangpun juga yang dapat
meniru Yesus dengan sangat baik!). Yang dikehendaki Yesus dari kita adalah
menyertai kehadiran-Nya sedemikian hingga meresap masuk dalam suatu komunitas
hidup dan ibadat bersama dengan Dia. Yesus, seperti yang dikatakan oleh John
Sea, bukanlah suatu hukum yang harus ditaati atau suatu model yang yang harus
ditiru, melainkan suatu kehadiran yang harus dirangkul dan diwujudkan.[i]
Menyertai
Yesus niscaya menjadi pusat dari setiap spiritualitas Kristiani. Di dalam
spiritualitas Kristiani, jauh sebelum kita bicara tentang hal-hal yang lain (gereja, dogma, perintah, bahkan seruan untuk melaksanakan kasih dan keadilan),
kita pertama-tama tentu bicara tentang Yesus, pribadinya, energinya, yang
melandasi segala sesuatu yang lainnya; semua yang lain hanyalah
cabang-cabang, ranting atau carang saja. Yesus adalah pokok anggur, darah,
pulsa dan jantungnya. Namun bagaimana caranya mengenal Yesus? Gampangnya, ada
sekitar lima ratus buku teologi yang serius yang telah ditulis orang tentang
Yesus dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Di sini bukan maksudnya untuk
membuat ikhtisar dari semua buku itu, namun bagaimana menempatkan Yesus
dalam situasi kita dan sikap sebagai murid yang dikehendaki-Nya dari kita di
dalam konteks misteri sentral dari Kristianitas, yaitu Inkarnasi, misteri Sabda
yang menjadi manusia.
Yesus
dan sikap sebagai murid yang diharapkanNya dari kita, dengan sangat baik
dinyatakan dalam satu frasa: Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara
kita (Yoh 1:14).[ii]
Misteri pusat di dalam semua
Kristianitas yang mendasari semua yang lain adalah misteri Inkarnasi.
Sayangnya, misteri itu justru merupakan misteri yang paling kurang dipahami. Yang mau
dikatakan adalah bahwa pemahaman kita tentang makna Inkarnasi hanya
meraup seujung kecil saja dari permukaan suatu gunung es [yang sebagian
besarnya masih tersembunyi di bawah air laut]. Kita tak dapat menangkap
maknanya karena kita tidak dapat melihat seberapa besarnya gunung es itu.
Pada
umumnya kita memikirkan Inkarnasi begini: Pada mulanya, Allah menciptakan dunia
dan segala isinya, termasuk menciptakan manusia. Tetapi manusia lalu berdosa
(dosa asal) dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Allah dengan segala
kebaikan dan kerahiman-Nya lalu memutuskan untuk menyelamatkan manusia kendati
manusia itu berdosa. Maka Allah menyiapkan suatu umat melalui para bapa bangsa
dan para nabi. Melalui mereka Allah berangsur-angsur menyiapkan umat-Nya itu
(Kitab-Suci Yahudi). Pada akhirnya, ketika tiba waktunya, Allah mengutus
Putera-Nya sendiri, Yesus, yang dilahirkan di Palestina dua ribu tahun yang
lalu. Yesus adalah Allah, tetapi Dia juga sepenuhnya manusia. Dia mempunyai dua
hakekat: sungguh Allah, sungguh manusia. Dia mewahyukan hakekat
ke-Allah-an-Nya, mengajarkan berbagai kebenaran besar, menyembuhkan orang,
melakukan mujizat, namun akhirnya Dia mendapat tuduhan palsu, ditangkap,
disalibkan dan mati. Dia bangkit tiga hari berikutnya, dan dalam empat puluh
hari berkali-kali Ia menampakkan diri kepada para pengikut-Nya. Pada akhirnya,
setelah para murid-Nya makin menyesuaikan diri dengan realitas kebangkitan-Nya,
Yesus membawa mereka ke kaki bukit di luar Yerusalem, memberkati mereka dan
secara fisik naik ke surga.
Dalam
konsep ini, Tuhan melawat ke bumi secara fisik selama tiga-puluh-tiga tahun,
dan kemudian pulang kembali ke surga, meninggalkan Roh Kudus bagi kita, yaitu
kehadiran Allah yang tidak secara fisik. Tubuh fisik Kristus, Sabda yang
menjadi manusia, sudah tinggal bersama kita selama tiga-puluh-tiga tahun itu,
dan kini berada di surga.
Apa yang salah di sini? Konsep ini benar – dalam bahasanya sendiri yang indah dan penuh dengan lambang – dalam banyak hal: dosa kita, kerahiman Allah, Tuhan yang datang secara fisik ke bumi. Yang salah adalah kesan yang ditimbulkannya bahwa Inkarnasi itu adalah pengalaman tiga puluh tahun, suatu kunjungan pendek dari Allah dalam sejarah manusia. Di dalam versi ini, Allah telah menjadi manusia secara fisik dan kemudian, setelah tiga puluh tahun, pulang kembali lagi ke surga. Digunakan kalimat masa lalu (“telah”) untuk Inkarnasi itu, dan itu adalah pemahaman yang kurang tepat dan berbahaya. Sesungguhnya Inkarnasi masih terus berlangsung dan sama nyatanya dan secara fisik sama radikalnya dengan ketika Yesus dari Nasaret, dengan tubuh-Nya, mondar-mandir di jalan-jalan di Palestina.
Misteri Inkarnasi bila dikatakan dengan sederhana adalah misteri tentang Allah yang mengambil rupa manusia dan berhubungan dengan manusia dengan cara yang tampak dan dapat dicerap dengan indera. Namun karena sifatnya yang radikal pernyataan ini memerlukan semacam penjelasan, terutama dalam kaitan dengan tiga hal: mengapa Allah bertindak dengan cara demikian; tindakan semacam ini sangat mengguncangkan; dan tindakan ini berlangsung terus, bukan bersifat sekali-lalu-selesai.
Mengapa Inkarnasi
Mengapa Tuhan menghendaki
mengambil rupa manusia? Mengapa Dia yang mahakuasa tanpa batas berkenan
menempatkan diri dalam sejarah manusia dan tubuh manusia yang terbatas? Mengapa
ber-Inkarnasi?
Ada
suatu cerita yang bagus mengisahkan seorang anak perempuan berumur empat tahun
yang bangun di tengah malam dengan ketakutan, karena yakin bahwa dalam
kegelapan di sekitarnya ada segala macam hantu dan monster. Karena sendirian
dan ketakutan, ia lari ke kamar kedua orang tuanya. Ibunya menenangkan anak
itu, menyalakan lampu dan berusaha meyakinkan anak itu dengan kata-kata ini: “Kamu
tak perlu takut, kamu tidak sendirian di sini. Tuhan ada di dalam kamar ini
bersama dengan kita.” Anak perempuan itu menjawab: “Aku tahu bahwa Tuhan ada di
sini, tetapi aku memerlukan seseorang di dalam kamar ini yang punya semacam
kulit!”
Pada
hakekatnya, cerita itu memberikan kepada kita suatu alasan bagi Inkarnasi, dan
suatu definisi yang sangat bagus tentang Inkarnasi itu. Tuhan menjadi manusia
karena seperti gadis cilik itu, kita semua memerlukan seseorang yang menyertai
kita dan punya semacam kulit. Tuhan yang berada di mana-mana dengan gampang
juga bisa dikatakan tidak ada di mana-mana. Kita percaya kepada apa yang dapat
kita sentuh, kita lihat, kita dengar, kita cium baunya, dan kita rasakan. Kita
bukan malaikat yang tidak punya tubuh, melainkan mahluk yang diberi indera,
sensual dalam arti kata yang sebenarnya, punya sensualitas (daya-daya
inderawi). Kita punya panca indera, kelima indera, dan kita berada di dunia ini
melalui seluruh indera itu. Kita tahu sesuatu dari indera itu, melakukan komunikasi
dengan indera itu, terbuka satu sama lain dan kepada dunia hanya melalui indera
itu. Dan Allah berhubungan dengan kita melalui indera-indera kita. Yesus yang
mondar-mandir di jalan-jalan Palestina dapat dilihat, disentuh, dan didengar.
Di dalam Inkarnasi itu Tuhan mengambil rupa manusia, menjadi fisik, karena kita
adalah mahluk yang punya indera, dan pada titik tertentu memerlukan seorang
Tuhan yang punya kulit.
Nikos
Kazantzakis* suatu ketika menjelaskan
soal ini dengan memberikan suatu perumpamaan:
Yesus tersenyum dan menjawab dengan lembut:
“Pada suatu ketika ada sebuah singgasana marmer di gapura timur suatu kota
besar. Pada singgasana ini sudah duduk 3000 raja. Semuanya mengharapkan Tuhan
agar menampakkan diri supaya mereka dapat melihat Dia, tetapi semuanya mati dan
dimakamkan membawa harapan mereka yang tidak terpenuhi.
Kemudian setelah para raja itu mati, seorang
yang miskin, bertelanjang kaki dan kelaparan datang dan duduk di singgasana
itu. ‘Ya, Tuhan,’ katanya, ‘mata manusia tidak dapat melihat langsung pada
matahari, karena sinarnya dapat membutakan mereka. Bagaimana mungkin mereka itu
dapat tahan memandang Dikau, o Yang Mahakuasa? Berkasihanilah kiranya, ya
Allah, kecilkanlah kuasa-Mu, lembutkanlah cahaya-Mu yang begitu gemilang agar
saya yang malang dan rindu pada-Mu dapat melihat Dikau!’
Maka dengarkanlah, orang tua – Tuhan menjadi
sepotong roti, secangkir air sejuk, sepotong jubah yang hangat, sebuah pondok,
dan di depan pondok itu seorang ibu sedang menyusui bayinya.”
“Terima kasih, ya Tuhan,” bisik lelaki tua
itu. “Engkau telah berkenan merendahkan diri-Mu demi saya. Engkau menjadi roti
bagi saya, menjadi secangkir air, sepotong jubah dan seorang isteri dan seorang
anak supaya dapat memandang Dikau. Dan saya sungguh melihat Dikau. Saya
bertelut di hadapan-Mu dan menghormati wajah-Mu dalam sejuta rupa yang
terkasih.”[iii]
Allah menjadi manusia agar setiap
rumah menjadi suatu gereja, setiap anak menjadi anak-Allah, dan semua makanan
dan minuman menjadi sakramen. Wajah Allah yang berjuta rupa itu kini ada di
mana-mana, dalam rupa daging, begitu lembut dan rendah hati, agar setiap mata
manusia dapat memandang-Nya. Tuhan dalam jutaan rupa ini lalu bisa dihubungi
dan tampak, sedekat keran air yang dapat dijangkau. Itulah alasannya mengapa
Dia ber-Inkarnasi.
Sifat fisik Inkarnasi yang Mengguncangkan
Inkarnasi mengguncangkan jika
dipandang dari sifat fisik semata-mata. Kata bahasa Inggris “incarnation”
(inkarnasi) berasal dari akar kata Latin “carnus”, yang berarti daging, daging
fisik. Namun ungkapan bahasa Latin seperti halnya bahasa Inggris, bukanlah kata
yang bersifat Platonis (dalam arti di-ideal-kan, atau diberi muatan keluhuran).
Tidak ada sifat spiritual dalam kata itu. Kata itu menekankan, sebagaimana kata
turunannya dalam bahasa Inggris (carnality:
kedagingan, carnal: nafsu badaniah, carnivorous: yang makan daging), tubuh
dalam bentuknya yang kasar, mentah-mentah (belum diolah, didandani), fisik
sebagaimana adanya. Incarnation
berarti dalam daging, atau secara
harafiah menjadi daging fisik.
Biasanya
kita tidak merasa kesulitan menerima Yesus dalam cara ini, namun sekalipun
begitu kita lalu sering meragukan pemikiran akan tubuh Yesus sebagai yang fana,
yang seksual, bisa sakit, berbau dan mengalami berbagai proses ragawi yang
lebih rendah. Kemudian masalahnya jadi makin nyata, seperti yang akan kita
lihat nanti, yaitu bahwa kita tidak bisa membayangkan realitas ragawi itu
kepada keseluruhan Tubuh Kristus, yaitu Ekaristi dan (Gereja) umat beriman.[iv]
Terus Berlangsung
Akhirnya, sifat yang kritis
penting adalah masalah hakekat Inkarnasi yang terus berlangsung. Inkarnasi
bukanlah suatu eksperimen tiga puluh tiga tahun Tuhan berada dalam sejarah,
suatu yang bersifat “sekali peristiwa”, kehadiran fisik Tuhan dalam hidup kita.
Inkarnasi bermula dengan Yesus dan hal itu tidak pernah berhenti. Kenaikan Yesus
ke surga tidak mengakhiri dan juga tidak mengubah dasar-dasar dari Inkarnasi.
Tubuh fisik Tuhan tetap ada di antara kita. Tuhan selalu hadir saat ini secara
fisik dan nyata sebagaimana Dia dulu di dalam Yesus sejarah. Tuhan tetap punya
kulit insani dan secara fisik melawat dunia seperti yang dilakukan Yesus. Dalam
arti tertentu, perkataan bahwa pada waktu kenaikan ke surga, Tubuh fisik Yesus
meninggalkan dunia ini adalah benar, tetapi Tubuh Kristus tidak demikian.
Kehadiran inkarnasi Tuhan di antara kita terus berlanjut seperti dahulu.
Kunci
pembedanya mula-mula adalah “Kristus”, yang sebagaimana kita ketahui, bukanlah
nama keluarga Yesus. Ketika kita menyebut nama “Yesus Kristus”, cara kita lain
dengan ketika kita menyebut nama misalnya “Susan [yang adalah puteri dari Pak] Parker” [= Nola Siregar, Vivian
Sumanti, Pretty Pattinasarane) atau pun “Jack [putra keturunan] Smith” [=Alex Marbun, Bernard Waworuntu, Robby
Beding). Soalnya Yesus tidak punya nama keluarga. Kristus adalah sebuah gelar,
yang menunjukkan Dia yang diurapi oleh Allah, yaitu Mesias yang ada di dunia.
Kitab Suci menggunakan ungkapan “Tubuh Kristus” untuk tiga arti, yaitu: Yesus, pribadi historis yang pernah ada
di dunia selama tiga puluh tiga tahun; Ekaristi,
yang merupakan kehadian fisik Tuhan di antara kita; dan badan kaum beriman, yaitu Gereja, yang juga merupakan kehadiran
nyata dari Tuhan. Menyebutkan kata “Kristus” dengan demikian kita serentak
merujuk kepada Yesus, Ekaristi dan komunitas kaum beriman atau Gereja.
Kita
adalah Tubuh Kristus. Ini bukan suatu ungkapan yang berlebihan, juga bukan
suatu kiasan.[v]
Menyatakan bahwa badan persekutuan kaum beriman atau Gereja adalah Tubuh
Kristus sama saja dengan menyatakan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci. Sebab
Kitab Suci, terutama tulisan-tulisan Paulus, tidak pernah menyatakan bahwa
badan persekutuan kaum beriman (Gereja) menggantikan
tubuh Kristus, juga bukan merupakan
perwakilan dari Tubuh Kristus, bahkan bukan Tubuh Kristus yang mistik. Yang dikatakan hanyalah : “Kita adalah Tubuh Kristus.”[vi]
Para
ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda di dalam berusaha mengartikan
perkataan Paulus ini.[vii]
Jika dia mengatakan bahwa kita adalah Tubuh Kristus, apakah ini merupakan badan
hukum (corporate) ataukah badan jasmaniah? Apakah kita ini Tubuh Kristus
seperti suatu bebadan kelompok yang dijiwai oleh suatu semangat yang sama
(misalnya Yesuit)? Atau, apakah kita ini suatu tubuh seperti yang dimaksudkan
dengan tubuh organisme fisik? Dengan semacam kriteria (dan tentu saja di sini
pun ada beberapa kekecualian) pada ahli Kitab Suci sepakat bahwa yang
dimaksudkan adalah seperti yang terakhir itu (tubuh organisme fisik). Badan
persekutuan kaum beriman, seperti Ekaristi, adalah Tubuh Kristus yang organik.
Bukan suatu badan hukum, tetepi suatu tubuh; bukan suatu realitas mistik,
tetapi tubuh fisik; dan bukan sesuatu yang mewakili Kristus, tetapi sesuatu
yang adalah Dia.[viii]
Ini
mempunyai implikasi yang besar. Sebab dengan demikian lalu Inkarnasi itu tidak
berarkhir sesudah tiga-puluh-tiga tahun ketika Yesus naik ke surga. Tuhan
masih berada di sini, dalam daging, baik secara nyata maupun secara fisik,
sebagaimana Allah dalam Yesus. Sang Sabda bukannya telah pernah menjadi manusia
dan tinggal di antara kita, tetapi menjadi manusia dan terus tinggal di antara
kita. Dalam persekutuan kaum beriman dan dalam Ekaristi, Tuhan punya kulit
fisik dan secara fisik masih bisa dilihat, disentuh, dicium baunya, didengar
dan dirasakan.
Ini
bukanlah hanya sekedar suatu kebenaran teologi, suatu dogma untuk diyakini.
Namun ini merupakan suatu inti dari spiritualitas Kristiani. Jika benar kita
ini Tubuh Kristus, maka selanjutnya kehadiran Tuhan di dunia dewasa ini sangat
bergantung pada kita. Kita harus menghadirkan Tuhan di dunia dengan cara yang sama
dengan yang dilakukan Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Santa Teresa dari
Avila, kita harus menjadi tangan Tuhan, menjadi kaki Tuhan, menjadi mulut-Nya
dan menjadi hati-Nya bagi dunia ini. Ahli Kitab Suci Jerome O’Connor membuat
ikhtisar pentingnya hal ini, walaupun tidak sesederhana yang dikatakan Santa
Teresa, namun sangat akurat:
Komunitas
merupakan pengantara Kristus bagi dunia. Sabda yang dikatakan-Nya tidak
didengar oleh orang-orang dari zaman kita jika tidak diwartakan oleh komunitas
kita. Kuasa yang mengalir dari-Nya untuk memungkinkan tanggapan tidak akan
efektif jika tidak diwujudkan dalam komunitas. Sebagaimana Allah telah
bertindak melalui Kristus, maka Dia kini juga bertindak melalui mereka yang
selaras dengan citra Putera-Nya dan yang perilakunya terpola menurut
teladan-Nya. Apa yang dilakukan Kristus di dalam dan untuk dunia dulu melalui
kehadiran fisik-Nya, kini dilakukan komunitas di dalam dan untuk dunianya...
Untuk melanjutkan karya keselamatan dari Kristus yang telah Dibangkitkan niscaya
akan efektif terwujudkan dalam konteks kehadiran yang nyata dengan suatu
otensitas yang modelnya dibuat berdasarkan Kristus.[ix]
Perbedaannya
sungguh besar, bukan hanya di dalam teologi, namun terutama di dalam
spiritualitasnya, yaitu dalam cara yang dituntut dari kita untuk menghayati
kehidupan iman kita. Seorang yang berTuhan percaya kepada Allah. Tetapi seorang
Kristiani selain percaya kepada Allah, juga percaya kepada Allah yang menjadi
manusia. Apa bedanya? Jika menggunakan bahasa orang biasa, dapatlah dikatakan
bahwa seorang yang berTuhan percaya kepada Allah di surga, sedangkan seorang
Kristiani percaya kepada Allah di surga yang secara fisik juga hadir di dunia
dalam rupa manusia. Allah bagi kaum yang berTuhan adalah transenden, atau jika
tidak sepenuhnya demikian, hadir secara samar-samar. Allah bagi umat Kristiani
juga transenden, namun juga tersembunyi, namun sekali gus punya tubuh fisik di
dunia. Allah bagi umat Kristiani dapat dilihat, dapat didengar, dapat
dirasakan, dapat dicerap, dan tercium aromanya, melalui indera-indera. Bagi
orang Kristiani, Allah punya kulit.
Allah
bagi umat Kristiani adalah in-carnus,
di dalam daging di dunia ini. Ini mungkin serasa abstrak bagi kita, namun
implikasinya mewarnai setiap aspek dari cara kita untuk berhubungan dengan
Tuhan dan berhubungan satu sama lain – sejauh mana kita berdoa, bagaimana kita
mengusahakan kesembuhan dan rekonsiliasi, bagaimana kita mencari bimbingan, dan
bagaimana kita memahami komunitas, pengalaman dan misi keagamaan. Namun hal ini
membutuhkan pengungkapan. Maka marilah kita melihat apa maksudnya secara
konkret kita percaya kepada Inkarnasi sesuai dengan spiritualitas.
[i] John Sea, Stories of Faith, Chicago, Thomas More Press, 1980. Komentar yang
dikutip di sini merupakan tesis dari buku ini dan buku sebelumnya, Stories of God – An Unauthorized Biography,
Chicago, Thomas More Press. Namun untuk komentar yang tepat tentang cara menyertai yang berbeda dari mengagumi
dan menirukan, lihat bagian pertama dari Stories
of Faith.
[ii] Perhatikan kata tinggal dalam kalimat masa
sekarang, walaupun biasanya kalimat itu diterjemahkan dalam kalimat masa
lampau. Walaupun secara linguistis teknis
hal itu tidak tepat, tetapi penggunaan kalimat masa kini lebih tepat
mengungkapkan apa yang disampaikan Yohanes – karena ia menggunakan kalimatnya
itu untuk menunjukkan suatu tindakan yang dimulai pada suatu titik yang jelas
di masa lampau dan terus berlanjut hingga sekarang. Karena itu kalimat itu
dapat juga diterjemahkan: “Sabda itu telah mulai untuk menjadi manusia.”
[iii] Nikos Kazantzakis, The Last Tempation of Christ, New York,
Simon & Schuster, 1960 hal 189dst.
[iv] Tentang gambaran yang brilyan
bagaimana segi yang fisik duniawi dari Inkarnasi ini sungguh mengguncangkan, lihat uraian yang diberikan oleh Graham Greene mengenai pengalaman
tokoh Sarah Miles dalam novel karya Greene, The
End of the Affair, London, Penguin Books, 1951, hal 109-112.
[v] Paus Pius XII ketika
menyampaikan Surat Ensiklik tentang Tubuh Kristus, Mystici Corporis Christi, pada tahun 1943 diberitakan berkata:
“Jika menjelaskan misteri tentang Tubuh Kristus janganlah takut bahwa
berlebihan, karena tidaklah mungkin kita berlebihan melebihi misteri yang
sangat agung itu.”
[vi] Teks yang eksplisit adalah 1 Kor
12:27 dan 1 Kor 6:15, namun gagasan pokoknya ada di mana-mana dalam ajaran
Yesus dan di dalam ajaran Perjanjian Baru sebagai keseluruhan.
[vii] Maka perlu ada catatan yang
panjang untuk ini. Tidak ada consensus di antara para ahli tentang maksud yang
sebenarnya secara tepat dari Paulus ini, dan dari Perjanjian Baru pada umumnya,
untuk memahami perkataan ini. John A.T. Robinson misalnya memahami makna
literer dari Paulus sebagai berikut:
Sesuatu
yang bukan “corporate” (kata benda yang merujuk pada suatu badan hukum), tetapi
“corporeal” (kata sifat, yang berarti badaniah, jasmaniah) .... untuk
menyatakan bahwa gereja adalah Tubuh Kristus bukan sebagai kiasan, tetapi
setara dengan mengartikan daging dari Inkarnasi Yesus, atau pun roti Ekaristi
adalah Tubuh Kristus. Dalam ketiga hal itu mereka bukanlah sekedar “seperti” Tubuh
Kristus (Paulus tidak pernah mengatakan demikian): masing-masing adalah Tubuh Kristus, dalam arti bahwa
masing-masing merupakan kelengkapan fisik dan perluasan dari Pribadi dan Hidup
yang sama. Mereka merupakan ungkapan dari Kristologi yang satu. Adalah nyaris
mustahil secara berlebihan menyatakan bahwa materialisme dan kelugasan ajaran
Paulus mengenai gereja adalah sama dengan Tubuh Kristus yang dibangkitkan...
Tubuh yang dikenangkannya adalah konkret dan satu sebagaimana Tubuh dalam
Inkarnasi. Konsepsi dasarnya bukan suatu bentuk kolektif supra-personal, tetapi
suatu organisme personal yang unik. (The
Body: A Study in Pauline Theology, London, SCM Press, 1966, hal 50-51).
Sekalipun
demikian beberapa ahli akan memandang pendapat Robinson ini sebagai tafsiran
yang terlalu bersifat fisik. Robert Gundry dalam Soma in Biblical Theology – With Emphasis on Pauline Anthropology
(Cambridge University Press, London, 1976) menerima pokok pandangan Robinson
bahwa kata-kata Paulus ini bukanlah kiasan, namun baginya Robinson melangkah
terlalu jauh. Kemudian ia menyampaikan suatu survai kritis atas semua pandangan
atau pendapat.
[viii] Untuk suatu keseimbangan
teologis tentang hal ini, lihat Jerome Murphy-O’Connor, Becoming Human
Together (Wilmington, Del., Michael Glazier Press, 1977). O’Connor memeriksa
berbagai pendirian dan memberi kesimpulan dengan berkata, lepas dari nuansa
teologis yang setepatnya, apa yang diajarkan Paulus adalah bahwa Kristus dan
komunitas kaum beriman melaksanakan fungsi-sungsi yang sama. Lihat hal 202-203.
[ix] Idem hal 203.
* Dengan tanda yang berlainan
menurut bahasanya, semisal BC, av.J.C.,
(Before Christ, avant Jesus-Christ), A.D., C.E., apr. J.C. (Anno
Domini, Christian Era – yang oleh
kaum sekular diubah menjadi Common Era,
dan après Jesus-Christ) dll. Namun
hendaknya disadari bahwa kata-kata ini terutama dimaksudkan untuk dunia budaya
Yudeo-Kristiani, dan hal ini juga tidak mengabaikan bahwa di dunia ini ada
sebagian juga yang menggunakan petunjuk waktu Islam tahun Hijriah (H) dan penanggalan
Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar