Minggu Adven Kedua diwarnai oleh seruan tobat untuk menyongsong kedatangan Tuhan.
Tobat dalam arti umum adalah perubahan hati yang menjauh dari dosa dan mendekat
pada Tuhan. Dimulai dengan rasa bersalah karena telah melukai Tuhan dan
meliputi baik perubahan hidup seseorang maupun tekat untuk menjauh dari
kemungkinan dosa (KGK 1427-1433). Panggilan pertobatan dan pertobatan yang
sejati merupakan satu tema sentral dalam Perjanjian Baru dan menjadi batu
penjuru hidup Kristen.
I. TOBAT DALAM PERJANJIAN LAMA
A. Istilah “Tobat”
B. Menjauh dari Dosa
C. Seruan para Nabi supaya Israel Bertobat
II. TOBAT DALAM PERJANJIAN BARU
A. Gema Nabi-nabi
B. Tobat dan Percaya
C. Pertobatan
D. Paulus: Pertobatan Iman
III. SAKRAMEN PENGAMPUNAN DOSA
I. TOBAT DALAM PERJANJIAN LAMA
A. Istilah “Tobat”
Istilah yang paling sering digunakan untuk “tobat”
dalam Perjanjian Lama adalah sub, arti harfiahnya “berbalik” (dalam Septuaginta
dan Perjanjian Baru, padanan Yunani-nya adalah apostrepho atau epistrepho,
lihat di bawah nanti). Kata lain yang digunakan adalah naham (“sedih”
atau ”sesal”), yang mengungkapkan berbagai rupa penyesalan atau rasa bersalah.
Namun naham sering digunakan untuk mengungkapkan secara antropomorfis
keputusan Tuhan untuk memberikan pengampunan atas orang yang bertobat ketimbang
menimpakan hukuman atas mereka (mis 1 Taw 21:15). Dalam hal ini yang sangat
menonjol adalah Yer 18:8: “Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku
berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa
Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka”. Kitab
Suci menunjukkan penyesalan Tuhan tidak sama caranya dengan cara pertobatan
manusia (Bil 23:19; 1 Sam 15:29).
B. Menjauh dari Dosa
Tobat dalam Perjanjian Lama meliputi penyesalan yang
sungguh-sungguh dan menjauhi tindakan dosa. Misalnya, Salomo memohonkan
pengampunan Tuhan atas mereka yang telah bertobat dan kembali kepada Tuhan:
“maka Engkau kiranya mendengarkan di sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap,
kepada doa dan permohonan mereka dan Engkau kiranya memberikan keadilan kepada
mereka. Engkau kiranya mengampuni umat-Mu yang telah berdosa kepada-Mu,
mengampuni segala pelanggaran yang dilakukan mereka kepada-Mu, dan kiranya Engkau
membuat mereka menjadi kesayangan orang-orang yang mengangkut mereka tertawan,
sehingga orang-orang itu menyayangi mereka” (1 Raj 8:49-50).
Sering
sikap “berbalik” kepada Tuhan ini dinyatakan dengan tindakan sesal: puasa,
meratap, menyobek pakaian, mengenakan jubah duka dan menorehkan abu dan secara
terbuka mengungkapkan kesalahan (bdk Ezr 10:1-5; Neh 9:1-37; Yes 63:7-64:12;
Hos 6:1-3; 14:1-3; Dan 9:3-19; Yl 2:15-18).
C. Seruan para Nabi supaya Israel Bertobat
Misi nabi di Israel adalah menyerukan agar bangsa itu
kembali kepada Tuhan. Kecaman atas dosa, ancaman bencana, janji pengampunan
bagi pertobatan yang bersungguh-sungguh – semuanya merupakan bagian dari seruan
nabi untuk bertobat (Am 4:6-13; Hos 5:15—6:5; 6:4-5; Yes 58:5-7).
Kendati
Israel berulangkali melakukan kesalahan, Tuhan menghendaki bangsa itu kembali
kepadaNya seperti seorang yang mencari isterinya yang serong (Hos 2-3). Yer
3:11-14 menggemakan seruan agar Israel kembali dan bertobat: “Kembalilah, hai
Israel, perempuan murtad, demikianlah firman Tuhan. Muka-Ku tidak akan muram
terhadap kamu, sebab Aku ini murah hati, demikianlah firman Tuhan, tidak akan
murka untuk selama-lamanya” (Yer 3:12; bdk Yer 4:1-2; 6:9; 31:3). Amos secara
kontras, menekankan hukuman karena kegagalan Israel untuk bertobat – “namun kamu tidak berbalik kepada-Ku” – menjadi
tidak terelakkan lagi. Atas sikap yang tidak-setia-iman ini, “bersiaplah untuk
bertemu dengan Allahmu, hai Israel!” (Am 4:12).
Hosea tetap dengan keyakinannya sekalipun
berhadapan dengan kebandelan, sehingga kitabnya diakhiri dengan himbauan
terakhir untuk bertobat: “Bertobatlah, hai Israel, kepada Tuhan, Allahmu, sebab
engkau telah tergelincir karena kesalahanmu. Bawalah sertamu kata-kata
penyesalan, dan bertobatlah kepada Tuhan! katakanlah kepada-Nya:
"Ampunilah segala kesalahan, sehingga kami mendapat yang baik, maka kami
akan mempersembahkan pengakuan kami” (Hos 14:2-3). Nabi-nabi meyakinkan Israel
akan pahala yang besar dan kebahagiaan yang akan didapatkan dalam pertobatan
itu: keselamatan dan pembebasan (Yes 30:15; Yer 4:1; 26:3). Seluruh bangsa
harus bertobat, namun masing-masing orang Israel juga harus bertobt dengan
mengubah sikap hati (Yeh 18:31; 36|:26-27; Hos 6:6; Am 5:21-24; Yl 2:12-13; Yes
1:16-17).
II. TOBAT DALAM PERJANJIAN BARU
A. Gema Nabi-nabi
Seruan tobat Nabi mencapai puncaknya dalam Yohanes
Pembaptis, nabi terakhir, yang menyiapkan jalan bagi Tuhan. Yohanes Pembaptis
muncul tiba-tiba “di padang gurun dan menyerukan: 'Bertobatlah dan berilah
dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu'.”(Mrk 1:4). Ia menuntut lebih
dari sekedar rasa penyesalan, ia menuntut pertobatan yang lebih mendalam yang
menyangkut perubahan hidup orang yang bertobat: “hasilkanlah buah-buah yang
sesuai dengan pertobatan” (Luk 3:8; bdk Mat 3:2-11; Mrk 1:4-6; Luk 3:1-14).
Yohanes memantapkan tema sentral yang disampaikan Yesus: “Waktunya telah genap;
Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk
1:15; Mat 4:17). Seruan Yesus terasa akrab, sebab berakar pada pesan nabi-nabi
Perjanjian Lama untuk pertobatan dan penyesalan yang ditujukan kepada Israel.
Dalam Yesus, seruan tobat itu menjadi
bersifat pribadi, sebab Ia meminta agar orang tidak hanya mengakui Dia sebagai
Mesias, tetapi juga meniru kemurahan hatiNya semasa hidup sebagai jalan untuk
melaksanakan kehendak Bapa (Mat 7:21-27; 10:37-39; 11:28-30).
B. Tobat dan Percaya
Yesus datang bukan untuk orang benar, melainkan untuk
orang berdosa (Luk 5:2). Pertobatan Niniwe karena seruan Yunus (Mat 12:39-40;
Luk 11:29-32), itulah yang diminta Yesus dari para muridNya (bdk Mat 1:20-24;
Luk 10:13-15). Seruan tobat yang disampaikan Yesus lebih dari sekedar
menyangkut penyesalan karena dosa. Ia menyerukan agar orang percaya (Mrk
16:15-16). Pertobatan dalam iman merupakan awal dari penerimaan hidup baru yang
ditawarkan Injil (bdk Kis 5:31; 20:21).
Keselamatan
diperoleh dari pengampunan dosa melalui baptis dan iman pada Yesus (Kis 2:38).
Mereka yang menolak iman menolak hidup kekal yang ditawarkan Yesus kepada dunia
(Yoh 3:36). Tobat Kristen merupakan transformasi lengkap seseorang dari hidup
dosa ke dalam hidup dalam kasih Injili. Maka kita harus mewartakan pertobatan
untuk seluruh dunia “dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan
dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem” (Luk 24:47).
C. Pertobatan
Yesus mengajarkan bahwa dosa ada pada setiap orang
dan semua orang perlu bertobat. Baptis merupakan dasar menuju pertobatan,
tetapi juga ada pertobatan yang berlangsung terus menerus dalam hidup kaum
beriman. Dalam diri Petrus kita lihat contoh nyata pertobatan awal dan
pertobatan berkelanjutan. Dalam tobat awalnya, Petrus tersungkur berlutut dan
mengakui kesalahannya: “''Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang
berdosa” (Luk 5:8). Kemudian ia meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti sebagai murid Yesus (Mat 4:18-20). Kemudian,
setelah menyangkal Yesus tiga kali, ia menangisi dosanya (Luk 22:62) dan
kemudian menegaskan kembali kasihnya kepada Kristus (Yoh 21:15-19).
Pertobatan
Kristen mempunyai dimensi jasmani maupun rohani. Awalnya dari pikiran dan hati,
di mana kesalahan dosa bersumber dan di mana hasrat untuk mendekat pada Tuhan
timbul. Penting sekali diperhatikan bahwa kata “tobat” dalam Perjanjian Baru
merujuk pada “perubahan batin” (Bahasa Yunani metanoia). Maksudnya
bukanlah bahwa pertobatan dapat disusutkan menjadi sikap batin saja, melainkan
bahwa suatu perubahan pandangan adalah mendasar sifatnya untuk memberikan arah
baru pada hidup seseorang. Sikap batin dengan demikian mengarahkan tindakan
luar seperti puasa (Mrk 2:20; Kis 9:9; 13:2) dan berbagai bentuk disiplin-diri
dan pantang (Rm 8:13; 1 Kor 9:25-27).
Surat Ibrani menyatakan kepada kita “mereka yang pernah diterangi hatinya, yang
pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh
Kudus, dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia
yang akan datang, namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi
sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi
diri mereka dan menghina-Nya di muka umum” (Ibr 6: 4-6). Ayat-ayat ini menjadi
sumber banyak bahasan teologis, namun pada intinya adalah seruan agar tidak
berandai-andai pada kerahiman Tuhan dan mengakui keseriusan dosa karena dosa
sungguh merusak hubungan yang ada di antara seseorang dengan Tuhan (KGK
1849-1853).
D. Paulus: Pertobatan Iman
Paulus jarang membicarakan tobat secara langsung.
Tetapi ia melawankan sikap yang selaras dengan Tuhan dan kesia-siaan dunia:
“Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa
keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini
menghasilkan kematian” (2 Kor 7:10), dan ia menyebutkan “tobat” beberapa kali
lagi (Rm 2:4; 2 Kor 12:21; 2 Tim 2:25). Hal itu bukan karena teologi Paulus
hanya menyediakan sedikit tempat untuk pertobatan, tetapi karena pertobatan
sudah termasuk di dalam ajaran Paulus tentang iman. Bagi Paulus, iman adalah
tanggapan total kita pada Tuhan dan wahyuNya dalam diri Kristus. Iman berarti
merangkul keseluruhan Injil, termasuk tuntutannya supaya berpaling dari dosa
dan menghayati hidup kasih Kristen. Dan karena iman merupakan suatu karunia
rahmat, maka perubhan hidup yang menjadi hakekat pertobatan merupakan buah dari
rahmat itu.
III. SAKRAMEN PENGAMPUNAN DOSA
Kristus mengadakan sakramen pertobatan (yang juga
disebut sakramen rekonsiliasi atau pendamaian) ketika Ia berkata kepada para
rasul pada hari Minggu malam Paskah: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang,
dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya
tetap ada” (Yoh 20:230. Dengan demikian Gereja diberi wewenang untuk
menyalurkan rahmat dan kerahiman Tuhan yang diperlukan bagi pertobatan
berkelanjutan dalam hidup masing-masing umat beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar