Katekese Pokok2 Iman Kita #8
Salah
satu akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis adalah
persoalan kanonisitas Kitab Suci. Kanon
(dari bahasa Yunani kanon, artinya “ketetapan” atau “norma”; terjemahan
dari bahasa Ibrani qaneh artinya “galah pengukur”). Origenes (meninggal
th 254) adalah orang pertama yang menggunakan istilah kanon itu dengan merujuk
Kitab Suci, tetapi Santo Atanasius-lah orang pertama (meninggal 373) yang
menggunakan istilah “kitab-kitab kanonik” yang umum beredar di kalangan para
penulis selanjutnya, dengan mencantumkan daftar keduapuluh tujuh kitab
Perjanjian Baru dalam karyanya Epistola Festalis dari tahun 367. Pada
abad yang sama Konsili Laodikea membahas Kanonika Biblia (Kanon Kitab
Suci). Maka gagasan tentang suatu kanon sebagai kumpulan tertentu sudah
digunakan dalam Gereja awal dan tetap diterima di sepanjang sejarah selanjutnya
mengenai kitab-kitab gerejawi.
Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah
yang dituliskan, disusun dengan bimbingan Roh Kudus, maka kitab-kitab itu suci,
dipisahkan dari dokumen tertulis yang lain dan secara khas cocok untuk ibadat
dan doa-doa. Ada banyak tulisan-tulisan yang dibuat orang, tetapi tidak
semuanya “diilhami ilahi” dan karenanya suci (lihat di bawah nanti Daftar Kitab
Suci kanonik dan daftar tulisan-tulisan apokrif). Gereja dengan Tradisinya yang
sudah ada lebih dulu harus memutuskan mana-mana tulisan yang diilhami Allah. Maka,
ketika Gereja menyusun daftar kanon Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Gereja sungguh mengukur dan mengakui kekudusan ilahi yang tersimpan di
dalamnya.
Baca Juga: Wahyu Allah Dalam Kitab Suci
Baca Juga : Pentradisian Wahyu Ilahi.
Kitab Suci dibagi menjadi Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, yang menyampaikan kesaksian akan dua perjanjian, yang
lama dan yang baru, di antara Allah dan umatNya, sebagai bagian dari pemenuhan
rencana keselamatan ilahi. Penyebutan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
sebagian diilhami oleh Paulus yang membedakan “perjanjian baru” dari
“perjanjian lama” dalam 2 Kor 3:6.14.
Kanon
Perjanjian Lama
A.
Kanon Yahudi
Belum
ada kanon Yahudi yang pasti untuk Kitab Suci di masa sebelum Gereja Kristen.
Memang ada kumpulan kitab-kitab suci, tetapi sejauh mana dan seperti apa
bentuknya dalam suatu koleksi masih merupakan persoalan. Para ahli Yahudi
modern mengandalkan daftar keduapuluh empat kitab di dalam teks Ibrani Masora,
yang terbagi dalam Hukum (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan
Ulangan); Nabi-nabi, yang dibagi lagi menjadi nabi-nabi awal (Yosua,
Hakim-hakim, 1-2 Samuel dan 1-2 Raja-raja), dan nabi-nabi kemudian (Yesaya,
Yeremia, Yehezkiel, dan keduabelas nabi lain yang dihitung sebagai satu buku
[Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Mikha, Yunus, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai,
Zakharia dan Maleakhi); kemudian Tulisan-tulisan
(1-2 Tawarikh, Ezra-Nehemia, Ester, Rut, Mazmur, Amsal, Ayub, Ratapan,
Pengkhotbah, Kidung Agung, dan Daniel). Koleksi Aleksandria yang kemudian
diterjemahkan menjadi Septuaginta (LXX) juga memasukkan 1-2 Makabe, Tobit,
Yudit, Sirakh, Kebijaksanaan, Barukh dan beberapa Tambahan untuk Ester dan
Daniel (disebut Deuterokanonika).
Septuaginta (LXX) menjadi Kitab Suci
bagi kebanyakan umat Kristen awal, dan pada umumnya mereka menerima semua kitab
yang tercantum di dalamnya sebagai Kitab Suci. Namun kitab-kitab deuterokanonik
tidak diterima oleh agama Yahudi Palestina, sekalipun mereka tampaknya diterima
di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani dalam Diaspora.
Pada akhir abad pertama Masehi,
sejarawan Yahudi Flavius Josephus menulis bahwa ada duapuluh dua kitab yang
diilhami, suatu daftar yang sama dngan kanon Ibrani yang berlaku untuk duapuluh
empat buku (Josephus menyatukan kitab Hakim-hakim dengan Rut, dan kitab Yeremia
dengan Ratapan). Maka Josephus menyisihkan tulisan-tulisan yang lebih baru di dalam
Septuaginta, dan ia tampaknya diikuti oleh suatu kecenderungan intelektual
dalam kalangan Yahudi tertentu. Hampir bersamaan waktunya dengan tulisan
Josephus, suatu sinode para rabi di Yamnia (tahun 90 M) konon katanya
meresmikan kanon Yahudi yang terdiri dari duapuluh empat kitab, walaupun
hasilnya yang pasti tetap tidak mantap dan beberapa ahli meragukan adanya
sinode itu.
B.
Kanon Kristen
Umat
Kristen, di pihak lain, lebih merangkul Septuaginta ketimbang koleksi Palestina
yang lebih singkat itu, mungkin karena dominannya bahasa Yunani sebagai bahasa
umum Kekaisaran Roma di bagian Timur pada waktu itu. Kristus dan para rasul
tidak memberikan pernyataan yang tegas mengenai kitab-kitab, namun sepanjang
Perjanjian Baru terdapat 350 kutipan dari tulisan-tulisan Perjanjian Lama, yang
sebagian besar di antaranya dalam bahasa Yunani Septuaginta. Dari semua kitab
yang menjadi kanon Ibrani dikutip dengan jelas kecuali Ezra, Nehemia, Ester,
Rut, Pengkhotbah, Kidung Agung, Obaja dan Nahum; juga ada beberpa rujukan pada
kitab Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan.
Tulisan-tulisan dan kanon Kristen
dari abad pertama mengandaikan kanon Septuaginta termasuk Kanon Cheltenham
(pertengahan abad keempat), dekrit Paus Santo Damasus I (tahun 382), dan
Konsili Hippo (tahun 393) dan Karthago (tahun 397 dan 419). Sebagian dari kanon
Yahudi (Tobit dan Yudit) juga diterjemahkan oleh Santo Hieronimus dan disetujui
oleh Paus Santo Inosentius I (masa kepausan 401-417). Selanjutnya Konsili
Florense (1441) meneguhkan kanon Yunani, dan Konsili Trente mengeluarkan dekrit
resmi yang menunjangnya pada pertengahan 1500-an, melawan para pendiri
Protestan yang menolak kitab-kitab deuterokanonika dan hanya menerima
kitab-kitab dalam kanon Ibrani.
Kitab-kitab Apokrif Perjanjian Lama: Sekedar
informasi. Di luar kitab-kitab yang terdaftar di dalam Kanon Kitab Suci
Perjanjian Lama, ada banyak tulisan-tulisan kuno yang memuat ajaran-ajaran
baik, dan di dalamnya juga mengisyaratkan bagian-bagian dari tradisi tertentu.
Namun tulisan-tulisan ini dianggap tidak mendapat ilham ilahi. Pencantuman
tulisan-tulisan itu di sini sekedar memberikan gambaran bahwa tidak mudah tugas
Gereja dulu ketika harus menyusun Kanon Kitab Suci. Tulisan-tulisan ini disebut
“Apokrif”.
Istilah “Apokrif Perjanjian Lama”
digunakan untuk bermacam-macam tulisan Yahudi yang disusun antara tahun 250 SM
hingga tahun 200 M. Dokumen-dokumen Yahudi yang paling awal di dalam kumpulan
besar ini berasal dari abad ketiga SM, sementara yang lain ditempatkan pada
periode yang sulit dari tahun 70 sampai 200 M, di antara hancurnya Yerusalem
dan dihimpunnya Mishna. Unsur terakhir dan final dari kumpulan tulisan ini
berasal dari suatu periode sekitar atau sesudah abad keempat atau kelima
Masehi.
Sumber-sumber ini memberikan kepada
kita informasi mengenai kebudayaan Yahudi dan kepekaan rasa keagamaan baik di
Palestina maupun di dalam Diaspora.
Mereka juga menyimpan banyak elemen yang berharga berupa cerita-cerita rakyat
dan legenda seperti ajaran yang luas tentang malaikat dalam Kitab Henokh dan
Esdras.
Tulisan-tulisan yang dikelompokkan
sebagai tulisan apokrif pada umumnya dihimpun oleh para anggota komunitas
Yahudi, sebagian darinya mungkin diolah kembali oleh para penulis Kristen.
Judul-judul dan isi tulisan sengaja menyerupai kitab-kitab Perjanjian Lama,
menunjukkan pengaruh bentuk-bentuk literer seperti sastra kebijaksanaan. Banyak
di antaranya mencatut nama tokoh-tokoh Perjanjian Lama : Musa, Henokh, Salomo,
Ezra dan Yesaya. Tulisan-tulisan ini disebut “psedo-epigrafa”, justru karena
mencatut nama penulis.
Tidak ada daftar baku (standar)
tulisan-tulisan apokrif Perjanjian Lama yang disepakati. Tetapi ada kemungkinan
untuk memasukkan tulisan tertentu dalam kategori-kategori spesifik, misalnya
Sastra Apokalip, Perjanjian, Sastra Kebijaksanaan, Doa dan Mazmur, Fragmen
Karya Yudeo-Helenistik.
APOKRIF PERJANJIAN LAMA
|
Kanon
Perjanjian Baru
A.
Banyak Pilihan
Persoalan
kanon Perjanjian Baru sangat lain bagi umat Kristen awal; sebab di sini tidak
ada tradisi lama yang menjadi pegangan. Pesan Injil yang dipercayakan Yesus
kepada para rasul dengan cermat dipelihara dan dilangsungkan, dan tak lama
kemudian dituliskan. Namun dari antara versi-versi yang tertulis itu mana yang
sungguh-sungguh mencerminkan pesan Yesus? Lukas menyatakan kepada kita bahwa
“banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi di antara kita” yaitu kisah Injil (Luk 1:1), dan kita tahu
dari peninggalan-peninggalan injil-injil apokrif bahwa masih banyak lagi yang
ditulis sesudah Lukas (lihat di bawah nanti).
Selain Injil, ada surat-surat
apostolik dan tulisan-tulisan lain yang harus dipilah. Mana di antara mereka
yang diilhami dan yang cocok untuk pengajaran umum di dalam konteks ibadat?
B.
Bagaimana Pilihan Ditetapkan
Proses
penetapan kanon sudah dimulai sementara peristiwa-peristiwa dalam karya Yesus
masih ada di dalam kenangan hidup jemaat, dan empat penginjil “menggunakan
setiap cara yang mungkin untuk memastikan agar pembaca mereka mengetahui
kesahihan hal-hal yang mereka ajarkan” (Sancta Mater Ecclesia, 2.3). Pada
waktu itu relatif masih mudah untuk mengenali yang benar dan menolak yang salah
dengan meminta pendapat para saksi mata, termasuk para rasul sendiri (menurut
tradisi, Yohanes masih hidup hingga tahun 100).
Pembentukan kanon Perjanjian Baru
mungkin sekali sudah dimulai lebih dini. Dalam 2Ptr 3:15-16 sudah ada anggapan
bahwa jemaat sudah mengenal surat-surat Paulus dan memperhitungkannya
bersama-sama dengan “tulisan-tulisan yang lain.” Kutipan dari kitab-kitab
kanonik juga digunakan dalam tulisan-tulisan Santo Klemens dari Roma, Santo
Ignatius dari Antiokhia, Santo Polikarpus dari Smirna, dan dalam Didakhe pada
akhir abad pertama dan awal abad kedua M, serta dalam Pastor Hermas di abad
kedua M.
Maka permulaan kanon Perjanjian Baru
tampaknya sudah ada di abad pertama, dan suatu inti yang terdiri dari keempat
Injil dan belasan surat-surat Paulus semakin jelas dalam abad kedua.
Tidak
semua kitab yang terdapat dalam Perjanjian Baru langsung diterima begitu saja.
Tujuh kitab : Ibrani, Yakobus, Yudas, 2Petrus, dan 2,3Yohanes serta Kitab Wahyu
– berulangkali masih diragukan,
tetapi pada akhirnya semuanya diterima. Beberapa bagian dari Injil-injil tidak
ada dalam beberapa manuskrip tua : Mrk 16:9-20; Luk 22:43; Yoh 5:4; 8:1-11.
Tetapi semuanya lalu diterima oleh wewenang tradisi Gereja.
Daftar resmi pertama kanon
Perjanjian Baru muncul pada masa Marcion, pemimpin bidat abad kedua yang
menolak Perjanjian Lama dan menyetujui hanya sebagian dari tulisan-tulisan
Perjanjian Baru dan
mengutamakan karangan Lukas. Ia ditentang oleh Santo Ireneus (meninggal
tahun 200) dan yang lain-lain, dan Gereja yang asli harus menanggapinya dengan
daftarnya sendiri untuk kitab-kitab yang kanonik. Fragmen Muratorian yang
berasal dari sekitar tahun 200 mendaftar sebagian besar kitab-kitab yang diakui
sebagai kanonik dalam dekrit-dekrit berikutnya. Santo Klemens dari Aleksandria
(meninggal tahun 215) adalah orang pertama yang menggunakan judul “Perjanjian”
(Testament) untuk kitab-kitab Perjanjian Baru.
Berbagai
daftar muncul pada tahun-tahun berikutnya, dan pada tahun 350 kanon di Barat
sudah menetap dalam bentuk yang sekarang kita kenal. Santo Hieronimus
memasukkan keduapuluh tujuh kitab seluruhnya di dalam Vulgata (terjemahan Kitab
Suci dalam bahasa Latin). Di Timur masih ada keraguan atas kanonisitas
Surat-surat 2Petrus, 2,3Yohanes, Yudas serta kitab Wahyu. Keraguan ini
menyebabkan gereja-gereja Siria memulai penggunaan suatu kanon Perjanjian Baru
yang terdiri dari hanya dua-puluh dua kitab.
Pada tahun 1500-an Martin Luther
mempersoalkan Surat Ibrani, Surat Yakobus, Surat Yudas dan Wahyu, tetapi di
dalam terjemahan Kitab Suci bahasa Jerman semuanya masih tetap tercantum. Beberapa tokoh reformasi lainnya
juga mempersoalkan beberapa kitab Perjanjian Baru, tetapi akhirnya seluruh
Protestan menerima kanon tradisional Perjanjian Baru.
Penggunaan istilah ”apokrif” untuk
Perjanjian Baru tidak selalu berarti bahwa semua tulisan yang termasuk di dalam
kategori ini pada umumnya tidak akurat atau tidak autentik (walaupun memang ada
sebagian isinya yang autentik). Kitab-kitab ini tidak termasuk di dalam kanon
Kitab Suci bisa karena otentisitasnya meragukan, atau entah karena tidak lazim digunakan dalam ibadat di antara gereja-gereja
Kristen awal.
Sebagian dari tulisan-tulisan ini
penuh dengan rincian fantastik dan dengan demikian membuktikan diri bahwa tidak
alkitabiah. Yang lain dihargai tinggi dan masih demikian sampai sekarang.
Misalnya, Codex Sinaitikus, codex tulisan Perjanjian Baru yang paling lengkap,
meliputi baik tulisan Pastor Hermas maupun Surat Barnabas. Tetapi Tertulianus
menyebutnya bersifat rahasia (gnostis) dan palsu (Pud 10.6). Namun juga ada bukti bahwa sebagian apokrif Perjanjian Baru dibacakan
di dalam konteks liturgi kuno. Terjemahan tulisan-tulisan itu ke dalam begitu
banyak bahasa : Yunani, Latin, Siria, Armenia, Arab, Kop dan Etiopia –
menunjukkan derajad popularitas dan nilai penghargaan jemaat atas mereka.
APOKRIF PERJANJIAN BARU
|
Penetapan
saat penulisan apokrif-apokrif ini merupakan tantangan bagi para ahli, karena
tidak adanya bagian penutup pada tulisan-tulisan itu. Penghimpunan
tulisan-tulisan apokrif berlanjut hingga abad kelima. Sebagian dari tulisan-tulisan
itu mungkin berasal dari abad pertama; sebagian besar dari abad kedua dan
ketiga.
Tulisan-tulisan yang tergolong
apokrif Perjanjian Baru sangat berbeda dalam ragam tulisan dan teologinya,
mulai dari bentuk injil-injil, kisah, surat-surat, hingga apokalip. Secara
himpunan, apokrif Perjanjian Baru bersama-sama memberikan suatu sumber
informasi mengenai komunitas-komunitas Kristen awal, khususnya sekte-sekte bidah
seperti Manikea dan Gnostis yang menjauh dari arus utama Kekristenan.
Sistem klasifikasi yang paling umum
menempatkan apokrif Perjanjian Baru dalam empat ragam:
1. Injil-injil, yang tujuannya memberikan
kepada kita lebih banyak informasi tentang hidup dan ajaran Yesus
2. Kisah-kisah, yang menceritakan secara
fiksi dan tradisional peristiwa-peristiwa mengenai kehidupan rasul-rasul.
3. Surat-surat, yang seperti surat-surat
Perjanjian Baru adalah surat-surat dari tokoh-tokoh Kristen awal, dan
4. Apokalip, yang bertujuan menyingkapkan
masa depan.
Pengetahuan kita tentang apokrif
Perjanjian Baru bertambah sangat banyak pada tahun 1945, ketika sebagian besar
tempat penyimpanan rahasia teks Gnostik Kop ditemukan di Nag Hammadi di Mesir
Atas. Penemuan Nag Hammadi
menghasilkan 52 teks Gnostik yang sebelumnya tidak diketahui atau hanya
diketahui dalam bentuk sepotong-sepotong (fragmen).
Kiranya perlu disampaikan informasi
mengenai sekte Gnostis yang sangat aktif sampai sekarang, terutama dengan
penyebarluasan Injil Thomas dan Injil Yudas hasil temuan dari Nag Hammadi. Gnostisisme adalah suatu
sistem pengetahuan keagamaan yang menekankan pengetahuan rahasia. Gnostisisme
Kristen mula-mula berkembang dari aliran agama kafir pra-kristen, yang
dipengaruhi oleh sistem pemikiran Neoplatonis dan filsuf-filsuf kafir. Pada
mulanya terdapat di berbagai aliran Kristen dan menjadi mapan dalam pelbagai
rupa, dan menjelang akhir abad kedua memisahkan diri dari agama Kristen.
Sekte-sekte dalam Gnostisisme sangat berbeda satu sama lain dalam ajaran khusus
mereka, namun mempunyai karakteristik yang sama.
Yang menjadi ajaran pokok mereka
adalah gagasan tentang gnosis, yaitu
pengertian tentang keselamatan yang diungkapkan hanya kepada dan diketahui oleh
sedikit orang saja, yang memulai sekte-sekte Gnostik. Yang dianggap sumber gnosis biasanya adalah penyaluran secara
lisan dan rahasia pengetahuan tentang Kristus, baik kepada keduabelas rasul
maupun pemimpin sekte. Alam dibagi secara tajam di antara dunia materi dan
dunia rohani, di mana dunia materi mewakili ketidaksempurnaan dan jahat, sedang
dunia rohani mewakili kesempurnaan dan kebaikan. Bagi orang-orang Gnostik,
dunia dan segala sesuatu di dalamnya, termasuk manusia, adalah tidak sempurna
dan bertentangan dengan dunia rohani. Tuhan adalah Roh dan mengatasi segala
sesuatu sehingga Ia tidak bisa menciptakan dunia materi. Sebaliknya, dunia
materi dengan cara tertentu diciptakan oleh ilah yang lebih rendah, yaitu Demiurge, ilah pencipta yang berasal
dari Dia yang Ilahi melalui serangkaian emanasi atau eon.
Namun manusia-manusia tertentu
mempunyai dalam diri mereka suatu karunia rohani, yang oleh sebgaian dari
mereka sebagai percikan dari Dia yang Ilahi. Mereka akan mencapai keselamatan
dan dipersatukan dengan Dia yang Ilahi melalui gnosis. Menurut orang-orang penganut Gnostis Kristen, Kristus
adalah perwujudkan dari Dia yang Ilahi, yang diutus menyampaikan gnosis kepada kaum pilihan. Maka Gnostisisme membagi manusia menjadi dua
golongan, yaitu kaum pilihan yang diselamatkan (kelompok kecil) dan mereka yang
adalah daging (terkutuk – sebagian besar dari manusia).
Dengan segera jelas bahwa pesan
Gnostis sama sekali bertentangan dengan pesan Kristen yang asli. Kristen yang
asli menyatakan bahwa Kristus secara terbuka (wahyu umum) mengajarkan kebenaran
tentang keselamatan bagi semua orang. Pengikut Gnostik mengajarkan bahwa hanya sebagian
kecil orang saja yang memenuhi syarat untuk mendapatkan rahasia keselamatan
(wahyu pribadi).
Tidak jelas kapan awalnya kaum
Gnostik menimbulkan kesulitan bagi Gereja. Ada yang menyatakan bahwa Santo
Paulus sudah berhadapan dengan mereka sejak di Korintus dan Kolose (bdk Kol
1:9; 2:2), dan Surat 1Yoh mungkin
merujuk kepada aliran Gnostik ketika membicarakan “orang-orang yang berusaha
menyesatkan kamu” (1Yoh 2:26). Sekte-sekte tertentu dapat dikenali pada akhir
abad kedua di pusat-pusat utama Gereja – Aleksandria dan Roma – dan pada waktu
itu berasal dari pengajar-pengajar Gnostik terkenal: Basilides, Valentinus dan
Markion.
Para pengikut Gnostis ditentang oleh
sejumlah penulis ortodoks (asli) Kristen, khususnya Santo Klemens dari Roma,
Santo Ireneus, Santo Hipolitus dan Tertulianus. Mereka adalah
jurubicara-jurubicara penentang Gnostik yang membantu menunjukkan perbedaan
teologis pokok antara Gnostik dan Gereja.
Sampai abad terakhir ini, apa yang
kita ketahui tentang Gnostik berasal hanya dari lawan-lawan penentang mereka
dari kelompok ajaran Kristen asli, namun penemuan mengenai kumpulan teks
Gnostik dalam bahasa Kopt di Nag Hammadi
di Mesir Atas memberikan kepada kita sejumlah besar tulisan-tulisan kaum
Gnostik
Kanon Katolik
Karena
pihak Protestan mengajukan keraguan atas kitab-kitab deuterokanonika
Perjanjian Lama dan kemudian menolaknya, maka dalam Konsili Trente 1546 para
Bapa Konsili memberikan rumusan resmi mengenai ”Kanon Kitab Suci”, yang
menerima daftar yang senantiasa merupakan Kitab Suci Kristiani hingga terjadi
gugatan pihak Protestan. Menurut dekrit dogmatik De Canonicis Scripturis,
8 April 1546, Perjanjian Lama terdiri dari empat puluh enam kitab; Perjanjian
Baru terdiri dari duapuluh tujuh kitab. Ketika menerbitkan dekrit itu, para
Bapa Konsili menambahkan: “Konsili mengikuti teladan Bapa-bapa yang setia, dan
dengan rasa penghargaan dan bakti yang sama Konsili menerima dan menghormati
semua kitab-kitab dari kedua Perjanjian, Lama dan Baru, sebab hanya Tuhanlah
yang menjadi pengarang keduanya, Konsili juga menerima dan menghormati iman dan
moral yang diterima secara lisan dari Kristus atau yang diilhami oleh Roh Kudus
dan terus menerus memeliharanya di dalam Gereja Katolik.”
KGK 120 menyampaikan ikhtisar: “Dalam
tradisi apostolik, Gereja menentukan kitab-kitab mana yang harus dicantumkan
dalam daftar kitab-kitab suci. Daftar yang lengkap ini dinamakan ‘Kanon Kitab
Suci’. Menurut kanon itu, Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab dan Perjanjian
Baru terdiri atas 27 kitab:
Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, dua buku Samuel, dua buku Raja-Raja, dua buku
Tawarikh, Esra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dua buku Makabe, Ayub, Mazmur,
Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Yesus Sirakh, Yesaya, Yeremia,
Ratapan, Barukh, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha,
Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.
Perjanjian Baru: Injil menurut Matius, Markus, Lukas
dan Yohanes, Kisah para Rasul, suratsurat Paulus: kepada jemaat di Roma, surat
pertama dan kedua kepada jemaat Korintus, kepada jemaat di Galatia, kepada jemaat
di Efesus, kepada jemaat di Filipi, kepada jemaat di Kolose, surat pertama dan
kedua kepada jemaat di Tesalonika, surat pertama dan kedua kepada Timotius,
surat kepada Titus, surat kepada Filemon, surat kepada orang lbrani, surat
Yakobus, surat pertama dan kedua Petrus, surat pertama, kedua, dan ketiga
Yohanes, surat Yudas, dan Wahyu Yohanes.
Nilai Perjanjian Lama
Perjanjian
Lama merupakan himpunan empat puluh enam kitab, ditulis terutama dalam bahasa
Ibrani, meliputi bentang sejarah keselamatan mulai dari penciptaan semesta hingga
menjelang masa Mesias. Umat kristiani menerima Perjanjian Lama karena
kitab-kitab itu diilhami ilahi dan dengan demikian penting karena petunjuk dan
bimbingannya (KGK 121). Namun ada kemungkinan salah paham (misalnya oleh
Marcion pada abad kedua) yang menganggap Perjanjian Lama tidak penting dan
dapat dihilangkan, karena telah digantikan oleh Perjanjian Baru, yaitu wahyu Allah
sendiri dalam Yesus Kristus (KGK 123). Gereja Katolik dengan tegas menentang
gagasan itu, karena kitab-kitab yang diilhami ilahi dalam Perjanjian Lama
“mencantumkan ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang
menyelamatkan tentang peri hidup manusia, juga perbendaharaan doa-doa yang
menakjubkan; di dalam semuanya itu juga misteri keselamatan kita dihadirkan
secara terselubung” (DV 15; KGK 122).
Jika kita mempelajari cerita yang
dinyatakan tentang rencana keselamatan Allah di dalam sejarah, kita harus
mengawali ceritanya dari tulisan-tulisan dalam Perjanjian Lama. "Tata
keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan
Kristus Penebus seluruh dunia." (KGK 122). Maka “Perjanjian Lama adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami
secara ilahi dan tetap memiliki nilainya karena Perjanjian Lama tidak pernah
dibatalkan” (KGK 121). Santo Agustinus menyatakan bahwa Perjanjian Baru
tersirat dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian
Baru (Lih DV 16; KGK 129; Agustinus, Heptateuchum, 2,73). Jadi pentinglah bagi umat Katolik untuk mempelajari
kitab-kitab Perjanjian Lama supaya dapat memahami Perjanjian Baru dengan tepat
dan sepenuhnya, dan supaya menerima ajaran ilahi Perjanjian Lama yang unik dan
berharga.
Suatu hasil yang tidak menguntungkan
dari perpisahan antara Katolik dan Protestan adalah perbedaan mengenai kanon
dari Perjanjian Lama, seperti yang telah disampaikan di depan. Umat Katolik
mengakui sebagai mendapat ilham ilahi tulisan-tulisan yang tercakup dalam versi
bahasa Yunani dari Perjanjian Lama yang digunakan dalam Gereja Perdana, yang
dikenal sebagai Septuaginta (LXX). Umat Protestan hanya menerima
tulisan-tulisan yang terdapat dalam versi bahasa Ibrani dari Kitab Suci, yang
di dalamnya tidak memasukkan kitab-kitab Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Putera
Sirakh, Baruh, dan 1, 2 Makabe. Buku-buku ini di kalangan Protestan disebut
“Apokrif”. Banyak orang Protestan membaca dan menghargai tulisan-tulisan itu,
walaupun mereka tidak menganggap kitab-kitab itu mendapat ilham ilahi. Umat
Katolik biasanya menyebut kitab-kitab ini sebagai “Deutero-kanonika” (atau
kanon yang kedua) karena diperdebatkan. Sekalipun begitu, umat Katolik menerima
kitab-kitab itu sebagai karya yang mendapat ilham ilahi dan sepenuhnya menjadi
bagian dari kanon Kitab Suci Perjanjian Lama.
Timbulnya Perjanjian Baru
Empat
puluh enam tulisan yang diakui umat Katolik sebagai Perjanjian Lama ditulis,
disunting dan diteruskan selama berabad-abad sebelum Kristus. Dua puluh tujuh
tulisan yang diterima baik oleh umat Katolik maupun umat Protestan sebagai
kanon Perjanjian Baru relatif memerlukan waktu yang lebih singkat; diajukan
sejak dari bentuk awalnya hingga mendapat pengakuan umum Gereja sebagai kumpulan
tulisan yang mendapat ilham ilahi – hanya sekitar tiga abad saja.
Bagaimana Perjanjian Baru yang
merupakan kesaksian utama atas Yesus itu terbentuk? Kira-kira selama tiga abad,
umat Kristiani belum mempunyai apa yang dikenal secara umum “Perjanjian Baru.”
Dalam masa itu, surat-surat dari para rasul dan pengikut dekat dari Yesus
diedarkan di antara jemaat Kristiani setempat. Begitu juga bermacam-macam
tradisi (secara harfiah “hal-hal yang diteruskan”) yang menceritakan berbagai
aspek kehidupan dan ajaran Yesus disebarkan di antara Gereja-gereja baik
sebagai cerita maupun sebagai khotbah (“tradisi lisan”), dan pada akhirnya di
dalam tulisan pendek tentang Yesus (“tradisi tertulis”).
Perjanjian Baru sekarang banyak kita dapatkan dicetak sebagai satu buku. Tetapi di dalamnya terdapat dua puluh tujuh tulisan. Semuanya bersama-sama memang merupakan satu kesatuan, tetapi masing-masing karangan adalah unik dan berbeda berdasarkan siapa penulisnya, latar belakang pribadinya dan teologinya, kepada siapa karangan itu ditujukan, dan jenis sastra yang digunakan. Namun memang, di dalamnya "Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rm 1:16), dalam kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya" (DV 17). Tulisan-tulisan tersebut memberi kepada kita kebenaran definitif wahyu ilahi. Tema sentralnya ialah Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, karya-Nya, ajaran-Nya, kesengsaraan-Nya, dan pemuliaan-Nya begitu pula awal mula Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus” (KGK 124).
Injil
Mulai dari duapuluh atau tigapuluh
tahun sesudah wafat dan kebangkitan Yesus, beberapa pengikut Yesus menghimpun
tradisi-tradisi ini menjadi satu catatan tentang kehidupan dan pelayanan Yesus
yang dikenal sebagai Injil (Kabar Gembira). Paulus menyampaikan suatu rumusan
tentang Injil sebagai garis besar: “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang
dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Injil
itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam
kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari
keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari
antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus
Tuhan kita” (Rm 1:1-4). “Injil-injil merupakan jantung hati semua tulisan
sebagai ‘kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda Yang Menjadi Daging,
Penyelamat kita’ (DV 18)” (KGK 125). Salah seorang penulis Injil, Santo Lukas,
melukiskan tugasnya di dalam pengantar Injilnya:
Banyak orang telah
berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang
dari semula adalah saksi dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku
menyelidiki peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil
keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat
mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. (Luk 1:
1-4).
Dari pernyataan Santo Lukas itu dapat
disimpulkan bahwa pada waktu itu sudah ada banyak karangan Injil ditulis orang.
Proses terjadinya Injil-injil tentu
saja selaras dengan periode-periode sejak Yesus masih hidup dan bekerja,
kemudian dituturkan dalam tradisi lisan, dan selanjutnya dituliskan. “Dalam
penyusunan Injil-injil dapat kita bedakan tiga tahap:
1. Kehidupan dan kegiatan mengajar
Yesus. ‘Bunda Gereja kudus tetap
mempertahankan dengan teguh dan sangat kokoh, bahwa keempat Injil "yang
sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh
Yesus Putera Allah selama hidup-Nya di antara manusia sungguh telah dikerjakan
dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis
1:1-2)’ (DV 19).
2. Tradisi lisan. ‘Sesudah
kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang
dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih
penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia
Kristus dan oleh terang Roh kebenaran’ (DV 19).
3. Penulisan Injil-Injil.
‘Adapun penulis suci mengarang keempat Injil dengan memilih berbagai
dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis;
beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan
memperhatikan keadaan Gereja-Gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan
bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan
kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus’ (DV 19)” (KGK 126).
Tahap
yang pertama adalah ajaran-ajaran Kristus, ketika Ia sendiri semasa hidupNya
memberikan ajaranNya secara lisan, Ia
“menggunakan bentuk-bentuk gagasan dan ungkapan yang lazim pada zaman itu” dan
”menyesuaikan Diri kepada jalan pikiran pendengarNya sedemikian sehingga
ajaranNya dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dalam benak mereka dan mudah
diingat oleh para muridNya”.
Tahap
yang kedua, adalah ajaran para rasul, yaitu kesaksian yang disampaikan para
rasul tentang Yesus dan pewartaan wafat dan kebangkitanNya. Di dalam
menyampaikan cerita tentang hidup Yesus dan menyampaikan kata-katanya, para
rasul menggunakan perkataan dan frasa yang disesuaikan sebaik-baiknya dengan
khalayak mereka, termasuk bentuk-bentuk percakapan seperti “rumusan pengajaran,
penyampaian kisah, pernyataan saksi mata, kidung, doksologi, doa, dan gaya
sastra yang umum terdapat dalam Kitab Suci dan percakapan pada waktu itu.”
Tahap
yang ketiga, keempat penginjil yang menuliskan ajaran para rasul, dengan
menggunakan metode-metode yang terbaik bagi para pembaca khusus mereka dan yang
terutama bagi seluruh gereja:
“Dari berbagai unsur yang
ada pada mereka, mereka menyampaikan sebagian, membuat ikhtisar dari yang lain,
dan juga mengembangkan yang lain lagi sesuai dengan kebutuhan berbagai jemaat.
Mereka menggunakan setiap cara yang mungkin untuk menjamin pembaca mereka
mendapatkan kebenaran dari segala yang diajarkan kepada mereka. Dari bahan yang
tersedia para Penginjil memilah hal-hal yang paling cocok bagi maksud khusus dan
kondisi pembaca tertentu. Dan mereka mengisahkan peristiwa-peristiwa itu dengan
cara yang paling memuaskan maksud mereka dan situasi khusus khalayak mereka” (Sancta
Mater Ecclesia II)
Santo Yohanes di dalam Injilnya
menyatakan bahwa tidak semua yang terjadi dituliskan di dalam kitab Injil.
Setiap penulis Injil kiranya memilih dan memilah, apa yang hendak ditulisnya,
dan menyusun tulisannya sesuai dengan maksud dan tujuannya sendiri. Maka ada
beberapa bahan pokok dalam Injil, yang disampaikan secara berbeda mengikuti maksud
(wawasan teologi) dan proses penulisan keempat pengarang Injil (Matius, Markus,
Lukas, Yohanes).
Walaupun ada banyak karangan Injil
yang telah ditulis orang, namun tidak semua di antara injil-injil itu dapat
diandalkan atau bersesuaian pada bagian-bagian yang penting, walaupun mereka
membawa nama seperti “Injil Tomas” atau “Injil Kebenaran”. Bagaimana umat
Kristiani menentukan mana injil dan mana surat-surat, yang semuanya menyatakan
berasal dari rasul atau murid Kristus, yang sungguh benar dan mendapat ilham
ilahi? Umat Kristiani perdana tahu bahwa Yesus menjanjikan Roh Kudus untuk
membimbing Gereja kepada seluruh kebenaran, memungkinkan Gereja mengenali
ajaran dan tulisan yang mendapat ilham ilahi. Dan setelah diselidiki, tinggal empat
Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) saja yang dipertahankan sebagai
Injil-injil kanonik Perjanjian Baru.
“Injil empat ragam itu menduduki
tempat istimewa di dalam Gereja. Ini dibuktikan oleh penghormatan terhadapnya
di dalam liturgi dan daya tarik yang tidak ada bandingnya, yang mempengaruhi
orang kudus dari setiap zaman” (KGK 127).
Kisah
Ragam
tulisan kisah satu-satunya yang kanonik dalam Perjanjian Baru adalah Kisah Para
Rasul, yang ditulis oleh Santo Lukas dan dipandang sebagai kelanjutan dari
Injil Lukas. Kisah merupakan cerita mengenai penerimaan dan penyebaran Injil
Yesus Kristus oleh para rasul sesudah Yesus naik ke surga, di dalam Gereja
perdana. Isinya adalah khotbah dan kesaksian mengenai Yesus Kristus (Kis
2:22-36; 3:12-26; 4:10-12; 5:30-32; 10:34-43; 15:16-41) dan cerita tentang
upaya dan perjalanan rasul-rasul di dalam menyampaikan khotbah itu.
Di luar Kisah Para Rasul yang
kanonik, di Gereja awal juga beredar tulisan-tulisan jenis kisah lainnya
seperti Kisah Andreas, Kisah Andreas dan
Matias, Kisah Yohanes, Kisah Paulus, Kisah Paulus dan Tekla, Kisah Petrus dan
Andreas, Kisah Petrus dan Paulus, Kisah Filipus dan lain-lain, yang tergolong
apokrif.
Di
dalam Perjanjian Baru terdapat 22 tulisan kanonik berupa surat, yaitu 13 surat
Paulus, surat Ibrani, surat Yakobus, dua surat Petrus, surat Yudas, dan tiga
surat Yohanes. Surat-surat Paulus dianggap sebagai gelombang pertama tulisan
Perjanjian Baru karena lebih tua umurnya, ditulis antara tahun 50-60.
Injil-injil merupakan tulisan gelombang kedua, antara tahun 70–80.
Surat-surat berisi bahan tradisional
(1) mengenai ajaran dan pribadi Yesus yang diwartakan kepada jemaat tertentu,
dan bahan-bahan (2) pengajaran agama, moral dan liturgi, serta (3) mengenai
cara-hidup komunitas Gereja yang saling meneguhkan berdasarkan Yesus Kristus.
Selain surat-surat kanonik dalam
Perjanjian Baru, di dalam Gereja perdana beredar pula surat-surat apokrif lain
seperti Legenda Abgar, Surat-menyurat Paulus dan Seneca, Surat Pseudo Titus,
Surat Lentulus, Surat Paulus kepada Jemaat Laodikea, Surat Ketiga Kepada Jemaat
Korintus, Pastor Hermas dan Surat Barnabas.
Ada
banyak tulisan apokalip yang menyingkapkan masa depan yang beredar di dalam
Gereja perdana. Misalnya: Apokalip 1 Yakobus; Apokalip 2 Yakobus; Apokalip
Paulus (Bhs Kop); Apokalip Petrus (Bhs Arab); Apokalip Petrus (Bhs Kop); Apokalip
Petrus (Yunani/Etiopia); Apokalip Paulus (Bhs Latin); Apokalip Sofonias; Apokalip
Yakobus. Tetapi dari berbagai tulisan ragam apokalip itu hanya Kitab Wahyu
(Yohanes) yang diterima Gereja sebagai tulisan yang kanonik, yang mendapat
ilham ilahi.
Kitab Wahyu menyampaikan “penglihatan”
atas perkembangan situasi jemaat-jemaat yang sudah menerima wahyu ilahi Yesus
Kristus di masa depan dari kacamata surga, yaitu “Yerusalem Baru”, dan
melukiskannya sebagai “awan para saksi” dengan nuansa liturgi.
Sehubungan dengan tulisan-tulisan
kanonik Gereja percaya bahwa Roh Kudus membimbing para pengajar utama dan tetua
Umat Allah, yaitu para Uskup, untuk mewartakan serta mengajarkan kebenaran dari
Sabda Allah yang tertulis. Di dalam melayani kawanan domba Kristus, salah satu
tugas utama Uskup adalah memastikan bahwa yang diajarkan adalah ajaran yang
benar. Maka Uskuplah yang berwenang memikirkan mana tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran
yang tersebar secara luas yang sungguh-sungguh Sabda Allah bagi seluruh Gereja
– dan mana yang bukan. Para uskup Gereja kuno mengembangkan daftar tulisan yang
disebut kanon, yang dianggap diilhami oleh Roh kudus. Kanon yang disusun Uskup
Ireneus dari Lyons pada tahun 185 sangat mirip dengan Perjanjian Baru sekarang,
tetapi tidak menyebutkan 3 Yoh, Yak, dan
2 Ptr. Kanon serupa yang juga mirip dengan yang sekarang tertulis dalam Fragmen
Muratorian, mungkin dari Gereja Roma, pada tahun 200. Namun pada abad keempat
masalah kanon yang tidak resmi masih belum dapat diselesaikan. Pada bagian awal
dari abad itu, Uskup Eusebius dari Kaisarea menyatakan bahwa surat-surat Yak,
Yud, 2 Ptr dan 2,3 Yoh “walaupun kita kenal
akrab, namun masih disangsikan” (HistEccl, Buku III, Pasal 25, paragraf
pertama). Diperlukan beberapa abad sampai para Uskup mencapai kesepakatan atas
kanon Perjanjian Baru yang lengkap.
Keputusan mereka secara resmi
diumumkan dalam suatu Dekrit dari Konsili Roma pada tahun 382, di bawah Paus
Damasus, dan diteguhkan lagi oleh Konsili Kartago yang ketiga pada tahun 397.
Daftar tulisan Perjanjian Baru yang sekarang ini dapat ditemukan dalam Codex
Vaticanus dari Roma sekitar tahun 340, dan dalam Surat ke tiga puluh sembilan
St Atanasius dari tahun 367.
Pada abad kelima para uskup Gereja
sudah mencapai kesepakatan umum tentang surat-surat dan injil yang
sungguh-sungguh mendapat ilham ilahi, walaupun status dari beberapa tulisan
masih diperdebatkan sesudahnya. Demikianlah Perjanjian Baru dilahirkan dalam
situasi yang pada dasarnya sama dengan yang kita kenal sekarang. Umat Katolik
memandang Kitab Suci sebagai “buku Gereja” karena timbul sebagai hasil tradisi
Gereja dan melalui penimbangan dan keputusan para uskup Gereja.
Umat Katolik percaya bahwa para
Uskup melanjutkan peranannya dalam mewartakan dan penafsiran Kitab Suci secara
autentik melalui bimbingan Roh Kudus. Karena surat-surat dan injil-injil yang
berbeda-beda dan dinyatakan berasal dari masa para rasul dibacakan dalam
gereja-gereja Kristiani awal, para uskup dari gereja-gereja itu dengan berdoa
menimbang autentisitasnya, dan berulangkali mendiskusikan masalah ini dengan
uskup lain di kawasan yang sama. Selang beberapa lama, para uskup mencapai
kesepakatan tentang surat-surat dan injil-injil yang sungguh selaras dengan
tradisi yang diterima dari para rasul. Ketika kanon yang pada umumnya diterima
itu ditentang pada abad keenam belas, para Uskup secara resmi meneguhkan lagi
kanon yang sekarang baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam
Konsili Trente pada tahun 1546.
Kesatuan Wahyu Ilahi
Hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Di
depan telah dikatakan bahwa semua “kitab-kitab” dihimpun membentuk satu “Kitab”
saja, sebab Allah yang adalah pengarang ilahi dari mereka semuanya menghendaki
mereka secara bersama-sama memberi kesaksian akan satu rencana keselamatan dari
Allah. "Sabda Allah yang satu dan sama berada dalam semua Kitab; Sabda
Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab yang suci.
Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada Allah, Ia tidak membutuhkan
suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada waktu" kata Santo
Agustinus (Psal. 103,4,1).
Maka walaupun dibedakan antara Kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun keduanya membentuk satu kesatuan
yang dinamis. Dan kesatuan di antara keduanya diikat oleh apa yang disebut
“tipologi”. “Sudah sejak zaman para Rasul dan juga dalam seluruh tradisi,
kesatuan rencana ilahi dalam kedua Perjanjian itu dijelaskan oleh Gereja
melalui tipologi. Penafsiran macam ini menemukan dalam karya Tuhan dalam
Perjanjian Lama "bentuk-awal" (tipologi) dari apa yang dilaksanakan
Tuhan dalam kepenuhan waktu dalam pribadi Sabda-Nya yang menjadi manusia” (KGK
128).
Bahasa Yunani typos, berarti
“gambaran”, “bayangan” atau “contoh”. Dalam konteks Kitab Suci dan teologi,
suatu tipe adalah orang, tempat, kejadian, atau pranata/lembaga dalam Kitab
Suci yang lebih dahulu membayangkan realitas yang lebih besar yang belum tiba.
Biasanya sesuatu di dalam Perjanjian Lama menunjuk sesuatu dalam Perjanjian
Baru. Misalnya, Santo Paulus mengajarkan bahwa Adam adalah “gambaran Dia yang
akan datang”, yaitu Yesus Kristus (Rm 5:14). Pokok gagasannya adalah bahwa Adam
menjadi gambaran awal Kristus sebagai satu orang yang akan datang ke dunia
tanpa dosa dan satu orang yang tindakanNya mempengaruhi seluruh umat manusia.
Namun dari keduanya, Kristus adalah lebih besar, karena Ia berhasil di tempat
Adam menemui kegagalan, dan Kristus memulihkan rahmat bagi dunia oleh
ketaatanNya, setelah manusia kehilangan rahmat akibat pemberontakan Adam (Rm
5:12-21).
Sedangkan tipologi adalah usaha
kajian atas orang, tempat, kejadian dan pranata/lembaga di dalam Kitab Suci
yang lebih dahulu sebagai gambaran atau bayangan awal dari realitas di kemudian
hari yang lebih besar yang diungkapkan Allah dalam sejarah. Dasar telaahnya
adalah keyakinan bahwa Allah, yang dalam tata penyelenggaraan membentuk dan
menentukan arah sejarah manusia, menyampaikan semuanya itu dengan kandungan
makna penting secara profetis dan teologis. Di dalam pribadi dan karya Yesus
Kristus, makna yang penuh dari pribadi-pribadi, tempat-tempat dan
kejadian-kejadian serta pranata sejarah Kitab Suci akhirnya terungkapkan.
Beberapa contoh di antaranya tampil
dalam Mat 12, ketika Yesus menyatakan, “di sini ada yang melebihi Bait Allah”
(Mat 12:41), dan “sesungguhnya yang ada di sini lebih daripada Yunus” (Mat
12:41), dan kemudian : “yang ada di sini lebih daripada Salomo” (Mat 12:42).
Perkataan Yesus menyatakan apa yang ada dalam tipologi, yaitu bahwa tipe-tipe
yang lebih dulu sudah membayangkan Dirinya, namun Ia melampaui mereka karena
lebih besar daripada yang terdahulu. Dalam hal ini, Yesus menempatkan diriNya
melampaui tempat yang paling suci yang diakui umat Israel (Bait Allah),
melampaui nabi yang dengan ajaib muncul setelah tiga hari terkubur dalam perut
ikan (Yunus), dan melampaui raja paling bijaksana yang pernah memerintah umat
Allah (Salomo). Kristus adalah Bait Allah yang baru dan hidup, sebab dalam Dia
Allah hadir secara lebih intens daripada di tempat suci (bdk Yoh 2:21). Ia juga
Yunus yang baru sebab kebangkitanNya setelah tiga hari dimakamkan merupakan
mujizat yang paling hebat daripada semua yang lain (bdk Mat 16:4). Dan Ia juga
Salomo yang baru, Raja dari keturunan Daud dan yang dengan hikmat kebijaksanaan
menarik seluruh dunia mendekat kepada Allah (Luk 11:31).
Dengan tipologi “umat Kristen
membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit.
Pembacaan secara tipologi ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak
terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai
wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya. Selain itu
Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese
perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama. Sesuai dengan sebuah
semboyan lama, Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan
Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: "Novum in Vetere
latet, et in Novo Vetus patet" (Agustinus, Hept. 2,73). (KGK 129).
Selain tipologi yang berkaitan
dengan Kristus (kristologis), juga ada tipologi eklesiologis yang berhubungan
dengan Gereja. Paulus membandingkan Gereja dengan peziarahan Israel dalam
rangka Keluaran di padang gurun. Seperti Israel yang menyeberangi laut (Kel
14:21-22) dan mendapat makanan roti manna yang turun dari surga (Kel 16:35)
serta air yang memancar dari karang (Kel 17:6), maka kaum beriman anggota
Gereja juga melalui air baptis dan disegarkan dalam perjalanan mereka dengan
santapan dan minuman Ekaristi (1 Kor 10:1-5). Di sini tipologi berfungsi
sebagai peringatan, karena sebagian besar bangsa Israel yang menerima berkat
ini akhirnya menolak Allah dan karenanya menjauhkan mereka sendiri dari Tanah
Terjanji (1 Kor 10:6-12).
Adapula tipologi sakramen. Salah
satu contoh yang jelas terdapat dalam Surat Pertama Petrus, di mana Petrus
membandingkan Air Bah pada zaman Nuh (Kej 6-9) dengan air baptis di dalam
Liturgi Gereja. Dengan menaati Allah dan masuk dalam bahtera, Nuh dan
keluarganya “diselamatkan oleh air” (1 Ptr 3:20). Demikian pula kaum beriman
“diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan” (1 Ptr 3:21).
“Tipologi berarti adanya
perkembangan rencana ilahi ke arah pemenuhannya, sampai akhirnya ‘Allah menjadi
semua di dalam semua’ (1 Kor 15:28)” (KGK 130).
Dengan demikian tipologi
mengungkapkan kesatuan sejarah keselamatan sebagai rencana yang diatur dengan
cermat dan diwujudkan secara bertahap oleh Allah berangsur-angsur hingga
seluruhnya. Peralihan dari “tipe” menjadi realitas yang ditandakan, selalu
merupakan pergeseran dari yang lebih kecil kepada yang lebih besar.
Kitab Suci dalam Hidup Gereja
Pada
tahun 2008 diselenggarakan Sinode Para Uskup mengenai Kitab Suci, dengan tema
“Sabda Allah dalam Hidup dan Karya Gereja”, dihadiri lebih dari 250 Uskup dari
seluruh dunia. Uskup Agung Washington, Donald W. Wuerl pada kesempatan itu
menyatakan: “Orang Katolik mengenal Sabda Allah. Ucapkanlah suatu perumpamaan
dalam Injil, mereka pasti bisa melengkapi ceritanya. Hanya saja mereka tidak
membaca Kitab Suci. Mereka tidak membuka Kitab Suci, tidak tahu bab berapa ayat
berapa. Mereka mengenal Sabda Allah dengan duduk mengikuti liturgi.” Uskup
Agung Donald Wuerl melanjutkan bahwa dengan Sinode ini situasi itu hendak
dikembangkan. “Kesempatan ini adalah undangan, agar umat Katolik mempunyai
Kitab Suci, membuka Kitab Suci, dan meluangkan waktu setiap hari untuk membaca
dan merenungkan Sabda Allah dalam Kitab Suci” (Catholic News Service, Synod
of Bishops: Wuerl, 21 Oktober 2008) Dan lebih dari sekedar membaca Kitab
Suci, adalah bagaimana mewujudkan Sabda itu di dalam hidup.
Sesungguhnya Gereja sendiri hidup
dari Sabda Allah. Konsili Vatikan II mengakui: “Kitab-kitab ilahi seperti juga
Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi
suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun
Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman” (DV 21). Di dalam setiap
Misa ada tiga bacaan Kitab Suci dalam perikop penuh, yang dipilih dari
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gereja menyusun bacaan-bacaan khusus untuk
setiap hari dalam suatu siklus tiga tahunan. Dalam siklus masa itu, orang
Katolik yang menghadiri Misa setiap hari akan mendengarkan sebagian besar isi
dari sebagian besar kitab-kitab dalam Kitab Suci. Orang Katolik yang menghadiri
Misa pada hari Minggu dan hari-hari raya (semisal Natal, Kenaikan Tuhan dan
sebagainya) akan mendengarkan kutipan-kutipan utama dari Kitab Suci yang
berulang kali diwartakan (Normand Bonneau, 1998: The Sunday Lectionary; Scott
Hahn, 2005: Letter and Spirit: Words, Worship and Mysteries).
Bacaan pertama pada Misa pada
umumnya diambil baik dari Perjanjian Lama maupun salah satu kitab Perjanjian
Baru di luar Injil – yaitu dari Kisah Para Rasul, Surat-surat, atau Wahyu. Sesudah
bacaan pertama itu, jemaat akan membacakan atau melagukan salah satu Mazmur.
Kemudian imam atau diakon membacakan sebuah kutipan dari Injil. Pada hari raya
tertentu, misalnya Minggu Palem dan Malam Paskah, jemaat mendengarkan
bacaan-bacaan yang lebih panjang dari biasanya, dari lebih banyak kitab dari
Kitab Suci.
Namun masih diharapkan agar umat
Katolik menerima manfaat dari menjumpai Sabda Allah dalam Kitab Suci di luar
Misa juga, mengingat besarnya daya Sabda Allah itu. Kardinal Oullet dari Quebec
dalam Sinode Para Uskup 2008 tentang Kitab Suci menyatakan bahwa membaca Kitab
Suci adalah pengalaman perjumpaan dengan Kristus. Dan perjumpaan itu
menyalurkan daya kasih yang berasal dari iman (Catholic News Service, Synod
Summary, 15 Oktober 2008). "Adapun sedemikian besarlah daya dan
kekuatan Sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan,
dan bagi putera-putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber
jernih dan kekal hidup rohani" (DV 21; KGK 131). Maka "Bagi kaum
beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar" (DV
22). Dengan menyediakan buku-buku Kitab Suci yang harganya dapat terjangkau;
dengan jumlah yang memadai; dan memberikan bimbingan yang diperlukan.
Sabda Allah jugalah yang
memungkinkan Gereja hidup dan bekerja selama lebih dari 2000 tahun hingga
sekarang, walaupun pengertian Sabda Allah di sini adalah Sabda yang hidup,
yaitu Kristus sendiri, yang lebih besar dari Kitab Suci. Pada akhir Sinode Para
Uskup 2008, bapa-bapa sinode menyerukan bahwa seperti Kristus yang mewartakan
harapan dan keselamatan, umat Kristiani, Gereja, diutus mewartakan sabda pengharapan dengan berbagi dengan kaum miskin
dan mereka yang menderita, melalui kesaksian iman akan kerajaan kebenaran dan
hidup, kekudusan dan rahmat, keadilan, kasih dan perdamaian. Mendengarkan Sabda
Allah secara autentik adalah menaati dan melaksanakannya. Tidaklah cukup
membaca dan menjelaskan Sabda Allah kepada orang lain. Tetapi kaum beriman harus
dapat menunjukkan kepada orang lain kebaikan Allah dalam perbuatan mereka, dan memungkinkan
mereka mengalami kebaikan itu. Jika Sabda Allah adalah kasih, maka yang membaca
dan berdevosi pada Sabda Allah haruslah menginkarnasikan kasih itu, yang
membimbing pada persekutuan dalam komunitas, solidaritas dan dialog.
Demikianlah "pelajaran Kitab Suci hendaklah bagaikan jiwa teologi suci.
Namun dengan sabda Kitab Suci, juga pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral,
katekese, dan semua pelajaran kristiani - di antaranya homili liturgis harus
sungguh diistimewakan - mendapat bahan yang sehat dan berkembang dengan
suci" (DV 24; KGK 132).
Akhirnya KGK 133 menyatakan bahwa: Gereja
"menasihati seluruh umat Kristen dengan sangat, agar melalui pembacaan
buku-buku ilahi sampai kepada `pengenalan Yesus Kristus secara menonjol (Flp
3:8). `Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus (Hieronimus,
Is. prol.)" (DV 25).
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar