Daftar Blog Saya

Selasa, 27 Desember 2022

TEMPAT KITAB SUCI DALAM GEREJA

 


Katekese Pokok2 Iman Kita #8

Salah satu akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis adalah persoalan kanonisitas Kitab Suci. Kanon (dari bahasa Yunani kanon, artinya “ketetapan” atau “norma”; terjemahan dari bahasa Ibrani qaneh artinya “galah pengukur”). Origenes (meninggal th 254) adalah orang pertama yang menggunakan istilah kanon itu dengan merujuk Kitab Suci, tetapi Santo Atanasius-lah orang pertama (meninggal 373) yang menggunakan istilah “kitab-kitab kanonik” yang umum beredar di kalangan para penulis selanjutnya, dengan mencantumkan daftar keduapuluh tujuh kitab Perjanjian Baru dalam karyanya Epistola Festalis dari tahun 367. Pada abad yang sama Konsili Laodikea membahas Kanonika Biblia (Kanon Kitab Suci). Maka gagasan tentang suatu kanon sebagai kumpulan tertentu sudah digunakan dalam Gereja awal dan tetap diterima di sepanjang sejarah selanjutnya mengenai kitab-kitab gerejawi.

            Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah yang dituliskan, disusun dengan bimbingan Roh Kudus, maka kitab-kitab itu suci, dipisahkan dari dokumen tertulis yang lain dan secara khas cocok untuk ibadat dan doa-doa. Ada banyak tulisan-tulisan yang dibuat orang, tetapi tidak semuanya “diilhami ilahi” dan karenanya suci (lihat di bawah nanti Daftar Kitab Suci kanonik dan daftar tulisan-tulisan apokrif). Gereja dengan Tradisinya yang sudah ada lebih dulu harus memutuskan mana-mana tulisan yang diilhami Allah. Maka, ketika Gereja menyusun daftar kanon Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Gereja sungguh mengukur dan mengakui kekudusan ilahi yang tersimpan di dalamnya.

Baca Juga: Wahyu Allah Dalam Kitab Suci

Baca Juga : Pentradisian Wahyu Ilahi.

            Kitab Suci dibagi menjadi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang menyampaikan kesaksian akan dua perjanjian, yang lama dan yang baru, di antara Allah dan umatNya, sebagai bagian dari pemenuhan rencana keselamatan ilahi. Penyebutan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagian diilhami oleh Paulus yang membedakan “perjanjian baru” dari “perjanjian lama” dalam 2 Kor 3:6.14.

 

Kanon Perjanjian Lama

A. Kanon Yahudi

Belum ada kanon Yahudi yang pasti untuk Kitab Suci di masa sebelum Gereja Kristen. Memang ada kumpulan kitab-kitab suci, tetapi sejauh mana dan seperti apa bentuknya dalam suatu koleksi masih merupakan persoalan. Para ahli Yahudi modern mengandalkan daftar keduapuluh empat kitab di dalam teks Ibrani Masora, yang terbagi dalam Hukum (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan); Nabi-nabi, yang dibagi lagi menjadi nabi-nabi awal (Yosua, Hakim-hakim, 1-2 Samuel dan 1-2 Raja-raja), dan nabi-nabi kemudian (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan keduabelas nabi lain yang dihitung sebagai satu buku [Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Mikha, Yunus, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi);  kemudian Tulisan-tulisan (1-2 Tawarikh, Ezra-Nehemia, Ester, Rut, Mazmur, Amsal, Ayub, Ratapan, Pengkhotbah, Kidung Agung, dan Daniel). Koleksi Aleksandria yang kemudian diterjemahkan menjadi Septuaginta (LXX) juga memasukkan 1-2 Makabe, Tobit, Yudit, Sirakh, Kebijaksanaan, Barukh dan beberapa Tambahan untuk Ester dan Daniel (disebut Deuterokanonika).

            Septuaginta (LXX) menjadi Kitab Suci bagi kebanyakan umat Kristen awal, dan pada umumnya mereka menerima semua kitab yang tercantum di dalamnya sebagai Kitab Suci. Namun kitab-kitab deuterokanonik tidak diterima oleh agama Yahudi Palestina, sekalipun mereka tampaknya diterima di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani dalam Diaspora.

            Pada akhir abad pertama Masehi, sejarawan Yahudi Flavius Josephus menulis bahwa ada duapuluh dua kitab yang diilhami, suatu daftar yang sama dngan kanon Ibrani yang berlaku untuk duapuluh empat buku (Josephus menyatukan kitab Hakim-hakim dengan Rut, dan kitab Yeremia dengan Ratapan). Maka Josephus menyisihkan tulisan-tulisan yang lebih baru di dalam Septuaginta, dan ia tampaknya diikuti oleh suatu kecenderungan intelektual dalam kalangan Yahudi tertentu. Hampir bersamaan waktunya dengan tulisan Josephus, suatu sinode para rabi di Yamnia (tahun 90 M) konon katanya meresmikan kanon Yahudi yang terdiri dari duapuluh empat kitab, walaupun hasilnya yang pasti tetap tidak mantap dan beberapa ahli meragukan adanya sinode itu.

 


B. Kanon Kristen

Umat Kristen, di pihak lain, lebih merangkul Septuaginta ketimbang koleksi Palestina yang lebih singkat itu, mungkin karena dominannya bahasa Yunani sebagai bahasa umum Kekaisaran Roma di bagian Timur pada waktu itu. Kristus dan para rasul tidak memberikan pernyataan yang tegas mengenai kitab-kitab, namun sepanjang Perjanjian Baru terdapat 350 kutipan dari tulisan-tulisan Perjanjian Lama, yang sebagian besar di antaranya dalam bahasa Yunani Septuaginta. Dari semua kitab yang menjadi kanon Ibrani dikutip dengan jelas kecuali Ezra, Nehemia, Ester, Rut, Pengkhotbah, Kidung Agung, Obaja dan Nahum; juga ada beberpa rujukan pada kitab Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan.

            Tulisan-tulisan dan kanon Kristen dari abad pertama mengandaikan kanon Septuaginta termasuk Kanon Cheltenham (pertengahan abad keempat), dekrit Paus Santo Damasus I (tahun 382), dan Konsili Hippo (tahun 393) dan Karthago (tahun 397 dan 419). Sebagian dari kanon Yahudi (Tobit dan Yudit) juga diterjemahkan oleh Santo Hieronimus dan disetujui oleh Paus Santo Inosentius I (masa kepausan 401-417). Selanjutnya Konsili Florense (1441) meneguhkan kanon Yunani, dan Konsili Trente mengeluarkan dekrit resmi yang menunjangnya pada pertengahan 1500-an, melawan para pendiri Protestan yang menolak kitab-kitab deuterokanonika dan hanya menerima kitab-kitab dalam kanon Ibrani.

 

Kitab-kitab Apokrif Perjanjian Lama: Sekedar informasi. Di luar kitab-kitab yang terdaftar di dalam Kanon Kitab Suci Perjanjian Lama, ada banyak tulisan-tulisan kuno yang memuat ajaran-ajaran baik, dan di dalamnya juga mengisyaratkan bagian-bagian dari tradisi tertentu. Namun tulisan-tulisan ini dianggap tidak mendapat ilham ilahi. Pencantuman tulisan-tulisan itu di sini sekedar memberikan gambaran bahwa tidak mudah tugas Gereja dulu ketika harus menyusun Kanon Kitab Suci. Tulisan-tulisan ini disebut “Apokrif”.

            Istilah “Apokrif Perjanjian Lama” digunakan untuk bermacam-macam tulisan Yahudi yang disusun antara tahun 250 SM hingga tahun 200 M. Dokumen-dokumen Yahudi yang paling awal di dalam kumpulan besar ini berasal dari abad ketiga SM, sementara yang lain ditempatkan pada periode yang sulit dari tahun 70 sampai 200 M, di antara hancurnya Yerusalem dan dihimpunnya Mishna. Unsur terakhir dan final dari kumpulan tulisan ini berasal dari suatu periode sekitar atau sesudah abad keempat atau kelima Masehi.

            Sumber-sumber ini memberikan kepada kita informasi mengenai kebudayaan Yahudi dan kepekaan rasa keagamaan baik di Palestina maupun  di dalam Diaspora. Mereka juga menyimpan banyak elemen yang berharga berupa cerita-cerita rakyat dan legenda seperti ajaran yang luas tentang malaikat dalam Kitab Henokh dan Esdras.

            Tulisan-tulisan yang dikelompokkan sebagai tulisan apokrif pada umumnya dihimpun oleh para anggota komunitas Yahudi, sebagian darinya mungkin diolah kembali oleh para penulis Kristen. Judul-judul dan isi tulisan sengaja menyerupai kitab-kitab Perjanjian Lama, menunjukkan pengaruh bentuk-bentuk literer seperti sastra kebijaksanaan. Banyak di antaranya mencatut nama tokoh-tokoh Perjanjian Lama : Musa, Henokh, Salomo, Ezra dan Yesaya. Tulisan-tulisan ini disebut “psedo-epigrafa”, justru karena mencatut nama penulis.

            Tidak ada daftar baku (standar) tulisan-tulisan apokrif Perjanjian Lama yang disepakati. Tetapi ada kemungkinan untuk memasukkan tulisan tertentu dalam kategori-kategori spesifik, misalnya Sastra Apokalip, Perjanjian, Sastra Kebijaksanaan, Doa dan Mazmur, Fragmen Karya Yudeo-Helenistik.

 



APOKRIF PERJANJIAN LAMA

Sastra Apokaliptik yang Berkaitan Dengan Tokoh

2 Barukh

3 Barukh

1 Henokh

2 Henokh

3 Henokh

Apokalip Abraham

Apokalip Adam,

Apokalip Daniel

Apokalip Elia

Apokalip Sedrakh

Apokalip Zefanya

Apokalip Yehezkiel

Kitab Keempat Ezra

Apokalip Yunani Ezra

Pertanyaan Ezra

Wahyu Ezra

Ajaran Sibil

Khasanah Sem

Visiun Ezra

 

Perjanjian

Perjanjian Adam

Perjanjian Ayub

Perjanjian Musa

Perjanjian Salomo

Perjanjian Tiga Bapa Bangsa

(Abraham, Ishak, Yakub)

Wasiat Dua Belas Bapa Bangsa

 

Perluasan PL dan Legenda2

Surat-surat Aristas

Yubile

Kemartiran dan Kenaikan Yesaya

Yusuf dan Asenet

Tangga Yakub

4 Barukh

Hidup Adam dan Hawa

Yanes dan Yambre

Riwayat Suku Rechab

Eldad dan Modad

Riwayat Yusuf

Pseudo Filo

Hidup Para Nabi

 

Kebijaksanaan dan Sastra Filsafat

3 Makabe

4 Makabe

Ahikar

Pseudo Foklides

Syriak- Menander

 

Doa, Mazmur dan Oda

Mazmur Daud

Oda Salomo

Doa Yakub

Doa Yusuf

Doa Manasye

Mazmur Salomo

Doa Sinagoga

 

Fragmen-fragmen Tulisan Yudeo-Helenistik

Filo, Sang Penyair Epik

Orfika

Fragmen Penyair Pseudo Yunani

Demetrius Penulis Tawarikh

Theodotus

Yehezkiel Penulis Tragedi

Eupolemus

Aristobulus

Aristeas Sang Penafsir

Kleodemus Malkhus

Pseudo-Eupolemus

Artapanus

Pseudo Hekateus

 

Kanon Perjanjian Baru

A. Banyak Pilihan

Persoalan kanon Perjanjian Baru sangat lain bagi umat Kristen awal; sebab di sini tidak ada tradisi lama yang menjadi pegangan. Pesan Injil yang dipercayakan Yesus kepada para rasul dengan cermat dipelihara dan dilangsungkan, dan tak lama kemudian dituliskan. Namun dari antara versi-versi yang tertulis itu mana yang sungguh-sungguh mencerminkan pesan Yesus? Lukas menyatakan kepada kita bahwa “banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita” yaitu kisah Injil (Luk 1:1), dan kita tahu dari peninggalan-peninggalan injil-injil apokrif bahwa masih banyak lagi yang ditulis sesudah Lukas (lihat di bawah nanti).

            Selain Injil, ada surat-surat apostolik dan tulisan-tulisan lain yang harus dipilah. Mana di antara mereka yang diilhami dan yang cocok untuk pengajaran umum di dalam konteks ibadat?

 

B. Bagaimana Pilihan Ditetapkan

Proses penetapan kanon sudah dimulai sementara peristiwa-peristiwa dalam karya Yesus masih ada di dalam kenangan hidup jemaat, dan empat penginjil “menggunakan setiap cara yang mungkin untuk memastikan agar pembaca mereka mengetahui kesahihan hal-hal yang mereka ajarkan” (Sancta Mater Ecclesia, 2.3). Pada waktu itu relatif masih mudah untuk mengenali yang benar dan menolak yang salah dengan meminta pendapat para saksi mata, termasuk para rasul sendiri (menurut tradisi, Yohanes masih hidup hingga tahun 100).

            Pembentukan kanon Perjanjian Baru mungkin sekali sudah dimulai lebih dini. Dalam 2Ptr 3:15-16 sudah ada anggapan bahwa jemaat sudah mengenal surat-surat Paulus dan memperhitungkannya bersama-sama dengan “tulisan-tulisan yang lain.” Kutipan dari kitab-kitab kanonik juga digunakan dalam tulisan-tulisan Santo Klemens dari Roma, Santo Ignatius dari Antiokhia, Santo Polikarpus dari Smirna, dan dalam Didakhe pada akhir abad pertama dan awal abad kedua M, serta dalam Pastor Hermas di abad kedua M.

            Maka permulaan kanon Perjanjian Baru tampaknya sudah ada di abad pertama, dan suatu inti yang terdiri dari keempat Injil dan belasan surat-surat Paulus semakin jelas dalam abad kedua.

 C. Kitab-kitab yang Diragukan

Tidak semua kitab yang terdapat dalam Perjanjian Baru langsung diterima begitu saja. Tujuh kitab : Ibrani, Yakobus, Yudas, 2Petrus, dan 2,3Yohanes serta Kitab Wahyu – berulangkali masih diragukan, tetapi pada akhirnya semuanya diterima. Beberapa bagian dari Injil-injil tidak ada dalam beberapa manuskrip tua : Mrk 16:9-20; Luk 22:43; Yoh 5:4; 8:1-11. Tetapi semuanya lalu diterima oleh wewenang tradisi Gereja.

            Daftar resmi pertama kanon Perjanjian Baru muncul pada masa Marcion, pemimpin bidat abad kedua yang menolak Perjanjian Lama dan menyetujui hanya sebagian dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru dan mengutamakan karangan Lukas. Ia ditentang oleh Santo Ireneus (meninggal tahun 200) dan yang lain-lain, dan Gereja yang asli harus menanggapinya dengan daftarnya sendiri untuk kitab-kitab yang kanonik. Fragmen Muratorian yang berasal dari sekitar tahun 200 mendaftar sebagian besar kitab-kitab yang diakui sebagai kanonik dalam dekrit-dekrit berikutnya. Santo Klemens dari Aleksandria (meninggal tahun 215) adalah orang pertama yang menggunakan judul “Perjanjian” (Testament) untuk kitab-kitab Perjanjian Baru.

 D. Bentuk Terakhir Kanon

Berbagai daftar muncul pada tahun-tahun berikutnya, dan pada tahun 350 kanon di Barat sudah menetap dalam bentuk yang sekarang kita kenal. Santo Hieronimus memasukkan keduapuluh tujuh kitab seluruhnya di dalam Vulgata (terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Latin). Di Timur masih ada keraguan atas kanonisitas Surat-surat 2Petrus, 2,3Yohanes, Yudas serta kitab Wahyu. Keraguan ini menyebabkan gereja-gereja Siria memulai penggunaan suatu kanon Perjanjian Baru yang terdiri dari hanya dua-puluh dua kitab.

            Pada tahun 1500-an Martin Luther mempersoalkan Surat Ibrani, Surat Yakobus, Surat Yudas dan Wahyu, tetapi di dalam terjemahan Kitab Suci bahasa Jerman semuanya masih tetap  tercantum. Beberapa tokoh reformasi lainnya juga mempersoalkan beberapa kitab Perjanjian Baru, tetapi akhirnya seluruh Protestan menerima kanon tradisional Perjanjian Baru.

 Apokrif Perjanjian Baru: Sekedar Informasi. Seperti yang telah disampaikan mengenai tulisan-tulisan apokrif Perjanjian Lama di atas, terdapat pula banyak kitab-kitab “Apokrif Perjanjian Baru”. Tulisan-tulisan ini tidak kanonik.

            Penggunaan istilah ”apokrif” untuk Perjanjian Baru tidak selalu berarti bahwa semua tulisan yang termasuk di dalam kategori ini pada umumnya tidak akurat atau tidak autentik (walaupun memang ada sebagian isinya yang autentik). Kitab-kitab ini tidak termasuk di dalam kanon Kitab Suci bisa karena otentisitasnya meragukan, atau entah karena tidak lazim digunakan dalam ibadat di antara gereja-gereja Kristen awal.

            Sebagian dari tulisan-tulisan ini penuh dengan rincian fantastik dan dengan demikian membuktikan diri bahwa tidak alkitabiah. Yang lain dihargai tinggi dan masih demikian sampai sekarang. Misalnya, Codex Sinaitikus, codex tulisan Perjanjian Baru yang paling lengkap, meliputi baik tulisan Pastor Hermas maupun Surat Barnabas. Tetapi Tertulianus menyebutnya bersifat rahasia (gnostis) dan palsu (Pud 10.6). Namun juga ada bukti bahwa sebagian apokrif Perjanjian Baru dibacakan di dalam konteks liturgi kuno. Terjemahan tulisan-tulisan itu ke dalam begitu banyak bahasa : Yunani, Latin, Siria, Armenia, Arab, Kop dan Etiopia – menunjukkan derajad popularitas dan nilai penghargaan jemaat atas mereka.

 

APOKRIF PERJANJIAN BARU

Injil-injil

Injil Ebion

Injil Mesir

Injil Ibrani

Injil Maria

Injil Nazorea

Injil Nikodemus (Kisah Pilatus)

Injil Petrus

Injil Filipus

Injil Tomas

Injil Masa-Kanak-kanak Yesus dari Tomas

Proto-injil Yakobus

 

Kisah

Kisah Andreas

Kisah Andreas dan Matias

Kisah Yohanes

Kisah Paulus

Kisah Paulus dan Tekla

Kisah Petrus dan Andreas

Kisah Petrus dan Paulus

Kisah Petrus dan 12 Rasul

Kisah Filipus

Kisah Tadeus

Kisah Tomas

 

Surat-surat

Legenda Abgar

Surat-menyurat Paulus dan Seneca

Surat Pseudo Titus

Surat Lentulus

Surat Paulus kepada Jemaat Laodikea

Surat Ketiga Kepada Jemaat Korintus

 

Apokalip

Apokalip 1 Yakobus

Apokalip 2 Yakobus

Apokalip Paulus (Bhs Kop)

Apokalip Petrus (Bhs Arab)

Apokalip Petrus (Bhs Kop)

Apokalip Petrus (Yunani/

Etiopia)

Apokalip Paulus (Bhs Latin)

Apokalip Sofonias

Apokalip Yakobus

Kitab Elkasai

Kitab Tomas Sang Penantang

Sibilin Kristen

Surat Petrus kepada Filipus

Kebijaksanaan Yesus Kristus

 

 

 

Penetapan saat penulisan apokrif-apokrif ini merupakan tantangan bagi para ahli, karena tidak adanya bagian penutup pada tulisan-tulisan itu. Penghimpunan tulisan-tulisan apokrif berlanjut hingga abad kelima. Sebagian dari tulisan-tulisan itu mungkin berasal dari abad pertama; sebagian besar dari abad kedua dan ketiga.

            Tulisan-tulisan yang tergolong apokrif Perjanjian Baru sangat berbeda dalam ragam tulisan dan teologinya, mulai dari bentuk injil-injil, kisah, surat-surat, hingga apokalip. Secara himpunan, apokrif Perjanjian Baru bersama-sama memberikan suatu sumber informasi mengenai komunitas-komunitas Kristen awal, khususnya sekte-sekte bidah seperti Manikea dan Gnostis yang menjauh dari arus utama Kekristenan.

            Sistem klasifikasi yang paling umum menempatkan apokrif Perjanjian Baru dalam empat ragam:

1. Injil-injil, yang tujuannya memberikan kepada kita lebih banyak informasi tentang hidup dan ajaran Yesus

2. Kisah-kisah, yang menceritakan secara fiksi dan tradisional peristiwa-peristiwa mengenai kehidupan rasul-rasul.

3. Surat-surat, yang seperti surat-surat Perjanjian Baru adalah surat-surat dari tokoh-tokoh Kristen awal, dan

4. Apokalip, yang bertujuan menyingkapkan masa depan.

            Pengetahuan kita tentang apokrif Perjanjian Baru bertambah sangat banyak pada tahun 1945, ketika sebagian besar tempat penyimpanan rahasia teks Gnostik Kop ditemukan di Nag Hammadi di Mesir Atas. Penemuan Nag Hammadi menghasilkan 52 teks Gnostik yang sebelumnya tidak diketahui atau hanya diketahui dalam bentuk sepotong-sepotong (fragmen).

            Kiranya perlu disampaikan informasi mengenai sekte Gnostis yang sangat aktif sampai sekarang, terutama dengan penyebarluasan Injil Thomas dan Injil Yudas hasil temuan dari Nag Hammadi. Gnostisisme adalah suatu sistem pengetahuan keagamaan yang menekankan pengetahuan rahasia. Gnostisisme Kristen mula-mula berkembang dari aliran agama kafir pra-kristen, yang dipengaruhi oleh sistem pemikiran Neoplatonis dan filsuf-filsuf kafir. Pada mulanya terdapat di berbagai aliran Kristen dan menjadi mapan dalam pelbagai rupa, dan menjelang akhir abad kedua memisahkan diri dari agama Kristen. Sekte-sekte dalam Gnostisisme sangat berbeda satu sama lain dalam ajaran khusus mereka, namun mempunyai karakteristik yang sama.

            Yang menjadi ajaran pokok mereka adalah gagasan tentang gnosis, yaitu pengertian tentang keselamatan yang diungkapkan hanya kepada dan diketahui oleh sedikit orang saja, yang memulai sekte-sekte Gnostik. Yang dianggap sumber gnosis biasanya adalah penyaluran secara lisan dan rahasia pengetahuan tentang Kristus, baik kepada keduabelas rasul maupun pemimpin sekte. Alam dibagi secara tajam di antara dunia materi dan dunia rohani, di mana dunia materi mewakili ketidaksempurnaan dan jahat, sedang dunia rohani mewakili kesempurnaan dan kebaikan. Bagi orang-orang Gnostik, dunia dan segala sesuatu di dalamnya, termasuk manusia, adalah tidak sempurna dan bertentangan dengan dunia rohani. Tuhan adalah Roh dan mengatasi segala sesuatu sehingga Ia tidak bisa menciptakan dunia materi. Sebaliknya, dunia materi dengan cara tertentu diciptakan oleh ilah yang lebih rendah, yaitu Demiurge, ilah pencipta yang berasal dari Dia yang Ilahi melalui serangkaian emanasi atau eon.

            Namun manusia-manusia tertentu mempunyai dalam diri mereka suatu karunia rohani, yang oleh sebgaian dari mereka sebagai percikan dari Dia yang Ilahi. Mereka akan mencapai keselamatan dan dipersatukan dengan Dia yang Ilahi melalui gnosis. Menurut orang-orang penganut Gnostis Kristen, Kristus adalah perwujudkan dari Dia yang Ilahi, yang diutus menyampaikan gnosis kepada kaum pilihan.  Maka Gnostisisme membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu kaum pilihan yang diselamatkan (kelompok kecil) dan mereka yang adalah daging (terkutuk – sebagian besar dari manusia).

            Dengan segera jelas bahwa pesan Gnostis sama sekali bertentangan dengan pesan Kristen yang asli. Kristen yang asli menyatakan bahwa Kristus secara terbuka (wahyu umum) mengajarkan kebenaran tentang keselamatan bagi semua orang. Pengikut Gnostik mengajarkan bahwa hanya sebagian kecil orang saja yang memenuhi syarat untuk mendapatkan rahasia keselamatan (wahyu pribadi).

            Tidak jelas kapan awalnya kaum Gnostik menimbulkan kesulitan bagi Gereja. Ada yang menyatakan bahwa Santo Paulus sudah berhadapan dengan mereka sejak di Korintus dan Kolose (bdk Kol 1:9; 2:2), dan  Surat 1Yoh mungkin merujuk kepada aliran Gnostik ketika membicarakan “orang-orang yang berusaha menyesatkan kamu” (1Yoh 2:26). Sekte-sekte tertentu dapat dikenali pada akhir abad kedua di pusat-pusat utama Gereja – Aleksandria dan Roma – dan pada waktu itu berasal dari pengajar-pengajar Gnostik terkenal: Basilides, Valentinus dan Markion.

            Para pengikut Gnostis ditentang oleh sejumlah penulis ortodoks (asli) Kristen, khususnya Santo Klemens dari Roma, Santo Ireneus, Santo Hipolitus dan Tertulianus. Mereka adalah jurubicara-jurubicara penentang Gnostik yang membantu menunjukkan perbedaan teologis pokok antara Gnostik dan Gereja.

            Sampai abad terakhir ini, apa yang kita ketahui tentang Gnostik berasal hanya dari lawan-lawan penentang mereka dari kelompok ajaran Kristen asli, namun penemuan mengenai kumpulan teks Gnostik dalam bahasa Kopt di Nag Hammadi di Mesir Atas memberikan kepada kita sejumlah besar tulisan-tulisan kaum Gnostik

           

Kanon Katolik

Karena pihak Protestan mengajukan keraguan atas kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Lama dan kemudian menolaknya, maka dalam Konsili Trente 1546 para Bapa Konsili memberikan rumusan resmi mengenai ”Kanon Kitab Suci”, yang menerima daftar yang senantiasa merupakan Kitab Suci Kristiani hingga terjadi gugatan pihak Protestan. Menurut dekrit dogmatik De Canonicis Scripturis, 8 April 1546, Perjanjian Lama terdiri dari empat puluh enam kitab; Perjanjian Baru terdiri dari duapuluh tujuh kitab. Ketika menerbitkan dekrit itu, para Bapa Konsili menambahkan: “Konsili mengikuti teladan Bapa-bapa yang setia, dan dengan rasa penghargaan dan bakti yang sama Konsili menerima dan menghormati semua kitab-kitab dari kedua Perjanjian, Lama dan Baru, sebab hanya Tuhanlah yang menjadi pengarang keduanya, Konsili juga menerima dan menghormati iman dan moral yang diterima secara lisan dari Kristus atau yang diilhami oleh Roh Kudus dan terus menerus memeliharanya di dalam Gereja Katolik.”

            KGK 120 menyampaikan ikhtisar: “Dalam tradisi apostolik, Gereja menentukan kitab-kitab mana yang harus dicantumkan dalam daftar kitab-kitab suci. Daftar yang lengkap ini dinamakan ‘Kanon Kitab Suci’. Menurut kanon itu, Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab:

Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, dua buku Samuel, dua buku Raja-Raja, dua buku Tawarikh, Esra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dua buku Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Yesus Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.

 

Perjanjian Baru: Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, Kisah para Rasul, suratsurat Paulus: kepada jemaat di Roma, surat pertama dan kedua kepada jemaat Korintus, kepada jemaat di Galatia, kepada jemaat di Efesus, kepada jemaat di Filipi, kepada jemaat di Kolose, surat pertama dan kedua kepada jemaat di Tesalonika, surat pertama dan kedua kepada Timotius, surat kepada Titus, surat kepada Filemon, surat kepada orang lbrani, surat Yakobus, surat pertama dan kedua Petrus, surat pertama, kedua, dan ketiga Yohanes, surat Yudas, dan Wahyu Yohanes.

 

Nilai Perjanjian Lama

Perjanjian Lama merupakan himpunan empat puluh enam kitab, ditulis terutama dalam bahasa Ibrani, meliputi bentang sejarah keselamatan mulai dari penciptaan semesta hingga menjelang masa Mesias. Umat kristiani menerima Perjanjian Lama karena kitab-kitab itu diilhami ilahi dan dengan demikian penting karena petunjuk dan bimbingannya (KGK 121). Namun ada kemungkinan salah paham (misalnya oleh Marcion pada abad kedua) yang menganggap Perjanjian Lama tidak penting dan dapat dihilangkan, karena telah digantikan oleh Perjanjian Baru, yaitu wahyu Allah sendiri dalam Yesus Kristus (KGK 123). Gereja Katolik dengan tegas menentang gagasan itu, karena kitab-kitab yang diilhami ilahi dalam Perjanjian Lama “mencantumkan ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan; di dalam semuanya itu juga misteri keselamatan kita dihadirkan secara terselubung” (DV 15; KGK 122).

            Jika kita mempelajari cerita yang dinyatakan tentang rencana keselamatan Allah di dalam sejarah, kita harus mengawali ceritanya dari tulisan-tulisan dalam Perjanjian Lama. "Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia." (KGK 122). Maka “Perjanjian Lama adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami secara ilahi dan tetap memiliki nilainya karena Perjanjian Lama tidak pernah dibatalkan” (KGK 121). Santo Agustinus menyatakan bahwa Perjanjian Baru tersirat dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru (Lih DV 16; KGK 129; Agustinus, Heptateuchum, 2,73). Jadi  pentinglah bagi umat Katolik untuk mempelajari kitab-kitab Perjanjian Lama supaya dapat memahami Perjanjian Baru dengan tepat dan sepenuhnya, dan supaya menerima ajaran ilahi Perjanjian Lama yang unik dan berharga.

            Suatu hasil yang tidak menguntungkan dari perpisahan antara Katolik dan Protestan adalah perbedaan mengenai kanon dari Perjanjian Lama, seperti yang telah disampaikan di depan. Umat Katolik mengakui sebagai mendapat ilham ilahi tulisan-tulisan yang tercakup dalam versi bahasa Yunani dari Perjanjian Lama yang digunakan dalam Gereja Perdana, yang dikenal sebagai Septuaginta (LXX). Umat Protestan hanya menerima tulisan-tulisan yang terdapat dalam versi bahasa Ibrani dari Kitab Suci, yang di dalamnya tidak memasukkan kitab-kitab Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Putera Sirakh, Baruh, dan 1, 2 Makabe. Buku-buku ini di kalangan Protestan disebut “Apokrif”. Banyak orang Protestan membaca dan menghargai tulisan-tulisan itu, walaupun mereka tidak menganggap kitab-kitab itu mendapat ilham ilahi. Umat Katolik biasanya menyebut kitab-kitab ini sebagai “Deutero-kanonika” (atau kanon yang kedua) karena diperdebatkan. Sekalipun begitu, umat Katolik menerima kitab-kitab itu sebagai karya yang mendapat ilham ilahi dan sepenuhnya menjadi bagian dari kanon Kitab Suci Perjanjian Lama.

 

Timbulnya Perjanjian Baru

Empat puluh enam tulisan yang diakui umat Katolik sebagai Perjanjian Lama ditulis, disunting dan diteruskan selama berabad-abad sebelum Kristus. Dua puluh tujuh tulisan yang diterima baik oleh umat Katolik maupun umat Protestan sebagai kanon Perjanjian Baru relatif memerlukan waktu yang lebih singkat; diajukan sejak dari bentuk awalnya hingga mendapat pengakuan umum Gereja sebagai kumpulan tulisan yang mendapat ilham ilahi – hanya sekitar tiga abad saja.

            Bagaimana Perjanjian Baru yang merupakan kesaksian utama atas Yesus itu terbentuk? Kira-kira selama tiga abad, umat Kristiani belum mempunyai apa yang dikenal secara umum “Perjanjian Baru.” Dalam masa itu, surat-surat dari para rasul dan pengikut dekat dari Yesus diedarkan di antara jemaat Kristiani setempat. Begitu juga bermacam-macam tradisi (secara harfiah “hal-hal yang diteruskan”) yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dan ajaran Yesus disebarkan di antara Gereja-gereja baik sebagai cerita maupun sebagai khotbah (“tradisi lisan”), dan pada akhirnya di dalam tulisan pendek tentang Yesus (“tradisi tertulis”).

            Perjanjian Baru sekarang banyak kita dapatkan dicetak sebagai satu buku. Tetapi di dalamnya terdapat dua puluh tujuh tulisan. Semuanya bersama-sama memang merupakan satu kesatuan, tetapi masing-masing karangan adalah unik dan berbeda berdasarkan siapa penulisnya, latar belakang pribadinya dan teologinya, kepada siapa karangan itu ditujukan, dan jenis sastra yang digunakan. Namun  memang, di dalamnya "Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rm 1:16), dalam kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya" (DV 17). Tulisan-tulisan tersebut memberi kepada kita kebenaran definitif wahyu ilahi. Tema sentralnya ialah Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, karya-Nya, ajaran-Nya, kesengsaraan-Nya, dan pemuliaan-Nya begitu pula awal mula Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus”  (KGK  124).

Injil

            Mulai dari duapuluh atau tigapuluh tahun sesudah wafat dan kebangkitan Yesus, beberapa pengikut Yesus menghimpun tradisi-tradisi ini menjadi satu catatan tentang kehidupan dan pelayanan Yesus yang dikenal sebagai Injil (Kabar Gembira). Paulus menyampaikan suatu rumusan tentang Injil sebagai garis besar: “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm 1:1-4). “Injil-injil merupakan jantung hati semua tulisan sebagai ‘kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda Yang Menjadi Daging, Penyelamat kita’ (DV 18)” (KGK 125). Salah seorang penulis Injil, Santo Lukas, melukiskan tugasnya di dalam pengantar Injilnya:

Banyak orang telah  berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. (Luk 1: 1-4).

Dari pernyataan Santo Lukas itu dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu sudah ada banyak karangan Injil ditulis orang.

            Proses terjadinya Injil-injil tentu saja selaras dengan periode-periode sejak Yesus masih hidup dan bekerja, kemudian dituturkan dalam tradisi lisan, dan selanjutnya dituliskan. “Dalam penyusunan Injil-injil dapat kita bedakan tiga tahap:

         1. Kehidupan dan kegiatan mengajar Yesus.  ‘Bunda Gereja kudus tetap mempertahankan dengan teguh dan sangat kokoh, bahwa keempat Injil "yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidup-Nya di antara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis 1:1-2)’ (DV 19).

         2. Tradisi lisan. ‘Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran’ (DV 19).

         3. Penulisan Injil-Injil.  ‘Adapun penulis suci mengarang keempat Injil dengan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-Gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus’ (DV 19)” (KGK 126).

            Tahap yang pertama adalah ajaran-ajaran Kristus, ketika Ia sendiri semasa hidupNya memberikan ajaranNya secara lisan,  Ia “menggunakan bentuk-bentuk gagasan dan ungkapan yang lazim pada zaman itu” dan ”menyesuaikan Diri kepada jalan pikiran pendengarNya sedemikian sehingga ajaranNya dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dalam benak mereka dan mudah diingat oleh para muridNya”.

            Tahap yang kedua, adalah ajaran para rasul, yaitu kesaksian yang disampaikan para rasul tentang Yesus dan pewartaan wafat dan kebangkitanNya. Di dalam menyampaikan cerita tentang hidup Yesus dan menyampaikan kata-katanya, para rasul menggunakan perkataan dan frasa yang disesuaikan sebaik-baiknya dengan khalayak mereka, termasuk bentuk-bentuk percakapan seperti “rumusan pengajaran, penyampaian kisah, pernyataan saksi mata, kidung, doksologi, doa, dan gaya sastra yang umum terdapat dalam Kitab Suci dan percakapan pada waktu itu.”

            Tahap yang ketiga, keempat penginjil yang menuliskan ajaran para rasul, dengan menggunakan metode-metode yang terbaik bagi para pembaca khusus mereka dan yang terutama bagi seluruh gereja:

“Dari berbagai unsur yang ada pada mereka, mereka menyampaikan sebagian, membuat ikhtisar dari yang lain, dan juga mengembangkan yang lain lagi sesuai dengan kebutuhan berbagai jemaat. Mereka menggunakan setiap cara yang mungkin untuk menjamin pembaca mereka mendapatkan kebenaran dari segala yang diajarkan kepada mereka. Dari bahan yang tersedia para Penginjil memilah hal-hal yang paling cocok bagi maksud khusus dan kondisi pembaca tertentu. Dan mereka mengisahkan peristiwa-peristiwa itu dengan cara yang paling memuaskan maksud mereka dan situasi khusus khalayak mereka” (Sancta Mater Ecclesia II)

 

            Santo Yohanes di dalam Injilnya menyatakan bahwa tidak semua yang terjadi dituliskan di dalam kitab Injil. Setiap penulis Injil kiranya memilih dan memilah, apa yang hendak ditulisnya, dan menyusun tulisannya sesuai dengan maksud dan tujuannya sendiri. Maka ada beberapa bahan pokok dalam Injil, yang disampaikan secara berbeda mengikuti maksud (wawasan teologi) dan proses penulisan keempat pengarang Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes).

            Walaupun ada banyak karangan Injil yang telah ditulis orang, namun tidak semua di antara injil-injil itu dapat diandalkan atau bersesuaian pada bagian-bagian yang penting, walaupun mereka membawa nama seperti “Injil Tomas” atau “Injil Kebenaran”. Bagaimana umat Kristiani menentukan mana injil dan mana surat-surat, yang semuanya menyatakan berasal dari rasul atau murid Kristus, yang sungguh benar dan mendapat ilham ilahi? Umat Kristiani perdana tahu bahwa Yesus menjanjikan Roh Kudus untuk membimbing Gereja kepada seluruh kebenaran, memungkinkan Gereja mengenali ajaran dan tulisan yang mendapat ilham ilahi. Dan setelah diselidiki, tinggal empat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) saja yang dipertahankan sebagai Injil-injil kanonik Perjanjian Baru.

            “Injil empat ragam itu menduduki tempat istimewa di dalam Gereja. Ini dibuktikan oleh penghormatan terhadapnya di dalam liturgi dan daya tarik yang tidak ada bandingnya, yang mempengaruhi orang kudus dari setiap zaman” (KGK 127).

Kisah

Ragam tulisan kisah satu-satunya yang kanonik dalam Perjanjian Baru adalah Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Santo Lukas dan dipandang sebagai kelanjutan dari Injil Lukas. Kisah merupakan cerita mengenai penerimaan dan penyebaran Injil Yesus Kristus oleh para rasul sesudah Yesus naik ke surga, di dalam Gereja perdana. Isinya adalah khotbah dan kesaksian mengenai Yesus Kristus (Kis 2:22-36; 3:12-26; 4:10-12; 5:30-32; 10:34-43; 15:16-41) dan cerita tentang upaya dan perjalanan rasul-rasul di dalam menyampaikan khotbah itu.

            Di luar Kisah Para Rasul yang kanonik, di Gereja awal juga beredar tulisan-tulisan jenis kisah lainnya seperti  Kisah Andreas, Kisah Andreas dan Matias, Kisah Yohanes, Kisah Paulus, Kisah Paulus dan Tekla, Kisah Petrus dan Andreas, Kisah Petrus dan Paulus, Kisah Filipus dan lain-lain, yang tergolong apokrif.

 Surat-surat

Di dalam Perjanjian Baru terdapat 22 tulisan kanonik berupa surat, yaitu 13 surat Paulus, surat Ibrani, surat Yakobus, dua surat Petrus, surat Yudas, dan tiga surat Yohanes. Surat-surat Paulus dianggap sebagai gelombang pertama tulisan Perjanjian Baru karena lebih tua umurnya, ditulis antara tahun 50-60. Injil-injil merupakan tulisan gelombang kedua, antara tahun 70–80.

            Surat-surat berisi bahan tradisional (1) mengenai ajaran dan pribadi Yesus yang diwartakan kepada jemaat tertentu, dan bahan-bahan (2) pengajaran agama, moral dan liturgi, serta (3) mengenai cara-hidup komunitas Gereja yang saling meneguhkan berdasarkan Yesus Kristus.

            Selain surat-surat kanonik dalam Perjanjian Baru, di dalam Gereja perdana beredar pula surat-surat apokrif lain seperti Legenda Abgar, Surat-menyurat Paulus dan Seneca, Surat Pseudo Titus, Surat Lentulus, Surat Paulus kepada Jemaat Laodikea, Surat Ketiga Kepada Jemaat Korintus, Pastor Hermas dan Surat Barnabas.

 Wahyu

Ada banyak tulisan apokalip yang menyingkapkan masa depan yang beredar di dalam Gereja perdana. Misalnya: Apokalip 1 Yakobus; Apokalip 2 Yakobus; Apokalip Paulus (Bhs Kop); Apokalip Petrus (Bhs Arab); Apokalip Petrus (Bhs Kop); Apokalip Petrus (Yunani/Etiopia); Apokalip Paulus (Bhs Latin); Apokalip Sofonias; Apokalip Yakobus. Tetapi dari berbagai tulisan ragam apokalip itu hanya Kitab Wahyu (Yohanes) yang diterima Gereja sebagai tulisan yang kanonik, yang mendapat ilham ilahi.

            Kitab Wahyu menyampaikan “penglihatan” atas perkembangan situasi jemaat-jemaat yang sudah menerima wahyu ilahi Yesus Kristus di masa depan dari kacamata surga, yaitu “Yerusalem Baru”, dan melukiskannya sebagai “awan para saksi” dengan nuansa liturgi.

            Sehubungan dengan tulisan-tulisan kanonik Gereja percaya bahwa Roh Kudus membimbing para pengajar utama dan tetua Umat Allah, yaitu para Uskup, untuk mewartakan serta mengajarkan kebenaran dari Sabda Allah yang tertulis. Di dalam melayani kawanan domba Kristus, salah satu tugas utama Uskup adalah memastikan bahwa yang diajarkan adalah ajaran yang benar. Maka Uskuplah yang berwenang memikirkan mana tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran yang tersebar secara luas yang sungguh-sungguh Sabda Allah bagi seluruh Gereja – dan mana yang bukan. Para uskup Gereja kuno mengembangkan daftar tulisan yang disebut kanon, yang dianggap diilhami oleh Roh kudus. Kanon yang disusun Uskup Ireneus dari Lyons pada tahun 185 sangat mirip dengan Perjanjian Baru sekarang, tetapi tidak menyebutkan 3 Yoh,  Yak, dan 2 Ptr. Kanon serupa yang juga mirip dengan yang sekarang tertulis dalam Fragmen Muratorian, mungkin dari Gereja Roma, pada tahun 200. Namun pada abad keempat masalah kanon yang tidak resmi masih belum dapat diselesaikan. Pada bagian awal dari abad itu, Uskup Eusebius dari Kaisarea menyatakan bahwa surat-surat Yak, Yud, 2 Ptr dan 2,3 Yoh  “walaupun kita kenal akrab, namun masih disangsikan” (HistEccl, Buku III, Pasal 25, paragraf pertama). Diperlukan beberapa abad sampai para Uskup mencapai kesepakatan atas kanon Perjanjian Baru yang lengkap.

            Keputusan mereka secara resmi diumumkan dalam suatu Dekrit dari Konsili Roma pada tahun 382, di bawah Paus Damasus, dan diteguhkan lagi oleh Konsili Kartago yang ketiga pada tahun 397. Daftar tulisan Perjanjian Baru yang sekarang ini dapat ditemukan dalam Codex Vaticanus dari Roma sekitar tahun 340, dan dalam Surat ke tiga puluh sembilan St Atanasius dari tahun 367.

            Pada abad kelima para uskup Gereja sudah mencapai kesepakatan umum tentang surat-surat dan injil yang sungguh-sungguh mendapat ilham ilahi, walaupun status dari beberapa tulisan masih diperdebatkan sesudahnya. Demikianlah Perjanjian Baru dilahirkan dalam situasi yang pada dasarnya sama dengan yang kita kenal sekarang. Umat Katolik memandang Kitab Suci sebagai “buku Gereja” karena timbul sebagai hasil tradisi Gereja dan melalui penimbangan dan keputusan para uskup Gereja.

            Umat Katolik percaya bahwa para Uskup melanjutkan peranannya dalam mewartakan dan penafsiran Kitab Suci secara autentik melalui bimbingan Roh Kudus. Karena surat-surat dan injil-injil yang berbeda-beda dan dinyatakan berasal dari masa para rasul dibacakan dalam gereja-gereja Kristiani awal, para uskup dari gereja-gereja itu dengan berdoa menimbang autentisitasnya, dan berulangkali mendiskusikan masalah ini dengan uskup lain di kawasan yang sama. Selang beberapa lama, para uskup mencapai kesepakatan tentang surat-surat dan injil-injil yang sungguh selaras dengan tradisi yang diterima dari para rasul. Ketika kanon yang pada umumnya diterima itu ditentang pada abad keenam belas, para Uskup secara resmi meneguhkan lagi kanon yang sekarang baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam Konsili Trente pada tahun 1546.

 

Kesatuan Wahyu Ilahi

Hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Di depan telah dikatakan bahwa semua “kitab-kitab” dihimpun membentuk satu “Kitab” saja, sebab Allah yang adalah pengarang ilahi dari mereka semuanya menghendaki mereka secara bersama-sama memberi kesaksian akan satu rencana keselamatan dari Allah. "Sabda Allah yang satu dan sama berada dalam semua Kitab; Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah pada Allah, Ia tidak membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak bergantung pada waktu" kata Santo Agustinus (Psal. 103,4,1).

            Maka walaupun dibedakan antara Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun keduanya membentuk satu kesatuan yang dinamis. Dan kesatuan di antara keduanya diikat oleh apa yang disebut “tipologi”. “Sudah sejak zaman para Rasul dan juga dalam seluruh tradisi, kesatuan rencana ilahi dalam kedua Perjanjian itu dijelaskan oleh Gereja melalui tipologi. Penafsiran macam ini menemukan dalam karya Tuhan dalam Perjanjian Lama "bentuk-awal" (tipologi) dari apa yang dilaksanakan Tuhan dalam kepenuhan waktu dalam pribadi Sabda-Nya yang menjadi manusia” (KGK 128).

            Bahasa Yunani typos, berarti “gambaran”, “bayangan” atau “contoh”. Dalam konteks Kitab Suci dan teologi, suatu tipe adalah orang, tempat, kejadian, atau pranata/lembaga dalam Kitab Suci yang lebih dahulu membayangkan realitas yang lebih besar yang belum tiba. Biasanya sesuatu di dalam Perjanjian Lama menunjuk sesuatu dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Santo Paulus mengajarkan bahwa Adam adalah “gambaran Dia yang akan datang”, yaitu Yesus Kristus (Rm 5:14). Pokok gagasannya adalah bahwa Adam menjadi gambaran awal Kristus sebagai satu orang yang akan datang ke dunia tanpa dosa dan satu orang yang tindakanNya mempengaruhi seluruh umat manusia. Namun dari keduanya, Kristus adalah lebih besar, karena Ia berhasil di tempat Adam menemui kegagalan, dan Kristus memulihkan rahmat bagi dunia oleh ketaatanNya, setelah manusia kehilangan rahmat akibat pemberontakan Adam (Rm 5:12-21).

            Sedangkan tipologi adalah usaha kajian atas orang, tempat, kejadian dan pranata/lembaga di dalam Kitab Suci yang lebih dahulu sebagai gambaran atau bayangan awal dari realitas di kemudian hari yang lebih besar yang diungkapkan Allah dalam sejarah. Dasar telaahnya adalah keyakinan bahwa Allah, yang dalam tata penyelenggaraan membentuk dan menentukan arah sejarah manusia, menyampaikan semuanya itu dengan kandungan makna penting secara profetis dan teologis. Di dalam pribadi dan karya Yesus Kristus, makna yang penuh dari pribadi-pribadi, tempat-tempat dan kejadian-kejadian serta pranata sejarah Kitab Suci akhirnya terungkapkan.

            Beberapa contoh di antaranya tampil dalam Mat 12, ketika Yesus menyatakan, “di sini ada yang melebihi Bait Allah” (Mat 12:41), dan “sesungguhnya yang ada di sini lebih daripada Yunus” (Mat 12:41), dan kemudian : “yang ada di sini lebih daripada Salomo” (Mat 12:42). Perkataan Yesus menyatakan apa yang ada dalam tipologi, yaitu bahwa tipe-tipe yang lebih dulu sudah membayangkan Dirinya, namun Ia melampaui mereka karena lebih besar daripada yang terdahulu. Dalam hal ini, Yesus menempatkan diriNya melampaui tempat yang paling suci yang diakui umat Israel (Bait Allah), melampaui nabi yang dengan ajaib muncul setelah tiga hari terkubur dalam perut ikan (Yunus), dan melampaui raja paling bijaksana yang pernah memerintah umat Allah (Salomo). Kristus adalah Bait Allah yang baru dan hidup, sebab dalam Dia Allah hadir secara lebih intens daripada di tempat suci (bdk Yoh 2:21). Ia juga Yunus yang baru sebab kebangkitanNya setelah tiga hari dimakamkan merupakan mujizat yang paling hebat daripada semua yang lain (bdk Mat 16:4). Dan Ia juga Salomo yang baru, Raja dari keturunan Daud dan yang dengan hikmat kebijaksanaan menarik seluruh dunia mendekat kepada Allah (Luk 11:31).

            Dengan tipologi “umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan secara tipologi ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya. Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama. Sesuai dengan sebuah semboyan lama, Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: "Novum in Vetere latet, et in Novo Vetus patet" (Agustinus, Hept. 2,73). (KGK 129).

            Selain tipologi yang berkaitan dengan Kristus (kristologis), juga ada tipologi eklesiologis yang berhubungan dengan Gereja. Paulus membandingkan Gereja dengan peziarahan Israel dalam rangka Keluaran di padang gurun. Seperti Israel yang menyeberangi laut (Kel 14:21-22) dan mendapat makanan roti manna yang turun dari surga (Kel 16:35) serta air yang memancar dari karang (Kel 17:6), maka kaum beriman anggota Gereja juga melalui air baptis dan disegarkan dalam perjalanan mereka dengan santapan dan minuman Ekaristi (1 Kor 10:1-5). Di sini tipologi berfungsi sebagai peringatan, karena sebagian besar bangsa Israel yang menerima berkat ini akhirnya menolak Allah dan karenanya menjauhkan mereka sendiri dari Tanah Terjanji (1 Kor 10:6-12).

            Adapula tipologi sakramen. Salah satu contoh yang jelas terdapat dalam Surat Pertama Petrus, di mana Petrus membandingkan Air Bah pada zaman Nuh (Kej 6-9) dengan air baptis di dalam Liturgi Gereja. Dengan menaati Allah dan masuk dalam bahtera, Nuh dan keluarganya “diselamatkan oleh air” (1 Ptr 3:20). Demikian pula kaum beriman “diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan” (1 Ptr 3:21).

            “Tipologi berarti adanya perkembangan rencana ilahi ke arah pemenuhannya, sampai akhirnya ‘Allah menjadi semua di dalam semua’ (1 Kor 15:28)” (KGK 130).

            Dengan demikian tipologi mengungkapkan kesatuan sejarah keselamatan sebagai rencana yang diatur dengan cermat dan diwujudkan secara bertahap oleh Allah berangsur-angsur hingga seluruhnya. Peralihan dari “tipe” menjadi realitas yang ditandakan, selalu merupakan pergeseran dari yang lebih kecil kepada yang lebih besar.

 


Kitab Suci dalam Hidup Gereja

Pada tahun 2008 diselenggarakan Sinode Para Uskup mengenai Kitab Suci, dengan tema “Sabda Allah dalam Hidup dan Karya Gereja”, dihadiri lebih dari 250 Uskup dari seluruh dunia. Uskup Agung Washington, Donald W. Wuerl pada kesempatan itu menyatakan: “Orang Katolik mengenal Sabda Allah. Ucapkanlah suatu perumpamaan dalam Injil, mereka pasti bisa melengkapi ceritanya. Hanya saja mereka tidak membaca Kitab Suci. Mereka tidak membuka Kitab Suci, tidak tahu bab berapa ayat berapa. Mereka mengenal Sabda Allah dengan duduk mengikuti liturgi.” Uskup Agung Donald Wuerl melanjutkan bahwa dengan Sinode ini situasi itu hendak dikembangkan. “Kesempatan ini adalah undangan, agar umat Katolik mempunyai Kitab Suci, membuka Kitab Suci, dan meluangkan waktu setiap hari untuk membaca dan merenungkan Sabda Allah dalam Kitab Suci” (Catholic News Service, Synod of Bishops: Wuerl, 21 Oktober 2008) Dan lebih dari sekedar membaca Kitab Suci, adalah bagaimana mewujudkan Sabda itu di dalam hidup.

            Sesungguhnya Gereja sendiri hidup dari Sabda Allah. Konsili Vatikan II mengakui: “Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman” (DV 21). Di dalam setiap Misa ada tiga bacaan Kitab Suci dalam perikop penuh, yang dipilih dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gereja menyusun bacaan-bacaan khusus untuk setiap hari dalam suatu siklus tiga tahunan. Dalam siklus masa itu, orang Katolik yang menghadiri Misa setiap hari akan mendengarkan sebagian besar isi dari sebagian besar kitab-kitab dalam Kitab Suci. Orang Katolik yang menghadiri Misa pada hari Minggu dan hari-hari raya (semisal Natal, Kenaikan Tuhan dan sebagainya) akan mendengarkan kutipan-kutipan utama dari Kitab Suci yang berulang kali diwartakan (Normand Bonneau, 1998: The Sunday Lectionary; Scott Hahn, 2005: Letter and Spirit: Words, Worship and Mysteries).

            Bacaan pertama pada Misa pada umumnya diambil baik dari Perjanjian Lama maupun salah satu kitab Perjanjian Baru di luar Injil – yaitu dari Kisah Para Rasul, Surat-surat, atau Wahyu. Sesudah bacaan pertama itu, jemaat akan membacakan atau melagukan salah satu Mazmur. Kemudian imam atau diakon membacakan sebuah kutipan dari Injil. Pada hari raya tertentu, misalnya Minggu Palem dan Malam Paskah, jemaat mendengarkan bacaan-bacaan yang lebih panjang dari biasanya, dari lebih banyak kitab dari Kitab Suci.

            Namun masih diharapkan agar umat Katolik menerima manfaat dari menjumpai Sabda Allah dalam Kitab Suci di luar Misa juga, mengingat besarnya daya Sabda Allah itu. Kardinal Oullet dari Quebec dalam Sinode Para Uskup 2008 tentang Kitab Suci menyatakan bahwa membaca Kitab Suci adalah pengalaman perjumpaan dengan Kristus. Dan perjumpaan itu menyalurkan daya kasih yang berasal dari iman (Catholic News Service, Synod Summary, 15 Oktober 2008). "Adapun sedemikian besarlah daya dan kekuatan Sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani" (DV 21; KGK 131). Maka "Bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar" (DV 22). Dengan menyediakan buku-buku Kitab Suci yang harganya dapat terjangkau; dengan jumlah yang memadai; dan memberikan bimbingan yang diperlukan.

            Sabda Allah jugalah yang memungkinkan Gereja hidup dan bekerja selama lebih dari 2000 tahun hingga sekarang, walaupun pengertian Sabda Allah di sini adalah Sabda yang hidup, yaitu Kristus sendiri, yang lebih besar dari Kitab Suci. Pada akhir Sinode Para Uskup 2008, bapa-bapa sinode menyerukan bahwa seperti Kristus yang mewartakan harapan dan keselamatan, umat Kristiani, Gereja, diutus mewartakan sabda  pengharapan dengan berbagi dengan kaum miskin dan mereka yang menderita, melalui kesaksian iman akan kerajaan kebenaran dan hidup, kekudusan dan rahmat, keadilan, kasih dan perdamaian. Mendengarkan Sabda Allah secara autentik adalah menaati dan melaksanakannya. Tidaklah cukup membaca dan menjelaskan Sabda Allah kepada orang lain. Tetapi kaum beriman harus dapat menunjukkan kepada orang lain kebaikan Allah dalam perbuatan mereka, dan memungkinkan mereka mengalami kebaikan itu. Jika Sabda Allah adalah kasih, maka yang membaca dan berdevosi pada Sabda Allah haruslah menginkarnasikan kasih itu, yang membimbing pada persekutuan dalam komunitas, solidaritas dan dialog. Demikianlah "pelajaran Kitab Suci hendaklah bagaikan jiwa teologi suci. Namun dengan sabda Kitab Suci, juga pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral, katekese, dan semua pelajaran kristiani - di antaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan - mendapat bahan yang sehat dan berkembang dengan suci" (DV 24; KGK 132).

            Akhirnya KGK 133 menyatakan bahwa: Gereja "menasihati seluruh umat Kristen dengan sangat, agar melalui pembacaan buku-buku ilahi sampai kepada `pengenalan Yesus Kristus secara menonjol (Flp 3:8). `Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus (Hieronimus, Is. prol.)" (DV 25).

 (Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar