Bambang Kussriyanto
Mengenal Allah dari Wahyu Ilahi
Allah dapat dikenal dari pantulan seluruh alam semesta karya ciptaan-Nya, semisal keindahan dan ketertiban semesta (bdk Rm 1:19-20; Mzm 19:2). Kita juga dapat menemukan Allah sebagai sumber kualitas yang terbaik dari manusia, dan tradisi Kristiani menyimpulkan: “Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan” (KGK, 33).
Adanya kualitas-kualitas ini
menunjukkan suatu prinsip spiritualitas atau “jiwa” pada manusia, yang tentulah
bersumber dari zat spiritual yang lebih tinggi, yaitu Allah (Montague Brown,
2006: Restoration of Reason; John Saward, 1996: The Beauty of
Holiness and the Holines of Beauty). Misalnya, penulis Kristiani C.S. Lewis
memperhatikan bahwa semua orang mempunyai pengertian akan kejujuran dan
keadilan atau “fair play” yang merujuk pada pribadi (Allah) yang merupakan
sumber dari “hukum” atau prinsip moral yang berlaku umum itu (C.S. Lewis, 1962,
Mere
Christianity, 17-19).
Di dalam tradisi Yahudi-Kristiani,
petunjuk tentang keberadaan Allah menjadi pernyataan-pernyataan formal, yang
disebut bukti adanya Allah. Petunjuk-petunjuk itu tidak bersifat ilmiah,
melainkan “argumen-argumen yang cocok dan meyakinkan” (KGK 31) yang jika
diterima bersama-sama, dapat mengarahkan orang yang berakal-budi mencapai
kesimpulan, bahwa ada suatu kenyataan yang menjadi sebab pertama dan tujuan
akhir dari segala sesuatu, “yang oleh setiap orang disebut ‘Allah’ (STh I, 2,
3).” Walaupun pernyataan itu tidak selalu membawa orang kepada suatu hubungan
yang memberi hidup dengan Allah yang pribadi dan mengasihi, tetapi dapat
membantu orang supaya mendapat pengertian mengapa kepercayaan kepada Allah itu
selaras dengan akal budi manusia dan penting (lih KGK 35).
Harus diakui bahwa di dalam sejarah,
manusia mengalami banyak kesulitan untuk mengenal Allah semata-mata hanya
dengan mengandalkan akal budinya (KGK 37). “Sebab sekali pun mereka mengenal
Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur
kepada-Nya” (Rm 1:21). Kegagalan ini menyebabkan tertutupnya cahaya : “mereka
menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat
seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh” (Rm
1:21-22).
Akal budi berkutat berpikir: Mengapa
ada kejahatan jika Allah itu sekaligus mahakuasa dan mahabaik. Jika Dia
mahabaik, maka mahluk-Nya seharusnya mencerminkan kesempurnaan-Nya sehingga
tidak menderita. Jika Allah mahakuasa, maka seharusnya Dia dapat mencegah terjadinya
kejahatan. Sebagian orang menyelesaikan masalah itu dengan menyingkirkan Allah;
menganggap Allah tidak ada, atau tidak mahakuasa.
Namun kita tidak dapat memecahkan
masalah itu dengan mengabaikan Allah. Sebenarnya justru penyangkalan akan
Allah memperberat masalahnya. Menyangkal
keberadaan Allah untuk memecahkan masalah kejahatan sama dengan membakar hangus
rumah untuk mengusir kecoa, atau seperti memotong kepala untuk menghentikan
hidung yang mimisan. Orang yang membiarkan kejahatan mendorong mereka ke arah
ateisme seperti amblong tidak punya standar pijakan untuk mengadili sesuatu
yang jahat. Alih-alih memecahkan masalah, mereka justru melembagakannya –
menuliskannya ke dalam setiap susunan urat alam semesta. Jika tidak ada Allah,
maka tidak ada kebaikan tertinggi yang transenden mengatasi segalanya, dan
karena itu tidak ada ukuran yang sempurna bagi kebenaran dan keadilan; dengan
demikian juga tidak ada yang sungguh-sungguh jahat. Tanpa Allah segala sesuatu
hanya semata-mata pilihan kesukaan manusia belaka dan tidak ada rasa perasaan
moral; orang kemudian tak mengacuhkan moralitas (Scott Hahn, 2007: Reasons
to Believe).
Paus Pius XII mengajarkan : "Walaupun
akal budi manusia, melalui kekuatan kodrati dan terangnya benar-benar dapat
sampai kepada pengertian yang benar dan pasti mengenai satu Allah yang pribadi,
yang melindungi dan membimbing dunia ini dengan tata penyelenggaraannya, namun
terdapat halangan yang tidak sedikit
bahwa akal budi itu akan mempergunakan kemampuan yang merupakan bakat pembawaan
sejak lahir secara berdaya guna dan berhasil. Karena kebenaran yang menyangkut
Allah serta hubungan antara Allah dan manusia sungguh melampaui tata dunia yang
kelihatan; kalau diterapkan pada cara hidup manusia untuk membinanya, maka
kebenaran-kebenaran itu akan menuntut berbagai pengurbanan dan penyangkalan
diri. Akan tetapi, akal budi manusia mengalami kesulitan dalam usahanya untuk
mencari kebenaran-kebenaran yang demikian itu, bukan hanya karena dorongan
indera-indera dan khayalan, melainkan juga karena naluri nafsu yang salah, yang
merupakan akibat dari dosa asal. Maka, jelaslah manusia dalam hal-hal yang
demikian itu lalu mudah terjerumus dalam keyakinan, bahwa apa yang mereka
inginkan sebagai benar adalah palsu, atau sekurang-kurangnya tidak pasti"
(Ens. Humani Generis: DS 3875).
Tradisi Kristiani mengenali keterbatasan manusia
dalam berpikir dan bicara tentang Allah. Sebab Allah yang kita bicarakan
mengatasi segala cakupan pengertian. Bahasa manusia “tidak akan pernah mencapai
misteri Allah” (KGK 42).
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu,
dan jalanmu
bukanlah jalan-Ku,
demikianlah
firman Tuhan.
Seperti tinggi langit dan bumi,
demikianlah
tingginya jalan-Ku dari jalanmu” (Yes 55:
8-9).
Allah itu agung melebihi setiap
makhluk. Karena itu, kita harus membersihkan pembicaraan kita tentang Dia
terus-menerus dari segala keterbatasan, dari kekurangan segala pemerian, dari
segala ketidaksempurnaan, supaya jangan menggantikan Allah "yang tidak
terucapkan, yang tidak dimengerti, yang tidak kelihatan, yang tidak
dibayangkan" dengan
gambaran-gambaran manusiawi kita tentang Dia. Kata-kata manusiawi kita tidak
pernah cukup menampung misteri Allah (lih KGK 42).
Kalau pun kita berbicara tentang
Allah, maka bahasa kita memang menyampaikan ungkapan diri-Nya secara manusiawi,
namun tidak mampu menyatakan Dia secara tuntas bahkan dalam kesederhanaan-Nya
yang tidak terbatas (bdk KGK 43). Kita harus sadar, bahwa selalu ada
kesenjangan: "antara Pencipta dan ciptaan tidak dapat dinyatakan satu keserupaan,
tanpa menegaskan satu ketidakserupaan yang lebih besar lagi" (Konsili
Lateran 4: DS 806). "Mengenai Allah, kita tidak dapat memahami Siapa Dia,
tetapi hanya siapa yang bukan Dia, dan bagaimana semua makhluk yang lain
berhubungan dengan Dia" (Tomas Aqu., S.gent. 1,30). Termasuk
manusia dan berbagai situasinya.
Manusia masih harus terus berpikir
untuk mengungkap misteri tentang “yang jahat” itu dan berusaha mendapat gambaran
tentang Allah. Mereka bertolak dari wawasan bahwa Allah maha baik dan segala
sesuatu yang berasal dari Dia adalah baik. Bahasa manusia lalu mengkonsepsikan
yang jahat itu sebagai hilangnya atau kurangnya “yang baik”.
Yang
jahat dalam arti fisik adalah sesuatu kejadian yang negatif – sakit, buta,
penderitaan, bencana alam, dan kematian. Semuanya merupakan kekurangan,
kehilangan. Sakit adalah kurangnya kesehatan; buta berarti hilangnya
penglihatan; kematian adalah hilangnya kehidupan, dan sebagainya.
Yang
jahat dalam arti moral adalah sesuatu yang dilakukan orang. Suatu tindakan
dari pelaku yang keliru. Yang jahat secara moral adalah ketidakadilan,
keculasan, dosa. Yang jahat secara moral juga mencerminkan suatu kekurangan,
tetapi dalam hal hilangnya kebaikan moral. Zinah adalah kurangnya kesetiaan.
Dusta adalah hilangnya kebenaran. Pembunuhan adalah menghilangkan kehidupan.
Karena Allah mahabaik dan
menciptakan yang baik maka yang jahat tidak berasal dari Allah. Namun kita
perlu mendapat kejelasan mengenai realitasnya dan kemungkinannya. Bagaimana
mungkin Allah yang baik membiarkan kekurangan seperti itu?
Melihat lebih jauh masalah ini, kita
perlu beralih dari filsafat kepada teologi, dari nalar kepada wahyu, karena
kejahatan juga merupakan misteri, dan hanya dengan wahyu saja kita bisa
memperoleh pemahaman pada misteri kebenaran iman (Daniel McInerny, 2006: The
Difficult Good).
Tidak
perlu kecil hati. Kita boleh mensyukuri cerminan Allah dan kehadiran-Nya yang
kita telah dapatkan dalam semua karya ciptaan-Nya, yang kita sebut “wahyu
kodrat”. Sebab walau Allah sendiri berkenan mengungkapkan diri lebih langsung
dalam apa yang kita sebut “wahyu ilahi” pun, Ia masih tetap berkenan hadir
dalam keterbatasan cerapan dan pengertian manusia.
Tidak diperlukan iman untuk
mengetahui bahwa hasil dari dosa pelanggaran kodrat adalah kematian. Gaya-hidup
yang kacau melanggar tatanan merusak kehidupan. Pendosa adalah orang yang
menyedihkan; dan tidak ada kehidupan yang begitu menyedihkan selain hidup
pendosa yang tidak lagi mengenal kemalangan dirinya. Ambillah sebagai contoh
seorang pemabuk yang menyangkal bahwa dirinya seorang pemabuk, yang
mempermalukan dirinya sendiri ketika mabuk setiap malam.
Penderitaan sakit kepala dialami pada
pagi harinya sebagai hukuman. Namun
sanksi dari hukum alam/kodrat diselenggarakan Allah adalah hukuman yang bermaksud
memperbaiki/mengobati – tindakan disiplin dari seorang Bapa yang baik, yang
mengajar anak-anaknya dalam satu hal untuk memberi mereka sesuatu yang jauh
lebih baik. Sakit kepala di pagi hari setelah mabuk malam kemarin seharusnya
sudah cukup menyebabkan seorang peminum menjauhi alkohol. Jika ia memilih
mengabaikan pelajaran itu, maka kebiasaannya akan semakin memburuk dan
konsekuensi akibatnya akan makin lebih berat lagi, karena ketahanan dirinya
akan makin melemah dan akan membutuhkan usaha yang lebih drastis dalam
melakukan perbaikan. Misalnya, ketika orang yang biasa mabuk di akhir pekan
terlambat datang kerja atau bahkan terpaksa mangkir kerja di hari Senin,
sehingga mendapat teguran atau hukuman disipliner dari atasannya. Kebiasan
terlambat atau mangkir kerja akibat mabuk bisa merusak hubungan kerja, hubungan
sosial yang lebih luas lagi, dan memerlukan upaya rehabilitasi yang lebih berat
atas kecanduan alkohol.
Hukum alam/kodrat dimaksudkan untuk
memersiapkan manusia menerima rahmat adi-kodrati. Rahmat tidak merusak kodrat,
namun membangun di atas kodrat itu, memperbaiki setiap kekurangan/kerusakan,
menyempurnakan dan mengangkat martabatnya.
Lebih-lebih lagi kita bersyukur
karena Allah berkenan menyampaikan diri dan kebaikan-Nya melalui berbagai
peristiwa dalam sejarah entah dengan kata-kata, atau penglihatan yang diberikan
kepada para nabi atau utusan pilihan-Nya yang lain dalam wahyu ilahi.
Dengan wahyu ilahi, manusia tidak
hanya diberi terang mengenai apa yang mengatasi daya akal budinya, tetapi juga
mengenai "apa yang sebenarnya dapat diterobos oleh akal budi dalam
masalah-masalah agama dan susila", termasuk "juga semua itu di dalam
kondisi umat manusia dewasa ini” (KGK 38).
Wahyu Allah menyatakan bahwa Allah
dapat menggunakan keadaan yang jahat akibat berbagai pelanggaran ini untuk
menunjukkan kebaikan dan kuasa-Nya yang tanpa batas. Melalui karya keselamatan,
Dia hendak mewujudkan kebaikan yang lebih besar dari yang paling mungkin untuk
lepas dari kenyataan kejahatan.
Ia tahu bahwa kita dapat jatuh. Dia
tidak menyebabkan kita jatuh, tetapi Dia dengan bebas memperbolehkan kita
jatuh. Hal itu dilakukan-Nya untuk membuat suatu ciptaan baru yang mulia, yang
melebihi seluruh kemungkinan yang ada pada kodrat manusia. Dalam mewahyukan
diri Allah mengambil rupa manusia dalam Yesus Kristus, dan mengalami kemalangan
dan kematian. Bukan hanya untuk membawa manusia itu kembali pada hidup, Dia
juga menyatukan manusia dengan Diri-Nya sendiri, sehingga hidup yang dipulihkan
dalam kita itu adalah hidup yang ilahi.
Rahmat yang diberikan-Nya kepada kita adalah status keputeraan-Nya sendiri.
Maka wahyu Allah yang paling
mengagumkan kepada kita adalah Penjilmaan Allah Menjadi Manusia (Inkarnasi),
sebab dengan peristiwa itu Allah mengenakan pada diri-Nya kemanusiaan kita! Misteri
Inkarnasi bila dikatakan dengan sederhana adalah misteri tentang Allah yang
mengambil rupa manusia, berhubungan dengan manusia dengan cara yang tampak dan
dapat dicerap dengan indera manusia.
Pada umumnya kita memikirkan wahyu
ilahi hingga inkarnasi begini: Pada mulanya, Allah menciptakan dunia dan segala
isinya, termasuk menciptakan manusia. Tetapi manusia lalu berdosa (dosa asal)
dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Allah dengan segala kebaikan dan
kerahiman-Nya lalu memutuskan untuk menyelamatkan manusia kendati manusia itu
berdosa. Maka Allah menyiapkan suatu umat melalui para bapa bangsa dan para
nabi. Melalui mereka Allah berangsur-angsur menyiapkan umat-Nya itu (Kitab-Suci
Yahudi). Pada akhirnya, ketika tiba waktunya, Allah mengutus Putera-Nya
sendiri, Yesus, yang dilahirkan di Palestina dua ribu tahun yang lalu. Yesus
adalah Tuhan, tetapi Dia juga sepenuhnya manusia. Dia mempunyai dua hakekat:
sungguh Allah, sungguh manusia. Dia mewahyukan hakekat ke-Allah-an-Nya,
mengajarkan berbagai kebenaran besar, menyembuhkan orang, melakukan mujizat,
namun akhirnya Dia mendapat tuduhan palsu, ditangkap, disalibkan dan mati. Dia
bangkit tiga hari berikutnya, dan dalam empat puluh hari berkali-kali Ia
menampakkan diri kepada para pengikut-Nya. Pada akhirnya, secara fisik Ia naik ke surga. KematianNya
menebus dosa manusia, kebangkitanNya mengembalikan hidup manusia, kenaikanNya
ke surga menyiapkan manusia baru dengan dimensi surgawi.
Ada suatu cerita yang bagus mengisahkan
seorang anak perempuan berumur empat tahun yang bangun di tengah malam dengan
ketakutan, karena yakin bahwa dalam kegelapan di sekitarnya ada segala macam
hantu dan monster. Karena sendirian dan ketakutan, ia lari ke kamar kedua orang
tuanya. Ibunya menenangkan anak itu, menyalakan lampu dan berusaha meyakinkan
anak itu dengan kata-kata ini: “Kamu tak perlu takut, kamu tidak sendirian di
sini. Tuhan ada di dalam kamar ini bersama dengan kita.” Anak perempuan itu
menjawab: “Aku tahu bahwa Tuhan ada di sini, tetapi aku memerlukan seseorang di
dalam kamar ini yang punya semacam kulit!”
Pada dasarnya, cerita itu memberikan
kepada kita suatu alasan bagi Inkarnasi, dan suatu definisi yang sangat bagus
tentang Inkarnasi itu. Tuhan menjadi manusia karena seperti gadis cilik itu,
kita semua memerlukan seseorang yang menyertai kita dan punya semacam kulit.
Tuhan yang berada di mana-mana dengan gampang juga bisa dikatakan tidak ada di
mana-mana. Kita percaya kepada apa yang dapat kita sentuh, kita lihat, kita
dengar, kita cium baunya, dan kita rasakan. Kita bukan malaikat yang tidak
punya tubuh, melainkan mahluk yang diberi indera, sensual dalam arti kata yang
sebenarnya, punya sensualitas (daya-daya inderawi). Kita punya panca indera,
kelima indera, dan kita berada di dunia ini melalui seluruh indera itu. Kita
tahu sesuatu dari indera itu, melakukan komunikasi dengan indera itu, terbuka
satu sama lain dan kepada dunia hanya melalui indera itu. Dan Allah berhubungan
dengan kita melalui indera-indera kita. Yesus yang mondar-mandir di jalan-jalan
Palestina dapat dilihat, disentuh, dan didengar. Di dalam Inkarnasi itu Tuhan
mengambil rupa manusia, menjadi fisik, karena kita adalah mahluk yang punya
indera, dan pada titik tertentu memerlukan seorang Tuhan yang punya kulit
(Ronald Rolheiser, 1998: Seeking Spirituality).
Sebagai “salah seorang di antara
kita”, Yesus, Allah-Manusia, berbicara dengan kita, terus menggunakan gambaran
dan kiasan-kiasan bahasa kita untuk mengungkapkan kepada kita kebenaran dari
Allah dan berbagai hal yang ilahi. Misalnya, Ia menggunakan gambaran pesta
pernikahan untuk melukiskan sorga, dan kebapaan manusiawi untuk mencerminkan
kasih dan kebapaan yang sempurna dari Allah, “yang daripada-Nya semua turunan
yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya” (Ef 3:15).
Walaupun demikian, pemahaman manusia
akan Allah akan tetap tidak sempurna, sampai kita berhadapan langsung dengan
Allah di sorga (“pandangan kudus”): “Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak
sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri
dikenal” (1Kor 13:12).
[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar