Daftar Blog Saya

Kamis, 01 Desember 2022

POKOK KATEKESE IMAN KITA 4 WAHYU ILAHI

 Bambang Kussriyanto



Mengenal Allah dari Wahyu Ilahi

Allah dapat dikenal dari pantulan seluruh alam semesta karya ciptaan-Nya, semisal keindahan dan ketertiban semesta (bdk Rm 1:19-20; Mzm 19:2). Kita juga dapat  menemukan Allah sebagai sumber kualitas yang terbaik dari manusia, dan tradisi Kristiani menyimpulkan: “Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan” (KGK, 33).

            Adanya kualitas-kualitas ini menunjukkan suatu prinsip spiritualitas atau “jiwa” pada manusia, yang tentulah bersumber dari zat spiritual yang lebih tinggi, yaitu Allah (Montague Brown, 2006: Restoration of Reason; John Saward, 1996: The Beauty of Holiness and the Holines of Beauty). Misalnya, penulis Kristiani C.S. Lewis memperhatikan bahwa semua orang mempunyai pengertian akan kejujuran dan keadilan atau “fair play” yang merujuk pada pribadi (Allah) yang merupakan sumber dari “hukum” atau prinsip moral yang berlaku umum itu (C.S. Lewis, 1962,  Mere Christianity, 17-19).

            Di dalam tradisi Yahudi-Kristiani, petunjuk tentang keberadaan Allah menjadi pernyataan-pernyataan formal, yang disebut bukti adanya Allah. Petunjuk-petunjuk itu tidak bersifat ilmiah, melainkan “argumen-argumen yang cocok dan meyakinkan” (KGK 31) yang jika diterima bersama-sama, dapat mengarahkan orang yang berakal-budi mencapai kesimpulan, bahwa ada suatu kenyataan yang menjadi sebab pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu, “yang oleh setiap orang disebut ‘Allah’ (STh I, 2, 3).” Walaupun pernyataan itu tidak selalu membawa orang kepada suatu hubungan yang memberi hidup dengan Allah yang pribadi dan mengasihi, tetapi dapat membantu orang supaya mendapat pengertian mengapa kepercayaan kepada Allah itu selaras dengan akal budi manusia dan penting (lih KGK 35).

            Harus diakui bahwa di dalam sejarah, manusia mengalami banyak kesulitan untuk mengenal Allah semata-mata hanya dengan mengandalkan akal budinya (KGK 37). “Sebab sekali pun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya” (Rm 1:21). Kegagalan ini menyebabkan tertutupnya cahaya : “mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh” (Rm 1:21-22).

            Akal budi berkutat berpikir: Mengapa ada kejahatan jika Allah itu sekaligus mahakuasa dan mahabaik. Jika Dia mahabaik, maka mahluk-Nya seharusnya mencerminkan kesempurnaan-Nya sehingga tidak menderita. Jika Allah mahakuasa, maka seharusnya Dia dapat mencegah terjadinya kejahatan. Sebagian orang menyelesaikan masalah itu dengan menyingkirkan Allah; menganggap Allah tidak ada, atau tidak mahakuasa.

            Namun kita tidak dapat memecahkan masalah itu dengan mengabaikan Allah. Sebenarnya justru penyangkalan akan Allah  memperberat masalahnya. Menyangkal keberadaan Allah untuk memecahkan masalah kejahatan sama dengan membakar hangus rumah untuk mengusir kecoa, atau seperti memotong kepala untuk menghentikan hidung yang mimisan. Orang yang membiarkan kejahatan mendorong mereka ke arah ateisme seperti amblong tidak punya standar pijakan untuk mengadili sesuatu yang jahat. Alih-alih memecahkan masalah, mereka justru melembagakannya – menuliskannya ke dalam setiap susunan urat alam semesta. Jika tidak ada Allah, maka tidak ada kebaikan tertinggi yang transenden mengatasi segalanya, dan karena itu tidak ada ukuran yang sempurna bagi kebenaran dan keadilan; dengan demikian juga tidak ada yang sungguh-sungguh jahat. Tanpa Allah segala sesuatu hanya semata-mata pilihan kesukaan manusia belaka dan tidak ada rasa perasaan moral; orang kemudian tak mengacuhkan moralitas (Scott Hahn, 2007: Reasons to Believe).

            Paus Pius XII mengajarkan : "Walaupun akal budi manusia, melalui kekuatan kodrati dan terangnya benar-benar dapat sampai kepada pengertian yang benar dan pasti mengenai satu Allah yang pribadi, yang melindungi dan membimbing dunia ini dengan tata penyelenggaraannya, namun terdapat  halangan yang tidak sedikit bahwa akal budi itu akan mempergunakan kemampuan yang merupakan bakat pembawaan sejak lahir secara berdaya guna dan berhasil. Karena kebenaran yang menyangkut Allah serta hubungan antara Allah dan manusia sungguh melampaui tata dunia yang kelihatan; kalau diterapkan pada cara hidup manusia untuk membinanya, maka kebenaran-kebenaran itu akan menuntut berbagai pengurbanan dan penyangkalan diri. Akan tetapi, akal budi manusia mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mencari kebenaran-kebenaran yang demikian itu, bukan hanya karena dorongan indera-indera dan khayalan, melainkan juga karena naluri nafsu yang salah, yang merupakan akibat dari dosa asal. Maka, jelaslah manusia dalam hal-hal yang demikian itu lalu mudah terjerumus dalam keyakinan, bahwa apa yang mereka inginkan sebagai benar adalah palsu, atau sekurang-kurangnya tidak pasti" (Ens. Humani Generis: DS 3875).

          Tradisi Kristiani mengenali keterbatasan manusia dalam berpikir dan bicara tentang Allah. Sebab Allah yang kita bicarakan mengatasi segala cakupan pengertian. Bahasa manusia “tidak akan pernah mencapai misteri Allah” (KGK 42).

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, 

            dan jalanmu bukanlah jalan-Ku,

            demikianlah firman Tuhan.

Seperti tinggi langit dan bumi,

            demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu” (Yes 55: 8-9).  

             

            Allah itu agung melebihi setiap makhluk. Karena itu, kita harus membersihkan pembicaraan kita tentang Dia terus-menerus dari segala keterbatasan, dari kekurangan segala pemerian, dari segala ketidaksempurnaan, supaya jangan menggantikan Allah "yang tidak terucapkan, yang tidak dimengerti, yang tidak kelihatan, yang tidak dibayangkan"  dengan gambaran-gambaran manusiawi kita tentang Dia. Kata-kata manusiawi kita tidak pernah cukup menampung misteri Allah (lih KGK 42).    

            Kalau pun kita berbicara tentang Allah, maka bahasa kita memang menyampaikan ungkapan diri-Nya secara manusiawi, namun tidak mampu menyatakan Dia secara tuntas bahkan dalam kesederhanaan-Nya yang tidak terbatas (bdk KGK 43). Kita harus sadar, bahwa selalu ada kesenjangan: "antara Pencipta dan ciptaan tidak dapat dinyatakan satu keserupaan, tanpa menegaskan satu ketidakserupaan yang lebih besar lagi" (Konsili Lateran 4: DS 806). "Mengenai Allah, kita tidak dapat memahami Siapa Dia, tetapi hanya siapa yang bukan Dia, dan bagaimana semua makhluk yang lain berhubungan dengan Dia" (Tomas Aqu., S.gent. 1,30). Termasuk manusia dan berbagai situasinya.



            Manusia masih harus terus berpikir untuk mengungkap misteri tentang “yang jahat” itu dan berusaha mendapat gambaran tentang Allah. Mereka bertolak dari wawasan bahwa Allah maha baik dan segala sesuatu yang berasal dari Dia adalah baik. Bahasa manusia lalu mengkonsepsikan yang jahat itu sebagai hilangnya atau kurangnya “yang baik”.

            Yang jahat dalam arti fisik adalah sesuatu kejadian yang negatif – sakit, buta, penderitaan, bencana alam, dan kematian. Semuanya merupakan kekurangan, kehilangan. Sakit adalah kurangnya kesehatan; buta berarti hilangnya penglihatan; kematian adalah hilangnya kehidupan, dan sebagainya.

            Yang jahat dalam arti moral adalah sesuatu yang dilakukan orang. Suatu tindakan dari pelaku yang keliru. Yang jahat secara moral adalah ketidakadilan, keculasan, dosa. Yang jahat secara moral juga mencerminkan suatu kekurangan, tetapi dalam hal hilangnya kebaikan moral. Zinah adalah kurangnya kesetiaan. Dusta adalah hilangnya kebenaran. Pembunuhan adalah menghilangkan kehidupan.

            Karena Allah mahabaik dan menciptakan yang baik maka yang jahat tidak berasal dari Allah. Namun kita perlu mendapat kejelasan mengenai realitasnya dan kemungkinannya. Bagaimana mungkin Allah yang baik membiarkan kekurangan seperti itu?

            Melihat lebih jauh masalah ini, kita perlu beralih dari filsafat kepada teologi, dari nalar kepada wahyu, karena kejahatan juga merupakan misteri, dan hanya dengan wahyu saja kita bisa memperoleh pemahaman pada misteri kebenaran iman (Daniel McInerny, 2006: The Difficult Good).

 Allah Mewahyukan Diri

Tidak perlu kecil hati. Kita boleh mensyukuri cerminan Allah dan kehadiran-Nya yang kita telah dapatkan dalam semua karya ciptaan-Nya, yang kita sebut “wahyu kodrat”. Sebab walau Allah sendiri berkenan mengungkapkan diri lebih langsung dalam apa yang kita sebut “wahyu ilahi” pun, Ia masih tetap berkenan hadir dalam keterbatasan cerapan dan pengertian manusia.

            Tidak diperlukan iman untuk mengetahui bahwa hasil dari dosa pelanggaran kodrat adalah kematian. Gaya-hidup yang kacau melanggar tatanan merusak kehidupan. Pendosa adalah orang yang menyedihkan; dan tidak ada kehidupan yang begitu menyedihkan selain hidup pendosa yang tidak lagi mengenal kemalangan dirinya. Ambillah sebagai contoh seorang pemabuk yang menyangkal bahwa dirinya seorang pemabuk, yang mempermalukan dirinya sendiri ketika mabuk setiap malam.

            Penderitaan sakit kepala dialami pada pagi harinya  sebagai hukuman. Namun sanksi dari hukum alam/kodrat diselenggarakan Allah adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki/mengobati – tindakan disiplin dari seorang Bapa yang baik, yang mengajar anak-anaknya dalam satu hal untuk memberi mereka sesuatu yang jauh lebih baik. Sakit kepala di pagi hari setelah mabuk malam kemarin seharusnya sudah cukup menyebabkan seorang peminum menjauhi alkohol. Jika ia memilih mengabaikan pelajaran itu, maka kebiasaannya akan semakin memburuk dan konsekuensi akibatnya akan makin lebih berat lagi, karena ketahanan dirinya akan makin melemah dan akan membutuhkan usaha yang lebih drastis dalam melakukan perbaikan. Misalnya, ketika orang yang biasa mabuk di akhir pekan terlambat datang kerja atau bahkan terpaksa mangkir kerja di hari Senin, sehingga mendapat teguran atau hukuman disipliner dari atasannya. Kebiasan terlambat atau mangkir kerja akibat mabuk bisa merusak hubungan kerja, hubungan sosial yang lebih luas lagi, dan memerlukan upaya rehabilitasi yang lebih berat atas kecanduan alkohol.

            Hukum alam/kodrat dimaksudkan untuk memersiapkan manusia menerima rahmat adi-kodrati. Rahmat tidak merusak kodrat, namun membangun di atas kodrat itu, memperbaiki setiap kekurangan/kerusakan, menyempurnakan dan mengangkat martabatnya.

            Lebih-lebih lagi kita bersyukur karena Allah berkenan menyampaikan diri dan kebaikan-Nya melalui berbagai peristiwa dalam sejarah entah dengan kata-kata, atau penglihatan yang diberikan kepada para nabi atau utusan pilihan-Nya yang lain dalam wahyu ilahi. 

            Dengan wahyu ilahi, manusia tidak hanya diberi terang mengenai apa yang mengatasi daya akal budinya, tetapi juga mengenai "apa yang sebenarnya dapat diterobos oleh akal budi dalam masalah-masalah agama dan susila", termasuk "juga semua itu di dalam kondisi umat manusia dewasa ini” (KGK 38).

            Wahyu Allah menyatakan bahwa Allah dapat menggunakan keadaan yang jahat akibat berbagai pelanggaran ini untuk menunjukkan kebaikan dan kuasa-Nya yang tanpa batas. Melalui karya keselamatan, Dia hendak mewujudkan kebaikan yang lebih besar dari yang paling mungkin untuk lepas dari kenyataan kejahatan.

            Ia tahu bahwa kita dapat jatuh. Dia tidak menyebabkan kita jatuh, tetapi Dia dengan bebas memperbolehkan kita jatuh. Hal itu dilakukan-Nya untuk membuat suatu ciptaan baru yang mulia, yang melebihi seluruh kemungkinan yang ada pada kodrat manusia. Dalam mewahyukan diri Allah mengambil rupa manusia dalam Yesus Kristus, dan mengalami kemalangan dan kematian. Bukan hanya untuk membawa manusia itu kembali pada hidup, Dia juga menyatukan manusia dengan Diri-Nya sendiri, sehingga hidup yang dipulihkan dalam kita itu adalah hidup yang ilahi. Rahmat yang diberikan-Nya kepada kita adalah status keputeraan-Nya sendiri.

            Maka wahyu Allah yang paling mengagumkan kepada kita adalah Penjilmaan Allah Menjadi Manusia (Inkarnasi), sebab dengan peristiwa itu Allah mengenakan pada diri-Nya kemanusiaan kita! Misteri Inkarnasi bila dikatakan dengan sederhana adalah misteri tentang Allah yang mengambil rupa manusia, berhubungan dengan manusia dengan cara yang tampak dan dapat dicerap dengan indera manusia.

            Pada umumnya kita memikirkan wahyu ilahi hingga inkarnasi begini: Pada mulanya, Allah menciptakan dunia dan segala isinya, termasuk menciptakan manusia. Tetapi manusia lalu berdosa (dosa asal) dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Allah dengan segala kebaikan dan kerahiman-Nya lalu memutuskan untuk menyelamatkan manusia kendati manusia itu berdosa. Maka Allah menyiapkan suatu umat melalui para bapa bangsa dan para nabi. Melalui mereka Allah berangsur-angsur menyiapkan umat-Nya itu (Kitab-Suci Yahudi). Pada akhirnya, ketika tiba waktunya, Allah mengutus Putera-Nya sendiri, Yesus, yang dilahirkan di Palestina dua ribu tahun yang lalu. Yesus adalah Tuhan, tetapi Dia juga sepenuhnya manusia. Dia mempunyai dua hakekat: sungguh Allah, sungguh manusia. Dia mewahyukan hakekat ke-Allah-an-Nya, mengajarkan berbagai kebenaran besar, menyembuhkan orang, melakukan mujizat, namun akhirnya Dia mendapat tuduhan palsu, ditangkap, disalibkan dan mati. Dia bangkit tiga hari berikutnya, dan dalam empat puluh hari berkali-kali Ia menampakkan diri kepada para pengikut-Nya. Pada akhirnya,  secara fisik Ia naik ke surga. KematianNya menebus dosa manusia, kebangkitanNya mengembalikan hidup manusia, kenaikanNya ke surga menyiapkan manusia baru dengan dimensi surgawi.

            Ada suatu cerita yang bagus mengisahkan seorang anak perempuan berumur empat tahun yang bangun di tengah malam dengan ketakutan, karena yakin bahwa dalam kegelapan di sekitarnya ada segala macam hantu dan monster. Karena sendirian dan ketakutan, ia lari ke kamar kedua orang tuanya. Ibunya menenangkan anak itu, menyalakan lampu dan berusaha meyakinkan anak itu dengan kata-kata ini: “Kamu tak perlu takut, kamu tidak sendirian di sini. Tuhan ada di dalam kamar ini bersama dengan kita.” Anak perempuan itu menjawab: “Aku tahu bahwa Tuhan ada di sini, tetapi aku memerlukan seseorang di dalam kamar ini yang punya semacam kulit!”

            Pada dasarnya, cerita itu memberikan kepada kita suatu alasan bagi Inkarnasi, dan suatu definisi yang sangat bagus tentang Inkarnasi itu. Tuhan menjadi manusia karena seperti gadis cilik itu, kita semua memerlukan seseorang yang menyertai kita dan punya semacam kulit. Tuhan yang berada di mana-mana dengan gampang juga bisa dikatakan tidak ada di mana-mana. Kita percaya kepada apa yang dapat kita sentuh, kita lihat, kita dengar, kita cium baunya, dan kita rasakan. Kita bukan malaikat yang tidak punya tubuh, melainkan mahluk yang diberi indera, sensual dalam arti kata yang sebenarnya, punya sensualitas (daya-daya inderawi). Kita punya panca indera, kelima indera, dan kita berada di dunia ini melalui seluruh indera itu. Kita tahu sesuatu dari indera itu, melakukan komunikasi dengan indera itu, terbuka satu sama lain dan kepada dunia hanya melalui indera itu. Dan Allah berhubungan dengan kita melalui indera-indera kita. Yesus yang mondar-mandir di jalan-jalan Palestina dapat dilihat, disentuh, dan didengar. Di dalam Inkarnasi itu Tuhan mengambil rupa manusia, menjadi fisik, karena kita adalah mahluk yang punya indera, dan pada titik tertentu memerlukan seorang Tuhan yang punya kulit (Ronald Rolheiser, 1998: Seeking Spirituality).

            Sebagai “salah seorang di antara kita”, Yesus, Allah-Manusia, berbicara dengan kita, terus menggunakan gambaran dan kiasan-kiasan bahasa kita untuk mengungkapkan kepada kita kebenaran dari Allah dan berbagai hal yang ilahi. Misalnya, Ia menggunakan gambaran pesta pernikahan untuk melukiskan sorga, dan kebapaan manusiawi untuk mencerminkan kasih dan kebapaan yang sempurna dari Allah, “yang daripada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya” (Ef 3:15). 

            Walaupun demikian, pemahaman manusia akan Allah akan tetap tidak sempurna, sampai kita berhadapan langsung dengan Allah di sorga (“pandangan kudus”): “Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal” (1Kor 13:12).



[Bersambung]

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar