Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Kitab Suci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Suci. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Januari 2023

KITAB SUCI BAHASA INDONESIA

 Bahasa Indonesia timbul dan berkembang dari Bahasa Melayu Riau, diperkaya dengan unsur-unsur serapan dari bahasa-bahasa Nusantara lainnya yang berjumlah lebih dari seratus, dan secara politis ditetapkan menjadi bahasa kesatuan Indonesia melalui Sumpah Pemuda tahun 1928. Barulah dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36, Bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Bahasa Indonesia modern juga diperkaya dengan unsur-unsur serapan dari bahasa Arab, Portugis, Spanyol, Latin, Belanda dan Inggris.

      Bahasa Melayu dengan ejaan yang belum ada standarnya merupakan bahasa yang digunakan sebelum tahun 1901. Pastor J. Van Meurs pada 1885 menerbitkan dalam bahasa Melayu riwayat beberapa tokoh Perjanjian Lama dan Injil (dalam bentuk ringkasan). Terjemahan Kitab Suci di kalangan Protestan antara lain mengedarkan:

Alkitab Klinkert, Melayu Tinggi (1879)

Perjanjian Baru (PB) Roskott, Melayu Ambon (1877)

PB Klinkert, Melayu Rendah (1863)

PB Keasberry (1852)

PB Melayu, Dialek Surabaya (1835)

      Pada tahun 1901 berkembang penggunaan ejaan Ch. A. Van Ophuyzen yang berfungsi hingga tahun 1947. Dalam periode ini beredar :

PB Bode (1938)

PB Melayu Baba (1913)

Alkitab Shellabear (1912).

      Sejak 1947 digunakan ejaan Republik atau ejaan Nasional dari Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Soewandi. Ejaan ini berlaku hingga tahun 1972. Dalam periode ini beredar Alkitab Terjemahan Lama (Protestan, 1958). Pada tahun 1960 Percetakan/penerbitan “Arnoldus/ Nusa Indah” Ende, Flores, menerbitkan Perjanjian Lama (Katolik) berbahasa Indonesia dalam sembilan jilid. Pada tahun 1964 diterbitkan Perjanjian Baru bahasa Indonesia oleh penerbit yang sama.    

  

      Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) berlaku sejak tahun 1972 menggantikan ejaan Soewandi 1947. Terjadi kesulitan dana untuk memperbarui berbagai Kitab Suci yang sudah dicetak dalam ejaan lama. Dalam rangka menanggulangi kesulitan ekonomis praktis, seraya mengembangkan usaha ekumenis, kemudian disetujui penerbitan Alkitab ekumenis Terjemahan Baru oleh Lembaga Alkitab Indonesia (Protestan) pada tahun 1974,  dan khusus bagi umat Katolik disediakan tambahan Kitab-kitab Deuterokanonika yang disiapkan oleh Lembaga Biblika Indonesia (Katolik). Pada tahun 1994 terjemahan Alkitab itu disempurnakan.



      Pada tahun 2002 beredar Kitab Suci beranotasi yang sementara ini berfungsi lebih sebagai Kitab Suci studi, yaitu Kitab Suci Komunitas Kristiani (Katolik), oleh Penerbit Obor, Jakarta.

   

Lembaga Biblika Indonesia

Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sudah dirintis sejak tahun 1965 sebagai usaha Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab Suci dan buku-buku mengenai Kitab Suci. Waktu itu, lembaga ini bernama Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina.

Dalam sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1970, para uskup Indonesia meresmikan dan mengangkat lembaga tersebut menjadi lembaga MAWI yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci (lihat surat sekretaris presidium MAWI tanggal 19 Februari 1971). Sejak itu, lembaga ini bernama Lembaga Biblika Indonesia.

Didirikannya LBI dimaksudkan untuk menanggapi imbauan Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, mereka dapat memenuhi anjuran untuk “… sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus” (Dei Verbum 25).

Untuk menunjang niat tersebut diadakan kerja sama dengan berbagai pihak dalam hal menerjemahkan dan menyebarkan Kitab Suci. Juga diadakan bahan-bahan yang mendukung karya kerasulan Kitab Suci di lapangan. Hal ini sejalan dengan prioritas yang disepakati dalam Pekan Konsultasi Nasional Kerasulan Kitab Suci yang pertama pada tahun 1976.

Agar umat Katolik semakin menaruh minat dan mencintai Kitab Suci, sejak tahun 1977 dirayakan Hari Minggu Kitab Suci Nasional yang jatuh pada hari Minggu pertama Bulan September. Sejak itu, kerasulan Kitab Suci berkembang dengan pesat dan di hampir semua keuskupan diangkat Penghubung Kerasulan Kitab Suci. Dalam Pekan Konsultasi Nasional Kerasulan Kitab Suci yang kedua (1980) sebutan Penghubung diubah menjadi Delegatus Kitab Suci. Pada kesempatan itu dirumuskan pula tugas dan wewenang Delegatus Kitab Suci serta hubungannya dengan LBI.

Semakin lama semakin dirasakan kebutuhan agar kerja sama antara LBI dengan para Delegatus Kitab Suci ini lebih diintensifkan. Karena itu, dibentuklah Forum Kerja Sama Kerasulan Kitab Suci pada tahun 1987. Mulai tahun 1996, para Delegatus Kitab Suci ex officio menjadi anggota LBI, dan Delegatus Kitab Suci yang dipilih sebagai penghubung regio menjadi anggota Dewan Pimpinan.

Sejak tahun 2002, LBI mengaktifkan kembali Yayasan Lembaga Biblika Indonesia (YLBI) sebagai sebuah unit usaha untuk membantu terwujudnya misi LBI.

Pada 14 Desember 2009, rapat Pimpinan Harian bersama Uskup Delegatus, Mgr. Ignatius Suharyo, membicarakan aneka masalah yang berkaitan dengan kondisi LBI dan YLBI, misalnya struktur organisasi serta keberadaan LBI dan YLBI yang tumpang tindih, keberadaan YLBI sebagai unit usaha LBI, perangkapan jabatan dan fungsi, serta mekanisme kerja.

Pada 1 Mei 2010 diadakan pertemuan dengar pendapat berkaitan dengan kondisi LBI dan YLBI, yang dihadiri oleh Direksi KWI, Sekjen KWI, mantan Pengurus LBI, serta Konsultan Hukum dan Pajak.

Setelah dilakukan serangkaian rapat internal, khususnya pada rapat tanggal 24 Februari 2011 yang dihadiri Uskup Delegatus, diputuskan penggabungan LBI dan YLBI, dengan nama Lembaga Biblika Indonesia.


Jumat, 20 Januari 2023

PERJANJIAN

 Bacaan dari Surat Ibrani hari ini (Ibr 8:6-13) bicara tentang "Perjanjian". "Perjanjian pertama", "perjanjian yang telah menjadi tua"; "perjanjian kedua" - "perjanjian baru". Ada baiknya mengingat latar umum Perjanjian.


Perjanjian (1)  

Ikatan kesepakatan puak di antara dua pihak, dengan persyaratan atau kewajiban-kewajiban, ditetapkan dengan sumpah atau yang semacam. Perjanjian ada di mana-mana di Timur Dekat, seperti di dalam budaya Yunani-Roma, sebagai cara untuk membina dan memelihara hubungan antar pribadi, antar keluarga, antar suku, bahkan antar-bangsa. Perjanjian juga merupakan tema-induk dari Kitab Suci, yang mencatat betapa dalam berbagai cara di sepanjang sejarah Allah berusaha menarik manusia ke dalam suatu hubungan keluarga dengan DiriNya sendiri melalui sumpah atau janji  ilahi.

      Pengalih-bahasaan kata “covenant” (bahasa Ibrani berit, Yunani diatheke) atau perjanjian sebagai “testament” dalam tradisi Latin telah mengaburkan fakta itu hingga Kitab Suci dibagi menjadi Tulisan-tulisan Suci berdasarkan dua perjanjian, yang Lama dan yang Baru. Namun pembagian kanon atas dasar perbedaan perjanjian merujuk pada tempat sentral konsep perjanjian yang tak dapat disangkal itu dalam wawasan alkitabiah serta teologi Kristen. Lagi pula, bagi umat Katolik, fakta bahwa sumber dan puncak hidup Kristen, yaitu Ekaristi, oleh Kristus dikatakan sebagai “Perjanjian yang Baru” (Luk 22:20) mestinya cukup untuk menunjukkan pentingnya perjanjian pada rencana keselamatan.

 I. HAKEKAT DAN PENGERTIAN PERJANJIAN

Pengertian “perjanjian” banyak diperdebatkan para ahli Kitab Suci. Khususnya di kalangan para ahli Jerman ada kecenderungan untuk menyusutkan nosi “perjanian” menjadi “hukum” atau “kewajiban”. Perjanjian memang sering berisi ketetapan-ketetapan hukum atau kewajiban-kewajiban. Tetapi penelitian atas perjanjian-perjanjian Timur Dekat dalam belahan kedua abad keduapuluh berhasil memntapkan suatu konsensus di antara para ahli Protestan (Frank Moore Cross, Gorden Hugenberger), Katolik (D.J. McCarthy, Paul Kalluveettil) dan Yahudi (Moshe Weinfield, David Noel Freedman) bahwa “perjanjian”, pada hakekatnya, adalah sarana legal untuk mengadakan pertalian di antara kelompok-kelompok yang tadinya tidak berhubungan. Sarjana Harvard Frank Moore Cross menjelaskan bahwa suatu perjanjian “...adalah...suatu sarana hukum yang luas dengan mana kewajiban dan hak suatu puak diperluas pada perorangan atau kelompok lain termasuk orang asing”. Hubungan puak atau kekeluargaan ini diatur dengan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang diperinci di dalam upacara pembuatan perjanjian, yang biasanya terdiri dari suatu ritus keagamaan yang memuncak pada pengucapan janji lisan atau ritual oleh salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.



      Adalah tidak tepat memandang suatu perjanjian sebagai kontrak. Biasanya kontrak menyangkut pertukaran barang, sementara suatu perjanjian menyangkut relasi antar pribadi. Berbeda dari kebanyakan kontrak, perjanjian bukan hanya ikatan sipil perdata, melainkan juga ikatan suci, di mana sumpah digunakan sebagai seruan pada Tuhan (atau dewa-dewa di dalam masyarakat politeis) untuk memateri kewajiban-kewajiban perjanjian itu.

 II. TATA CARA PENYELENGGARAAN PERJANJIAN

Kitab Suci dan berbagai teks kuno dari Timur Dekat menggambarkan berbagai cara yang digunakan untuk menyelenggarakan dan merayakan perjanjian di antara dua pihak.

      Hampir dalam berbagai kesempatan tindakan utama pembuatan perjanjian adalah pengucapan sumpah oleh salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian (Kej 21:31-32; 22:16; 26:28; Yos 9:15; Yeh 16:59; 17:13-19). Sumpah biasanya berbentuk kutuk atas diri sendiri. Yang melakukan perjanjian menyerukan kepada Tuhan atau dewa-dewa agar mendatangkan kematian atau bencana besar atas dirinya seandainya ia gagal melaksanakan kewajiban perjanjian yang ditetapkan. Sumpah ini diucapkan secara lisan, atau bisa dinyatakan dalam bentuk suatu ritual. Berbagai teks sekular dari Timur Dekat di masa kuno mencatat berbagai ragam ritual kutuk diri, seperti yang digambarkan dalam teks Asyur dari tahun 754 SM berikut ini:

Kepala ini bukan kepala seekor domba, tetapi kepala Mati’ilu (orang yang bersumpah). Jika Mati’ilu menyalahi perjanjian ini, hendaklah, sebagaimana kepala domba ini copot...copot juga kepala Mati’ilu. (ANET 532).

Suatu ritual kutuk diri dilakukan dengan membelah hewan menjadi dua, lalu berjalan di antara belahan-belahannya (Kej 15: Yer 34). Hal ini secara ritual menyatakan maksudnya, “Semoga aku terbelah seperti binatang-binatang ini jika aku tidak menepati perjanjian ini” (lihat Yer 34:18). Kitab Suci juga mencatat ritual kutuk diri yang lain juga: mengurbankan hewan dan memercikkan darahnya (Kel 24:8; Mzm 50:5), menyatakan ”Semoga darahku tercurah seperti darah hewan ini”; dan sunat (kej 17:10) menyatakan, “Semoga aku terpotong jika tidak menaati perjanjian.”



      Ritual lain yang dikaitkan dengan perayaan perjanjian di dalam Kitab Suci tidak mengungkapkan kutuk diri tetapi menunjukkan aspek lain dari hubungan perjanjian. Seringkali pihak-pihak yang membuat perjanjian makan bersama untuk meneguhkan hubungan kekeluargaan yang baru (Kej 26:30; 31:54; Kel 24:11; Yos 9:14-15; Luk 22:14-23). Penggunaan sebutan-sebutan kekerabatan (“saudara” 1 Raj 20:32-34; “ayah” dan ”anak” Mzm 89:26-28; 2:7; 2 Sam 7:14) dan pertukaran pakaian (1 Sam 18:3) atau pemberian lain (Kej 21:27) juga dapat menyatakan keakraban kekeluargaan.

      Perjanjian Baru ditetapkan pada waktu Perjamuan Makan Terakhir, suatu perjamuan komunal antara pihak-pihak yang membuat perjanjian serupa dengan Musa dan para penatua yang makan bersama Tuhan di Gunung Sinai (bdk Kel 24:11). Di pihak lain, kata-kata Yesus sendiri, “Inilah darahKu, darah perjanjian” (Mat 26:28), mengingatkan kata-kata Musa ketika memercikkan darah hewan kurban dalam ratifiksi perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24:8). Ekaristi dengan demikian adalah jamuan makan keluarga sekaligus perayaan kurban Perjanjian Baru.



      Kebanyakan ritual yang digunakan untuk pengikatan perjanjian atau pembaruan perjanjian pada dasarnya bersifat liturgis. Dilaksanakan menurut kebiasaan suci, di hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) yang dipanggil untuk menjadi saksi dan mengesahkan kewajiban-kewajiban perjanjian. Karena kehadiran ilahi adalah penting bagi ritus liturgis pengikatan perjanjian, maka lokasi-lokasi yang suci seperti rumah Tuhan, kuil-kuil, atau gunung suci lebih disukai untuk pelaksanaan ritual perjanjian.

      Memelajari upacara pengikatan perjanjian membantu kita mengetahui bahwa perjanjian mempunyai matra kekeluargaan, legal (hukum), dan liturgis. Pendeknya, suatu perjanjian adalah suatu ikatan kekeluargaan yang ditetapkan dengan sumpah yang mengikat secara hukum, dan sumpah itu diucapkan dalam suatu ritual liturgis. Kesemua aspek ini tampak dalam upacara perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24:3-11). Ikatan kekeluargaan digambarkan dengan makan bersama antara Tuhan dengan para penatua Israel di Gunung Sinai (Kel 24:9-11). Sumpah yang mengikat secara hukum diungkapkan dengan janji umat yang dilanjutkan dengan pemercikan darah, suatu ritus kutuk-diri (Kel 24:7-8), yang mengikat mereka untuk menaati kewajiban hukum yang diuraikan dalam Kel 20-23. Suatu ritus liturgi menjadi konteks bagi pengucapan janji sumpah: persembahan korban di altar di tempat suci (Kel 24:4-5) dengan menyerukan nama Tuhan (Kel 24:7-8).

 III. BERBAGAI KATEGORI PERJANJIAN

Perjanjian-perjanjian dapat dikelompokkan menjadi dua kategori menurut  status pihak-pihak yang mengadakan perjanjian: perjanjian “manusiawi” adalah di antara pihak-pihak yang sesama manusia, dan perjanjian “ilahi” karena Allah menjadi salah satu pihak di dalamnya.

      Perjanjian-perjanjian juga dapat dibuat kategorisasinya berdasarkan pihak yang sesungguhnya mengucapkan janji sumpah yang menetapkan perjanjian.

      Jika kedua pihak mengucapkan janji sumpah perjanjian, maka terjadilah suatu perjanjian “puak” (atau “kesetaraan”). Jenis perjanjian ini disebut “puak” karena ikatan perjanjian yang bersifat kekeluargaan tampak sebagai latar-depan hubungan, bukan menempatkan salah satu pihak di bawah pihak yang lain. Pengucapan janji sumpah timbal balik menunjukkan bahwa kedua belah pihak menerima tanggungjawab untuk menaati ketetapan-ketetapan wajib dari perjanjian, menghasilkan suatu hubungan setara atau setidaknya timbal balik di antara kedua belah pihak. Beberapa jenis perjanjian puak di dalam Kitab Suci mencakup acara jamuan makan kekeluargaan di dalam rangka ritual pengikatan perjanjian (Kej 26:30; 31:54; Kel 24:11).

      Jika hanya pihak yang lebih rendah saja yang mengucapkan janji sumpah, maka berlaku perjanjian jenis “vasal”. Dalam situasi ini pihak yang lebih tinggi kedudukannya memaksakan suatu ikatan perjanjian pada yang lebih rendah, yang biasanya adalah budak yang suka memberontak. Contoh-contoh perjanjian jenis vasal dari Timur Dekat Kuno meliputi Perjanjian Vasal Esarhadon (Raja Asyur 681-669 SM) yang terkenal, di mana Esarhadon memaksa raja-raja bawahan yang kurang bisa dipercaya untuk menjamin kesetiaan mereka kepada pewarisnya, Asurbanipal. Contoh Kitab Suci meliputi perjanjian sunat dalam Kej 17, di mana hanya Abraham yang melakukan ritus sumpah perjanjian (yaitu sunat); dan perjanjian dalam Kitab Ulangan, di mana hanya bangsa Israel yang melakukan kutuk-diri (yaitu sumpah) demi memenuhi kewajiban perjanjian (Ul 27:11-26; Yos 8:30-35).

      Jika pihak yang lebih tinggi saja yang mengucapkan janji sumpah, ia membuat perjanjian jenis “anugerah” kepada pihak yang lebih rendah. Perjanjian “anugerah” ini sering digunakan oleh raja-raja Timur Dekat Kuno dalam rangka memberi pahala kepada hamba-hamba yang setia, seringnya dengan memberikan sebidang tanah raja (dari sinilah asalnya istilah “grant” atau “anugerah”) untuk selamanya. Dalam bentuk perjanjian ini pihak yang lebih tinggi menanggung seluruh tanggungjawab pemeliharaan perjanjian, dengan mengingat jasa-jasa pihak yang lebih rendah di masa lalu. Contoh Kitab Suci untuk jenis ini adalah bentuk terakhir dari perjanjian Abraham (lihat Kej 22:15-18) dan perjanjian Daud, terutama yang dipaparkan dalam Mzm 89:3-37.

 III. PERJANJIAN MANUSIA DI ZAMAN KUNO DAN DALAM KITAB SUCI

Arkeologi Timur Dekat Kuno menghasilkan kejelasan atas beberapa teks perjanjian dari kalangan di luar Israel. Ada dua koleksi yang lebih besar dari teks-teks ini yaitu Perjanjian Sukubangsa Het dan Perjanjian Vasal Esarhadon yang sudah disebut di depan. Perjanjian-perjanjian Sukubangsa Het berasal dari milenium kedua SM dan terdiri dari perjanjian-perjanjian antara raja negeri Heti (sekarang Turki) dengan raja-raja dari bangsa-bangsa lain di sekelilingnya, yang fungsinya serupa dengan perjanjian internasional di zaman kuno. Teks-teks perjanjian ini umumnya mengikuti suatu struktur umum, yang juga jelas dari Kitab Ulangan:

(1). Pembukaan (1:1-5)

(2). Prolog Historis (1:6-4:49)

(3). Ketentuan-ketentuan (5:1-26:19)

(4). Berkat dan Kutuk (27:1-30:20)

(5). Ketentuan tentang Penyimpanan dan Pembacaan (31:1-34:12)

      Beberapa ahli menunjukkan keserupaan struktur di antara Kitab Ulangan dan Perjanjian Het sebagai argumen untuk memastikan bahwa Kitab Ulangan ditulis pada milenium kedua SM (konsisten dengan pendapat bahwa Musa adalah penulisnya), sebab perjanjian kuno dari Timur Dekat yang berasal dari milenium pertama SM tidak mengikuti struktur yang sama. Perjanjian Vasal Esarhadon (abad kedelapan SM) misalnya, menghilangkan prolog historis dan berkat. Perjanjian yang keras yang dipaksakan oleh Esarhadon kepada raja-raja bawahan itu sangat luar biasa panjangnya dan penuh dengan daftar kutuk aneka macam, yang sebagian mirip-mirip dengan Ul 28:15-68.

      Sejumlah perjanjian di antara dua pihak sesama manusia direkam dalam Kitab Suci; Antara Abraham dan Abimelekh (Kej 2:22-33), Ishak dan Abimelekh (Kej 26:26-33), Yakub dan Laban (Kej 31:43-54), suku Israel dan suku Gibeon (Yos 9:15), Daud dan Yonatan (1 Sam 18:1-4; 20:8), Ahab dan Benhadad (1 Raj 20:32-34); Yoyada dan para pengawal istana (2 Raj 11:4), dan lain-lain. Berbagai perjanjian antar sesama manusia yang terdapat dalam Kitab Suci ini menunjukkan penggunaan perjanjian secara luas di dalam masyarakat kuno dalam kurun masa yang panjang. Perjanjian-perjanjian ini membentuk ikatan-ikatan suci yang tidak boleh dilanggar tanpa mendatangkan sanksi kutuk, sekalipun perjanjian itu diikat dengan sikap pura-pura atau dusta (Yos 9:19; Yeh 17:11-21).

 V. PERJANJIAN ILAHI DALAM KITAB SUCI

Bangsa Israel adalah unik di antara bangsa-bangsa kuno yang percaya bahwa Allah telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan dengan para leluhur mereka. Kitab Suci disusun menurut tata rangkaian perjanjian-perjanjian ilahi yang diadakan antara Tuhan dan manusia, melalui perantaraan pribadi-pribadi yang berbeda: Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan akhirnya Yesus Kristus.

      Sekalipun narasi Penciptaan (Kej 1-3) tidak menggunakan kata “penjanjian” (bahasa Ibrani berit), di sana ada indikasi secara implisit dan tidak langsung bahwa terjadi perjanjian antara Allah dan ciptaan, dengan Adam sebagai pengantara: (1) cerita penciptaan memuncak pada Sabat, yang adalah “tanda” perjanjian di tempat lain (Kel 31:12-17); (2) dalam Kej 6:18 kata kerja yang dipakai dalam pengikatan perjanjian dengan Nuh tidak lazim bagi permulaan  (Ibrani karat) perjanjian, tetapi suatu istilah yang menunjukkan pemeliharaan atau pembaruan perjanjian yang sudah ada (Ibrani heqim). Kemiripan bahasa antara Kej 6 dan Kej 1 menunjukkan bahwa perjanjian yang sedang “diperbarui” dengan Nuh adalah perjanjian yang ada dalam kisah pencptaan; (3) Dalam Hos 6:7 sang nabi membandingkan Israel dengan Adam dalam hal ketidaksetiaan pada perjanjian “Seperti Adam mereka telah melanggar perjanjian” (versi terjemahan Indonesia baik pada Alk maupun KKK bunyinya agak lain, “Adam” terasa punya konotasi tempat setelah kata depan “di”; bdk Like Adam they transgressed the covenant [Versi Kitab Suci yang digunakan pengarang]; Like Adam they have broken the covenant [NIV]; But they like men have transgressed the covenant [KJV]; But they, like Adam, have transgressed the covenant [Douay-Rheims]).

      Penciptaan atau Perjanjian Adam mengikat Allah dengan Adam, yang statusnya adalah Anak Allah (bdk Kej 1:26-27; 5:1) dan wakil penguasa ciptaan (Kej 1:28). Syarat perjanjian adalah larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej 2:16-17); kutuk yang terkait adalah kematian (Kej 2:17).

      Adam dan Hawa di kemudian hari melanggar perjanjian dan mendatangkan maut dalam sejarah umat manusia (bdk Kej 4:8) dan memulai siklus dosa yang akhirnya menentukan perlunya pembersihan dunia dengan Air Bah. Sesudah Air Bah itu perjanjian penciptaan yang asli diperbarui dengan Nuh (Kej 9:1-17), walaupun dengan beberapa perubahan: hubungan damai tenteram yang pernah ada di antara manusia dengan alam sudah rusak (bdk Kej 1:29-30; 9:2-6).

      Allah memulai proses penebusan manusia dengan Abraham, penerima perjanjian yang menjadi contoh paling utama dalam Perjanjian Lama. Setidaknya Tuhan membuat dua perjanjian dengan Abraham dalam Kej 15:1-21 dan 17:1-27. Selain itu, dalam terang hubungan erat antara “janji-sumpah” dan “perjanjian (lih Kej 21:31-32; Yeh 17:13-19), tampaknya sumpah ilahi dalam Kej 22:15-18 juga menetapkan perjanjian dengan Abraham. Seluruh perjanjian ini harus dipandang berkembang, yang baru didasarkan pada yang terdahulu.

      Kej 15 menetapkan perjanjian awal antara Abraham dengan Tuhan, meneguhkan janji awal bahwa Abraham akan menjadi suatu “bangsa yang besar” (Kej 12:2). Janji dalam perjanjian Kej 15 meliputi anugerah keturunan yang tak terbilang banyaknya kepada Abraham dan suatu negeri yang akan menjadi tanah air mereka sendiri, unsur-unsur yang penting untuk suatu bangsa yang besar.

      Kej 17 menambah perjanjian yang terdahulu dengan Abraham, termasuk suatu janji mengenai kerajaan bagi keturunan Abraham (Kej 17:6), dan harapan bahwa Abraham bukan hanya menjadi satu bangsa saja melainkan “banyak bangsa-bangsa” (Kej 17:5-6). Juga diungkapkan sebagai ikatan untuk pertama kalinya kewajiban perjanjian berupa sunat (Kej 17:9-14).

      Dalam Kej 22, sesudah nyaris dikorbankannya “putera tunggal” (Ibrani: yahid) Abraham Ishak yang sedemikian kuat membayangkan korban Kalvari, Tuhan mengucapkan janji sumpah perjanjian kepada Abraham menegaskan kembali janji-janji yang terdahulu tetapi juga mengukuhkan janji berkat bagi segala bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18), suatu janji yang diberikan sebelumnya dalam Kej 12:3 namun belum termasuk sebagai ketetapan perjanjian baik di dalam Kej 15 maupun Kej 17. Dalam Kej 22:15-18 perjanjian Abraham mencapai bentuk akhirnya.

      Selebihnya, perjanjian ilahi yang tercatat di dalam Kitab Suci didasarkan pada perjanjian Abraham. Kitab Keluaran mencatat kepergian keturunan Abraham meninggalkan Mesir dan pertemuan mereka di kaki Gunung Sinai untuk menerima perjanjian dari Tuhan melalui Musa. Perjanjian ini mengandung potensi pemenuhan janji yang telah disampaikan kepada Abraham sehubungan dengan bangsa yang besar, kerajaan, dan berkat bagi bangsa-bangsa. Keturunan Abraham telah berlipat ganda banyak sekali, tanah Kanaan terbentang di hadapan mereka, dan mereka akan menerima suatu hukum pembentuk, sebagaimana adanya, undang-undang dasar mereka sebagai suatu entitas politik, suatu ”bangsa yang besar”. Selain itu, janji yang mendahului turunnya perjanjian Sinai (atau perjanjian Musa) ini menyatakan bahwa ketaatan pada perjanjian akan membuat Israel mempunyai status sebagai “imamat rajawi” (dalam bahasa Ibrani mamleket kohanim; Kel 19:6) yaitu suatu bangsa imam-imam raja, memenuhi janji dalam Kej 17 (“raja-raja akan berasal darimu”) dan dalam Kej 22:18 yang menyangkut berkat bagi bangsa-bangsa, sebab salah satu fungsi utama imam adalah memberikan berkat (bdk Bil 6:22-27).

      Sayangnya, pemenuhan janji dari perjanjian Abraham ini tidak terlaksana di bawah perjanjian Musa, karena segera terjadi pelanggaran perjanjian dengan dibuatnya patung anak lembu jantan dari emas (Kel 32). Insiden itu menentukan perlunya pengulangan pembuatan perjanjian Musa kembali (Kel 34:1-35) di mana imamat umum anak sulung bangsa Israel dipindahkan kepada suku Lewi (Kel 32:27-27-29; Bil 3:5-51) dan ada banyak lagi tambahan hukum lainnya (Kel 35-Im 27). Pemberontakan lain yang terjadi di padang gurun (Bil 11, 12, 14, 16, 17), terutama penyembahan berhala dan perzinahan di Betpeor (Bil 2) sekali lagi menyebabkan pengulangan pembuatan perjanjian Musa yang dilukiskan dalam Kitab Ulangan. Ditetapkan di Betpeor di Dataran Moab (Ul 1:5; 3:29; 4:44-46) hampir empat puluh tahun sesudah peristiwa Sinai, perjanjian Ulangan (Deuteronomi) jelas merupakan suatu perjanjian yang berbeda yang meningkatkan perjanjian yang terdahulu dan yang yang diperbarui di Sinai (juga disebut Horeb, lihat Ul 29:1). Untuk yang pertama kalinya hukum yang diberikan kepada Israel emngizinkan adanya raja manusia (Ul 17:14-20), perang total (Ul 20:16-18), dan perceraian (Ul 24:1-4). Yesus nantinya akan menunjukkan bahwa setidaknya beberapa dari ketetapan perjanjian ini tidak bersifat ilahi melainkan suatu kelonggaran untuk ketegaran hati bangsa Israel (Mat 19:8-9).

      Catatan sejarah Israel berikutnya di bawah perjanjian Musa belang-belang, tetapi rencana Tuhan bagi umatNya memuncak di bawah Daud dan awal pemerintahan Salomo (2 Sam 5 – 1 Raj 10). Daud mempersatukan bangsa di bawah suatu pemerintahan pusat yang kuat di ibu negerinya di Yerusalem (2 Sam 5) dan membuat ibadat yang benar kepada Tuhan sebagai prioritas nasional (2 Sam 6-7). Tuhan menganugerahkan kepada Daud suatu perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam 2 Sam 7:5-16, kendati kata “perjanjian”  baru tampil belakangan sebagai rujukan pada peristiwa itu (2 Sam 23:5; Mzm 89:19-37, 132:1-18; Yes 55:3; 2 Taw 13:5; 21:7; Yer 33:20-22). Istilah perjanjian ini menjadikan Daud dan pewarisnya anak-anak Allah (2 Sam 7:14; Mzm 89:26-27) dan raja-raja yang tinggi di bumi (Mzm 89:27; 2:6-9) yang pemerintahannya tak akan berakhir (2 Sam 7:13.16) dan yang akan membangun Rumah Allah – yaitu Bait Allah (2 Sam 7:13).

      Sesudah periode kemuliaan yang singkat di bawah Salomo, dalam mana janji-janji Allah tampaknya akan terpenuhi (1 Raj 4-10), kerajaan Daud memasuki periode kemerostan yang panjang, mulai dari pembagian Israel menjadi sepuluh kawasan suku-suku di utara dan selatan Yehuda (2 Raj 12). Dalam situasi umat Allah yang terbelah-belah itu para nabi menyerukan akan datangnya suatu perjanjian baru (Yer 31:31; bdk Yes 55:1-3; 59:20-21; 61:8-9; Yeh 34:25; 37:26) yang akan berbeda dari perjanjian Musa yang gagal (Yer 31:32; bdk Yeh 20:23-28; Yes 61:3-4). Serentak dengan itu, perjanjian Daud akan diperbarui (Yer 33:14-26; Yes 9, 11, 55:3; Yeh 37:15-28).

      Injil-injil, terutama Matius dan Lukas, dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Putera (pewaris) Daud dan dengan demikian yang akan memulihkan perjanjian Daud (Mat 1:1-25; Luk 1:31-33.69; 2:4). Pada Perjamuan Terakhir, secara eksplisit Yesus menyatakan tubuh dan darahNya sebagai Perjanjian Baru (Luk 22:20; 1 Kor 11:25) yang dijanjikan oleh para nabi (Yer 31:31), sehingga jelas-jelas memenuhi janji Yesaya bahwa Hamba Tuhan tidak hanya membuat suatu perjanjian tetapi menjadi suatu perjanjian (Yes 42:6; 49:8). Menurut Surat Ibrani, Perjanjian Baru lebih unggul daripada yang lama (yaitu perjanjian Musa) karena dibuat oleh pengantara yang lebih baik (Kristus versus imam agung; Ibr 8:6; 9:25); didasarkan atas persembahan yang lebih baik (darah Kristus versus darah binatang; Ibr 9:12.23), di tempat suci yang lebih baik (surga sendiri versus kemah duniawi; Ibr 9:11.24).

      Karena Perjanjian Baru jauh lebih unggul daripada perjanjian Musa, ia memulihkan dan menyempurnakan perjanjian Daud. Yesus Kristus adalah Putera Daud yang akan memerintah selamanya dari Sion surgawi (Ibr 12:22-24) dan menyatakan pemerintahanNya atas Israel dan segala bangsa (Mat 28:18-20) melalui menteri utama, Petrus (bdk Mat 16:18-19; Yes 22:15-22, terutama 22) dan pejabat-pejabat lainnya, para rasul (Luk 22:32; Mat 19:28; bdk 1 Raj 4:7). Demikianlah Yakobus memandang pertumbuhan Gereja di antara bangsa Yahudi dan Bangsa-bangsa lain sebagai pemenuhan nubuat Amos bahwa Allah akan memulihkan ”kemah” yang rubuh (yaitu kerajaan) dari Daud (Kis 15:13-18; bdk Am 9:11-12).

      Perjanjian Baru meliputi pemenuhan perjanjian-perjanjian yang lain dalam sejarah keselamatan juga. Maka Yesus adalah seorang Adam yang baru (Rm 5:12-19) yang membuat kita ciptaan yang baru (2 Kor 5:17; Gal 6:15). Ia memenuhi semua janji-janji yang diberikan kepada Abraham (Luk 1:68-75, terutama 72-73), termasuk menjadi bangsa yang besar (Gereja; 1 Ptr 2:9); pemerintahan raja (Why 19:16), bapa segala bangsa (Rm 4:16-18) dan berkat bagi bangsa-bangsa dialami dalam pencurahan Roh Kudus kepada semua orang (Kis 3:25-26; Gal 3:6-9. 4-18). Bahkan perjanjian Musa, yang dalam bagian tertentu telah diubah (Gal 3:19-25), pada dasarnya juga terpenuhi oleh Perjanjian Baru yang menganugerahkan kepada kaum beriman kuasa Roh Kudus untuk memenuhi inti Hukum Musa, yaitu perintah kasih kepada Allah dan kepada sesama (Rm 8:3-4; 13:8-10; Mat 5:17; 22:37-40).

 

VI. TERJEMAHAN ISTILAH PERJANJIAN

Kata yang digunakan untuk “perjanjian” dalam Perjanjian Lama adalah kata Ibrani berit. Terjemahan Yunani kuno Perjanjian Lama, Septuaginta, secara konsisten mengalihbahasakan istilah berit itu dengan kata [Yunani] diatheke. Tetapi karena banyak pengarang Yunani klasik menggunakan kata diatheke merujuk kepada suatu “testament” (bhs Inggris a will. Bahasa Indonesia wasiat), maka beberapa terjemahan Inggris lama semisal King James Version menterjemahkan diatheke sebagai “testament”, a will, wasiat, dalam beberapa ayat. Beberapa terjemahan baru sudah memerbaiki kesalahan ini, namun ada beberapa yang tidak (misalnya RSV, NIV). Misalnya, Ibr 9:15-17 lalu diterjemahkan [dalam bahasa Inggris dan turun ke dalam bahasa Indonesia, baik Alk maupun KKK] sbb:

15. Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian (diatheke) yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian (diatheke) yang pertama. 16. Sebab di mana ada wasiat (diatheke), di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat (diatheke) itu. 17. Karena suatu wasiat (diatheke) barulah sah, kalau pembuat wasiat (diatheke) itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat (diatheke) itu masih hidup.

 

Kata diatheke diterjemahkan sebagai “perjanjian” dalam ayat 15, tetapi kemudian diterjemahkan sebagai “wasiat” dalam ayat 16 dan 17. Banyak orang mengira pengarang berganti menggunakan makna klasik diatheke dalam ayat-ayat 16-17, sehingga percakapan berkisar pada pelaksanaan suatu wasiat dengan kematian seseorang. Tetapi, tampaknya pengarang surat Ibrani tetap memaksudkan “diatheke” itu sebagai “perjanjian”, juga dalam ayat 16-17. Perjanjian yang dibahas adalah perjanjian Sinai yang dilanggar, yang menuntut kematian orang-orang Israel menurut ritus kutuk diri menurut Kel 24:8 (lih Kel 32:9-10). [Dalam terjemahan KJV dan Douay-Rheims (yang bersumber dari Vulgata) semua kata diatheke seluruhnya diterjemahkan menjadi testament sekalipun konotasi dalam ayat 16-17 menjadi wasiat]. Maka bahasa Yunani dari kalimat-kalimat ayat 16-17 itu sebaiknya diterjemahkan sbb:

16. Sebab di mana perjanjian (diatheke) dilanggar, di situ dituntut kematian pembuat perjanjian (diatheke) itu. 17. Karena suatu perjanjian (diatheke) yang dilanggar, baru berlaku kembali kalau pembuat perjanjian (diatheke) yang melanggar itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pelanggar perjanjian (diatheke) itu masih hidup.

 

      Pengarang Surat Ibrani menekankan bahwa pelanggaran perjanjian Sinai menuntut kematian bangsa Israel (Kel 32:9-10), sebab mereka mengucapkan kutuk mati bagi diri mereka sendiri dalam upacara pengikatan perjanjian itu (Kel 24:8). Kutuk kematian itu belum ditunaikan ketika bangsa Israel berpaling dari Tuhan dan beribadat pada anak lembu emas (Kel 32:14) tetapi akhirnya ditunaikan oleh Kristus sendiri atas nama Israel (Ibr 9:15).

      Persoalan serupa tampak dalam Gal 3:15: “Saudara-saudara, baiklah kupergunakan suatu contoh dari hidup sehari-hari. Suatu wasiat (diatheke) yang telah disahkan, sekalipun ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambahi oleh seorangpun.” [Versi Alk; kurang lebih sama konotasinya dengan versi KKK].

      Di sini malah sangat lemah alasan untuk menerjemahkan diatheke sebagai “wasiat”. Di dalam konteks Gal 3:15-18, Paulus membahas sifat tetap dari perjanjian-perjanjian. Jika perjanjian manusia saja tidak dapat diubah sesudah disepakati (Gal 3:15; bdk Yos 9:18-20), apalagi perjanjian ilahi (Gal 3:17). Tuhan tidak mengubah perjanjianNya dengan Abraham (Kej 22:15-18) untuk memberikan berkat kepada bangsa-bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18; bdk Gal 3:14) dengan menambahkan Hukum Musa sebagai syarat empat ratus tahun kemudian (Gal 3:17-18). Perubahan perjanjian setelah diratifikasi tidak diperbolehkan menurut keadilan manusia, apalagi dalam kerangka ilahi.

      Ringkasnya, semua kata diatheke dalam Perjanjian Baru sebaiknya dan seharusnya diterjemahkan menjadi “perjanjian” seturut contoh Septuaginta.



Perjanjian (2)

Terjemahan dari bahasa Inggris Testament. Nama yang diberikan kepada dua bagian utama Kitab Suci Kristen. Asalnya dari istilah Latin Testamentum, yang pada dasarnya sama dengan “covenant” (Perjanjian). Penyebutan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagian diilhami oleh Paulus yang membedakan “perjanjian baru” dari “perjanjian lama” dalam 2 Kor 3:6.14. Kitab Suci bahasa Latin Vulgata kemudian menggunakan ungkapan ini masing-masing novum testamentum (perjanjian baru) dan vetus testamentum (perjanjian lama).

      PL merupakan himpunan empat puluh enam kitab, ditulis terutama dalam bahasa Ibrani, meliputi bentang sejarah keselamatan mulai dari penciptaan hingga menjelang masa Mesias. PB merupkan himpunan dua puluh tujuh kitab yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Yunani yang mengemukakan puncak sejarah keselamatan dalam Kristus dan pertumbuhan Gereja dalam abad pertama Masehi.

      Konsili Vatikan II di dalam Konstitusi mengenai Wahyu Ilahi, Dei Verbum, menyatakan PL sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Kitab Suci, dengan kitab-kitab yang diilhami ilahi sehingga mempunyai nilai yang tetap: “Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus, Penebus seluruh dunia, serta Kerajaan al Masih, dan mewartakannya dengan nubuat-nubuat” (DV 15). Selain itu kitab-kitab PL “yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri-hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkian, akhirnya secara terselubung mengemban di dalamnya misteri keselamatan kita” (DV 15). Mengenai PB, Dei Verbum menyatakan, “Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman, disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru” (DV 17).

            Menurut Gereja, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama-sama membawa kesaksian mengenai rencana ilahi untuk keselamatan yang satu (bdk 1 Kor 10:6.11; Ibr 10:1; 1 Ptr 3:21). Dengan demikian jemaat Kristen membaca PL sebagai persiapan jalan bagi Yesus Kristus, dan PB dibaca sebagai pemenuhan lengkap PL. Santo Agustinus meringkas hal ini dalam kata-kata yang tak terlupakan, “Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru” (St Agustinus, Quaest. Hept. 2.73; bdk DV 16) (KGK 121-130) 

Sabtu, 01 Oktober 2022

SAUDARA-SAUDARA TUHAN, SANDAL DAN WAJAH

 Sore tadi dua orang teman japri, seorang minta catatan tentang sandal dan wajah dalam kitab suci, entah iseng ingin tahu, entah untuk sesuatu. Seorang yang lain tampaknya terlibat diskusi mengenai ayat yang bicara tentang "saudara-saudara Tuhan". Yang belakangan ini mendesak. Yang sebelumnya bisa dijawab kapan-kapan. Namun untuk menghemat waktu kedua permintaan saya penuhi sekarang. Minta maaf jika sangat singkat.....

Sandal

Alas kaki yang lazim di dunia Kitab Suci. Sandal atau kasut kuno hanyalah selembar kulit yang diikatkan pada kaki dengan tali kulit dengan simpul di sekitar pergelangan kaki (Kej 14:23). Baik orang kaya maupun miskin mengenakan kasut, dan tak punya kasut menandakan keadaan yang sungguh buruk, seperti yang dialami tawanan perang (Yes 20:2-4). Melemparkan sandal pada seseorang menunjukkan tanda keunggulan atau dominasi (Mzm 60:8; 108:9).

                Sandal atau kasut umumnya dilepas ketika seseorang masuk rumah. Suatu kekecualian adalah ketika makan malam Paskah, sandal justru harus dikenakan di waktu makan sebagai tanda bahwa mereka siap melakukan perjalanan (Kel 12:11). Sandal juga dilepas pada waktu berduka cita (Yeh 24:17.23) dan ketika berada di tempat suci (Kel 3:5; Yos 5:15). Para pelayan melepaskan sandal tuan majikan mereka (Mat 3:11; Mrk 1:7; Luk 3:16; Yoh 1:27; Kis 13:25).

Ø

Saudara-saudara Tuhan  

Kerabat Yesus yang disebut beberapa kali di dalam Perjanjian Baru (Mat 12:46; 13:55; Mrk 3:31; 6:3; Luk 8:19; Yoh 2:12; 7:3; 20:17; Kis 1:14; 1 Kor 9:5; Gal 1:19). Dari antara mereka itu empat orang disebut namanya: Yakobus, Yose atau Yusuf, Simon dan Yudas (Mat 13:55; Mrk 6:3). Disebut “saudara-saudara” sebab digunakan dalam arti yang seluas-luasnya yang banyak terdapat dalam Kitab Suci. Saksi Perjanjian Baru  menjelaskan bahwa keempat “saudara-saudara” yang disebutkan itu bukan anak-anak Maria. Yesus menyerahkan Maria kepada muridNya, Yohanes (Yoh 19:26). Hal itu tak akan mungkin seandainya Ia punya saudara-saudara kandung untuk merawat ibuNya. Para pengarang Perjanjian Baru tidak menyebut yang disebut saudara-saudara Yesus itu sebagai “anak-anak Maria”. Tradisi yang paling tua mengatakan bahwa mereka itu anak-anak Yusuf dari perkawinan yang terdahulu. Mungkin yang lebih tepat adalah Santo Hieronimus yang menyatakan bahwa “saudara-saudara” Yesus itu adalah para sepupu; dengan membandingkan Injil-injil yang menyebutkan “saudara-saudara” itu, kita dapat menguatkan pendapat itu. Yakobus dan Yusuf adalah anak-anak seorang Maria yang lain, yang berdiri bersama [Maria] Ibu Yesus di kaki Salib (Mat 27:56; Mrk 15:40).

Ø

Wajah, Muka

Kata Ibrani untuk “muka, wajah” adalah panim. Kata itu muncul lebih dari 2100 kali dalam Perjanjian Lama. Bentuk kata Ibrani itu selalu plural, sebab dipahami untuk mewujudkan banyak ciri yang membentuk raut wajah manusia. Wajah bukan hanya melukiskan roman muka seseorang, tetapi juga menyatakan sifat dan sikap perilakunya. Maka muka atau wajah merupakan kata kiasan bagi diri atau bahkan keseluruhan pribadi atau kehadiran.

                Sikap rela atau keras kepala dapat tampak pada raut wajah (Ul 28:50; Ams 7:13; 21:29; Yes 50:7; Yer 5:3; Yeh 3:8). Marah karena gagal atau ditolak tampak dalam muka yang muram (Kej 4:5; Yer 5:3), sedang wajah takzim menunjukkan perasaan hormat dan kepatuhan. Demikian pula, memalingkan muka dapat menunjukkan rasa tidak suka atau menghindarkan diri (Yes 53:3) terutama ketika sedang bicara dengan Tuhan (Mzm 13:2; 27:9; 102:3; Yes 54:8; Yer 33:5). Menyenangkan atau menjadikan Tuhan berkenan adalah memaniskan wajahNya (Kel 32:11; 1 Raj 13:6; 2 Raj 13:4; 2 Taw 33:12; Yer 26:19). Kegembiraan dan kebahagiaan tampak dalam wajah yang bercahaya ceria (Ayb 29:24), tampak bagai dipandang Tuhan lagi (Bil 6:25; Mzm 4:7; 31:17; 44:4; 67:2; 80:4). Mengangkat wajah atau mendongak berarti menerima atau setuju, dan jika diterapkan pada Tuhan berarti tanda pemberian berkat (Ul 10:17; Ayb 34:19).

                Kel 33:20 menyatakan bahwa tak ada orang yang dapat melihat Tuhan atau wajah Tuhan dan tetap hidup. Dari sini, rujukan “melihat wajah Tuhan” (Kej 33:10; Ayb 33:26) dan berada di hadapanNya (Kel 23:15; 34:20; Mzm 42:3) menyatakan seseorang yang fana berada di tempat suci, yaitu tempat Allah berada. Yakub (Kej 32:31) dan Musa (Kel 33:11) bertemu muka dengan Tuhan, namun menurut tradisi hanya Musa saja yang berhadapan dengan Tuhan (Ul 34:10; bdk Ul 5:4; Hak 6:22; 13:22).

Salam

Bambang Kussriyanto

Kamis, 22 September 2022

Konsili Vatikan II dan Kitab Suci


Bambang Kussriyanto

Konsili Vatikan II pada tahun 1965 menghasilkan dokumen Konstittusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum.  “Dari kelimpahan cinta kasihNya Allah yang tidak kelihatan menyapa manusia sebagai sahabat-sahabatNya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diriNYa” (DV 2). Demikianlah teologi perwahyuan dalam Konsili Vatikan II dalam Dei Verbum bersifat dialog, bukan doktrin searah. Allah Tritunggal bergaul dengan manusia. “Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan diriNya dan memaklumkan rahasia kehendakNya, berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut dalam kodrat ilahi” (DV 2). Perwahyuan bersifat pribadi, dalam dialog pergaulan yang menyatukan. Pengertian akan Allah yang kepada kita dinyatakan dalam Kristus kita peroleh dari komunikasi dialog dalam hubungan pribadi yang semakin dengan Kristus dalam Roh Kudus. Dari pihak manusia, pergaulan dengan Kristus Wahyu Ilahi menimbulkan penerimaan iman yang tulus rela dengan akalbudi dan kehendaknya, atas kebenaran-kebenaran yang disampaikan. “Supaya orang dapat beriman demikian diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, juga bantuan batin dari Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan mengarahkannya kepada Allah, membuka mata budi” (DV 5). Selanjutnya tugas Gereja melalui karya pewartaan dan Tradisi suci  melayani pergaulan perwahyuan kebenaran ilahi yang bersifat dialog antar-pribadi itu dengan melestarikan dan meneruskan Wahyu Allah seutuhnya, agar Kristus Sang Sabda menetap dalam diri umat secara melimpah (DV 7-8). Tradisi dan Kitab Suci mengalir dari sumber ilahi yang sama. Kitab Suci berkat ilham ilahi menyampaikan pembicaraan Allah, sedang Tradisi oleh Kristus dan Roh Kudus dipercaya untuk meneruskan percakapan Allah itu tanpa putus (DV 9). Gereja seluruhnya dengan bertekun dalam persekutuan ibadat menjadi sarana pergaulan wahyu itu sepanjang masa di mana kuasa mengajar Gereja (magisterium) senantiasa menyampaikan penafsiran yang otentik atas Wahyu Ilahi (DV 10).  

Konsili menegaskan beberapa poin: 1) Bahwa pengarang Kitab Suci adalah Allah yang berkenan mengilhami orang-orang yang dipilih untuk menuliskan sabdaNya (DV 11). 2) Diperlukan penafsiran yang cermat atas apa yang mau disampaikan penulis suci dan apa yang hendak dinyatakan Allah melalui kata-kata mereka, dengan memerhatikan keutuhan Kitab Suci, Tradisi yang hidup dalam Gereja, dan analogi iman (DV 12). 3) Kitab Suci merupakan norma iman yang tertinggi, kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Maka kaum beriman diharapkan mendapatkan jalan yang lebar untuk membaca Kitab Suci. Diusahakan terjemahan yang baik dan tepat dalam bahasa-bahasa umat dan agar penyebaran Kitab Suci semakin luas. Kerasulan Kitab Suci semakin efektif membantu umat bergaul dengan Sabda Allah dan melayani pemahaman mereka.

Sejak itu secara resmi dibuka kesempatan untuk terjemahan Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia. Kitab Suci Katolik Perjanjian Baru bahasa Indonesia  terbit pada 1968, sering disebut Alkitab Ende karena diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende. Terbitan ini merupakan hasil perbaikan redaksional dari terjemahan yang dikerjakan Pastor Yan Bouma SVD sepuluh tahun sebelumnya. Bersamaan dengan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun I, kitab suci Perjanjian Baru edisi Katolik ini dicetak puluhan ribu dan sebagian besar dibagikan gratis untuk lembaga-lembaga pendidikan, untuk guru-guru agama, dan selebihnya untuk umat. Mulailah umat katolik mempunyai, membaca dan merenungkan Injil, dan mulai pulalah kerasulan Kitab Suci.





 Sementara itu Kitab Suci Perjanjian Lama sedang dalam proses penerjemahan oleh Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dipimpin Pater Groenen OFM dan baru diterbitkan lebih kemudian secara terpisah. 



Maka kemudian pada 1970 dapat diterbitkan Kitab Suci lengkap yang meliputi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang digunakan untuk kepentingan Liturgi di gereja-gereja paroki.



Sedangkan untuk umat, Gereja Katolik Indonesia memperhatikan segi ekonomi dan distribusi menyepakati terbitan bersama (ekumenis) dengan Gereja Protestan (Lembaga Alkitab Indonesia) menerbitkan Alkitab terjemahan baru bahasa Indonesia pada tahun 1974. Alkitab yang diperuntukkan umat Katolik diberijudul Alkitab Deuterokanonika, yang memuat 73 kitab yang sama dengan edisi Kristen ditambah 7 kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I, Makabe II dan tambahan-tambahan Ester dan Daniel).


Pada tahun 2002 untuk keperluan studi dan pastoral diterbitkan Kitab Suci Komunitas Kristiani yang disertai dengan banyak catatan dan komentar keluaran Penerbit Obor Jakarta.


Semua terbitan Kitab Suci Bahasa Indonesia merupakan kemudahan yang tersedia bagi umat katolik Indonesia untuk membaca, merenungkan dan melaksanakan Sabda Tuhan baik secara pribadi, bersama-sama dalam keluarga dan dalam kelompok . Dan di dalam era digital sekarang, kitab suci Bahasa Indonesia juga tersedia dalam berbagai aplikasi. Konsili Vatikan II telah membuka jalan selebar-lebarnya untuk umat kepada "Sabda Allah, tumpuan serta kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani" (DV 21).