Bacaan dari Surat Ibrani hari ini (Ibr 8:6-13) bicara tentang "Perjanjian". "Perjanjian pertama", "perjanjian yang telah menjadi tua"; "perjanjian kedua" - "perjanjian baru". Ada baiknya mengingat latar umum Perjanjian.
Perjanjian (1)
Ikatan kesepakatan puak di antara dua pihak, dengan
persyaratan atau kewajiban-kewajiban, ditetapkan dengan sumpah atau yang
semacam. Perjanjian ada di mana-mana di Timur Dekat, seperti di dalam budaya
Yunani-Roma, sebagai cara untuk membina dan memelihara hubungan antar pribadi,
antar keluarga, antar suku, bahkan antar-bangsa. Perjanjian juga merupakan
tema-induk dari Kitab Suci, yang mencatat betapa dalam berbagai cara di
sepanjang sejarah Allah berusaha menarik manusia ke dalam suatu hubungan
keluarga dengan DiriNya sendiri melalui sumpah atau janji ilahi.
Pengalih-bahasaan
kata “covenant” (bahasa Ibrani berit,
Yunani diatheke) atau perjanjian
sebagai “testament” dalam tradisi Latin telah mengaburkan fakta itu hingga
Kitab Suci dibagi menjadi Tulisan-tulisan Suci berdasarkan dua perjanjian, yang
Lama dan yang Baru. Namun pembagian kanon atas dasar perbedaan perjanjian
merujuk pada tempat sentral konsep perjanjian yang tak dapat disangkal itu
dalam wawasan alkitabiah serta teologi Kristen. Lagi pula, bagi umat Katolik,
fakta bahwa sumber dan puncak hidup Kristen, yaitu Ekaristi, oleh Kristus dikatakan sebagai “Perjanjian yang Baru”
(Luk 22:20) mestinya cukup untuk menunjukkan pentingnya perjanjian pada rencana
keselamatan.
Pengertian “perjanjian” banyak diperdebatkan para ahli
Kitab Suci. Khususnya di kalangan para ahli Jerman ada kecenderungan untuk
menyusutkan nosi “perjanian” menjadi “hukum” atau “kewajiban”. Perjanjian
memang sering berisi ketetapan-ketetapan hukum atau kewajiban-kewajiban. Tetapi
penelitian atas perjanjian-perjanjian Timur Dekat dalam belahan kedua abad
keduapuluh berhasil memntapkan suatu konsensus di antara para ahli Protestan
(Frank Moore Cross, Gorden Hugenberger), Katolik (D.J. McCarthy, Paul
Kalluveettil) dan Yahudi (Moshe Weinfield, David Noel Freedman) bahwa
“perjanjian”, pada hakekatnya, adalah sarana legal untuk mengadakan pertalian
di antara kelompok-kelompok yang tadinya tidak berhubungan. Sarjana Harvard
Frank Moore Cross menjelaskan bahwa suatu perjanjian “...adalah...suatu sarana
hukum yang luas dengan mana kewajiban dan hak suatu puak diperluas pada
perorangan atau kelompok lain termasuk orang asing”. Hubungan puak atau
kekeluargaan ini diatur dengan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang
diperinci di dalam upacara pembuatan perjanjian, yang biasanya terdiri dari
suatu ritus keagamaan yang memuncak pada pengucapan janji lisan atau ritual
oleh salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Adalah tidak
tepat memandang suatu perjanjian sebagai kontrak. Biasanya kontrak menyangkut
pertukaran barang, sementara suatu perjanjian menyangkut relasi antar pribadi.
Berbeda dari kebanyakan kontrak, perjanjian bukan hanya ikatan sipil perdata,
melainkan juga ikatan suci, di mana sumpah digunakan sebagai seruan pada Tuhan
(atau dewa-dewa di dalam masyarakat politeis) untuk memateri
kewajiban-kewajiban perjanjian itu.
Kitab Suci dan berbagai teks kuno dari Timur Dekat
menggambarkan berbagai cara yang digunakan untuk menyelenggarakan dan merayakan
perjanjian di antara dua pihak.
Hampir dalam
berbagai kesempatan tindakan utama pembuatan perjanjian adalah pengucapan
sumpah oleh salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian (Kej
21:31-32; 22:16; 26:28; Yos 9:15; Yeh 16:59; 17:13-19). Sumpah biasanya
berbentuk kutuk atas diri sendiri. Yang melakukan perjanjian menyerukan kepada
Tuhan atau dewa-dewa agar mendatangkan kematian atau bencana besar atas dirinya
seandainya ia gagal melaksanakan kewajiban perjanjian yang ditetapkan. Sumpah
ini diucapkan secara lisan, atau bisa dinyatakan dalam bentuk suatu ritual.
Berbagai teks sekular dari Timur Dekat di masa kuno mencatat berbagai ragam
ritual kutuk diri, seperti yang digambarkan dalam teks Asyur dari tahun 754 SM
berikut ini:
Kepala ini bukan
kepala seekor domba, tetapi kepala Mati’ilu (orang
yang bersumpah). Jika Mati’ilu menyalahi
perjanjian ini, hendaklah, sebagaimana kepala domba ini copot...copot juga
kepala Mati’ilu. (ANET 532).
Suatu ritual kutuk diri dilakukan dengan membelah hewan
menjadi dua, lalu berjalan di antara belahan-belahannya (Kej 15: Yer 34). Hal
ini secara ritual menyatakan maksudnya, “Semoga aku terbelah seperti
binatang-binatang ini jika aku tidak menepati perjanjian ini” (lihat Yer
34:18). Kitab Suci juga mencatat ritual kutuk diri yang lain juga: mengurbankan
hewan dan memercikkan darahnya (Kel 24:8; Mzm 50:5), menyatakan ”Semoga darahku
tercurah seperti darah hewan ini”; dan sunat (kej 17:10) menyatakan, “Semoga
aku terpotong jika tidak menaati perjanjian.”
Ritual lain yang
dikaitkan dengan perayaan perjanjian di dalam Kitab Suci tidak mengungkapkan
kutuk diri tetapi menunjukkan aspek lain dari hubungan perjanjian. Seringkali
pihak-pihak yang membuat perjanjian makan bersama untuk meneguhkan hubungan
kekeluargaan yang baru (Kej 26:30; 31:54; Kel 24:11; Yos 9:14-15; Luk
22:14-23). Penggunaan sebutan-sebutan kekerabatan (“saudara” 1 Raj 20:32-34;
“ayah” dan ”anak” Mzm 89:26-28; 2:7; 2 Sam 7:14) dan pertukaran pakaian (1 Sam
18:3) atau pemberian lain (Kej 21:27) juga dapat menyatakan keakraban
kekeluargaan.
Perjanjian Baru
ditetapkan pada waktu Perjamuan Makan Terakhir, suatu perjamuan komunal antara
pihak-pihak yang membuat perjanjian serupa dengan Musa dan para penatua yang
makan bersama Tuhan di Gunung Sinai (bdk Kel 24:11). Di pihak lain, kata-kata
Yesus sendiri, “Inilah darahKu, darah perjanjian” (Mat 26:28), mengingatkan
kata-kata Musa ketika memercikkan darah hewan kurban dalam ratifiksi perjanjian
di Gunung Sinai (Kel 24:8). Ekaristi dengan demikian adalah jamuan makan
keluarga sekaligus perayaan kurban Perjanjian Baru.
Kebanyakan
ritual yang digunakan untuk pengikatan perjanjian atau pembaruan perjanjian
pada dasarnya bersifat liturgis. Dilaksanakan menurut kebiasaan suci, di
hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) yang dipanggil untuk menjadi saksi dan
mengesahkan kewajiban-kewajiban perjanjian. Karena kehadiran ilahi adalah
penting bagi ritus liturgis pengikatan perjanjian, maka lokasi-lokasi yang suci
seperti rumah Tuhan, kuil-kuil, atau gunung suci lebih disukai untuk
pelaksanaan ritual perjanjian.
Memelajari upacara
pengikatan perjanjian membantu kita mengetahui bahwa perjanjian mempunyai matra
kekeluargaan, legal (hukum), dan liturgis.
Pendeknya, suatu perjanjian adalah suatu ikatan
kekeluargaan yang ditetapkan dengan sumpah yang mengikat secara hukum, dan sumpah itu diucapkan dalam suatu ritual liturgis. Kesemua aspek ini
tampak dalam upacara perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24:3-11). Ikatan
kekeluargaan digambarkan dengan makan bersama antara Tuhan dengan para penatua
Israel di Gunung Sinai (Kel 24:9-11). Sumpah yang mengikat secara hukum
diungkapkan dengan janji umat yang dilanjutkan dengan pemercikan darah, suatu
ritus kutuk-diri (Kel 24:7-8), yang mengikat mereka untuk menaati kewajiban
hukum yang diuraikan dalam Kel 20-23. Suatu ritus liturgi menjadi konteks bagi
pengucapan janji sumpah: persembahan korban di altar di tempat suci (Kel
24:4-5) dengan menyerukan nama Tuhan (Kel 24:7-8).
Perjanjian-perjanjian dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori menurut status pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian: perjanjian “manusiawi” adalah di antara pihak-pihak yang
sesama manusia, dan perjanjian “ilahi” karena Allah menjadi salah satu pihak di
dalamnya.
Perjanjian-perjanjian
juga dapat dibuat kategorisasinya berdasarkan pihak yang sesungguhnya
mengucapkan janji sumpah yang menetapkan perjanjian.
Jika kedua pihak
mengucapkan janji sumpah perjanjian, maka terjadilah suatu perjanjian “puak”
(atau “kesetaraan”). Jenis perjanjian ini disebut “puak” karena ikatan
perjanjian yang bersifat kekeluargaan tampak sebagai latar-depan hubungan,
bukan menempatkan salah satu pihak di bawah pihak yang lain. Pengucapan janji
sumpah timbal balik menunjukkan bahwa kedua belah pihak menerima tanggungjawab
untuk menaati ketetapan-ketetapan wajib dari perjanjian, menghasilkan suatu
hubungan setara atau setidaknya timbal balik di antara kedua belah pihak.
Beberapa jenis perjanjian puak di dalam Kitab Suci mencakup acara jamuan makan
kekeluargaan di dalam rangka ritual pengikatan perjanjian (Kej 26:30; 31:54;
Kel 24:11).
Jika hanya pihak
yang lebih rendah saja yang mengucapkan janji sumpah, maka berlaku perjanjian
jenis “vasal”. Dalam situasi ini pihak yang lebih tinggi kedudukannya
memaksakan suatu ikatan perjanjian pada yang lebih rendah, yang biasanya adalah
budak yang suka memberontak. Contoh-contoh perjanjian jenis vasal dari Timur
Dekat Kuno meliputi Perjanjian Vasal Esarhadon (Raja Asyur 681-669 SM) yang
terkenal, di mana Esarhadon memaksa raja-raja bawahan yang kurang bisa
dipercaya untuk menjamin kesetiaan mereka kepada pewarisnya, Asurbanipal.
Contoh Kitab Suci meliputi perjanjian sunat dalam Kej 17, di mana hanya Abraham
yang melakukan ritus sumpah perjanjian (yaitu sunat); dan perjanjian dalam
Kitab Ulangan, di mana hanya bangsa Israel yang melakukan kutuk-diri (yaitu
sumpah) demi memenuhi kewajiban perjanjian (Ul 27:11-26; Yos 8:30-35).
Jika pihak yang
lebih tinggi saja yang mengucapkan janji sumpah, ia membuat perjanjian jenis
“anugerah” kepada pihak yang lebih rendah. Perjanjian “anugerah” ini sering
digunakan oleh raja-raja Timur Dekat Kuno dalam rangka memberi pahala kepada
hamba-hamba yang setia, seringnya dengan memberikan sebidang tanah raja (dari
sinilah asalnya istilah “grant” atau “anugerah”) untuk selamanya. Dalam bentuk
perjanjian ini pihak yang lebih tinggi menanggung seluruh tanggungjawab
pemeliharaan perjanjian, dengan mengingat jasa-jasa pihak yang lebih rendah di
masa lalu. Contoh Kitab Suci untuk jenis ini adalah bentuk terakhir dari
perjanjian Abraham (lihat Kej 22:15-18) dan perjanjian Daud, terutama yang
dipaparkan dalam Mzm 89:3-37.
Arkeologi Timur Dekat Kuno menghasilkan kejelasan atas
beberapa teks perjanjian dari kalangan di luar Israel. Ada dua koleksi yang
lebih besar dari teks-teks ini yaitu Perjanjian Sukubangsa Het dan Perjanjian
Vasal Esarhadon yang sudah disebut di depan. Perjanjian-perjanjian Sukubangsa
Het berasal dari milenium kedua SM dan terdiri dari perjanjian-perjanjian
antara raja negeri Heti (sekarang Turki) dengan raja-raja dari bangsa-bangsa
lain di sekelilingnya, yang fungsinya serupa dengan perjanjian internasional di
zaman kuno. Teks-teks perjanjian ini umumnya mengikuti suatu struktur umum,
yang juga jelas dari Kitab Ulangan:
(1). Pembukaan (1:1-5)
(2). Prolog Historis (1:6-4:49)
(3). Ketentuan-ketentuan (5:1-26:19)
(4). Berkat dan Kutuk (27:1-30:20)
(5). Ketentuan tentang Penyimpanan dan Pembacaan
(31:1-34:12)
Beberapa ahli
menunjukkan keserupaan struktur di antara Kitab Ulangan dan Perjanjian Het sebagai
argumen untuk memastikan bahwa Kitab Ulangan ditulis pada milenium kedua SM
(konsisten dengan pendapat bahwa Musa adalah penulisnya), sebab perjanjian kuno
dari Timur Dekat yang berasal dari milenium pertama SM tidak mengikuti struktur
yang sama. Perjanjian Vasal Esarhadon (abad kedelapan SM) misalnya,
menghilangkan prolog historis dan berkat. Perjanjian yang keras yang dipaksakan
oleh Esarhadon kepada raja-raja bawahan itu sangat luar biasa panjangnya dan
penuh dengan daftar kutuk aneka macam, yang sebagian mirip-mirip dengan Ul
28:15-68.
Sejumlah
perjanjian di antara dua pihak sesama manusia direkam dalam Kitab Suci; Antara
Abraham dan Abimelekh (Kej 2:22-33),
Ishak dan Abimelekh (Kej 26:26-33), Yakub dan Laban (Kej 31:43-54), suku Israel dan suku Gibeon (Yos 9:15), Daud dan Yonatan (1 Sam 18:1-4; 20:8), Ahab
dan Benhadad (1 Raj 20:32-34); Yoyada dan para pengawal istana (2 Raj
11:4), dan lain-lain. Berbagai perjanjian antar sesama manusia yang terdapat
dalam Kitab Suci ini menunjukkan penggunaan perjanjian secara luas di dalam
masyarakat kuno dalam kurun masa yang panjang. Perjanjian-perjanjian ini
membentuk ikatan-ikatan suci yang tidak boleh dilanggar tanpa mendatangkan
sanksi kutuk, sekalipun perjanjian itu diikat dengan sikap pura-pura atau dusta
(Yos 9:19; Yeh 17:11-21).
Bangsa Israel adalah unik di antara bangsa-bangsa kuno yang
percaya bahwa Allah telah mengadakan perjanjian dengan mereka dan dengan para
leluhur mereka. Kitab Suci disusun menurut tata rangkaian perjanjian-perjanjian
ilahi yang diadakan antara Tuhan dan manusia, melalui perantaraan
pribadi-pribadi yang berbeda: Adam, Nuh,
Abraham, Musa, Daud, dan akhirnya Yesus
Kristus.
Sekalipun narasi
Penciptaan (Kej 1-3) tidak
menggunakan kata “penjanjian” (bahasa Ibrani berit), di sana ada indikasi secara implisit dan tidak langsung
bahwa terjadi perjanjian antara Allah dan ciptaan, dengan Adam sebagai
pengantara: (1) cerita penciptaan memuncak pada Sabat, yang adalah “tanda”
perjanjian di tempat lain (Kel 31:12-17); (2) dalam Kej 6:18 kata kerja yang
dipakai dalam pengikatan perjanjian dengan Nuh tidak lazim bagi permulaan (Ibrani karat)
perjanjian, tetapi suatu istilah yang menunjukkan pemeliharaan atau pembaruan
perjanjian yang sudah ada (Ibrani heqim).
Kemiripan bahasa antara Kej 6 dan Kej 1 menunjukkan bahwa perjanjian yang
sedang “diperbarui” dengan Nuh adalah perjanjian yang ada dalam kisah
pencptaan; (3) Dalam Hos 6:7 sang nabi membandingkan Israel dengan Adam dalam
hal ketidaksetiaan pada perjanjian “Seperti Adam mereka telah melanggar
perjanjian” (versi terjemahan Indonesia baik pada Alk maupun KKK bunyinya
agak lain, “Adam” terasa punya konotasi tempat setelah kata depan “di”; bdk Like Adam they transgressed the covenant
[Versi Kitab Suci yang digunakan pengarang]; Like Adam they have broken the covenant [NIV]; But they like men have transgressed the covenant [KJV]; But they, like Adam, have transgressed the
covenant [Douay-Rheims]).
Penciptaan atau
Perjanjian Adam mengikat Allah dengan Adam, yang statusnya adalah Anak Allah
(bdk Kej 1:26-27; 5:1) dan wakil penguasa ciptaan (Kej 1:28). Syarat perjanjian
adalah larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang
jahat (Kej 2:16-17); kutuk yang terkait adalah kematian (Kej 2:17).
Adam dan Hawa di
kemudian hari melanggar perjanjian dan mendatangkan maut dalam sejarah umat
manusia (bdk Kej 4:8) dan memulai siklus dosa yang akhirnya menentukan perlunya
pembersihan dunia dengan Air Bah. Sesudah Air Bah itu perjanjian penciptaan yang
asli diperbarui dengan Nuh (Kej 9:1-17), walaupun dengan beberapa perubahan:
hubungan damai tenteram yang pernah ada di antara manusia dengan alam sudah
rusak (bdk Kej 1:29-30; 9:2-6).
Allah memulai
proses penebusan manusia dengan Abraham, penerima perjanjian yang menjadi
contoh paling utama dalam Perjanjian Lama. Setidaknya Tuhan membuat dua
perjanjian dengan Abraham dalam Kej 15:1-21 dan 17:1-27. Selain itu, dalam
terang hubungan erat antara “janji-sumpah” dan “perjanjian (lih Kej 21:31-32;
Yeh 17:13-19), tampaknya sumpah ilahi dalam Kej 22:15-18 juga menetapkan
perjanjian dengan Abraham. Seluruh perjanjian ini harus dipandang berkembang,
yang baru didasarkan pada yang terdahulu.
Kej 15
menetapkan perjanjian awal antara Abraham dengan Tuhan, meneguhkan janji awal
bahwa Abraham akan menjadi suatu “bangsa yang besar” (Kej 12:2). Janji dalam
perjanjian Kej 15 meliputi anugerah keturunan yang tak terbilang banyaknya
kepada Abraham dan suatu negeri yang akan menjadi tanah air mereka sendiri,
unsur-unsur yang penting untuk suatu bangsa yang besar.
Kej 17 menambah
perjanjian yang terdahulu dengan Abraham, termasuk suatu janji mengenai
kerajaan bagi keturunan Abraham (Kej 17:6), dan harapan bahwa Abraham bukan
hanya menjadi satu bangsa saja melainkan “banyak bangsa-bangsa” (Kej 17:5-6).
Juga diungkapkan sebagai ikatan untuk pertama kalinya kewajiban perjanjian
berupa sunat (Kej 17:9-14).
Dalam Kej 22,
sesudah nyaris dikorbankannya “putera tunggal” (Ibrani: yahid) Abraham Ishak yang sedemikian kuat membayangkan korban
Kalvari, Tuhan mengucapkan janji sumpah perjanjian kepada Abraham menegaskan
kembali janji-janji yang terdahulu tetapi juga mengukuhkan janji berkat bagi
segala bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18), suatu janji yang diberikan
sebelumnya dalam Kej 12:3 namun belum termasuk sebagai ketetapan perjanjian
baik di dalam Kej 15 maupun Kej 17. Dalam Kej 22:15-18 perjanjian Abraham
mencapai bentuk akhirnya.
Selebihnya,
perjanjian ilahi yang tercatat di dalam Kitab Suci didasarkan pada perjanjian
Abraham. Kitab Keluaran mencatat kepergian keturunan Abraham meninggalkan Mesir
dan pertemuan mereka di kaki Gunung Sinai untuk menerima perjanjian dari Tuhan
melalui Musa. Perjanjian ini mengandung potensi pemenuhan janji yang telah
disampaikan kepada Abraham sehubungan dengan bangsa yang besar, kerajaan, dan
berkat bagi bangsa-bangsa. Keturunan Abraham telah berlipat ganda banyak
sekali, tanah Kanaan terbentang di hadapan mereka, dan mereka akan menerima
suatu hukum pembentuk, sebagaimana adanya, undang-undang dasar mereka sebagai
suatu entitas politik, suatu ”bangsa yang besar”. Selain itu, janji yang
mendahului turunnya perjanjian Sinai (atau perjanjian Musa) ini menyatakan
bahwa ketaatan pada perjanjian akan membuat Israel mempunyai status sebagai
“imamat rajawi” (dalam bahasa Ibrani mamleket kohanim; Kel 19:6) yaitu suatu
bangsa imam-imam raja, memenuhi janji dalam Kej 17 (“raja-raja akan berasal
darimu”) dan dalam Kej 22:18 yang menyangkut berkat bagi bangsa-bangsa, sebab
salah satu fungsi utama imam adalah memberikan berkat (bdk Bil 6:22-27).
Sayangnya,
pemenuhan janji dari perjanjian Abraham ini tidak terlaksana di bawah
perjanjian Musa, karena segera terjadi pelanggaran perjanjian dengan dibuatnya
patung anak lembu jantan dari emas (Kel 32). Insiden itu menentukan perlunya
pengulangan pembuatan perjanjian Musa kembali (Kel 34:1-35) di mana imamat umum
anak sulung bangsa Israel dipindahkan kepada suku Lewi (Kel 32:27-27-29; Bil
3:5-51) dan ada banyak lagi tambahan hukum lainnya (Kel 35-Im 27). Pemberontakan
lain yang terjadi di padang gurun (Bil 11, 12, 14, 16, 17), terutama
penyembahan berhala dan perzinahan di Betpeor (Bil 2) sekali lagi menyebabkan
pengulangan pembuatan perjanjian Musa yang dilukiskan dalam Kitab Ulangan.
Ditetapkan di Betpeor di Dataran Moab (Ul 1:5; 3:29; 4:44-46) hampir empat
puluh tahun sesudah peristiwa Sinai, perjanjian Ulangan (Deuteronomi) jelas
merupakan suatu perjanjian yang berbeda yang meningkatkan perjanjian yang
terdahulu dan yang yang diperbarui di Sinai (juga disebut Horeb, lihat Ul
29:1). Untuk yang pertama kalinya hukum yang diberikan kepada Israel
emngizinkan adanya raja manusia (Ul 17:14-20), perang total (Ul 20:16-18), dan
perceraian (Ul 24:1-4). Yesus nantinya akan menunjukkan bahwa setidaknya
beberapa dari ketetapan perjanjian ini tidak bersifat ilahi melainkan suatu
kelonggaran untuk ketegaran hati bangsa Israel (Mat 19:8-9).
Catatan sejarah
Israel berikutnya di bawah perjanjian Musa belang-belang, tetapi rencana Tuhan
bagi umatNya memuncak di bawah Daud dan awal pemerintahan Salomo (2 Sam 5 – 1
Raj 10). Daud mempersatukan bangsa di bawah suatu pemerintahan pusat yang kuat
di ibu negerinya di Yerusalem (2 Sam 5) dan membuat ibadat yang benar kepada
Tuhan sebagai prioritas nasional (2 Sam 6-7). Tuhan menganugerahkan kepada Daud
suatu perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam 2 Sam 7:5-16, kendati kata
“perjanjian” baru tampil belakangan
sebagai rujukan pada peristiwa itu (2 Sam 23:5; Mzm 89:19-37, 132:1-18; Yes
55:3; 2 Taw 13:5; 21:7; Yer 33:20-22). Istilah perjanjian ini menjadikan Daud
dan pewarisnya anak-anak Allah (2 Sam 7:14; Mzm 89:26-27) dan raja-raja yang
tinggi di bumi (Mzm 89:27; 2:6-9) yang pemerintahannya tak akan berakhir (2 Sam
7:13.16) dan yang akan membangun Rumah Allah – yaitu Bait Allah (2 Sam 7:13).
Sesudah periode
kemuliaan yang singkat di bawah Salomo, dalam mana janji-janji Allah tampaknya
akan terpenuhi (1 Raj 4-10), kerajaan Daud memasuki periode kemerostan yang
panjang, mulai dari pembagian Israel menjadi sepuluh kawasan suku-suku di utara
dan selatan Yehuda (2 Raj 12). Dalam situasi umat Allah yang terbelah-belah itu
para nabi menyerukan akan datangnya suatu perjanjian baru (Yer 31:31; bdk Yes
55:1-3; 59:20-21; 61:8-9; Yeh 34:25; 37:26) yang akan berbeda dari perjanjian
Musa yang gagal (Yer 31:32; bdk Yeh 20:23-28; Yes 61:3-4). Serentak dengan itu,
perjanjian Daud akan diperbarui (Yer 33:14-26; Yes 9, 11, 55:3; Yeh 37:15-28).
Injil-injil,
terutama Matius dan Lukas, dengan jelas menggambarkan Yesus sebagai Putera
(pewaris) Daud dan dengan demikian yang akan memulihkan perjanjian Daud (Mat
1:1-25; Luk 1:31-33.69; 2:4). Pada Perjamuan Terakhir, secara eksplisit Yesus
menyatakan tubuh dan darahNya sebagai Perjanjian Baru (Luk 22:20; 1 Kor 11:25)
yang dijanjikan oleh para nabi (Yer 31:31), sehingga jelas-jelas memenuhi janji
Yesaya bahwa Hamba Tuhan tidak hanya membuat
suatu perjanjian tetapi menjadi
suatu perjanjian (Yes 42:6; 49:8). Menurut Surat Ibrani, Perjanjian Baru lebih
unggul daripada yang lama (yaitu perjanjian Musa) karena dibuat oleh pengantara
yang lebih baik (Kristus versus imam agung; Ibr 8:6; 9:25); didasarkan atas
persembahan yang lebih baik (darah Kristus versus darah binatang; Ibr 9:12.23),
di tempat suci yang lebih baik (surga sendiri versus kemah duniawi; Ibr
9:11.24).
Karena Perjanjian
Baru jauh lebih unggul daripada perjanjian Musa, ia memulihkan dan
menyempurnakan perjanjian Daud. Yesus Kristus adalah Putera Daud yang akan
memerintah selamanya dari Sion surgawi (Ibr 12:22-24) dan menyatakan
pemerintahanNya atas Israel dan segala bangsa (Mat 28:18-20) melalui menteri
utama, Petrus (bdk Mat 16:18-19; Yes 22:15-22, terutama 22) dan pejabat-pejabat
lainnya, para rasul (Luk 22:32; Mat 19:28; bdk 1 Raj 4:7). Demikianlah Yakobus
memandang pertumbuhan Gereja di antara bangsa Yahudi dan Bangsa-bangsa lain
sebagai pemenuhan nubuat Amos bahwa Allah akan memulihkan ”kemah” yang rubuh
(yaitu kerajaan) dari Daud (Kis 15:13-18; bdk Am 9:11-12).
Perjanjian Baru
meliputi pemenuhan perjanjian-perjanjian yang lain dalam sejarah keselamatan
juga. Maka Yesus adalah seorang Adam yang baru (Rm 5:12-19) yang membuat kita
ciptaan yang baru (2 Kor 5:17; Gal 6:15). Ia memenuhi semua janji-janji yang
diberikan kepada Abraham (Luk 1:68-75, terutama 72-73), termasuk menjadi bangsa
yang besar (Gereja; 1 Ptr 2:9); pemerintahan raja (Why 19:16), bapa segala
bangsa (Rm 4:16-18) dan berkat bagi bangsa-bangsa dialami dalam pencurahan Roh
Kudus kepada semua orang (Kis 3:25-26; Gal 3:6-9. 4-18). Bahkan perjanjian
Musa, yang dalam bagian tertentu telah diubah (Gal 3:19-25), pada dasarnya juga
terpenuhi oleh Perjanjian Baru yang menganugerahkan kepada kaum beriman kuasa
Roh Kudus untuk memenuhi inti Hukum Musa, yaitu perintah kasih kepada Allah dan
kepada sesama (Rm 8:3-4; 13:8-10; Mat 5:17; 22:37-40).
VI. TERJEMAHAN ISTILAH PERJANJIAN
Kata yang digunakan untuk “perjanjian” dalam Perjanjian Lama adalah kata
Ibrani berit. Terjemahan Yunani kuno
Perjanjian Lama, Septuaginta, secara konsisten mengalihbahasakan istilah berit itu dengan kata [Yunani] diatheke. Tetapi karena banyak pengarang
Yunani klasik menggunakan kata diatheke
merujuk kepada suatu “testament” (bhs Inggris a will. Bahasa Indonesia wasiat),
maka beberapa terjemahan Inggris lama semisal King James Version menterjemahkan
diatheke sebagai “testament”, a will, wasiat, dalam beberapa ayat.
Beberapa terjemahan baru sudah memerbaiki kesalahan ini, namun ada beberapa
yang tidak (misalnya RSV, NIV). Misalnya, Ibr 9:15-17 lalu diterjemahkan [dalam
bahasa Inggris dan turun ke dalam bahasa Indonesia, baik Alk maupun KKK] sbb:
15. Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian (diatheke) yang baru, supaya mereka yang
telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah
mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama
perjanjian (diatheke) yang pertama. 16.
Sebab di mana ada wasiat (diatheke),
di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat (diatheke) itu. 17. Karena suatu wasiat (diatheke) barulah sah, kalau pembuat
wasiat (diatheke) itu telah mati,
sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat (diatheke) itu masih hidup.
Kata diatheke
diterjemahkan sebagai “perjanjian” dalam ayat 15, tetapi kemudian diterjemahkan
sebagai “wasiat” dalam ayat 16 dan 17. Banyak orang mengira pengarang berganti
menggunakan makna klasik diatheke
dalam ayat-ayat 16-17, sehingga percakapan berkisar pada pelaksanaan suatu wasiat dengan kematian seseorang.
Tetapi, tampaknya pengarang surat Ibrani tetap memaksudkan “diatheke” itu
sebagai “perjanjian”, juga dalam ayat 16-17. Perjanjian yang dibahas adalah
perjanjian Sinai yang dilanggar, yang menuntut kematian orang-orang Israel
menurut ritus kutuk diri menurut Kel 24:8 (lih Kel 32:9-10). [Dalam terjemahan
KJV dan Douay-Rheims (yang bersumber dari Vulgata) semua kata diatheke seluruhnya diterjemahkan
menjadi testament sekalipun konotasi
dalam ayat 16-17 menjadi wasiat]. Maka bahasa Yunani dari kalimat-kalimat ayat
16-17 itu sebaiknya diterjemahkan sbb:
16. Sebab di mana perjanjian (diatheke) dilanggar, di situ dituntut kematian pembuat perjanjian (diatheke) itu. 17. Karena suatu perjanjian
(diatheke) yang dilanggar, baru
berlaku kembali kalau pembuat perjanjian (diatheke)
yang melanggar itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pelanggar
perjanjian (diatheke) itu masih
hidup.
Pengarang Surat
Ibrani menekankan bahwa pelanggaran perjanjian Sinai menuntut kematian bangsa
Israel (Kel 32:9-10), sebab mereka mengucapkan kutuk mati bagi diri mereka
sendiri dalam upacara pengikatan perjanjian itu (Kel 24:8). Kutuk kematian itu
belum ditunaikan ketika bangsa Israel berpaling dari Tuhan dan beribadat pada
anak lembu emas (Kel 32:14) tetapi akhirnya ditunaikan oleh Kristus sendiri
atas nama Israel (Ibr 9:15).
Persoalan serupa
tampak dalam Gal 3:15: “Saudara-saudara, baiklah kupergunakan suatu contoh dari
hidup sehari-hari. Suatu wasiat (diatheke) yang telah disahkan, sekalipun
ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambahi oleh seorangpun.” [Versi
Alk; kurang lebih sama konotasinya
dengan versi KKK].
Di sini malah
sangat lemah alasan untuk menerjemahkan diatheke
sebagai “wasiat”. Di dalam konteks Gal 3:15-18, Paulus membahas sifat tetap
dari perjanjian-perjanjian. Jika perjanjian manusia saja tidak dapat diubah
sesudah disepakati (Gal 3:15; bdk Yos 9:18-20), apalagi perjanjian ilahi (Gal
3:17). Tuhan tidak mengubah perjanjianNya dengan Abraham (Kej 22:15-18) untuk
memberikan berkat kepada bangsa-bangsa melalui keturunan Abraham (Kej 22:18;
bdk Gal 3:14) dengan menambahkan Hukum Musa sebagai syarat empat ratus tahun
kemudian (Gal 3:17-18). Perubahan perjanjian setelah diratifikasi tidak
diperbolehkan menurut keadilan manusia, apalagi dalam kerangka ilahi.
Ringkasnya,
semua kata diatheke dalam Perjanjian Baru sebaiknya dan seharusnya diterjemahkan menjadi “perjanjian” seturut contoh
Septuaginta.
Perjanjian (2)
Terjemahan dari
bahasa Inggris Testament. Nama yang diberikan kepada dua bagian utama
Kitab Suci Kristen. Asalnya dari istilah Latin Testamentum, yang pada
dasarnya sama dengan “covenant” (Perjanjian). Penyebutan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru sebagian diilhami oleh Paulus yang membedakan “perjanjian baru”
dari “perjanjian lama” dalam 2 Kor 3:6.14. Kitab Suci bahasa Latin Vulgata
kemudian menggunakan ungkapan ini masing-masing novum testamentum
(perjanjian baru) dan vetus testamentum (perjanjian lama).
PL merupakan himpunan empat puluh enam
kitab, ditulis terutama dalam bahasa Ibrani, meliputi bentang sejarah
keselamatan mulai dari penciptaan hingga menjelang masa Mesias. PB merupkan
himpunan dua puluh tujuh kitab yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Yunani yang
mengemukakan puncak sejarah keselamatan dalam Kristus dan pertumbuhan Gereja
dalam abad pertama Masehi.
Konsili Vatikan II di dalam Konstitusi
mengenai Wahyu Ilahi, Dei Verbum, menyatakan PL sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari Kitab Suci, dengan kitab-kitab yang diilhami ilahi sehingga
mempunyai nilai yang tetap: “Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama
dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus, Penebus seluruh dunia, serta
Kerajaan al Masih, dan mewartakannya dengan nubuat-nubuat” (DV 15). Selain itu
kitab-kitab PL “yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, mencantumkan
ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan
tentang peri-hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkian, akhirnya
secara terselubung mengemban di dalamnya misteri keselamatan kita” (DV 15).
Mengenai PB, Dei Verbum menyatakan, “Sabda Allah, yang merupakan
kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman, disajikan secara
istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru”
(DV 17).
Menurut Gereja, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersama-sama membawa kesaksian mengenai rencana ilahi untuk keselamatan yang satu (bdk 1 Kor 10:6.11; Ibr 10:1; 1 Ptr 3:21). Dengan demikian jemaat Kristen membaca PL sebagai persiapan jalan bagi Yesus Kristus, dan PB dibaca sebagai pemenuhan lengkap PL. Santo Agustinus meringkas hal ini dalam kata-kata yang tak terlupakan, “Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru” (St Agustinus, Quaest. Hept. 2.73; bdk DV 16) (KGK 121-130)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar