Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Tanggungjawab kewargaan. Pluralisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanggungjawab kewargaan. Pluralisme. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 September 2022

Katolik dan Politik, Suatu Penyegaran Konsientasi (I)

 Bambang Kussriyanto



Tatanan politik menyangkut tatanan terhadap hidup dan martabat manusia, pemenuhan dan penjagaan hak-hak asasi, hak-hak keluarga, hak-hak warganegara, peraturan dan tata tertib berkenaan dengan kehidupan ideologi, kehidupan ekonomis, kehidupan sosial kemasyarakatan, kehidupan beradab dan berbudaya, keadaan perang dan damai, keadilan dan pengentasan kemiskinan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Semua itu juga menjadi bagian dari kewajiban setiap warga negara, dan berhubungan dengan pengamalan dan pelaksanaan iman dan moralitas, dan bagi kita khususnya iman dan moralitas katolik. Tidak ada seorang pun yang bebas dari politik, termasuk orang katolik. Walau pun orang bisa bersikap tak mau tahu tentang politik, hidupnya sehari-hari diatur oleh politik; dan jika tidak tahu tentang politik ia dapat menjadi korban tatanan politik. Maka alih-alih dijadikan korban tatanan politik, sebaiknya ia paham politik dan melibatkan diri dalam politik yang mewujudkan kebaikan-kebaikan dalam masyarakat, bagi keluarganya dan bagi dirinya sendiri.

Kehidupan politik berlangsung setiap hari, namun ada masa tertentu pengertian kita tentang politik diperbarui, disegarkan, demi melaksanakan tanggungjawab politik kewargaan, setidaknya menjelang tahun-tahun politik ketika bangsa dan negara melakukan pemilihan umum dan menentukan arah dasar kehidupan bernegara dan berbangsa dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Kita melakukan pembaruan, penyegaran, atas pengertian dan pemahaman politik kita sebagai Gereja, yaitu seluruh himpunan umat Allah dalam Yesus Kristus, baik hirarki maupun awam, yang menjadi bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Atas dasar pengertian dan pemahaman politik yang diperbarui itu, diharapkan setiap insan katolik dapat melaksanakan hak dan kewajiban politiknya dalam masa selanjutnya. Terutama hak dan kewajiban kewargaan, hak dan kewajiban untuk hidup secara bermartabat, hak dan kewajiban menyatakan pendapat, dan hak serta kewajiban melaksanakan iman dan agama sesuai Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Pembaruan dan penyegaran itu juga diperlukan kesadaran iman dan moralitas kristiani yang bertanggungjawab dalam situasi baru, entah sebagai kebaruan peneguhan sikap, entah sebagai adaptasi penerapannya pada konstelasi politik baru.

Sebagai warga bangsa dan negara, umat katolik Indonesia dapat memberikan kontribusi dengan mengikuti pemilihan umum baik legislatif maupun presiden dan kepala daerah demi kemajuan solusi politik yang menurut pendapat mereka meningkatkan kesejahteraan umum (Gaudium et Spes 75). Tatanan demokrasi tidak akan berhasil tanpa keterlibatan aktif yang bertanggungjawab dan penuh kesadaran dan kerelaan hati dari setiap warga, "kendati berbagai-bagai ragam bentuk, tingkatan, tugas dan tanggungjawab yang saling melengkapi” (Christifideles Laici 42.60).

"Mengikuti suara hati kristiani"(GS 76) sesuai dengan nilai-nilainya, awam beriman melaksanakan tugas mereka meresapi tatanan dunia dengan nilai-nilai kristiani dengan mengindahkan kodrat dan otonomi dunia (GS 36) serta bekerjasama dengan warga lain menurut kompetensi dan tanggungjawabnya (AA 7; LG 36; GS 31.43).Konsekuensinya, "awam beriman tak pernah bebas dari peranserta dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa, dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif dan kebudayaan yang berlainan demi memajukan kesejahteraan umum secara organis dan kelembagaan" (Christifideles Laici 42). Termasuk memajukan dan  memelihara kebaikan-kebaikan seperti ketertiban umum dan perdamaian, kebebasan dan kesetaraan, hormat pada hidup dan martabat manusia serta lingkungan hidup, keadilan dan solidaritas.

Dalam kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat yang mengalami perubahan cepat sekarang ini, perlu dicermati kecenderungan berbahaya yang terkandung dalam upaya memajukan masyarakat lewat kegiatan legislatif masa kini terkait dampak negatifnya atas generasi masa depan.

Ada semacam relativisme budaya, yang tampak nyata dalam konseptualisasi dan pembelaan pluralisme etika, yang menggerogoti alasan dan prinsip-prinsip hukum moral kodrati. Dalam ranah publik sering dinyatakan pendapat bahwa pluralisme etis itu adalah dasar bagi demokrasi (Centesimus annus, 46; Veritatis splendor, 101). Akibatnya, warga menghendaki otonomi sepenuhnya menyangkut pilihan-pilihan moral, dan legislatif yang menghormati kebebasan pilihan ini menyusun dan mengundangkan hukum yang melalaikan prinsip etika kodrati universal, menghasilkan kecondongan kemerosotan budaya dan moral (Evangelium vitae, 22) seolah-olah setiap pandangan hidup mempunyai nilai yang sama. Serentak dengan itu toleransi dituntut ketika sejumlah besar masyarakat (termasuk umat katolik) dibujuk agar melepaskan dasar sumbangan mereka pada kehidupan kemasyarakatan politik, melalui sarana yang sah dalam demokrasi, dari pandangan khusus mereka tentang martabat manusia dan kesejahteraan umum. Sejarah abad ke-20 memperlihatkan kecenderungan warga menerima kepalsuan relativisme (yang tidak mengakui akar moral dalam kodrat manusia), dan menjadikannya pedoman bagi pengertian manusia tentang kesejahteraan umum dan negara.

Tentu saja relativisme seperti itu tidak ada hubungannya dengan kebebasan warga katolik yang sah dalam memilih wawasan politik yang selaras dengan iman dan hukum moral kodrati dan dalam memilah menurut kriteria mereka mana yang terbaik dalam memenuhi tuntutan kesejahteraan umum. Kebebasan politik tidak boleh dan tidak dapat didasarkan pada gagasan relatif bahwa semua pandangan atas kesejahteraan manusia mempunyai bobot dan kebenaran yang sama, namun atas dasar fakta bahwa politik berkaitan dengan perwujudan konkret kesejahteraan manusia dan sosial dalam konteks historis, geografis, ekonomis, teknologi dan budaya.  Dari sudut tugas khusus dan keadaan yang berbeda-beda, keanekaragaman kebijakan dan solusilah yang dapat diterima secara moral. Bukan tugas Gereja mengajukan solusi politik tertentu – apalagi mengajukan jawaban tunggal yang dapat diterima – atas persoalan dunia yang telah dipercayakan Allah kepada pertimbangan bebas dan bertanggungjawab pada setiap orang. Namun Gereja berhak dan bertugas memberikan bantuan pertimbangan moral atas hal-hal duniawi sejauh diperlukan berdasarkan iman dan hukum moral (Gaudium et Spes 76). Kendati umat Kristiani wajib "mengakui pandangan-pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam mengatur hal-hal duniawi" (Gaudium et spes 75) mereka harus menolak konsepsi yang mencederai demokrasi mengenai kemajemukan yang mencerminkan relativisme moral. Demokrasi harus mempunyai landasan yang kokoh dan benar terkait prinsip-prinsip moral yang tidak dapat ditawar, yang menjadi pilar kehidupan masyarakat.

“Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warga negara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur, dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan kebijaksanaan menentang ketidakadilan dan penindasan, kekuasaan sewenang-wenang dan sikap tidak bertenggang rasa satu orang atau satu partai politik. Hendaknya mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan” (Gaudium et spes 75).