Bambang Kussriyanto
Tatanan politik menyangkut tatanan terhadap hidup dan
martabat manusia, pemenuhan dan penjagaan hak-hak asasi, hak-hak keluarga,
hak-hak warganegara, peraturan dan tata tertib berkenaan dengan kehidupan ideologi,
kehidupan ekonomis, kehidupan sosial kemasyarakatan, kehidupan beradab dan
berbudaya, keadaan perang dan damai, keadilan dan pengentasan kemiskinan dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Semua itu juga menjadi bagian dari kewajiban setiap
warga negara, dan berhubungan dengan pengamalan dan pelaksanaan iman dan
moralitas, dan bagi kita khususnya iman dan moralitas katolik. Tidak ada
seorang pun yang bebas dari politik, termasuk orang katolik. Walau pun orang
bisa bersikap tak mau tahu tentang politik, hidupnya sehari-hari diatur oleh
politik; dan jika tidak tahu tentang politik ia dapat menjadi korban tatanan politik.
Maka alih-alih dijadikan korban tatanan politik, sebaiknya ia paham politik dan
melibatkan diri dalam politik yang mewujudkan kebaikan-kebaikan dalam
masyarakat, bagi keluarganya dan bagi dirinya sendiri.
Kehidupan politik berlangsung setiap hari, namun ada masa
tertentu pengertian kita tentang politik diperbarui, disegarkan, demi
melaksanakan tanggungjawab politik kewargaan, setidaknya menjelang tahun-tahun
politik ketika bangsa dan negara melakukan pemilihan umum dan menentukan arah
dasar kehidupan bernegara dan berbangsa dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Kita melakukan pembaruan, penyegaran, atas pengertian dan pemahaman politik
kita sebagai Gereja, yaitu seluruh himpunan umat Allah dalam Yesus Kristus,
baik hirarki maupun awam, yang menjadi bagian dari bangsa dan negara Indonesia.
Atas dasar pengertian dan pemahaman politik yang diperbarui itu, diharapkan
setiap insan katolik dapat melaksanakan hak dan kewajiban politiknya dalam masa
selanjutnya. Terutama hak dan kewajiban kewargaan, hak dan kewajiban untuk
hidup secara bermartabat, hak dan kewajiban menyatakan pendapat, dan hak serta kewajiban
melaksanakan iman dan agama sesuai Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia 1945.
Pembaruan dan penyegaran itu juga diperlukan kesadaran iman
dan moralitas kristiani yang bertanggungjawab dalam situasi baru, entah sebagai
kebaruan peneguhan sikap, entah sebagai adaptasi penerapannya pada konstelasi
politik baru.
Sebagai warga bangsa dan negara, umat katolik Indonesia
dapat memberikan kontribusi dengan mengikuti pemilihan umum baik legislatif
maupun presiden dan kepala daerah demi kemajuan solusi politik yang menurut
pendapat mereka meningkatkan kesejahteraan umum (Gaudium et Spes 75). Tatanan
demokrasi tidak akan berhasil tanpa keterlibatan aktif yang bertanggungjawab
dan penuh kesadaran dan kerelaan hati dari setiap warga, "kendati berbagai-bagai
ragam bentuk, tingkatan, tugas dan tanggungjawab yang saling melengkapi”
(Christifideles Laici 42.60).
"Mengikuti suara hati kristiani"(GS 76) sesuai
dengan nilai-nilainya, awam beriman melaksanakan tugas mereka meresapi tatanan
dunia dengan nilai-nilai kristiani dengan mengindahkan kodrat dan otonomi dunia
(GS 36) serta bekerjasama dengan warga lain menurut kompetensi dan tanggungjawabnya
(AA 7; LG 36; GS 31.43).Konsekuensinya, "awam beriman tak pernah bebas
dari peranserta dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa, dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif dan kebudayaan yang berlainan demi
memajukan kesejahteraan umum secara organis dan kelembagaan"
(Christifideles Laici 42). Termasuk memajukan dan memelihara kebaikan-kebaikan seperti
ketertiban umum dan perdamaian, kebebasan dan kesetaraan, hormat pada hidup dan
martabat manusia serta lingkungan hidup, keadilan dan solidaritas.
Dalam kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat
yang mengalami perubahan cepat sekarang ini, perlu dicermati kecenderungan berbahaya
yang terkandung dalam upaya memajukan masyarakat lewat kegiatan legislatif masa
kini terkait dampak negatifnya atas generasi masa depan.
Ada semacam relativisme budaya, yang tampak nyata dalam
konseptualisasi dan pembelaan pluralisme etika, yang menggerogoti alasan dan
prinsip-prinsip hukum moral kodrati. Dalam ranah publik sering dinyatakan
pendapat bahwa pluralisme etis itu adalah dasar bagi demokrasi (Centesimus
annus, 46; Veritatis splendor, 101). Akibatnya, warga menghendaki otonomi
sepenuhnya menyangkut pilihan-pilihan moral, dan legislatif yang menghormati
kebebasan pilihan ini menyusun dan mengundangkan hukum yang melalaikan prinsip
etika kodrati universal, menghasilkan kecondongan kemerosotan budaya dan moral (Evangelium
vitae, 22) seolah-olah setiap pandangan hidup mempunyai nilai yang sama. Serentak
dengan itu toleransi dituntut ketika sejumlah besar masyarakat (termasuk umat
katolik) dibujuk agar melepaskan dasar sumbangan mereka pada kehidupan
kemasyarakatan politik, melalui sarana yang sah dalam demokrasi, dari pandangan
khusus mereka tentang martabat manusia dan kesejahteraan umum. Sejarah abad ke-20
memperlihatkan kecenderungan warga menerima kepalsuan relativisme (yang tidak
mengakui akar moral dalam kodrat manusia), dan menjadikannya pedoman bagi
pengertian manusia tentang kesejahteraan umum dan negara.
Tentu saja relativisme seperti itu tidak ada hubungannya
dengan kebebasan warga katolik yang sah dalam memilih wawasan politik yang
selaras dengan iman dan hukum moral kodrati dan dalam memilah menurut kriteria
mereka mana yang terbaik dalam memenuhi tuntutan kesejahteraan umum. Kebebasan
politik tidak boleh dan tidak dapat didasarkan pada gagasan relatif bahwa semua
pandangan atas kesejahteraan manusia mempunyai bobot dan kebenaran yang sama, namun
atas dasar fakta bahwa politik berkaitan dengan perwujudan konkret kesejahteraan
manusia dan sosial dalam konteks historis, geografis, ekonomis, teknologi dan
budaya. Dari sudut tugas khusus dan
keadaan yang berbeda-beda, keanekaragaman kebijakan dan solusilah yang dapat
diterima secara moral. Bukan tugas Gereja mengajukan solusi politik tertentu –
apalagi mengajukan jawaban tunggal yang dapat diterima – atas persoalan dunia
yang telah dipercayakan Allah kepada pertimbangan bebas dan bertanggungjawab
pada setiap orang. Namun Gereja berhak dan bertugas memberikan bantuan
pertimbangan moral atas hal-hal duniawi sejauh diperlukan berdasarkan iman dan
hukum moral (Gaudium et Spes 76). Kendati umat Kristiani wajib "mengakui
pandangan-pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam mengatur
hal-hal duniawi" (Gaudium et spes 75) mereka harus menolak konsepsi yang
mencederai demokrasi mengenai kemajemukan yang mencerminkan relativisme moral.
Demokrasi harus mempunyai landasan yang kokoh dan benar terkait prinsip-prinsip
moral yang tidak dapat ditawar, yang menjadi pilar kehidupan masyarakat.
“Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan
dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi
generasi muda, supaya semua warga negara mampu memainkan peranannya dalam hidup
bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk
mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur, dan berusaha
mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan
materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan kebijaksanaan
menentang ketidakadilan dan penindasan, kekuasaan sewenang-wenang dan sikap
tidak bertenggang rasa satu orang atau satu partai politik. Hendaknya mereka
secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik,
membaktikan diri bagi kesejahteraan” (Gaudium et spes 75).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar