Daftar Blog Saya

Jumat, 30 September 2022

MARIA IBU YESUS DALAM KITAB SUCI DAN TRADISI AWAL KRISTIANI

 


Bulan Oktober didedikasikan sebagai bulan Rosario. Mendaras doa Rosario sama artinya dengan mengenangkan Bunda Maria dan peranannya dalam sejarah keselamatan. Setiap kali kita mendaras “Salam, Maria” kita membayangkan sosok Bunda Maria, seringkali dengan bantuan patung atau gambar Maria. Berikut ini adalah kenangan tentang Maria yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Kristiani.

Maria Ibu Yesus

Maria isteri Yusuf dari Nazaret yang tetap perawan dan ibu Mesias keturunan Daud, Yesus Kristus. Setelah menerima panggilan yang mulia, ia menjadi model teladan yang ideal untuk iman dan pemuridan Kristen (Luk 1:38.45; 8:21; 11:28). Lebih dari wanita lain dalam sejarah, Maria adalah orang yang yang padanya Tuhan telah melakukan “hal-hal yang besar” (Luk 1:49).

I. Maria dalam Injil dan Kisah Para Rasul

A. Masa Awal Hidupnya

B. Isteri, Ibu, Murid

C. Hidup Selanjutnya

II. Maria Dalam Sejarah Keselamatan

A. Tabut Perjanjian Baru

B. Ibu Suri

C. Hawa yang Baru

D. Suatu Tipologi Gereja

 

I. Maria dalam Injil dan Kisah Para Rasul

A. Masa Awal Hidupnya

Masa awal hidup Maria tidak tertulis dalam Kitab Suci. Rincian mengenai latar belakang keluarga dan pengasuhannya hingga dewasa baru kemudiaan disampaikan oleh tradisi dan legenda. Salah satu tradisi yang berasal dari abad kedua memperkenalkan Maria sebagai puteri dari pasangan Yahudi yang saleh bernama Yoakim dan Anna yang sudah lama tidak mempunyai anak, tetapi sesudah tekun berdoa dan berjanji akan membaktikan dalam Bait Allah anak yang akan diperoleh, mereka diberkati Tuhan dengan seorang anak yang mereka namakan Maria. Maria tinggal dengan orangtuanya sampai berumur tiga tahun, dan kemudian dibawa ke Yerusalem dan hidup di dalam persaudaraan para perawan Bait Allah sampai usianya dua belas tahun [empat belas tahun menurut tradisi yang lain, lih. Evangelium de Nativitas Mariae (5:3-4)]. Lalu ia dipertunangkan dengan Yusuf, seorang pembangun rumah dan duda yang mempunyai beberapa anak dari perkawinannya yang terdahulu (Proto-evangelium Iacobi, 1-9).



B. Isteri, Ibu, Murid

Matius dan Lukas memperkenalkan Maria sebagai perawan yang ditunangkan dengan Yusuf, dari keluarga keturunan Daud (Mat 1:18-21; Luk 1:26-27). Sebelum pasangan itu tinggal serumah sebagai suami isteri, Maria dikunjungi oleh malaikat Gabriel dan padanya disampaikan undangan untuk menjadi ibu Mesias (Luk 1:28-38). Dengan menyetujui tawaran itu Maria mengandung seorang anak, bukan dari hasil perkawinannya dengan Yusuf, melainkan dari pekerjaan ajaib Roh Kudus (Mat 1:18). Bisa dimengerti jika Yusuf bingung setelah mengetahui bahwa Maria mengandung dan bermaksud membatalkan pertunangannya dengan diam-diam sampai seorang malaikat meyakinkan dirinya bahwa Tuhan menghendaki Yusuf menjadi ayah menurut hukum dan pengasuh anak itu (Mat 1:19-25). Kemudian, Maria pergi mengunjungi kerabat sepupunya yang lebih tua, Elisabet (Luk 1:39-45), suatu perjumpaan yang membuatnya melantunkan nyanyian pujian, Magnificat (Luk 1:46-55).



        Diperlukan perjalanan lagi ketika Caesar Augustus memerintahkan suatu sensus yang membawa Maria ke Betlehem, kota leluhur Yusuf (Luk 2:1-5). Di sana lahirlah Yesus (Mat 2:1), mungkin di suatu gua yang dijadikan kandang hewan (Luk 2:6-7), sekalipun pasangan itu bisa membeli sebuah rumah di masa sesudah ini (Mat 2:11). Sebagai orang Yahudi yang taat hukum, pasangan ini menyunatkan kanak-kanak Yesus (Luk 2:21) dan kemudian mempersembahkannya di Bait Allah (Luk 2:22-39). Dua hal yang penting diketahui dari kejadian ini : satu, pembaca tahu bahwa Maria dan Yusuf secara ekonomi miskin karena mereka mempersembahkan korban di Bait Allah (Luk 2:24) menurut ketentuan bagi orang yang tidak bisa membeli hewan korban yang lebih besar (Im 12:6-8); dan kedua, Maria sendiri lalu tahu bahwa Puteranya itu ditentukan akan menjadi tanda pertentangan, dan bahwa suatu hari nanti suatu pedang akan menusuk jiwanya (Luk 2:34-35).



        Ketika Herodes Agung, Raja Yudea, mengetahui lahirnya anak itu, ia mengirim tentara untuk memburu dan membunuh kanak-kanak Yesus di Betlehem (Mat 2:16-18). Tetapi berkat campur tangan malaikat sebelumnya, Yusuf dan Maria dan anak itu sudah pergi mengungsi ke Mesir dengan selamat dan tinggal di sana sampai Herodes mati (Mat 2:13-25). Akhirya pulanglah mereka ke Nazareth di Galilea (Mat 2:19-23), dan dari sana mereka berziarah ke Yerusalem untuk merayakan Paskah dan perayaan lain setiap tahun (Luk 2:41-51).

        Walaupun kisah Masa Kanak-kanak Yesus banyak menggambarkan Maria, sehingga pembaca dapat dari dekat melihat kesalehannya, doa-doanya, tindakannya, bahkan kata hatinya (Luk 2:19.51), kemudian ia tidak banyak disebut dalam karya Yesus. Satu-satunya kekecualian adalah dalam episode perkawinan di Kana dalam Injil Yohanes (Yoh 2:1-11). Di sini kita temukan Maria berperan dalam perbuatan ajaib Yesus yang pertama, kesempatan pertama di mana Yesus mengungkapkan kemuliaan ilahiNya kepada para murid (Yoh 2:11). Maria memberitahu Yesus bahwa persediaan anggur pesta itu  menipis. “Mereka kehabisan anggur.” (Yoh 2:30. Dari segi tata-bahasa kalimat ini bersifat memberitahu (indikatif), namun ketika diucapkan sifatnya menjadi imperatif (kalimat perintah). Artinya, Maria meminta Yesus melakukan sesuatu tindakan untuk memerbaiki keadaan. Atas ucapan Maria itu Yesus menjawab, “Mau apakah engkau daripadaKu, ibu? Saatku belum tiba!” Kendati jawaban pendek yang bagi telinga modern terdengar seperti suatu penolakan, namun sebenarnya tidak demikian, sebab nyatanya Maria dengan yakin berkata kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yoh 2:5). Tradisi Kristen memandang episode ini sebagai tipologi perantaraan Maria yang terus berlangsung bagi para murid Kristus.



C. Hidup Selanjutnya

Terakhir kalinya Maria dimunculkan dalam Perjanjian Baru di ruang atas, di mana ia bersama dengan para murid Yesus tekun berdoa menyongsong Pentakosta (Kis 1:14). Ia tidak disebutkan melakukan sesuatu tindakan yang lain sesudah ini; yang diketahui hanyalah bahwa Yesus, pada saat terakhir hidupNya, memercayakan ibundaNya itu kepada murid yang dikasihi, yang oleh tradisi dikenal sebagai rasul Yohanes (Yoh 19:25-27).



        Tradisi, risalah dan liturgi Kristen awal berbeda-beda sehubungan dengan hari-hari akhir Maria. Mengenai keberadaannya, suatu tradisi menyatakan bahwa Maria melakukan perjalanan ke Efesus di Asia Kecil bersama rasul Yohanes; yang lain menyatakan Maria tetap tinggal di Yerusalem. Mengenai akhir hidupnya di dunia, salah satu tradisi menyatakan bahwa Maria meninggal secara wajar, sedang yang lain mengenangkan bahwa ia meninggal dalam tidur. Namun kedua tradisi itu sepakat, bahwa Maria diangkat ke surga dengan tubuhnya. Masa awal Kristen sama sekali tidak bicara apa-apa tentang jenazah Maria dan tentang tempat pemakamannya. “Maria Diangkat ke Surga” ditetapkan sebagai dogma oleh Paus Pius XII pada tahun 1950 dengan konstitusi apostolik Munificentissimus Deus.

II. Maria Dalam Sejarah Keselamatan

A. Tabut Perjanjian Baru

Tradisi Kristen menyebut Maria sebagai “tabut Perjanjian Baru”, dengan menarik kesejajaran antara ibu Yesus itu dengan tabut emas Perjanjian Lama tempat Tuhan bersemayam di kemah suciNya (Kel 25:10-32). Dasar tipologi Maria ini berakar pada Perjanjian Baru sendiri, dan yang paling jelas dalam Injil Lukas.

        Kisah kunjungannya kepada Elisabet dalam Injil Lukas mengajak para pembaca melihat kesejajaran antara kedatangan Maria di rumah Elisabet (Luk 1:39-56) dengan pemindahan tabut perjanjian yang dilakukan Daud ke Yerusalem, dan menggemakan beberapa detil dari kisah yang dicantumkan dalam kitab 2 Samuel. Ceritanya dimulai dengan perkataan bahwa Maria “berangkat dan berjalan” ke daerah pegunungan Yudea (Luk 1:39), seperti Daud “bersiap lalu berjalan” menuju perbukitan Yehuda untuk mengusung tabut perjanjian dari sana (2 Sam 6:2). Ketika Maria sampai di tempat tujuannya, Elisabet rendah hati di hadapan Maria (Luk 1:43), seperti Daud takut di hadapan tabut Tuhan (2 Sam 6:9). Namun, gembira oleh perjumpaan itu membuat Yohanes Pembaptis melonjak kegirangan di dalam rahim ibunya, Elisabet (Luk 1:41) mengingatkan bagaimana Daud menari-nari dengan gembira di hadapan tabut (2 Sam 6:16). Penulis Injil akhirnya menyatakan bahwa Maria tinggal selama”tiga bulan” (Luk 1:56) di “rumah Zakharia” (Luk 1:40), suatu detil yang mengingatkan bahwa tabut perjanjian juga “tiga bulan” lamanya tinggal di “rumah Obed-Edom” (2 Sam 6:11).

        Lukas juga menjalin hubungan yang sangat halus dengan kisah tabut dalam kitab 1 dan 2 Tawarikh. Hubungan itu tampak ketika Elisabet, seorang keturunan Lewi dari Harun (Luk 1:5) “berseru dengan suara nyaring” memuji berkat yang diterima kerabatnya itu (Luk 1:42). Kata kerja Yunani yang digunakan si situ, “anaphoneo”, jarang dipakai dan tidak ada di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Kemungkinan sekali Lukas meminjam kata itu dari bahasa Yunani Perjanjian Lama, di mana kata kerja itu muncul lima kali dan digunakan untuk melukiskan tetabuhan musik kaum Lewi di hadapan tabut perjanjian (1 Taw 15:28; 16:4-5; 2 Taw 5:3). Tipologi penggambaran Maria sebagai tabut perjanjian dari Perjanjian Baru dengan demikian dikuatkan lagi. Karena di dalam rahimnya tinggallah hadirat ilahi Allah Israel, maka tanggapan tradisi atas kehadiran ini adalah pernyataan pujian dengan suara dan tetabuhan musik Lewi.

B. Ibu Suri

Maria sering disebut sebagai Ratu dalam tradisi rohani dan liturgi Gereja. Dasar dari tradisi ini tentu saja adalah hubungan Maria dengan Kristus Raja. Namun mengapa Ratu dalam Perjanjian Baru adalah ibu Raja, bukannya isteri Raja, sebagaimana ratu-ratu lain selama berabad-abad? Jawabannya terletak pada pranata status ratu menurut Kitab Suci di Israel.

        Mulai dari zaman Salomo, raja-raja keturunan Daud dari Yehuda meniru tetangga-tetangga mereka di Timur Dekat yang memperuntukkan kedudukan Ratu kepada ibunda raja (Ibu Suri). Untuk sebagian, hal ini merupakan keputusan praktis di dlam dunia di mana lelaki-lelaki kaya dan terhormat biasanya mempunyai banyak isteri. Ini berarti bahwa ibunda raja tidak sekedar dihormati dengan adat kerajaan, tetapi dia adalah juga seorang pejabat istana raja, tokoh pemerintahan yang aktual yang sering sangat besar wibawa dan kuasanya dalam kerajaan Timur kuno. Tidak ada bedanya dengan Israel. Ratu bukan sekedar mengenakan tiara mahkota saja (Yer 13:18), tetapi juga mempunyai tahta di sebelah kanan raja-raja keturunan Daud (1 Raj 2:19), bahkan dihormati oleh raja sendiri (1 Raj 2:19), yang biasanya mengabulkan apa saja yang diminta Ratu (1 Raj 2:20). Di antaranya, Ratu dengan demikian menjadi pembela yang sangat berkuasa bagi kepentingan rakyat (1 Raj 2:13-19). Latar belakang ini penting ketika kita membaca Perjanjian Baru, karena Maria adalah ibu Yesus, Mesias rajawi (Mat 1:1-16), yang sudah ditentukan sebelum kelahiranNya untuk duduk di tahta Daud (Luk 1:32-33; bdk Kis 2:30-36). Dengan kata lain, Yesus, raja keturunan Daudlah yang menetapkan kedudukan Maria sebagai Ratu, Ibu Suri.



        Mungkin indikasi yang paling jelas mengenai kedudukan Maria sebagai ratu terdapat dalam kitab Wahyu. Dalam penglihatan pada bab 12, ibu yang melahirkan Mesias tampak dengan “mahkota dua belas bintang” di kepalanya (Why 12:1). Jelas dia seorang ratu dan ibu. Tetapi sama pentingnya, Mesias yang baru lahir dikatakan sebagai raja keturunan Daud “yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi” dan dibawa ke “tahta”-Nya (Why 12:5, menggambarkan raja yang diurapi dari keturunan Daud dalam Mzm 2:8-9). Sebagian orang mungkin menganggap aneh bahwa seorang ratu melahirkan rajanya; tetapi pengertian Ibu Suri itulah yang persis kita temukan dalam kerajaan Daud di masa Israel Kitab Suci. Dan karena Kristus adalah Mesias keturunan Daud yang sedang memerintah, maka IbundaNya mengenakan tiara mahkota Ratu dalam Kerajaan Allah yang baru.

C. Hawa yang Baru

Sebagai catatan pinggir dari pandangan Paulus atas Kristus sebagai Adam yang Baru (Rm 5:12-21; 1 Kor 15:45-49), para teolog dari masa awal juga menyebut Maria sebagai Hawa Baru. Dasar-dasar dari pandangan ini bersifat profetis dan tipologis.

        Dari aspek yang profetis, janji masa depan akan penebusan dalam Kej 3:15 adalah permusuhan antara “perempuan”  dan “keturunan”-nya melawan ular setan yang ditentukan akan diremukkan dalam kekalahan. Jika Kristus adalah Penebus yang dijanjikan yang mengalahkan musuh itu, maka ibundaNya harus dikatakan punya peran dalam mewujudkan semuanya itu. Sebagian orang menemukan gema dari janji ini dalam dua episode Injil Yohanes yang memunculkan pribadi Maria. Di dua tempat, ia disebut oleh Yesus sebagai “perempuan” [khususnya dalam versi asing antara lain NIV dalam Yoh 2:4 “dear woman why you involve me?” dan 19:26, “dear woman, here is your son”, dalam terjemahan Indonesia Alkitab dan Kitab Suci Komunitas Kristiani woman diterjemahkan menjadi Ibu dan kurang menunjukkan kaitannya dengan nubuat Kej 3:15]; dan yang lebih penting, kedua ayat itu menyangkut “saat” Yesus, suatu fase kritis dari tugas perutusanNya ketika Ia mengalahkan penguasa dunia (Yoh 2:4; 12:27-33). Ahli yang lain merujuk kitab Wahyu di mana ibunda Mesias disebut sebagai “perempuan” (Why 12:1) dan iblis disebut “si ular tua” dan yang “menyesatkan” (Why 12:9) yang melancarkan perang terhadap “keturunan” perempuan itu (Why 12:17).

        Dari aspek tipologi, sosok Maria dapat dipandang sebagai gambar-tandingan dari Hawa. Sementara Hawa yang masih perawan didekati oleh malaikat yang berdosa dan membujuk sehingga Hawa tidak taat (Kej 3:1-6), maka Maria yang perawan ketika didekati oleh Malaikat Agung Gabriel menyatakan ketaatannya pada kehendak Allah selama hidupnya (Luk 1:26-38). Hawa memprakarsai dosa Adam, yang membawa bangsa manusia ke dalam kegelapan dosa dan maut, sedang Maria melahirkan Adam Baru yang menyelamatkan keluarga manusia dari kungkungan dosa dan kematian (Rm 5:12-21).

D. Suatu Tipologi Gereja

Maria tidak secara eksplisit disebut tipologi Gereja dalam Perjanjian Baru. Tetapi telaah yang cermat atas peran Maria sebagai murid teladan dan penerima Roh Kudus merujuk pada tipologi itu dan menguatkan perkembangan tema ini dalam Mariologi di kemudian hari.

        Pertama, Maria dengan jelas digambarkan sebagai murid teladan, salah seorang yang melukiskan dengan teladannya adalah tanggapan yang ideal dari manusia atas Sabda Allah. Penerimaannya atas tugas perutusan yang diberikan kepadanya menjadi Ibu Penebus ilahi menunjukkan hal itu, sebab dalam fiat-nya ia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.'' (Luk 1:38). Bahwa tanggapan ini sangat penting sudah tampak dalam kadar tertentu di dalam Kisah Masa Kanak-kanak, dan semakin meningkat ketika kita mengingat ajaran Yesus. Ketika Maria datang untuk bertemu dengan Yesus, dan hal itu diberitahukan kepada Yesus, Ia menggunakan kesempatan itu untuk mengajar khalayak:  “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” (Luk 8:21). Bagi sebagian orang hal ini terdengar merendahkan makna hubungan biologis antara Yesus dan Maria, ibundaNya. Tapi bukan itu maksudnya. Sesungguhnya, dengan mengingat fiat Maria, pembaca Injil Lukas niscaya menyadari bahwa Maria diberkati menjadi ibunda Yesus justru karena ia menerima Sabda Allah dan melsanakannya. Sejauh merupakan hakekat dan norma dari pemuridan yang sejati, maka Maria memberi teladan kepada Gereja apa artinya menjadi Kristen yang autentik.

        Kedua, tampak dalam teks Yunani Injil Lukas dan Kisah, bahwa status bunda ilahi dari Maria sesungguhnya terkait erat dengan kelahiran Gereja. Hal ini terlihat jika kita membandingkan Kabar Sukacita, tentang Kelahiran Yesus oleh Roh Kudus, dengan amanat terakhir Yesus sebelum Ia naik ke surga, yang menyatakan kelahiran Gereja oleh Roh Kudus pula. Dalam Kabar Sukacita malaikat Gabriel berkata kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu (bahasa Yunani: eperchomai) dan kuasa (bahasa Yunani dynamis) Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau” (Luk 1:35). Demikian pula, sebelum Yesus naik ke surga, Ia berkata kepada para rasul:  “Tetapi kamu akan menerima kuasa (bahasa Yunani dynamis), kalau Roh Kudus turun ke atas kamu (bahasa Yunani: eperchomai)” (Kis 1:8). Kesejajaran ini sungguh mencolok, begitu pula implikasinya. Tampak bahwa sudah Maria mengalami Pentakosta pribadi sebelum kelompok murid-murid Kritus mengalami Pentakosta eklesial yang melahirkan Gereja. Dalam kedua kesempatan itu, melalui perkandungan fisik dan kesaksian misioner, Kristus disampaikan kepada dunia. Maka kejadian yang pertama merupakan antisipasi sekaligus tipologi dari kejadian yang kedua.


Bambang Kussriyanto (Bahan dari Scott Hahn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar