Permenungan untuk Kerasulan Keluarga 1
Bambang Kussriyanto
Hubungan cinta atau hubungan apa pun dengan seseorang setelah melewati masa awal yang menggebu-gebu, selanjutnya akan disadari tidak selalu membahagiakan. Ada orang yang malahan lebih merasa enakan jika sendirian saja, atau paling tidak mengharapkan situasi yang baginya sama saja dengan ketika sendirian.
Adakah sesuatu
yang membuat gembira (pekerjaan baru, atau rumah baru, misalnya), dan kemudian
setelah lewat beberapa waktu, ternyata beberapa hal di dalamnya membuat sewot,
dan menemukan tantangan persoalan baru? Memang darinya didapatkan sesuatu yang diinginkan,
tapi ada juga hal-hal baru yang memberatkan dan masalah-masalah. Fantasi tentang
hubungan dapat membuat orang jatuh "down" lebih dalam, misalnya ketika semula ia
membayangkan kemesraan suatu acara, dan ternyata yang kemudian terjadi jauh
dari yang dibayangkan. Seandainya orang menyikapi kenyataan “sesuatu” sebagaimana
yang dialami, orang dapat mempunyai gambaran lain yang menyenangkan juga…
walaupun memang ada saat-saat berat, namun selanjutnya diikuti dengan
kegembiraan lagi.
Memang
ada “kecemasan pra-kelahiran” yang kemudian menjadi “haru-biru pasca
kelahiran”, dalam fantasi tentang menjadi orang-tua yang menyebabkan depresi, ketika
disadari bahwa bayi baru bukan hanya kegembiraan, tetapi juga membawa tuntutan juga.
Fenomen seperti ini muncul lebih luas daripada sekedar berkenaan dengan
kelahiran anak saja. Banyak pasangan yang baru menikah yang terobsesi oleh
berbagai bayangan sebelum pernikahan, tetapi kenyataan hidup pernikahan
selanjutnya membuat mereka kecewa. Banyak orang berhasil menyelesaikan pendidikannya,
mendapat pekerjaan atau kenaikan pangkat, membeli mobil baru atau apa saja,
lalu terkejut karena semua itu ternyata tidak menjamin kebahagiaan.
Bagaimana
pun, setiap orang mengalami fluktuasi perubahan suka-duka, sedih-gembira, naik
turun sepanjang hidup, dan perasaan itu juga terdapat dalam setiap hubungan
relasi, bagaimanapun idealnya di permulaan. Ada periode nyaman dan masa tidak
nyaman. Kadang dirasakan perlakuan yang baik membahagiakan, dan kadang dirasakan
juga perlakuan yang bagi kejam, betapapun “baiknya” atau “hebatnya” seorang pasangan
atau mitra.
Kebahagiaan
bersama selalu merupakan alasan untuk hidup bersama. Namun tujuan hubungan
relasi meliputi juga bangunan keseimbangan di dalam dan di sekitar diri, dan membantu
penerimaan dan pupusan akan hal-hal baik dan keutuhan diri. Sesudah keindahan
awal dalam hubungan Anda berlalu, upaya melepaskan diri dari ilusi (kesadaran
bahwa: waaalah, ternyata tidak semua hal dalam hubungan ini membuat bahagia)
niscaya membantu mengingatkan akan kebenaran dasar ini.
Dalam
masa permulaan yang menggebu-gebu, jika terutama yang dipandang adalah salah
satu saja (entah daya tarik, sifat-sifat positif, dan peluang untuk bahagia
selamanya) – semua membawa orang pada ilusi. Gejala memandang hal-hal yang
positif belaka biasa disebut “efek lensa merah-muda” dalam psikologi, “kaca
mata mawar”. Namun selanjutnya, ketika suatu relasi berjalan lebih lanjut lagi,
sebagian besar orang lalu melihat sisi-sisi negatif, tetapi peraliham semacam
itu juga akan membawa orang pada ilusi yang lain (katakanlah suatu “ilusi
biru”).
Kedua
fase itu sama-sama mencerminkan perspektif yang tidak seimbang dan tidak bisa
disebut cinta sejati. Untuk mengalami hati yang mencintai, adalah bijaksana
untuk memoderasi kecenderungan berlebihan (yang menyebabkan takut kehilangan
dan putus asa) dan rasa kecewa (yang menyebabkan rasa tidak percaya dan mendorong
undur diri). Kita perlu belajar untuk tidak terlalu lekat dengan seseorang atau
mengharapkan sesuatu yang tidak ada; kita belajar menerima dan mensyukuri diri
kita sekarang ini. Mencintai apa yang ada.
Pasang
surut dan lekuk-liku emosi tidak akan hilang. Sebaliknya seperti osilasi mata
kita (membesar atau menyempit), perubahan emosi itu dapat bertambah besar atau bisa
menyesakkan. Karena diri pribadi kita sendirilah (dan bukan orang lain) yang dalam
hidup ini dapat memungkinkan tetap
merasa gembira atau sedih, diterima atau ditolak, manis atau pahit, murah hati
atau serakah, sopan atau kasar, dan seterusnya. Pribadi kita memang seperti
itu dan merasakan semua itu, karena itulah
sifat-sifat pokok kita sebagai manusia : kita memerlukan kedua sisi dari
kehidupan itu untuk berkembang maju.
Pengalaman
nyata lebih mengungkapkan kebenaran ketimbang ilusi dan fantasi. Akan sangat
baik jika kita tidak sekedar bersikap seolah-olah hanya tinggal memesan paket suatu
kehidupan emosional dan mengharapkan paket lengkap itu disampaikan kepada kita
semacam pizza relasi. Akan sangat hebat jika kita siap menjelajah ke berbagai
arah hasrat yang tidak terperikan dan khas pada diri pribadi manusia –sehingga
hubungan relasi dengan orang lain dapat membantu kita berkembang dengan
memperluas kemampuan untuk merasa, berpikir dan untuk mengalami situasi
beraneka ragam. Akan sangat menakjubkan jika orang lain tidak hanya memberi kepada
kita pengalaman hidup, tetapi juga membantu kita agar lebih mendalam
memahaminya!
Jika kita
mengancang hubungan relasi dengan mengingat-mengingat semuanya itu, tentulah
penghargaan kita akan banyak bertambah jadi rasa syukur. Alih-alih kecewa
karena tidak bahagia, kita dapat mulai mengenali semua sudut kehidupan dan
bertumbuh dari pengalaman itu, entah dalam jalinan relasi dengan seseorang
dalam menjalani hari-hari, atau sendirian saja, dan apakah itu untuk masa yang
panjang, ataupun hanya untuk sementara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar