Kita masih akan mengenangkan Paus Benediktus XVI/Kardinal Joseph Ratzinger yang wafat 31 Desember 2022 dengan artikel-artikel tentang beliau. Untuk memberikan konteks tulisan-tulisan itu, dari sisi sejarah disampaikan kembali di sini ikhtisar jalannya Konsili Vatikan II. Ihktisar ini dalam versi panjang dimual dalam artikel Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970 bagian Prolog pada bulan September 2022 yang lalu. Di sini disampaikan penggalan-penggalan per masa sidang setiap tahun dari 1962. Semoga dapat membangkitkan imajinasi historis yang melatar-belakangi peran dan kontribusi Paus Benediktus XVI/Joseph Ratzinger, dan semoga dapat membangkitkan "semangat Konsili Vatikan II" dan mengembangkannya dalam karya-karya Gerejawi kita di tahun-tahun mendatang.
Lihat juga: Joseph-Ratzinger-Dalam-Konsili-Vatikan 1962
Konsili Vatikan II Dari Perspektif Sejarah
Bambang Kussriyanto
Masa Sidang
Pertama Konsili Vatikan II (1962)
Sesi I
Konsili Vatikan II berlangsung dari 11 Oktober
hingga 8 Desember 1962.
Amanat
Pembukaan Konsili Vatikan II dari Paus St. Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962
menyatakan “Sering terjadi dalam
pengalaman kita melaksanaan pelayanan kerasulan sehari-hari, kita mendengarkan
suara-suara dari orang-orang, yang sungguh sangat kami sesalkan, yang meskipun dikobarkan oleh semangat agama, namun
kurang matang dan cermat dalam
pertimbangan. Dalam kondisi masyarakat manusia dewasa ini, mereka melulu
melihat keruntuhan dan bencana. Menurut mereka dibandingkan dengan masa-masa
yang lalu zaman sekarang bertambah semakin buruk, dan mereka bersikap seolah mereka sama
sekali tidak belajar dari sejarah yang sesungguhnya adalah guru kehidupan.
Mereka bersikap seolah-olah pada masa Konsili-konsili yang terdahulu segala
sesuatu penuh dengan kejayaan gagasan dan hidup kristiani dan untuk kebebasan
Gereja.
Kami rasa kami tidak sepakat dengan para nabi
kehancuran, yang selalu melihat bencana semata, seolah-olah kiamat sudah dekat.
Dalam
situasi dunia sekarang, Penyelenggaraan Ilahi
tampak membimbing kerja keras manusia dalam membarui tata kemasyarakatan
dengan usaha mereka sendiri yang harus diakui berhasil, bahkan umumnya
melampaui harapan, menuju kepada terlaksananya rencana ilahi yang tak
terperikan dan unggul. Dan segala sesuatu, termasuk perbedaan-perbedaan
manusia, mengarah kepada kesejahteraan yang lebih besar bagi Gereja.
Sungguh
mudah untuk memahami realitas ini jika kita memperhatikan dengan cermat betapa
sibuknya dunia sekarang dengan isu-isu
politik dan kontroversi ekonomi hingga seolah-olah mereka tak punya waktu
lagi untuk menata realitas rohani yang menjadi bidang keprihatinan Magisterium
Gereja. Cara bertindak ini tentu saja keliru, dan memang tidak bisa
disetujui....
Ajaran
Kristiani harus dijaga dan sekaligus diwartakan dengan lebih efektif. Ajaran
ini untuk seluruh umat manusia yang adalah mahluk jasmani dan rohani seutuhnya.
Dan walaupun sedang berziarah di dunia, ajaran ini mengajaknya agar selalu
mengarahkan hati ke surga.
Ditunjukkan
bagaimana hidup kita yang fana diatur sedemikian rupa agar memenuhi kewajiban
kita baik sebagai warga dunia maupun warga surga, dan dengan demikian mencapai
tujuan akhir kita sebagaimana telah ditentukan Tuhan. Yaitu bahwa semua orang baik perorangan
maupun sebagai masyarakat wajib selalu mengarahkan hidupnya sepanjang hayat
kepada hal-hal surga dan menggunakan hal-hal dunia untuk maksud itu saja,
artinya, bahwa penggunaan harta benda duniawi janganlah mengurangi kebahagiaan
surga.
Tuhan
bersabda : "Carilah pertama-tama
Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 6,33). Kata
"pertama-tama" menunjukkan secara khusus kemana semua usaha dan
pikiran kita harus diarahkan; namun jangan dilupakan pula perkataan Tuhan
berikutnya: "maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat
6:34)...
Namun
agar ajaran ini dapat meresapi begitu banyak bidang kegiatan manusia, baik
perorangan, keluarga maupun masyarakat, pertama-tama dan terutama Gereja
sendiri harus selalu akrab dengan
warisan suci kebenaran yang diterima dari para Bapa itu. Dan serentak dengan
itu harus selalu memerhatikan keadaan sekarang, kondisi-kondisi baru dan
bentuk-bentuk baru kehidupan yang diperkenalkan zaman modern yang membuka
jalan-jalan baru bagi kerasulan Katolik.
Untuk
itu, Gereja tak boleh menutup mata pada kemajuan besar temuan-temuan kecerdasan manusia, dan jangan
terlambat ketinggalan dalam memberikan penilaian dengan tepat. Tetapi seraya
mengikuti jalannya perkembangan, janganlah ia lalai mengingatkan manusia agar
melampaui dan di atas segala yang dicerap indera, mereka selalu mengarahkan
hati kepada Allah, sumber segala kebijaksanaan dan keindahan. Dan agar mereka
tidak melupakan perintah yang paling utama: “Engkau harus menyembah Tuhan
Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4:10; Luk 4:8),
sehingga pesona hal-hal yang fana tidak menghambat kemajuan yang sejati.
Tentang cara
pewartaan ajaran iman dan bagaimana hal itu
ditetapkan, menjadi jelas sangat diharapkan dari sidang Konsili yang
berhubungan dengan ajaran iman. Yakni, Konsili Ekumenis Keduapuluhsatu – yang
akan menimba dari pengalaman berlimpah
di bidang hukum, liturgi, kerasulan dan pemerintahan dukungan yang efektif dan
sangat berharga, harapan untuk menyampaikan ajaran iman Katolik, secara murni
dan lengkap, tanpa cacad atau
gangguan, yang diteruskan selama dua
puluh abad kendati berbagai kesulitan
dan pertentangan, menjadi tuntunan umum bagi semua orang. Suatu tuntunan yang
walau pun belum diterima dengan baik oleh semua orang, namun selalu merupakan
harta kekayaan besar yang selalu tersedia bagi mereka yang berkehendak baik.
Maksud
utama Konsili ini dengan demikian bukan membahas lagi pokok-pokok ajaran Gereja,
yang sudah berulangkali dibicarakan para Bapa dan teolog dari zaman dulu
hingga sekarang secara rinci, yang kami anggap kita semua sudah memahaminya
dengan baik dan fasih.
Bukan
untuk itu Konsili ini diperlukan. Tapi dari kesetiaan yang diperbarui, murni dan jernih kepada seluruh ajaran Gereja seutuhnya dan
setepat-tepatnya, seperti yang diwariskan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I
kepada kita, umat kristiani katolik di
seluruh dunia dengan semangat apostolik
menghendaki agar kita maju selangkah
lagi dalam meresapkan ajaran iman dan membina kesadaran kaum beriman serta kesetiaan penuh pada
ajaran yang autentik yang dipelajari dan
diteguhkan dengan metode-metode penelitian serta bentuk tulisan yang dapat
diterima oleh semua orang di zaman kita. Pokok-pokok ajaran iman yang asli
adalah satu hal, sedang cara menyajikannya adalah hal yang lain. Untuk yang
terakhir itulah kita memberikan pertimbangan sebanyak mungkin dengan kesabaran
sejauh mungkin, semuanya dengan bentuk dan proporsi yang terukur dalam suatu
magisterium yang terutama bercorak pastoral.
Demikianlah,
Gereja Katolik, seraya meninggikan suluh kebenaran agama melalui Konsili
Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya sebagai
ibu yang mengasihi untuk semua,
baik hati, sabar, murah hati dan penuh kebaikan terhadap sesaudara yang
terpisah darinya. Kepada mereka yang tertindas banyak kesulitan, Gereja
berkata, seperti Petrus kepada orang
miskin yang meminta derma darinya: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa
yang kupunyai, kuberikan padamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu,
berjalanlah” (Kis 3:6). Dengan kata lain Gereja tidak memberi kekayaan yang
fana kepada manusia zaman ini, juga tidak menjanjikan kebahagiaan duniawi saja.
Tetapi ia membagikan kebaikan rahmat
ilahi yang, dengan mengangkat manusia
kepada martabat anak-anak Allah, adalah
perlindungan yang paling efektif dan bantuan ke arah hidup yang lebih
manusiawi. Gereja membuka keran mata air ajaran iman yang memberi hidup yang
memampukan manusia, diterangi oleh cahaya Kristus, memahami kenyataan dirinya,
martabatnya yang luhur dan tujuan hidupnya, dan akhirnya, bersama
putera-puterinya, Gereja menyebarkan di
mana saja kepenuhan kasih Kristiani
sebagai sarana yang paling efektif untuk mengatasi benih-benih
perseteruan, memajukan persamaan pendapat, perdamaian yang adil, dan kesatuan
semua umat manusia dalam persaudaraan.
Tekad
Gereja untuk memajukan dan menegakkan kebenaran berasal dari fakta bahwa,
menurut rencana Tuhan, yang menghendaki
agar semua orang diselamatkan dan
sampai kepada pengertian akan kebenaran
(1Tim 2,4), tanpa pertolongan sepenuhnya dari ajaran yang diwahyukan, mereka tidak dapat mencapai
kesatuan pikiran yang lengkap dan kuat, yang terkait dengan damai sejati dan
keselamatan abadi.
Kesatuan
dalam kebenaran yang kita lihat ini, sayangnya, belum sepenuhnya dicapai oleh
seluruh keluarga Kristiani.
Karena
itu Gereja Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk aktif mengupayakan
agar sejauh mungkin dapat terpenuhilah
misteri besar kesatuan yang oleh Kristus Yesus, menjelang sengsara dan wafatNya, dengan doa yang sangat khusyuk
dimohonkan dari Bapa Surgawi. Gereja bersukacita dalam damai, karena tahu bahwa
dirinya erat terkait dengan doa Kristus
itu; dan bersorak gembira ketika permohonan doa itu meluaskan khasiat buah
keselamatan, bahkan kepada mereka yang berada di luar kawanannya.
Saudara-saudara
yang mulia, demikianlah tujuan dari Konsili Ekumenis Vatikan Kedua ini, yang
seraya menghimpun sebaik mungkin seluruh daya Gereja dan mengusahakan agar
manusia lebih siap menerima kabar gembira dan keselamatan, menyiapkan dan
mengkonsolidasikan jalan menuju kesatuan umat manusia yang perlu sebagai
landasan agar kota dunia menjadi semakin menyerupai kota surgawi, di mana
kebenaran meraja, kasih menjadi hukumnya, dan terentang hingga kekal .”
Para Bapa
Konsili dari Indonesia dalam persidangan pertama (26 uskup) adalah: Mgr Albers
O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr Bergamin SX,
Mgr Demarteau MSF, Mgr Djajasepoetra
SJ, Mgr Geise OFM, Mgr Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr.Mgr Grent MSC, Mgr J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr
Paul Sani Kleden SVD, Mgr Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr
Schoemaker MSC, Mgr Soegijapranata SJ, Mgr JH Soudant SCJ, Mgr Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr
van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr
v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen SSCC, Mgr
v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC.
Delegasi para Uskup Indonesia dalam mengikuti Sidang Pertama Konsili Vatikan II
dipimpin oleh Mgr Soegijopranata SJ, dalam kapasitasnya sebagai Ketua MAWI.
Dua belas
komisi persiapan Konsili telah mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan
November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang
kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh
Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang
dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun
1962 sejumlah naskah diedarkan di antara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk
periode Sidang yang dimulai pada musim gugur 1962.
Dalam
sidang kerja pertama, pada 13 Oktober 1962 para Uskup tidak bersedia menerima
daftar nama anggota komisi-komisi kerja Konsili yang disiapkan lebih dulu,
karena dominasi Kuria Vatikan. Sebaliknya mereka ingin memilih sendiri para
anggota komisi-komisi kerja yang umumnya dipimpin 10-12 kardinal dan bersifat
internasional demi karakter Konsili yang disebut ekumenis. Hal itu menunjukkan,
bahwa banyak Uskup melalui intervensi
Kardinal Frings (Jerman) dan Kardinal Lienart (Prancis) tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak
naskah yang telah disiapkan dan bersifat Roma-centris. Naskah untuk dibahas
yang telah diserahkan kepada para Bapa Konsili
meliputi antara lain draft tentang Sumber-sumber Wahyu, Perbendaharaan
Iman, Tatanan Moral Kristiani, Kemurnian-Perkawinan-Keluarga dan
Keperawanan, Konstitusi Liturgi,
Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristiani.
Dengan
alasan mereka perlu waktu secukupnya untuk saling mengenal dan memilih para
anggota komisi-komisi, mereka berkelit dari agenda debat dan pengambilan suara
atas naskah-naskah, dan menghendaki proses konsultasi berlangsung leluasa
seperti biasa terjadi dalam tradisi konsili-konsili yang lalu. Dewan pemimpin Konsili menghadap Paus Yohanes pada 16 Oktober 1962
membawa pesan para Uskup. Mereka meminta urutan pembahasan dibalik, mulai dari
Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristen. Draft lain-lainnya
dibahas dalam masa sidang berikutnya. Paus menyetujui. Maka dikirimkanlah nota
kepada para Bapa Konsili: “Animadversiones in "Primam Seriem"
schematum constitutionum ad decretorum”, bahwa urutan pembahasan dibalik
menurut skema yang utama dulu, dari konstitusi ke dekrit. Mengomentari
perubahan itu Kardinal Montini (yang nanti menjadi Paus Paulus VI) pada 18
Oktober 1962 mengirim catatan kepada Kardinal Sekretaris Negara mencemaskan
bahwa Konsili tidak mempunyai rencana kerja
yang rapi dan baku.
Pada 22 Oktober 1962 tema Konstitusi Liturgi
dipilih untuk pembahasan pertama karena draft yang dihasilkan lebih tertata
rapi; secara keseluruhan sangat bagus, juga dalam bagian-bagiannya, menurut
penilaian para Uskup Eropa Tengah. Walaupun demikian, debat mengenai Konstitusi Liturgi sangat alot. Pokok
perdebatan menyangkut gaya bahasa teks
yang lebih puitis ketimbang teologis. Ada ketidakjelasan ajaran yang perlu
diperbaiki secara teologis. Tentang bahasa
Liturgi: Latin atau bahasa setempat. Komuni dua rupa. Konselebrasi. Dan otoritas
atas liturgi. Pada 6 November 1962 dimintakan kesepakatan tentang penghentian
debat mengenai hal-hal yang telah cukup didiskusikan. Pembahasan tentang
Konstitusi Lturgi berakhir pada 13 November 1962 dan kemudian diambil suara
atas pernyataan: “Konsili Vatikan II
setelah meninjau dan memeriksa skema tentang Liturgi suci, dengan ini
menyetujui arah umum yang cermat dan arif, bermaksud membuat bagian-bagian
tertentu dari Liturgi lebih hidup dan lebih mudah dipahami umat beriman selaras
kebutuhan pastoral di masa kini. Perubahan-perubahan yang didiskusikan dalam
sidang konsili sesegera mungkin akan dipelajari dan disusun dalam bentuk yang
tepat oleh komisi Konsili untuk Liturgi, dan akan disampaikan pada waktunya
kepada sidang umum, dan dengan pemberian suaranya para Bapa Konsili niscaya
membantu atau mengarahkan komisi dalam menyiapkan teks yang telah direvisi dan
pasti untuk disampaikan kepada sidang umum lagi”. Dari 2215 Bapa Konsili yang
hadir, 2162 setuju (melampaui kuorum duapertiga atau 1476). 46 suara tidak
setuju.
Diskusi
selanjutnya adalah untuk membahas skema tentang komunikasi sosial, Gereja timur
dan Hakekat Wahyu Allah. Terutama untuk skema yang terakhir, Hakekat Wahyu
Allah, sebagian besar Bapa Konsili menolak teks yang diajukan karena mengakui dua
sumber wahyu: kitab suci dan tradisi; keduanya dipandang saluran dari satu
sumber saja, Sabda Tuhan. Nada skema dinilai terlalu bersifat skolastik hingga
dirasa kering, kurang kehangatan, dan perlu memerhatikan kebutuhan Gereja,
sehingga teks itu perlu ditulis ulang
melalui suatu tinjauan teologis yang lebih baik. Walau ketika diambil suara,
jumlah yang menolak hanya 1.368 suara, kurang dari kuorum 2/3 yaitu 1.473
suara, namun tetap merupakan mayoritas melebihi
55%. Maka Paus berkenan memutuskan untuk merombak teks dengan wawasan
teologi yang lebih lengkap.
Untuk
revisi dan penulisan ulang teks maka hingga masa sidang sesi pertama berakhir
pada 8 Desember 1962, belum ada dokumen apa pun yang dihasilkan Konsili Vatikan
II.
Lihat kembali: Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970 bagian Prolog