Dalam rangka Hari Minggu Sabda Allah, yaitu Minggu Ketiga dalam Masa Biasa (22 Januari 2023), saya coba menyajikan dokumen Gereja yang berkenaan dengan Sabda Allah. Setelah Konstitusi Konsili Vatikan II tentang wahyu Ilahi Dei Verbum, berikut ini saya sampaikan Anjuran Apostolik Paus Benediktus XVI, Verbum Domini (Sabda Tuhan), yang sebagian besar bahannya berasal dari Sinode Para Uskup ke 12 tentang Verbum Dei (Sabda Allah). Untuk meringankan aspek teknis pengerjaan, saya membagi dokumen ini dalam tiga seri angsuran. Semoga berguna.
(I)
Anjuran Apostolik Pasca-Sinode
VERBUM DOMINI
Dari Bapa Suci Benediktus XVI
Kepada Para Uskup, Klerus, Para Religius dan Umat Beriman
Mengenai Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi Gereja
PENGANTAR
1. “Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Inilah Firman
yang disampaikan Injil kepada kamu” (1Ptr 1:25; bdk. Yes 40:8). Dengan kutipan
dari Surat Pertama Santo Petrus, yang menampilkan kata-kata Nabi Yesaya, kita dihadapkan pada
misteri Allah, yang menyatakan diri melalui karunia Firman-Nya. Firman ini,
yang tetap untuk selama-lamanya, memasuki waktu.
Allah mengucapkan Firman-Nya yang kekal secara manusiawi; Firman-Nya “menjadi manusia”
(Yoh. 1:14). Ini adalah kabar gembira. Ini adalah pemakluman yang selama
berabad-abad telah turun kepada kita hari ini. Sidang Umum Biasa XII Sinode
para Uskup, yang diselenggarakan di Vatikan pada 5-26 Oktober 2008, mengambil
tema: Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi
Gereja. Pertemuan itu merupakan pengalaman mendalam perjumpaan dengan Kristus, Sabda
(atau Firman) Bapa, yang hadir di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam
Nama-Nya (bdk. Mat. 18:20). Dengan Anjuran Apostolik Pasca-Sinode ini saya
dengan senang hati menanggapi permohonan para Bapa Sinode untuk
memberitahukan kepada seluruh Umat Allah buah-buah melimpah yang muncul dari
pertemuan-pertemuan Sinode dan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh
usaha keras kita bersama. Maka dari itu, saya bermaksud mempertimbangkan
kembali hasil karya Sinode dalam terang
dokumen-dokumennya: Lineamenta, Instrumentum Laboris, Relationes ante dan post
disceptationes, naskah-naskah pidato, baik yang disampaikan dalam ruang sidang
Sinode maupun yang dikemukakan secara tertulis, laporan dari diskusi kelompok
kecil, Pesan Akhir kepada Umat Allah, dan, terutama, sejumlah usulan-usulan khusus
(Propositiones) yang dipandang sangat penting oleh para Bapa Sinode. Dengan
cara ini saya ingin menunjukkan pendekatan-pendekatan dasariah tertentu untuk
menemukan kembali Sabda Allah dalam kehidupan Gereja sebagai sumber pembaruan
yang terus-menerus. Pada saat yang sama saya berharap bahwa Sabda itu semakin
menjadi pusat setiap kegiatan gerejawi.
Supaya sukacita kita menjadi penuh
2. Pertama-tama, saya ingin mengingat keindahan dan
kegembiraan dari perjumpaan yang dibarui dengan Tuhan Yesus yang kita alami selama pertemuan Sinode. Dalam
kesatuan dengan para Bapa Sinode, saya menyampaikan kepada kaum
beriman kata-kata Santo Yohanes dalam surat yang pertama: “Hidup itu telah
dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan
memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah
dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar
itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan
kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya,
Yesus Kristus” (1Yoh. 1:2-3). Rasul itu berbicara kepada kita mengenai
mendengar, melihat, meraba dan memandang (bdk. 1Yoh. 1:1) Sabda kehidupan,
karena kehidupan sendiri
dinyatakan dalam Kristus. Setelah dipanggil kepada persekutuan dengan Allah
dan di antara kita sendiri, kita harus mewartakan karunia itu. Dari sudut pandang
kerigmatik ini, pertemuan sinodal merupakan kesaksian bagi Gereja dan dunia,
mengenai keindahan tak terhingga dari perjumpaan dengan Sabda Allah dalam persekutuan dengan Gereja.
Berdasarkan alasan itu, saya mendorong semua kaum beriman untuk membarui
perjumpaan pribadi dan bersama dengan Kristus, Sabda kehidupan yang telah
menjadi kelihatan, dan untuk menjadi pewarta-Nya, sehingga karunia hidup ilahi
–persekutuan – dapat semakin tersebar di seluruh dunia. Tentu saja, mengambil
bagian dalam kehidupan Allah, Trinitas Kasih, merupakan kegembiran yang penuh
(bdk. 1Yoh. 1:4). Dan inilah anugerah Gereja dan kewajiban yang tak dapat
dilepaskan untuk mengomunikasikan kegembiraan itu, yang lahir dari perjumpaan
dengan pribadi Kristus, Sabda Allah di tengah kita. Dalam dunia yang kerap
merasa bahwa Allah adalah tak berguna atau asing, kita mengaku bersama Petrus
bahwa hanya Dialah satu-satunya yang memiliki “Firman hidup kekal” (Yoh. 6:68).
Tak ada prioritas lebih besar daripada ini: memampukan manusia zaman kita
sekali lagi berjumpa dengan Allah, Allah yang bersabda kepada kita dan
membagikan kasih-Nya supaya kita dapat memiliki hidup dalam kelimpahan (bdk.
Yoh. 10:10).
Dari “Dei Verbum” sampai Sinode tentang Sabda Allah
3. Dengan Sidang Umum Biasa XII Sinode Para Uskup mengenai
Sabda Allah, kita menyadari bahwa, dalam arti tertentu, sedang berbicara tentang inti kehidupan
Kristiani, dalam kelanjutan dengan sidang sinodal sebelumnya mengenai Ekaristi
sebagai Sumber dan Puncak kehidupan dan Misi Gereja. Tentu saja, Gereja
didirikan di atas Sabda Allah; ia lahir dari dan hidup oleh Sabda itu.
Sepanjang sejarahnya, Umat Allah selalu menemukan kekuatan dalam Sabda Allah,
dan masa kini juga komunitas gerejawi tumbuh karena mendengarkan, merayakan,
dan mempelajari Sabda itu. Harus diakui, dalam puluhan tahun
terakhir ini kehidupan gerejawi telah menjadi lebih peka terhadap tema ini,
terutama terkait dengan wahyu Kristiani, Tradisi yang hidup dan Kitab Suci.
Dimulai dalam masa kepausan Paus Leo XIII, kita dapat mengatakan bahwa ada
peningkatan campur tangan yang ditujukan untuk menambah kesadaran mengenai
pentingnya Sabda Allah dan studi Alkitab dalam hidup Gereja, yang berpuncak
pada Konsili Vatikan Kedua dan terutama dalam promulgasi Konstitusi Dogmatis
tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum. Konstitusi ini merupakan tonggak dalam sejarah
Gereja: “Para Bapa Sinode…mengakui dengan rasa syukur manfaat besar yang dibawa
dokumen ini kepada kehidupan Gereja, dalam bidang eksegetis, teologis,
kerohanian, pastoral dan ekumene.” Tahun-tahun berikutnya juga menjadi saksi
kesadaran yang semakin tumbuh dari “cakrawala pewahyuan yang bersifat triniter
dan keselamatan-historis” di mana Yesus Kristus harus diakui sebagai
“pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.”
Tak henti-hentinya Gereja mewartakan kepada setiap generasi Gereja bahwa
Kristus “dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun
karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama
dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan
mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya.”
Setiap orang sadar akan dorongan besar yang diberikan
Konstitusi Dogmatis Dei Verbum untuk membangkitkan kembali perhatian kepada
Sabda Allah dalam kehidupan Gereja, bagi refleksi teologis atas wahyu ilahi dan
atas studi Kitab Suci. Dalam empat puluh tahun terakhir, Magisterium Gereja
juga telah menerbitkan sejumlah pernyataan tentang masalah ini. Dengan merayakan Sinode, Gereja, sadar
akan perjalanannya yang terus menerus di bawah bimbingan Roh Kudus, merasa
terpanggil untuk mengadakan refleksi lebih lanjut mengenai tema Sabda Allah,
untuk meninjau kembali implementasi dari arahan-arahan Konsili, dan menghadapi
tantangan-tantangan baru yang pada masa kini dihadapi kaum beriman Kristiani. Sinode para Uskup mengenai Sabda Allah
4. Dalam Sidang Sinodal yang ke-duabelas, para Uskup dari
segala penjuru dunia berkumpul seputar Sabda Allah dan secara simbolik mereka
menempatkan teks Alkitab pada pusat pertemuan, untuk menekankan kembali apa
yang dalam kehidupan sehari-hari berisiko kita anggap biasa: kenyataan bahwa
Allah berbicara dan menanggapi persoalan kita. Bersama-sama kita mendengarkan dan
merayakan Sabda Tuhan. Kita mengisahkan satu kepada yang lain semua yang
dikerjakan Tuhan di tengah-tengah Umat Allah, dan kita saling berbagi
pengharapan dan keprihatinan kita. Semua
hal itu menyebabkan kita menyadari bahwa kita dapat
memperdalam hubungan kita dengan Sabda Allah hanya dalam “kita” sebagai Gereja,
dalam saling mendengarkan dan saling menerima. Karena itu kita bersyukur atas
kesaksian-kesaksian mengenai kehidupan Gereja di berbagai tempat dunia ini yang
muncul dari berbagai macam pembicaraan di ruang sidang. Juga mengharukan mendengar
para utusan persaudaraan, yang menerima undangan kita untuk mengambil bagian
dalam pertemuan sinodal. Saya memikirkan secara khusus renungan yang diberikan
kepada kita oleh Yang Mulia Bartolomeus I, Patriarkh Ekumene Konstantinopel, yang
kepadanya Para Bapa Sinode mengungkapkan penghargaan yang mendalam. Lebih
lanjut, untuk pertama kali, Sinode para Uskup juga mengundang seorang Rabbi
untuk menyampaikan kepada kita kesaksian berharga dari Alkitab Ibrani, yang
juga merupakan bagian dari Kitab Suci kita.
Dengan cara demikian kita dapat mengakui dengan gembira dan syukur
bahwa “dalam Gereja ada juga Pentakosta masa kini –dengan kata lain, Gereja
berbicara dalam banyak bahasa, dan tidak hanya secara lahiriah, dalam arti
bahwa semua bahasa-bahasa besar dunia terwakili dalam dirinya, tetapi, lebih
mendalam lagi, lantaran hadir dalam dirinya bermacam cara untuk mengalami Allah
dan dunia, kekayaan budaya, dan hanya dengan cara ini kita sungguh dapat
melihat luasnya pengalaman manusiawi dan, sebagai akibatnya, luasnya dari Sabda
Allah.” Kita juga mampu melihat Pentakosta yang sedang berlangsung; beragam
bangsa masih menunggu Sabda Allah diwartakan dalam bahasa dan budaya mereka
sendiri.
Bagaimana mungkin saya dapat lupa untuk menyebut bahwa sepanjang
Sinode kita didampingi oleh kesaksian Rasul Paulus! Sungguh suatu
penyelenggaraan ilahi bahwa Sidang Umum Biasa Ke-Duabelas dilangsungkan pada
tahun yang dipersembahkan kepada Rasul Agung para Bangsa, pada peringatan dua
ribu tahun kelahirannya. Kehidupan Paulus sepenuhnya ditandai oleh semangatnya
demi penyebaran Sabda Allah. Bagaimana kita tidak tergerak oleh kata-katanya
mengenai perutusannya sebagai pewarta Sabda Allah: “Segala sesuatu ini aku
lakukan karena Injil” (1Kor. 9:23); atau seperti ia tulis dalam Surat kepada
Jemaat Roma: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” (1:16).
Kapan pun kita merenungkan Sabda Allah dalam kehidupan dan misi Gereja, kita
tidak bisa tidak berpikir mengenai Santo Paulus dan hidupnya yang
dipersembahkan untuk menyebarluaskan pesan keselamatan dalam Kristus kepada
semua bangsa.
Prolog Injil Yohanes sebagai panduan
5. Dengan Anjuran Apostolik ini saya menginginkan
hasil-hasil Sinode sungguh
mempunyai efek nyata dalam kehidupan Gereja: pada hubungan pribadi kita dengan
Kitab Suci, pada penafsirannya dalam liturgi dan katekese, dan dalam penelaahan
ilmiah, sehingga Sabda Allah tidak hanya menjadi Sabda dari masa lampau, tetapi
juga Sabda yang hidup dan aktual. Untuk memenuhi tujuan itu, saya ingin
menyampaikan dan mengembangkan hasil-hasil Sinode dengan terus-menerus merujuk
pada Prolog Injil Yohanes (Yoh. 1:1-18), yang memperkenalkan kepada kita dasar
hidup kita: Firman, yang pada mulanya bersama Allah, yang menjadi manusia dan
yang tinggal di antara kita (bdk. Yoh. 1:14). Ini adalah teks yang mengagumkan,
yang menampilkan sintesis dari seluruh iman Kristiani. Dari pengalaman
pribadinya berjumpa dan mengikuti Kristus, Yohanes, yang oleh tradisi dikenal
sebagai “murid yang dikasihi Yesus” (Yoh. 13:23; 20:2; 21:7.20), “sampai kepada kepastian yang dalam: Yesus adalah
Hikmat Allah yang menjelma, Ia adalah Firman-Nya yang kekal yang menjadi
manusia yang dapat mati.” Semoga Yohanes, yang “melihat dan percaya” (bdk. Yoh.
20:8) juga membantu kita untuk bersandar pada dada Kristus (bdk. Yoh. 13:25),
sumber darah dan air (bdk. Yoh. 19:34), yang merupakan lambang
sakramen-sakramen Gereja. Dengan mengikuti teladan Rasul Yohanes dan penulis
lain yang diilhami, kita hendaknya membiarkan dibimbing oleh Roh Kudus supaya
semakin lebih mengasihi Firman Allah.
Bagian Pertama
VERBUM DEI
(Sabda Allah)
“Pada mulanya adalah Firman dan Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah…dan Firmanitu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:1,14)
Allah yang Berbicara, Allah dalam dialog
6. Hal yang baru dari wahyu alkitabiah terdiri dari
kenyataan bahwa Allah dapat dikenali melalui dialog yang Ia ingin miliki dengan kita.14 Konstitusi Dogmatis Dei
Verbum telah mengungkapkan itu dengan mengakui bahwa “Allah yang tak kelihatan
dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya, dan bergaul
dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya.”
Namun, kita belum akan menangkap sepenuhnya pesan dari Prolog Santo Yohanes jika kita berhenti pada
kenyataan bahwa Allah masuk ke dalam komunikasi kasih dengan kita. Dalam
kenyataan, Firman Allah, melalui Dia “segala sesuatu dijadikan” (Yoh. 1:3) dan
yang “menjadi manusia” (Yoh. 1:14) adalah Firman yang sama yang adalah “pada
mulanya” (Yoh. 1:1). Jika kita menyadari bahwa ini adalah kutipan dari
permulaan Kitab Kejadian (bdk. Kej 1:1), kita dihadapkan pada permulaan yang
adalah mutlak dan yang berbicara kepada kita mengenai hidup batiniah Allah.
Prolog Yohanes menyadarkan kita bahwa Logos adalah sungguh kekal, dan dari kekekalan
Ia adalah Allah sendiri. Allah tidak pernah ada tanpa Logos-Nya. Firman telah
ada sebelum segala ciptaan. Akibatnya pada jantung kehidupan ilahi ada
persekutuan, ada karunia absolut. “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:16), seperti
dikatakan Rasul yang samadi tempat lain, dengan demikian menunjuk pada “gambar kristiani tentang Allah dan juga gambar
manusia yang timbul daripadanya serta jalannya.” Allah membuat diri-Nya kita
kenal sebagai misteri kasih tanpa batas di mana Bapa secara kekal mengucapkan
Firman-Nya dalam Roh Kudus. Akibatnya, Firman, yang sejak permulaan bersama
Allah dan adalah Allah, menyatakan Allah sendiri dalam dialog kasih di antara
pribadi-pribadi ilahi, dan mengundang kita ambil bagian dalam kasih itu.
Diciptakan dalam gambar dan rupa Allah yang adalah kasih, maka kita dapat memahami
diri kita hanya bila menerima Firman dan dalam ketaatan pada karya Roh Kudus.
Dalam terang pewahyuan yang dibuat oleh Firman Allah, misteri kondisi manusiawi
dijelaskan secara definitif.
Analogi Firman Allah
7. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, yang lahir
dari permenungan atas misteri Kristiani yang diungkapkan dalam Prolog Yohanes,
kita sekarang perlu mempertimbangkan apa yang ditegaskan para Bapa Sinode
mengenai berbagai cara di mana kita bicara mengenai “Firman Allah.” Mereka
dengan tepat mengacu pada simfoni kata, pada kata tunggal yang diungkapkan
dalam bermacam cara: “madah polifonik.” Dalam hal ini para Bapa
Sinode telah berbicara tentang penggunaan analog bahasa
manusia
sehubungan dengan Firman Allah. Akibatnya, ungkapan ini,
sementara mengacu kepada komunikasi diri Allah, juga mempunyai berbagai macam
makna yang perlu diperhatikan dengan saksama dan saling berhubungan satu dengan
yang lain, dari titik tolak, baik refleksi teologis maupun praktik pastoral.
Seperti dengan jelas ditunjukkan oleh Prolog Yohanes kepada kita, Logos mengacu
pertama-tama kepada Firman kekal, Putra Tunggal, yang dilahirkan dari Bapa
sebelum segala abad dan yang sehakikat dengan Dia: Firman itu bersama-sama
dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah. Tetapi Firman yang sama, kata
Yohanes kepada kita, “menjadi manusia” (Yoh. 1:14); karena itu Yesus Kristus,
lahir dari Perawan Maria, sungguh-sungguh Firman Allah yang menjadi sehakikat dengan kita. Jadi ungkapan “Firman
Allah” di sini mengacu kepada pribadi Yesus Kristus, Putera kekal Bapa, yang
menjadi manusia.
Sementara peristiwa Kristus adalah pusat dari wahyu ilahi,
kita juga perlu menyadari bahwa ciptaan sendiri, liber naturae, adalah bagian
hakiki dari simfoni banyak suara di mana satu kata diucapkan. Kita juga
menyatakan iman kita, bahwa Allah telah mengucapkan Firman-Nya dalam sejarah
keselamatan; Ia telah memperdengarkan suara-Nya; dengan kekuatan Roh-Nya “Ia
telah berbicara melalui para nabi.” Demikianlah, Firman Allah diucapkan di
sepanjang sejarah keselamatan, dan secara paling penuh dalam misteri inkarnasi,
kematian dan kebangkitan Putera Allah.
Kemudian, Firman Allah adalah Firman yang diwartakan oleh para Rasul dalam
ketaatan kepada perintah Yesus yang bangkit: “Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Jadi, Firman Allah
diteruskan dalam Tradisi hidup Gereja. Akhirnya, Firman Allah, yang
dipersaksikan dan diinspirasikan secara ilahi, adalah Kitab Suci, Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Semua ini membantu kita untuk mengerti mengapa dalam
Gereja kita sangat menghormati kitab-kitab suci, meskipun iman Kristiani
bukanlah “agama Kitab”: Kekristenan adalah “agama Firman Allah”, bukan dari
“kata yang tertulis dan bisu, melainkan dari Firman yang berinkarnasi dan
hidup.” Konsekuensinya, Kitab Suci
harus diwartakan, diperdengarkan, dibacakan, diterima dan dihayati sebagai
Firman Allah, dalam arus Tradisi
rasuli yang tak terpisahkan darinya.
Seperti dinyatakan para Bapa Sinode, ungkapan “Firman Allah”
digunakan secara analog, dan kita hendaknya menyadari hal ini. Kaum beriman
perlu dibantu secara lebih baik untuk menangkap berbagai makna dari ungkapan
itu, tetapi juga untuk memahami makna kesatuannya. Juga dari sudut pandang
teologis, diperlukan studi lebih lanjut tentang bagaimana berbagai macam makna ungkapan
itu saling berkaitan, sehingga kesatuan rencana Allah dan, di dalamnya,
sentralitas pribadi Kristus, agar bersinar dengan lebih baik.
Dimensi Kosmis Firman
8. Bila kita memperhatikan makna dasariah dari Firman Allah sebagai
acuan kepada Firman Allah abadi yang menjadi daging, satu-satunya Penebus dan
Pengantara antara Allah dan manusia, dan
bila kita mendengarkan Firman ini, kita dituntun oleh wahyu alkitabiah untuk
melihat bahwa Firman itu adalah dasar bagi seluruh kenyataan. Prolog Yohanes
berbicara mengenai Logos ilahi, bahwa “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan
tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”
(Yoh. 1:3); dan dalam Surat kepada Jemaat di Kolose dikatakan mengenai Kristus, “yang sulung, lebih utama dari
segala yang diciptakan” (1:15), bahwa “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan
untuk Dia” (1:16). Penulis Surat Ibrani juga menyatakan bahwa “karena iman kita
mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa
yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (11:3).
Bagi kita, pewartaan ini adalah sabda kebebasan. Kitab Suci mengatakan
kepada kita bahwa segala sesuatu yang ada tidak berada secara kebetulan tetapi
dikehendaki oleh Allah dan merupakan bagian rencana-Nya, yang pusatnya adalah
undangan untuk mengambil bagian, dalam Kristus, dalam hidup ilahi. Ciptaan lahir
dari Logos dan secara tak terhapuskan membawa jejak Akal budi kreatif yang
memerintah dan membimbingnya; dengan kepastian yang penuh sukacita mazmur
menyanyikan “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari
mulut-Nya segala
tentaranya” (Mzm. 33:6), dan lagi “Dia berfirman, maka
semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (33:9). Segala kenyataan mengungkapkan misteri ini:
“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan
tanganNya”(Mzm. 19:1). Demikianlah, Kitab Suci sendiri mengundang kita untuk
mengakui Sang Pencipta dengan merenungkan ciptaan-Nya (bdk. Keb. 13:5; Rm.
1:19-20). Tradisi pemikiran Kristiani telah mengembangkan unsur kunci dari
simfoni Sabda, seperti ketika, misalnya, Santo Bonaventura, yang melihat dalam
tradisi besar Bapa-bapa Yunani, semua kemungkinan ciptaan berada dalam Logos,
menyatakan bahwa “setiap ciptaan adalah Sabda Allah, karena mewartakan Allah.”
Konstitusi Dogmatis Dei Verbum meringkas
hal-hal ini ketika menulis bahwa “Allah, yang menciptakan segala sesuatu
melalui Firman-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk
senantiasa memberi kesaksian tentang diri-Nya.”
Penciptaan manusia
9. Maka, realitas lahir dari Sabda sebagai creatura Verbi,
dan segala sesuatu dipanggil untuk melayani Sabda. Penciptaan adalah tempat yang di dalamnya seluruh sejarah kasih
antara Allah dan ciptaanNya berkembang; karenanya keselamatan manusia adalah
alasan yang mendasari segala
sesuatu. Dengan merenungkan alam semesta dari perspektif sejarah keselamatan,
kita dibawa kepada kesadaran akan posisi yang unik dan satu-satunya yang
ditempati manusia dalam ciptaan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka.”(Kej. 1:27). Ini memungkinkan kita untuk mengakui secara
penuh karunia sangat berharga yang diterima dari Pencipta: nilai tubuh kita,
karunia akal budi, kebebasan dan suara hati. Di sini kita juga menemukan apa yang
oleh tradisi filosofis disebut “hukum kodrat.” Karenanya, “setiap makhluk
manusia, yang mencapai kesadaran dan tanggung jawab, harus mengalami panggilan
batiniah untuk melakukan kebaikan,” dan dengan demikian menghindari kejahatan.
Seperti dikatakan Santo Thomas Aquinas, prinsip ini adalah dasar dari segala
aturan lain dari hukum kodrat. Mendengarkan Sabda Allah membimbing kita
terutama untuk menghargai perlunya hidup sesuai dengan hukum “yang tertulis
pada hati manusia” (bdk. Rm. 2:15;7:23).29 Kemudian, Yesus Kristus memberi
kepada umat manusia hukum baru, hukum Injil, yang menerima dan secara istimewa
memenuhi hukum kodrat, dengan membebaskan kita dari hukum dosa, sebagai akibat
dari apa, seperti dikatakan Santo Paulus: “kehendak memang ada di dalam aku,
tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” (Rm. 7:18). Hukum baru itu juga
memampukan manusia, berkat kasih karunia, untuk mengambil bagian dalam hidup
ilahi dan untuk mengalahkan egoisme mereka.
Realisme Sabda
10. Mereka yang mengenal Sabda Allah juga mengenal makna penuh
dari tiap-tiap ciptaan. Sebab jika semua hal “ada” dalam Dia yang ada “terlebih dahulu dari segala
sesuatu” (bdk. Kol. 1:17), mereka yang membangun hidup mereka pada Sabda-Nya
membangun dalam cara yangsungguh sehat dan abadi. Sabda Allah membuat kita
mengubah pemahaman kita mengenai realisme: seorang realis adalah seseorang yang
mengakui dalam Sabda Allah dasar dari segala sesuatu. Realisme ini terutama
diperlukan di zaman kita, ketika banyak hal yang kita percayai untuk membangun
hidup kita, hal-hal yang menggoda kita untuk menaruh pengharapan kita, terbukti
bersifat fana. Kepemilikan, kesenangan dan kekuasaan menunjukkan, cepat atau
lambat, ketidakmampuan memenuhi dambaan terdalam hati manusia. Dalam membangun hidup,
kita memerlukan dasar yang kokoh dan yang akan bertahan bila
kepastian-kepastian manusiawi tak berhasil. Memang, karena “untuk
selama-lamanya, ya Tuhan, Firman-Mu tetap teguh di surga” dan “kesetiaan-Mu
dari keturunan ke keturunan” (Mzm. 119:89-90), siapapun yang membangun di atas
Firman ini membangun rumah kehidupannya di atas batu karang (bdk. Mat. 7:24).
Semoga hatiku dapat mengatakan kepada Allah setiap hari “Engkaulah persembunyianku
dan perisaiku, aku berharap kepada firman-Mu” (Mzm. 119:114), dan, seperti
Santo Petrus, semoga kita mempercayakan tindakan kita sehari-hari kepada Tuhan
Yesus: “karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5:5).
Kristologi Sabda
11. Dari penglihatan sekilas atas segala realitas sebagai
karya Tritunggal Mahakudus melalui Sabda ilahi, kita dapat memahami pernyataan
yang dibuat oleh penulis Surat Ibrani: “Pada zaman dahulu Allah berulang kali
dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan
nabi-nabi, maka pada zaman akhir Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai orang yang berhak menerima
segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (1:1-2). Sangat
indah untuk melihat bagaimana seluruh Perjanjian Lama sudah nampak bagi kita
sebagai sejarah yang di dalamnya Allah mengomunikasikan Sabda-Nya:
sesungguhnya, “setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham (bdk. Kej. 15:18),
dan dengan bangsa Israel melalui Musa (bdk. Kel. 24:8), dengan sabda maupun
karya-Nya Ia mewahyukan Diri kepada umat yang diperoleh-Nya itu sebagai
satu-satunya Allah yang benar dan hidup sedemikian rupa, sehingga Israel
mengetahui jalan-jalan Allah
dengan manusia. Dan ketika Allah bersabda melalui para Nabi, Israel semakin
mendalam dan jelas memahami itu, dan membuat mereka semakin dikenal luas di
antara para bangsa (bdk. Mzm. 21:28-29; 95:1-3; Yes. 2:1-4; Yer. 3:17).”
“Perendahan diri” Allah ini digenapi dengan cara tak
tertandingi dalam inkarnasi Sabda. Sabda kekal, yang dinyatakan dalam ciptaan
dan dikomunikasikan dalam sejarah penyelamatan, dalam Kristus menjadi
manusia,“lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Di sini Sabda menemukan
pengungkapan-Nya tidak pertama-tama dalam perkataan, konsep atau aturan-aturan.
Di sini kita dihadapkan pada pribadi Yesus. Sejarah-Nya yang unik dan
satu-satunya adalah Sabda definitif yang diucapkan Allah kepada manusia. Maka kita
dapat melihat, mengapa “permulaan hidup kristiani bukanlah keputusan etis atau
suatu gagasan besar, melainkan perjumpaan dengan suatu peristiwa, seorang
Pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah
yang menentukan.” Pembaruan terus-menerus dari perjumpaan dan kesadaran ini
memenuhi hati umat beriman dengan kekaguman akan prakarsa Allah, yang kita umat
manusia, dengan akal budi dan imajinasi kita sendiri, tidak pernah dapat
memimpikannya. Kita berbicara mengenai kebaruan yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan yang tak terpahami secara manusiawi: “Firman menjadi manusia dan
tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14a). Kata-kata ini bukan kata kiasan; namun
menunjuk kepada pengalaman hidup! Santo Yohanes, seorang saksi, mengatakan
kepada kita demikian: “dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan
yang diberikan
kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh.
1:14b). Iman rasuli memberi kesaksian bahwa Firman abadi menjadi salah seorang
dari kita. Firman ilahi sungguh diungkapkan dalam kata-kata manusia.
12. Tradisi para patristik dan abad pertengahan, dalam merenungkan
“Kristologi Sabda” ini, menggunakan ungkapan yang mengesankan: Sabda
“dipersingkat”. “Para Bapa Gereja menemukan dalam terjemahan Perjanjian Lama
dalam bahasa Yunani suatu kata dari nabi Yesaya yang juga dikutip Santo Paulus
untuk menunjukkan bagaimana jalan-jalan baru Allah sudah dinubuatkan dalam
Perjanjian Lama. Di situ kita baca:‘Tuhan mempersingkat Firman-Nya, Ia
menyingkatnya’ (Yes. 10:23; Rm. 9:28). Putra sendiri adalah Sabda, Logos: Sabda
kekal menjadi kecil – cukup kecil sehingga menyesuaikan dengan palungan. Ia
menjadi seorang anak kecil, sehingga Sabda dapat kita gapai.” Sekarang Sabda tidak
hanya dapat didengar, tidak hanya memiliki suara, sekarang Sabda mempunyai
wajah, yang dapat kita lihat: yaitu Yesus dari Nazaret.
Dengan membaca cerita Injil, kita melihat bagaimana
kemanusiaan Yesus sendiri nampak dalam segala keistimewaan-Nya persis berkaitan dengan Sabda Allah. Dalam
kemanusiaan-Nya yang sempurna Ia waktu demi waktu melakukan kehendak Bapa;
Yesus mendengar suara-Nya dan menaati-Nya dengan seluruh diri-Nya; Ia mengenal
Bapa dan Ia menaati firman-Nya (bdk. Yoh. 8:55); Ia berbicara kepada kita
mengenai apa yang telah dikatakan Bapa kepada-Nya (bdk. Yoh. 12:50); “Segala
firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku telah Kusampaikan kepada mereka” (Yoh.
17:8). Demikianlah, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah Logos ilahi yang diberikan
kepada kita, tetapi pada saat yang sama Adam yang baru, Manusia sejati, yang
setiap saat bukan melakukan kehendak-Nya sendiri, tetapi kehendak Bapa. Ia
“makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin
dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk. 2:52). Secara sempurna Ia mendengar, mewujudkan
dan mengomunikasikan kepada kita Firman Allah (bdk. Luk. 5:1).
Perutusan Yesus pada akhirnya digenapi dalam misteri paskah:
di sini kita berhadapan dengan “Sabda tentang salib” (1Kor. 1:18). Sabda
membisu; menjadi sunyi senyap, karena telah “diucapkan” secara tuntas, tak
menahan apa pun yang harus Ia sampaikan kepada kita. Para Bapa Gereja, dalam
merenungkan misteri ini, menempatkan ke dalam mulut Bunda Allah ucapan yang
menyentuh ini: “Tanpa katalah Sabda Bapa, yang membuat setiap makhluk yang
berbicara; tanpa kehidupanlah mata dari dia yang kepada perkataan dan
anggukannya segala yang hidup bergerak ”.
Di sini kasih yang “lebih besar,” kasih yang memberikan hidupnya bagi
sahabat-sahabatnya (lih. Yoh. 15:13), sungguh dibagikan kepada kita.
Dalam misteri agung ini Yesus dinyatakan sebagai Sabda
Perjanjian yang Baru dan Kekal: kebebasan ilahi dan kebebasan manusiawi telah
bertemu secara definitif dalam tubuh-Nya yang disalibkan, dalam suatu kesatuan
yang tak terpisahkan dan berlangsung kekal. Yesus sendiri, pada Perjamuan
Terakhir, dalam mengadakan Ekaristi, telah berbicara mengenai suatu “perjanjian
yang baru dan kekal” dalam mencurahkan darah-Nya (bdk. Mat. 26:28; Mrk. 14:24;
Luk. 22:20), dan memperlihatkan diri-Nya sebagai Anak Domba yang sungguh
dikurbankan yang memberikan pembebasan kita yang definitif dari perbudakan.
Dalam misteri paling cemerlang kebangkitan, sikap diam dari Sabda
diperlihatkan dalam maknanya yang paling autentik dan definitif. Kristus, Sabda
Allah yang menjelma, disalibkan dan bangkit, adalah Tuhan segala sesuatu; Ia
adalah Sang Pemenang, Pantocrator, dan dengan demikian segala sesuatu untuk
selamanya dikumpulkan dalam diri-Nya (bdk. Ef. 1:10). Maka Kristus adalah “terang
dunia” (Yoh. 8:12), terang yang “bercahaya dalam kegelapan” (Yoh. 1:5) yang tak
terkalahkan oleh kegelapan (bdk. Yoh. 1:5). Di sini kita dapat memahami
sepenuhnya makna dari kata-kata Mazmur 119: “Firman-Mu adalah pelita bagi
kakiku dan terang bagi jalanku” (ay 105); Firman yang bangkit adalah cahaya definitif
bagi jalan kita. Sejak permulaan, orang-orang Kristiani menyadari bahwa dalam
Kristus Firman Allah hadir sebagai seorang pribadi. Firman Allah adalah terang
sejati yang diperlukan manusia. Dalam kebangkitan, Anak Allah sungguh-sungguh
muncul sebagai terang dunia. Sekarang, dengan hidup bersama dengan Diadan di
dalam Dia, kita dapat hidup dalam terang.
13. Di sini, bisa dikatakan pada inti “Kristologi Sabda”,
pentinglah untuk menekankan kesatuan rencana ilahi dalam Firman yang menjadi
manusia: maka, Perjanjian Baru menghadirkan misteri Paskah dalam kesesuaian
dengan Kitab Suci dan sebagai pemenuhannya yang terdalam. Santo Paulus, dalam
Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus, mengatakan bahwa Yesus Kristus mati untuk
dosa-dosa kita “sesuai dengan Kitab Suci” (15:3) dan bahwa Ia bangkit pada hari
ketiga “sesuai dengan Kitab Suci” (15:4). Demikianlah, Rasul menghubungkan
peristiwa kematian Tuhan dan kebangkitan-Nya dengan sejarah Perjanjian Lama
Allah dengan umat-Nya. Tentu saja, ia
memperlihatkan kepada kita bahwa dari peristiwa itu sejarah menerima logika
batinnya dan makna sejatinya. Dalam misteri Paskah “kata-kata Kitab Suci”
terpenuhi; dengan kata lain, kematian ini yang terjadi “sesuai dengan Kitab Suci”
adalah suatu peristiwa yang berisi logos, suatu logika batin: kematian Kristus
memberi kesaksian bahwa Firman Allah menjadi sepenuhnya “daging” manusiawi,
“sejarah” manusia. Begitu juga, kebangkitan Yesus terjadi “pada hari ketiga
sesuai dengan Kitab Suci”: karena menurutkeyakinan Yahudi bahwa kehancuran
terjadi sesudah hari ketiga, maka kata-kata Kitab Suci terpenuhi dalam Yesus
yang bangkit tanpa kehancuran. Demikianlah Santo Paulus, yang dengan setia
meneruskan ajaran para Rasul (bdk. 1Kor. 15:3), menekankan bahwa kemenangan
Kristus atas maut terjadi melalui kekuatan kreatif dari Firman Allah. Kekuatan
ilahi ini memberikan pengharapan dan kegembiraan: singkat kata, ini adalah isi
wahyu Paskah yang membebaskan.
Pada waktu Paskah, Allah menyatakan diri-Nya dan kekuatan kasih Tritunggal yang
menghancurkan dayadaya perusak dari kejahatan dan kematian.
Dengan mengingat kembali unsur-unsur hakiki iman kita, kita dapat
merenungkan kesatuan mendalam dalam Kristus antara penciptaan, penciptaan baru
dan seluruh sejarah keselamatan. Sebagai contoh, kita dapat membandingkan alam
semesta dengan sebuah “buku” – Galileo sendiri menggunakan contoh ini – dan memandangnya
sebagai “karya dari seorang pengarang yang mengungkapkan diri melalui ‘simfoni’
ciptaan. Dalam simfoni ini, pada titik tertentu, orang menemukan, apa yang
disebut dalam istilah musik ‘solo’, sebuah tema yang dipercayakan kepada sebuah
alat atau suara tunggal yang begitu penting sehingga makna dari seluruh karya
tergantung padanya. ‘Solo’ ini adalah Yesus… Anak Manusia yang merangkum dalam
diri-Nya, bumi dan langit, ciptaan dan Pencipta, daging dan Roh. Ia adalah
pusat dari alam semesta dan sejarah, karena dalam diri-Nya bertemu tanpa
tercampur Sang Pengarang dan
karya-Nya.”
Dimensi eskatologis Sabda Allah
14. Dalam semua ini, Gereja mengungkapkan kesadarannya bahwa
bersama Yesus Kristus ia berdiri di hadapan Sabda Allah yang definitif: Ia
adalah “yang pertama dan yang terakhir” (Why. 1:17). Ia memberikan kepada
ciptaan dan sejarah maknanya yang definitif dan karena itu kita dipanggil untuk
hidup dalam waktu dan dalam ciptaan Allah di dalam irama eskatologis Sabda.
“Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak akan
pernah berlalu; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang
baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya
(lih. 1Tim. 6:14 dan Tit. 2:13).”41 Tentu saja, seperti diingatkan oleh para
Bapa selama Sinode, “keunikan kekristenan ditampilkan dalam peristiwa yang adalah
Yesus Kristus, puncak dari pewahyuan, pemenuhan janji-janji Allah dan pengantara perjumpaan
antara manusia dan Allah.
Ia yang ‘telah menyatakan Allah’ (Yoh. 1:18) adalah Dia,
Sabda definitif yang diberikan
kepada umat manusia.” Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan kebenaran ini
dengan bagus: “Karena Ia telah menganugerahkan Anak-Nya kepada kita,
satu-satunya Sabda-Nya (karena Ia
tidak memiliki yang lain), Ia mengucapkan segalanya sekali saja dalam satu
Firman itu – dan Ia tidak mengucapkan apa-apa lagi… karena apa yang telah Ia
katakan sebelumnya kepada para nabi sebagian, telah dikatakan-Nya semua sekaligus dengan memberikan kepada kita Semua
yang adalah Anak-Nya. Oleh karena itu, setiap orang yang mempertanyakan Allah
atau menginginkan beberapa penampakan atau pewahyuan akan merasa bersalah,
bukan hanya karena sikapnya yang bodoh tetapi juga menghina Dia, dengan tidak
memusatkan pandangannya seluruhnya kepada Kristus dan dengan hidup disertai keinginan
akan suatu kebaruan yang lain.”
Sebagai konsekuensinya Sinode menunjukkan perlunya “membantu
umat beriman untuk membedakan Sabda Allah dari wahyuwahyu privat”, yang
peranannya “bukanlah untuk ‘melengkapi’ wahyu Kristus yang definitif, melainkan
untuk membantu menghayatinya lebih penuh dalam satu periode sejarah tertentu.”
Nilai dari wahyu-wahyu privat secara hakiki berbeda dari wahyu umum;
wahyu umum menuntut iman; di dalamnya Allah sendiri
berbicara kepada kita melalui kata-kata manusiawi dan dengan perantaraan komunitas
yang hidup dari Gereja. Kriteria untuk menilai kebenaran wahyu privat adalah
orientasinya kepada Kristus sendiri. Jika wahyu itu menjauhkan kita dari
pada-Nya, maka itu jelas tidak berasal dari Roh Kudus, yang membimbing kita
lebih dalam kepada Injil, dan tidak menjauh dari padanya. Wahyu privat
merupakan bantuan terhadap iman ini, dan itu menunjukkan kredibilitasnya justru
karena itu menunjuk kembali kepada suatu wahyu umum. Persetujuan gerejawi atas
wahyu privat menunjukkan secara hakiki bahwa isi pesannya bukan sesuatu yang
berlawanan dengan iman dan moral; diizinkanlah untuk diumumkan dan umat beriman
diperbolehkan untuk memberikan persetujuannya yang bijaksana. Sebuah wahyu
privat dapat memperkenalkan penekanan baru, membangkitkan bentuk-bentuk
kesalehan yang baru, atau memperdalam yang lama. Itu dapat mempunyai sifat
kenabian tertentu (bdk. 1Tes 5:19-21) dan dapat menjadi bantuan berharga untuk memahami
secara lebih baik dan menghayati Injil pada suatu waktu tertentu; karenanya hal
itu hendaknya jangan dianggap remeh. Wahyu privat itu merupakan suatu bantuan
yang memajukan, tetapi penggunaannya tidak diharuskan. Dalam hal apa pun,
pewahyuan itu harus menjadi persoalan pengembangan iman, harapan dan kasih,
yang bagi setiap orang merupakan jalan tetap kepada keselamatan.
Sabda Allah dan Roh Kudus
15. Sesudah merenungkan mengenai Sabda Allah yang terakhir
dan definitif kepada dunia, kita sekarang perlu menyebut mengenai perutusan Roh
Kudus dalam hubungan dengan Sabda ilahi. Pada kenyataannya, tidak akan ada
pemahaman autentik wahyu kristiani yang terpisah dari kegiatan Sang Penghibur.
Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa komunikasi pribadi Allah selalu melibatkan
relasi Putra dan Roh Kudus, yang oleh Ireneus dari Lyon disebut sebagai “kedua
tangan Bapa.” Kitab Suci sendiri berbicara mengenai kehadiran Roh Kudus dalam
sejarah keselamatan dan khususnya dalam kehidupan Yesus: Ia dikandung oleh
Perawan Maria melalui kuasa Roh
Kudus (bdk. Mat. 1:18; Luk. 1:35); pada permulaan karya-Nya di hadapan umum, di
pinggir Sungai Yordan, Ia melihat Roh Kudus turun ke atas-Nya dalam bentuk
seekor merpati (bdk. Mat. 3:16); dalam Roh yang sama Yesus bertindak, berbicara
dan bergembira (bdk. Luk. 10:21); dan dalam Roh Ia menyerahkan diriNya (bdk.
Ibr 9:14). Ketika perutusan-Nya mendekati akhir, menurut kisah Santo Yohanes,
Yesus dengan jelas menghubungkan pemberian hidup-Nya dengan pengutusan Roh ke
atas mereka yang menjadi milik-Nya (bdk. Yoh. 16:7). Yesus yang bangkit, dengan
mengenakan pada tubuh-Nya tanda-tanda kesengsaraan, kemudian mencurahkan Roh
(bdk. Yoh. 20:22), dengan mengikutsertakan para murid-Nya dalam perutusan-Nya
sendiri (bdk. Yoh. 20:21). Roh Kudus akan mengajarkan kepada semua murid-Nya
segala sesuatu dan mengingatkan mereka semua yang telah dikatakan Kristus (bdk.
Yoh. 14:26), karena Ia, Roh Kebenaran (bdk. Yoh. 15:26) akan membimbing para
murid ke dalam seluruh kebenaran (bdk. Yoh. 16:13). Akhirnya, dalam Kisah Para
Rasul kita membaca bahwa Roh turun kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul dalam
doa bersama Maria pada hari Pentakosta (bdk. 2:1-4), dan mendorong mereka untuk
menjalankan perutusan mewartakan Kabar Gembira kepada semua orang.
Demikianlah, Sabda Allah diungkapkan dalam bahasa manusia berkat
karya Roh Kudus. Perutusan Putra dan Roh Kudus tak terpisahkan dan membentuk satu-satunya
ekonomi keselamatan. Roh yang sama yang bertindak dalam penjelmaan Sabda dalam rahim
Perawan Maria adalah Roh yang membimbing Yesus selama perutusan-Nya dan yang
dijanjikan kepada para murid. Roh yang sama yang telah berbicara melalui para nabi
mendukung dan mengilhami Gereja dalam tugasnya untuk mewartakan Sabda Allah dan
dalam pewartaan para Rasul; akhirnya, Roh itulah yang mengilhami para penulisKitab Suci.
16. Menyadari cakrawala pneumatologis ini, para Bapa Sinode menyoroti
pentingnya karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja dan dalam hati umat beriman
dalam kaitan dengan Kitab Suci: tanpa
karya yang berdaya guna dari “Roh Kebenaran” (Yoh. 14:16), Sabda Tuhan tidak
dapat dipahami. Seperti dikatakan Santo Ireneus: “Mereka yang tidak mengambil
bagian dalam Roh tidak akan mengambil dari dada ibu mereka (Gereja) makanan
kehidupan; mereka tidak menerima apa-apa dari mata air paling murni yang
mengalir dari tubuh Kristus.” Seperti Sabda Allah sampai kepada kita dalam
tubuh Kristus, di dalam tubuh Ekaristis dan dalam tubuh Kitab Suci, melalui
karya Roh Kudus, demikian juga Sabda itu bisa sungguh diterima dan dipahami
hanya melalui Roh yang sama.
Para penulis besar dari tradisi Kristiani secara serempak
berbicara mengenai tempat Roh Kudus dalam hubungan yang harus dimiliki kaum
beriman dengan Kitab Suci. Santo Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa Kitab
Suci “memerlukan pewahyuan Roh, sehingga dengan menemukan makna sejati dari
segala hal yang termasuk di dalamnya, kita dapat memanen hasil-hasil yang melimpah.”
Santo Hieronimus juga sangat yakin bahwa “kita tidak dapat memahami Kitab Suci
tanpa bantuan Roh Kudus yang mengilhaminya.” Santo Gregorius Agung dengan bagus
menekankan karya Roh dalam pembentukan dan penafsiran Alkitab: “Ia sendiri
menciptakan kata-kata dari Perjanjian Kudus, Ia sendiri menyatakan maknanya.”
Richard dari Saint Victor menunjukkan bahwa kita memerlukan “mata burung dara”,
yang diterangi dan diajar oleh Roh, supaya memahami teks-teks suci.
Di sini juga saya
ingin menekankan kesaksian yang sungguh penting tentang hubungan antara Roh
Kudus dan Kitab Suci yang kita temukan dalam teks-teks liturgi, di mana Sabda
Allah diwartakan, diperdengarkan dan diterangkan kepada umat beriman. Kita
menemukan kesaksian mengenai hal ini dalam doa-doa kuno yang dalam bentuk
epiklese berseru kepada Roh sebelum pewartaan bacaan: “Utuslah Roh Penghibur-Mu
ke dalam hati kami dan buatlah kami memahami Kitab Suci yang diilhami-Nya, dan anugerahkanlah
kepada kami sehingga layak menafsirkannya secara tepat, sehingga kaum beriman
yang berkumpul di sini dapat mengambil manfaat karenanya.” Kita juga menemukan
doa, yang pada akhir homili, lagi-lagi memohon Allah untuk mengirimkan karunia
Roh ke atas kaum beriman: “Tuhan, Penyelamat kami… kami mohon kepada-Mu bagi
umat ini: utuslah kepada mereka Roh Kudus, semoga Tuhan Yesus datang
mengunjungi mereka, berbicara kepada pikiran semua, mengarahkan hati mereka
kepada iman dan membimbing jiwa kami kepada-Mu, Allah belas kasih.”Ini
menjelaskan bahwa kita tidak dapat memahami makna Sabda, kecuali kita terbuka
pada karya Sang Penghibur dalam Gereja dan di dalam hati kaum beriman.
Tradisi dan Kitab Suci
17. Dalam menegaskan lagi hubungan mendalam antara Roh Kudus
dan Sabda Allah, kita juga telah meletakkan dasar untuk memahami makna dan
nilai menentukan dari Tradisi yang hidup dan Kitab Suci dalam Gereja. Sungguh,
karena “begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal” (Yoh. 3:16), Sabda ilahi yang diucapkan
dalam waktu, telah diberikan dan “diserahkan” kepada Gereja secara yang definitif,
sehingga pewartaan keselamatan dapat dikomunikasikan secara efektif di setiap
waktu dan tempat. Seperti diingatkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Verbum kepada
kita, Yesus Kristus sendiri “telah memerintahkan kepada para Rasul, supaya
Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya
serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai
sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan
dengan demikian dibagikan karunia-karunia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia
oleh Para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta
penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut,
pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus
telah mereka pelajari.”
Konsili Vatikan Kedua juga menegaskan bahwa Tradisi yang berasal
dari para rasul ini adalah realitas yang hidup dan dinamis: ini “berkat bantuan
Roh Kudus berkembang dalam Gereja”; namun tidak dalam arti bahwa itu mengubah
dalam kebenarannya, yang adalah kekal. Melainkan, “berkembanglah pengertian
tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan,” melalui permenungan
dan studi, dengan pemahaman yang diberikan oleh pengalaman spiritual yang lebih
dalam dan oleh “pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup
telah menerima karisma kebenaran yang pasti.”
Tradisi yang hidup sangat penting untuk memungkinkan Gereja berkembang
sepanjang waktu dalam memahami kebenaran yang diwahyukan dalam Kitab Suci;
tentu saja, “berkat Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci
selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara lebih
mendalam. Akhirnya, itu adalah Tradisi Gereja yang hidup yang membuat
kita memahami dengan tepat Kitab Suci sebagai Sabda Allah. Meskipun Sabda Allah
mendahului dan mengatasi Kitab Suci, namun Kitab Suci, karena diilhami oleh
Allah, berisi Sabda ilahi (bdk. 2Tim 3:16) “dengan secara menyeluruh dan
istimewa.”
18. Kemudian, kita melihat dengan jelas, betapa pentingnya
bagi Umat Allah untuk dididik secara benar dan dilatih untuk mendekati Kitab
Suci dalam hubungan dengan Tradisi hidup dari Gereja, dan untuk mengenal di
dalamnya Sabda Allah yang sesungguhnya. Mengembangkan pendekatan demikian itu
dalam umat beriman sangat penting dari segi kehidupan rohani. Di sini mungkin
dapat membantu mengingat analogi yang dibuat oleh para Bapa Gereja antara Sabda
Allah yang menjadi “daging” dan Sabda yang menjadi “kitab”. Konstitusi Dogmatis
Dei Verbum mengangkat tradisi kuno ini yang menegaskan, seperti dikatakan Santo
Ambrosius, bahwa “tubuh dari Putra adalah Kitab Suci yang telah kita terima,”
dan menjelaskan bahwa “Sabda Allah, yang diungkapkan dalam bahasa manusia,
dalam segala cara adalah seperti pembicaraan manusia, sama seperti Sabda dari
Bapa yang kekal, ketika Ia menerima seluruh kelemahan kodrat manusia, menjadi
seperti mereka.” Jika dipahami demikian, Kitab Suci menghadirkan diri kepada
kita, dalam berbagai macam bentuk dan isi, sebagai satu-satunya realitas. Tentu
saja, “melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya mengatakan satu kata:
Firman-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia Ia mengungkapkan Diri seutuhnya (bdk.
Ibr 1:1-3).” Santo Agustinus telah menyatakan dengan jelas: “Ingatlah bahwa
hanya satu ucapan Allah yang terbentang dalam semua Kitab Suci, dan satu-satunya
adalah Firman yang menggema dalam mulut dari semua penulis suci.”
Dengan singkat, oleh karya Roh Kudus dan di bawah bimbingan Magisterium,
Gereja menyampaikan kepada setiap generasi semua yang telah diwahyukan dalam
Kristus. Gereja hidup dalam kepastian bahwa Tuhannya, yang berbicara di masa
lampau, pada hari ini terus mengomunikasikan Sabda-Nya dalam Tradisinya yang
hidup dan dalam Kitab Suci. Sungguh, Sabda Allah telah diberikan kepada kita
dalam Kitab Suci sebagai kesaksian yang diilhami tentang Pewahyuan; bersama
dengan Tradisi Gereja yang hidup, Kitab Suci merupakan aturan tertinggi dari
iman.
Kitab Suci, Inspirasi dan Kebenaran
19. Konsep kunci untuk memahami teks suci sebagai Sabda
Allah dalam kata-kata manusia tentu saja adalah inspirasi. Di sini kita juga
dapat mengemukakan sebuah analogi: karena Sabda Allah menjadi manusia oleh
kuasa Roh Kudus dalam rahim Perawan Maria, demikianlah Kitab Suci lahir dari
rahim Gereja oleh kuasa Roh Kudus yang sama. Kitab Suci adalah “Sabda Allah
sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.” Dengan cara demikian, orang mengakui
sungguh pentingnya penulis manusiawi yang menulis teks yang diilhami dan, pada saat yang sama,
Allah sendiri sebagai penulis sejati.
Seperti ditegaskan para Bapa Sinode, tema inspirasi jelas
menentukan bagi pendekatan yang memadai terhadap Kitab Suci dan penafsirannya
yang benar, yang sebagiannya dilaksanakan oleh Roh yang sama yang di dalam-Nya
teks-teks suci dituliskan. Apabila
kesadaran kita mengenai inspirasinya menjadi lemah, kita berisiko membaca Kitab
Suci sebagai objek keingintahuan historis dan bukan sebagai karya Roh Kudus di mana kita dapat mendengar Tuhan
sendiri berbicara dan mengakui kehadiran-Nya dalam sejarah.
Para Bapa Sinode juga menekankan hubungan antara tema inspirasi
dan tema kebenaran Kitab Suci. Suatu studi yang lebih mendalam mengenai proses
inspirasi tak diragukan lagi akan mengantar kepada pemahaman yang lebih besar
mengenai kebenaran yang terdapat dalam buku-buku suci. Seperti ditegaskan ajaran
Konsili dalam hal ini, buku-buku yang diinspirasikan mengajarkan kebenaran:
“oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang
yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan
Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh
dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. Oleh karena
itu,‘seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar,
meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi
sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik’ (2Tim 3:16-17 Yun).”
Tentu saja, refleksi teologis selalu memandang inspirasi dan
kebenaran sebagai dua konsep kunci bagi hermeneutik gerejawi dari Kitab Suci.
Meskipun demikian, orang harus mengakui kebutuhan saat ini akan suatu studi
yang lebih lengkap dan lebih memadai mengenai kenyataan-kenyataan ini, supaya
dapat menanggapi dengan lebih baik perlunya menafsirkan teks-teks suci sesuai
dengan hakikatnya. Di sini saya ingin mengungkapkan harapan kuat saya supaya
riset di bidang ini akan mengalami kemajuan dan menghasilkan buah, baik bagi
ilmu tentang Alkitab maupun bagi kehidupan rohani kaum beriman.
Allah Bapa, sumber dan asal-usul Sabda
20. Ekonomi keselamatan bermula dan berasal dalam Allah
Bapa. Oleh Sabda-Nya “langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala
tentaranya” (Mzm. 33:6). Dialah yang telah memberikan kepada kita “terang-Nya
bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan
tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2Kor. 4:6; bdk. Mat.
16:17; Luk. 9:29).
Dalam Putra, “Logos menjadi manusia” (bdk. Yoh. 1:14), yang datang
untuk memenuhi kehendak dari Dia yang mengutus-Nya (bdk. Yoh. 4:34), Allah,
sumber pewahyuan, mengungkapkan diriNya sebagai Bapa dan membawa pedagogi ilahi
kepada kepenuhannya yang sebelumnya telah dilaksanakan melalui kata-kata para
nabi dan perbuatan-perbuatan mengagumkan yang dilaksanakan dalam ciptaan dan
dalam sejarah umat-Nya dan seluruh umat manusia. Pewahyuan Allah Bapa berpuncak
pada karunia Sang Penghibur oleh Putra
(bdk. Yoh. 14:16), Roh dari Bapa dan Putra, yang membimbing kita “ke dalam
seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13).
Semua janji Allah memperoleh “ya”-nya dalam Yesus Kristus
(bdk. 2Kor. 1:20). Dengan demikian manusia dimungkinkan untuk menyiapkan jalan
menuju kepada Bapa (bdk. Yoh. 14:6), supaya pada akhirnya “Allah menjadi semua
di dalam semua” (1Kor. 15:28).
21. Seperti ditunjukkan oleh salib Kristus, Allah juga
berbicara melalui sikap diam-Nya. Diamnya Allah, pengalaman berjauhan dari Bapa
yang Mahakuasa, adalah tahap yang menentukan dalam perjalanan duniawi Putra
Allah, Sabda yang menjadi manusia. Dengan tergantung pada kayu salib, Ia
meratapi penderitaan yang disebabkan oleh sikap diam itu: “Allah-Ku, Allah-Ku,
mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:4; Mat. 27:46). Maju dalam ketaatan
sampai nafas terakhir-Nya, dalam kegelapan kematian, Yesus memanggil Bapa. Ia
menyerahkan diri-Nya kepada-Nya pada saat perjalanan, melalui kematian, kepada
kehidupan kekal: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk.
23:46).
Pengalaman Yesus ini mencerminkan situasi semua orang yang, sesudah
mendengarkan dan mengakui Sabda Allah, harus juga menghadapi sikap diam-Nya
ini. Ini juga menjadi pengalaman para kudus juga para mistikus yang tak
terhitung jumlahnya, dan bahkan sekarang ini merupakan bagian dari perjalanan
banyak umat beriman. Sikap diam Allah memperpanjang kata-kata-Nya yang terdahulu.
Dalam saat-saat kegelapan, Ia berbicara melalui misteri sikap diam-Nya. Maka
dari itu, dalam dinamika wahyu Kristiani, sikap diam nampak sebagai ungkapan
penting dari Sabda Allah.
Jawaban Kita
Kepada Allah yang Berbicara
Dipanggil untuk mengadakan perjanjian dengan Allah
22. Dengan menekankan banyak bentuk dari Sabda, kita mampu merenungkan
sejumlah cara di mana Allah berbicara dan menjumpai manusia, memperkenalkan
diri-Nya dalam dialog. Jelaslah, seperti ditegaskan para Bapa Sinode, “dialog,
bila kita berbicara mengenai wahyu, memerlukan keunggulan Sabda Allah yang ditujukan
kepada manusia.” Misteri Perjanjian menjelaskan hubungan ini antara Allah yang
memanggil manusia dengan SabdaNya, dan manusia yang menjawab, sekalipun
menjelaskan bahwa ini bukan masalah suatu pertemuan dengan dua pihak; apa yang kita
sebut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bukanlah kesepakatan antara dua pihak
yang setara, melainkan murni karunia Allah. Oleh karunia kasih-Nya Allah
menjembatani setiap jarak dan sungguh membuat kita “partner”-Nya, untuk
mewujudkan misteri perkawinan dari kasih antara Kristus dan Gereja. Dalam
pandangan ini setiap orang tampil sebagai seseorang yang kepadanya Sabda berbicara, menantang dan memanggil
untuk masuk ke dalam dialog kasih melalui jawaban bebas. Jadi, masing-masing
dari kita dimampukan oleh Allah untuk mendengar dan menjawab Sabda-Nya. Kita
diciptakan dalam Sabda dan kita hidup dalam Sabda, kita tidak dapat memahami
diri kita sendiri kecuali jika kita terbuka terhadap dialog ini. Sabda Allah
membuka hakikat keputraan dan relasional hidup
manusia. Kita sungguh dipanggil oleh kasih karunia untuk diserupakan dengan
Kristus, Anak Bapa, dan diubah dalam diriNya. Allah mendengarkan kita dan menjawab pertanyaan kita
23. Dalam dialog dengan Allah ini kita menjadi mengerti akan
diri kita dan kita menemukan jawaban atas pertanyaan hati kita yang terdalam.
Sesungguhnya, Sabda Allah tidak bertentangan dengan kita; ia tidak melumpuhkan
keinginan autentik kita, melainkan menyinarinya, memurnikannya dan mengantarnya
mencapai kepenuhannya. Betapa penting bagi masa kita untuk menemukan bahwa
hanya Allah menjawab kerinduan yang ada dalam hati setiap orang! Betapa sedih
mengatakan, pada zaman kita, dan di dunia Barat, ada pandangan yang tersebar
luas bahwa Allah berada di luar kehidupan dan problem manusia, dan bahwa
kehadiran-Nya bisa menjadi ancaman bagi otonomi manusia. Sekalipun demikian, seluruh
ekonomi keselamatan menunjukkan bahwa Allah berbicara dan bertindak dalam
sejarah demi kebaikan dan keselamatan kita secara menyeluruh. Oleh karena itu,
sangat menentukan dari sudut pandang pastoral untuk menghadirkan Sabda Allah
dalam kemampuannya untuk berdialog dengan masalah sehari-hari yang dihadapi
manusia. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia datang supaya kita dapat memperoleh
hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh. 10:10). Akibatnya, kita perlu berusaha untuk
menunjukkan Sabda Allah sebagai
suatu keterbukaan terhadap problem kita, sebuah jawaban bagi pertanyaan kita,
suatu perluasan bagi nilai-nilai kita dan pemenuhan bagi aspirasi-aspirasi
kita. Kegiatan pastoral Gereja perlu menunjukkan dengan jelas bagaimana Allah
mendengarkan kebutuhan kita dan permohonan pertolongan kita.
Seperti dikatakan Santo Bonaventura dalam Breviloquium:
”Buah dari Kitab Suci bukanlah sembarang buah, melainkan kepenuhan kebahagiaan abadi. Kitab Suci adalah
buku yang berisi sabda-sabda kehidupan
kekal, sehingga kita tidak hanya percaya kepadanya, tetapi juga memiliki hidup
abadi, di mana kita akan melihat dan mencintai, dan semua keinginan kita akan
terpenuhi.”
Dalam dialog dengan Allah melalui Sabda-Nya
24. Sabda Allah menarik kita masing-masing ke dalam
percakapan dengan Tuhan: Allah yang berbicara mengajar kita bagaimana berbicara
kepada-Nya. Di sini tentu saja kita berpikir akan Buku Mazmur, di mana Allah
memberi kepada kita kata-kata untuk kita ucapkan kepada-Nya, menempatkan hidup
kita di hadapan-Nya, dan dengan demikian membuat hidup sendiri menjadi suatu
jalan kepada Allah. Dalam Mazmur kita menemukan seluruh ragam ungkapan perasaan yang dapat dirasakan
manusia dalam keberadaannya sendiri dan yang ditempatkan dengan bijaksana di hadapan
Allah; kegembiraan dan rasa sakit, putus asa dan pengharapan, ketakutan dan
rasa gentar: di sini semua menemukan pengungkapannya. Bersama dengan Mazmur
kita juga berpikir mengenai banyaknya bagian Kitab Suci yang mengungkapkan berpalingnya kita kepada Allah dalam
doa permohonan (bdk. Kel. 33:12-16), dalam nyanyian kegembiraan karena
kemenangan (bdk. Kel. 15) atau dalam kesusahan terhadap kesukaran-kesukaran yang
kita alami karena melaksanakan perutusan kita (bdk. Yer. 20:7-18). Dengan cara
ini kata-kata kita kepada Allah menjadi kata-kata Allah, maka menegaskan sifat
dialogal semua wahyu Kristiani, dan
keberadaan kita seluruhnya menjadi suatu dialog dengan Allah yang berbicara dan
mendengarkan, yang memanggil kita dan mengarahkan hidup kita. Di sini Sabda Allah
menyatakan bahwa seluruh kehidupan kita berada di bawah panggilan ilahi.
Sabda Allah dan Iman
25. “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan
‘ketaatan iman’ (Rm. 16:26; bdk. Rm. 1:5; 2Kor. 10:5-6). Demikianlah manusia
dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan
‘kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan’,
dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan
oleh-Nya.” Dalam kata-kata ini Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dengan tepat
mengungkapkan sikap tepat yang harus kita miliki berhadapan dengan Allah. Jawaban
manusia yang sesuai kepada Allah yang berbicara adalah iman. Di sini kita
melihat dengan jelas bahwa “Agar dapat menerima wahyu, orang harus membuka
pikiran dan hatinya terhadap karya Roh Kudus yang memampukannya memahami Sabda
Allah yang terdapat dalam Kitab Suci.” Sesungguhnya, pewartaan Sabda ilahilah
yang membangkitkan iman, di mana kita menyetujui dengan segenap hati pada
kebenaran yang telah diwahyukan kepada kita dan kita menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Kristus: “Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh
firman Kristus” (Rm. 10:17). Seluruh sejarah keselamatan makin lama makin
menunjukkan ikatan mendalam antara Sabda Allah
dan iman yang muncul dari perjumpaan dengan Kristus. Demikianlah, iman mendapat
bentuknya sebagai suatu perjumpaan dengan seorang Pribadi kepada siapa kita
mempercayakan seluruh kehidupan kita. Kristus Yesus tetap hadir sekarang dalam
sejarah, dalam tubuh-Nya yang adalah Gereja; oleh karena alasan ini, tindakan
iman kita sekaligus adalah pribadi dan gerejawi.
Dosa sebagai penolakan untuk mendengarkan Sabda Allah
26. Sabda Allah secara tak terhindarkan juga mengungkapkan kemungkinan
tragis bahwa kebebasan manusia dapat menjauh dari dialog perjanjian dengan
Allah ini yang untuknya kita diciptakan. Sabda Allah juga menyingkapkan dosa
yang bersembunyi dalam hati manusia. Cukup sering baik dalam Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru, kita menemukan dosa yang digambarkan sebagai suatu
penolakan untuk mendengarkan Sabda, sebagai pelanggaran Perjanjian dan dengan
demikian ketertutupan terhadap Allah yang memanggil kita kepada persekutuan
dengan diri-Nya. Kitab Suci menunjukkan bagaimana dosa manusia secara hakiki
adalah ketidaktaatan dan penolakan untuk mendengarkan. Ketaatan radikal Yesus
bahkan sampai mati di kayu salib (bdk. Fil. 2:8) secara tuntas membuka kedok
dosa ini. Ketaatan-Nya mendatangkan Perjanjian Baru antara Allah dan manusia,
dan menganugerahkan kepada kita kemungkinan untuk pemulihan. Yesus diutus oleh
Bapa sebagai kurban penebusan bagi dosa-dosa kita dan bagi dosa seluruh dunia (bdk.
1Yoh. 2:2; 4:10; Ibr. 7:27). Dengan demikian, kita diberi kemungkinan penebusan
yang penuh belas kasihan dan permulaan suatu hidup baru dalam Kristus. Karena
alasan ini, pentinglah bahwa orang beriman diajar untuk mengakui bahwa akar
dari dosa terletak dalam penolakan untuk mendengarkan Sabda Tuhan, dan untuk
menerima dalam Yesus, Sabda Allah, pengampunan yang membuka kita pada
keselamatan.
Maria, “Ibu Sabda
Allah” dan “Ibu Iman”
27. Para Bapa Sinode menyatakan bahwa tujuan dasar dari
Sidang Keduabelas adalah “untuk
memperbarui iman Gereja dalam Sabda Allah.”
Untuk melaksanakan hal itu, kita perlu memperhatikan seorang pribadi yang di
dalam dia hubungan timbal balik antara Sabda Allah dan iman disempurnakan,
yaitu Perawan Maria, “yang dengan ‘ya’-nya kepada Sabda perjanjian dan
perutusannya, secara sempurna memenuhi panggilan ilahi umat manusia.” Realitas manusiawi
yang diciptakan melalui Sabda menemukan gambarnya yang paling sempurna dalam
ketaatan iman Maria. Dari Pewartaan Kabar Gembira sampai Pentakosta ia nampak
sebagai wanita yang sepenuhnya terbuka terhadap kehendak Allah. Ia adalah Yang Terkandung
tanpa Noda, ia yang diciptakan Allah “penuh kasih karunia” (bdk. Luk. 1:28) dan
tanpa syarat taat kepada Sabda-Nya (bdk. Luk. 1:38). Imannya yang taat
membentuk hidupnya setiap saat di hadapan rencana Allah. Seorang Perawan yang
selalu memperhatikan Sabda Allah, ia hidup sepenuhnya selaras dengan Sabda itu;
ia menyimpan dalam hatinya peristiwa-peristiwa Anaknya, dengan menyusunnya
bersama seperti sebuah mosaik (bdk. Luk. 2:19.51).
Pada zaman sekarang orang beriman perlu dibantu untuk
melihat secara lebih jelas kaitan antara Maria dari Nazaret dan sikap mendengarkan dengan penuh iman kepada
Sabda Allah. Saya ingin mendorong para ahli untuk mempelajari dengan baik
hubungan antara Mariologi dan teologi Sabda. Ini dapat membawa manfaat besar
bagi kehidupan rohani dan bagi studi teologis dan alkitabiah. Tentu saja, apa
yang merupakan pemahaman iman telah memampukan kita mengenal Maria yang berada
di pusat kebenaran Kristiani. Inkarnasi Sabda tidak dapat dimengerti terlepas
dari kebebasan wanita muda ini yang dengan persetujuannya secara meyakinkan
bekerja sama dengan masuknya Yang Abadi ke dalam waktu. Maria adalah gambaran
Gereja yang dengan tekun mendengarkan Sabda Allah yang menjadi daging dalam
dirinya. Maria juga melambangkan keterbukaan terhadap Allah dan orang lain; sikap
mendengarkan dengan aktif yang menginternalisasi dan mengasimilasi, di mana
Sabda menjadi cara hidup.
28. Di sini saya ingin menyebutkan keakraban Maria dengan
Sabda Allah. Ini jelas nampak
dalam Magnificat. Di situ kita melihat dalam arti tertentu bagaimana ia
mengidentifikasikan diri dengan Sabda, masuk ke dalam-Nya; dalam kidung iman
yang sangat indah ini, Sang Perawan menyanyikan pujian kepada Tuhan dengan
katakatanya sendiri: “Magnificat – bagaikan lukisan jiwanya – tersulam dengan
benang-benang dari Kitab Suci, dengan benang-benang Sabda Allah. Tampak bahwa
ia sungguh akrab dengan Sabda Allah bagaikan dalam rumah, di mana ia keluar
masuk. Ia berbicara dan berpikir dengan Sabda Allah, Sabda Allah menjadi
perkataannya, dan perkataannya datang dari Sabda Allah. Juga menjadi nyata bahwa
pikirannya ikut berpikir dengan pikiran Allah, bahwa kehendaknya ikut dengan
kehendak Allah. Karena ia sungguh diresapi Sabda Allah, dapatlah ia menjadi ibu
Sabda yang menjadi manusia”.
Lebih lanjut, dalam memandang Bunda Allah, kita melihat
bagaimana kegiatan Allah di dunia selalu melibatkan kebebasan kita, karena
melalui iman Sabda ilahi mengubah kita. Karya kerasulan dan pastoral kita tak
akan pernah efektif kecuali jika kita belajar dari Maria bagaimana dibentuk
oleh karya Allah dalam diri kita. ”Perhatian yang saleh dan penuh kasih kepada
sosok Maria sebagai model dan contoh dari iman Gereja, sangatlah penting untuk membawa
pada zaman kita suatu perubahan paradigma yang konkret dalam hubungan Gereja
dengan Sabda, baik dalam mendengarkan penuh doa, maupun dalam komitmen murah
hati kepada misi dan pewartaan.”
Jika kita merenungkan dalam Bunda Allah suatu hidup yang seluruhnya
dibentuk oleh Sabda, kira menyadari bahwa kita juga dipanggil untuk masuk ke
dalam misteri iman, di mana Kristus datang untuk tinggal dalam kehidupan kita.
Setiap orang beriman Kristiani, Santo Ambrosius mengingatkan kita, dalam arti
tertentu, secara batiniah mengandung dan melahirkan Sabda Allah: bahkan meskipun
hanya ada satu Ibu Kristus dalam daging, dalam iman Kristus adalah keturunan
dari kita semua.” Demikianlah, apa yang terjadi pada Maria dapat terjadi setiap
hari pada masingmasing dari kita, dalam sikap mendengarkan Firman dan dalam merayakan
sakramen-sakramen.
Penafsiran Kitab Suci Dalam Gereja
Gereja sebagai tempat utama hermeneutika alkitabiah
29. Tema besar lain yang muncul selama Sinode yang ingin
saya mintakan perhatian adalah penafsiran Kitab Suci dalam Gereja. Hubungan
intrinsik antara Sabda dan iman memperjelas, bahwa hermeneutika alkitabiah yang
asli hanya bisa dimiliki dalam iman Gereja, yang paradigmanya terdapat dalam
fiat Maria. Santo Bonaventura menegaskan, bahwa tanpa iman tidak ada kunci untuk
membuka teks suci: “Itu adalah pengeta-huan dari Yesus Kristus, dari Dia,
seperti dari sebuah mata air, mengalirlah kepastian dan pemahaman dari semua
Kitab Suci. Maka dari itu, tidak mungkin bagi siapa pun untuk mendapat
pengetahuan kebenaran itu, kecuali ia pertama-tama telah ditanamkan iman kepada
Kristus, yang adalah pelita, pintu gerbang dan fondasi dari semua Kitab
Suci.”84 Dan Santo Thomas Aquinas, dengan mengutip Santo Agustinus, menegaskan
bahwa “huruf-huruf, bahkan dari Injil, akan membunuh bilamana tidak ada rahmat
batiniah dari iman yang menyembuhkan.”
Di sini kita bisa menunjukkan kriteria dasariah dari
hermeneutika alkitabiah: tempat utama bagi penafsiran alkitabiah adalah kehidupan
Gereja. Ini bukan untuk menjunjung tinggi konteks gerejawi sebagai aturan
ekstrinsik yang kepadanya para ekseget harus tunduk, melainkan sesuatu yang
dituntut oleh hakikat dari Kitab Suci dan cara mereka secara bertahap
terbentuk. “Tradisi iman membentuk konteks hidup bagi kegiatan sastra para penulis
Kitab Suci. Penempatan mereka ke dalam konteks ini juga termasuk ambil bagian
dalam kehidupan liturgis dan lahiriah dari komunitas-komunitas, dalam dunia
intelektual mereka, dalam budaya mereka dan di dalam naik turunnya sejarah
mereka bersama. Dengan cara yang sama, penafsiran dari Kitab Suci menuntut
partisipasi aktif pihak ekseget dalam kehidupan dan iman komunitas beriman pada
zaman mereka.” Akibatnya, karena “Kitab Suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus
dibaca dan ditafsirkan Roh itu juga” para ekseget, para teolog dan seluruh umat
Allah harus mendekatinya seperti apa yang sesungguhnya, Firman Allah yang
disampaikan kepada kita melalui bahasa manusiawi (bdk. 1Tes. 2:1). Ini adalah fakta
yang tetap dan tersirat dalam Alkitab sendiri: “nubuat-nubuat dalam Kitab Suci
tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat
dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang
berbicara atas nama Allah” (2Ptr 1:20-21). Selanjutnya, iman Gerejalah yang mengenal
Firman Allah dalam Alkitab, seperti dikatakan secara mengesankan oleh Santo
Agustinus: “Saya tidak akan percaya pada Injil, jika otoritas Gereja Katolik
tidak membimbing saya melakukan hal itu.” Roh Kudus, yang memberi kehidupan
kepada Gereja, memampukan kita menafsirkan Kitab Suci secara berwibawa. Alkitab
adalah buku Gereja, dan tempatnya yang hakiki dalam kehidupan Gereja
memunculkan penafsirannya yang asli.
30. Santo Hieronimus mengingatkan bahwa kita tak pernah bisa membaca Kitab Suci sendiri saja. Kita
menemukan begitu banyak pintu tertutup dan kita terlalu mudah tergelincir dalam
kesalahan. Alkitab ditulis oleh Umat Allah bagi Umat Allah, di bawah inspirasi Roh
Kudus. Hanya dalam persekutuan dengan Umat Allah ini kita sungguh dapat
masuk sebagai “kita” ke dalam pusat kebenaran yang ingin Allah sampaikan kepada
kita. Bagi Hieronimus siapa “tidak mengenal Kitab Suci tidak mengenal Kristus.”
Ia menegaskan bahwa dimensi gerejawi dari penafsiran alkitabiah bukanlah tuntutan
yang dikenakan dari luar: Buku itu adalah sungguh suara Umat Allah yang
berziarah, dan hanya dalam iman Umat ini, boleh dikatakan, kita berada dalam
keselarasan untuk memahami Kitab Suci. Suatu penafsiran otentik Alkitab harus
selalu selaras dengan iman Gereja Katolik. Maka, ia menulis kepada seorang
imam: “Hendaknya tetap teguh berpegang pada ajaran tradisional yang telah
diajarkan kepadamu, sehingga engkau bisa menasihati sesuai ajaran sehat dan
mengutuk mereka yang melawannya.”
Pendekatan-pendekatan kepada teks suci yang muncul dari iman
itu dapat mengemukakan unsur-unsur menarik pada tingkat struktur dan bentuk
teks, tetapi tak dapat dihindari hanya membuktikan upaya-upaya permulaan dan
yang secara struktural tidak lengkap. Seperti ditegaskan Komisi Kitab Suci
Kepausan, dengan menggemakan prinsip hermeneutika modern yang telah diterima: “Akses
kepada pemahaman yang tepat mengenai teks alkitabiah hanyalah dianugerahkan
kepada pribadi yang mempunyai hubungan dekat dengan apa yang dikatakan teks
berdasarkan pengalaman hidup.” Semua ini dengan lebih jelas menampakkan hubungan
antara kehidupan rohani dan hermeneutika alkitabiah. “Ketika pembaca menjadi
matang dalam kehidupan Roh, demikian maka berkembanglah kemampuannya untuk
memahami kenyataan-kenyataan yang dikatakan Kitab Suci.” Intensitas pengalaman
gerejawi yang autentik hanya dapat mengantar kepada pengembangan pemahaman
sejati dalam iman terkait dengan Kitab Suci; sebaliknya, membaca Kitab Suci
dalam iman menyebabkan berkembangnya hidup gerejawi sendiri. Di sini kita dapat
melihat sekali lagi kebenaran dari ucapan yang mulia dari Santo Gregorius Agung:
“Firman Allah berkembang bersama orang yang membacanya.” Mendengarkan Firman
Allah memperkenalkan dan meningkatkan persekutuan gerejawi dengan semua yang
berjalan dalam iman.
“Jiwa teologi suci”
31. ”Studi Kitab Suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi Suci”: kutipan dari Konstitusi Dogmatis Dei
Verbum telah menjadi semakin dikenal selama beberapa tahun ini. Ilmu teologi
dan eksegese, dalam periode sesudah Konsili Vatikan Kedua, semakin kerap
mengacu pada ungkapan ini sebagai simbol perhatian yang diperbarui terhadap
Kitab Suci. Sidang Keduabelas Sinode Para Uskup juga kerap kali menunjuk pada
ungkapan yang terkenal ini untuk mengemukakan hubungan antara riset historis
dan hermeneutika iman yang menyangkut teks suci. Para Bapa Sinode mengakui
dengan gembira bahwa studi mengenai Sabda Allah dalam Gereja telah berkembang
dalam dekade akhir-akhir ini, dan mereka mengungkapkan terima kasih mendalam
kepada banyak ekseget dan teolog yang dengan dedikasi, komitmen dan kompetensi
terus memberikan sumbangan penting untuk memahami secara lebih mendalam makna
Kitab Suci, ketika mereka menanggapi persoalan-persoalan rumit yang dihadapi
studi alkitabiah pada zaman kita. Terima kasih yang tulus juga disampaikankepada
anggota dari Komisi Kitab Suci Kepausan, di masa lalu dan sekarang, yang dalam
kerjasama erat dengan Kongregasi untuk Ajaran Iman terus menyumbangkan keahlian
mereka dalam menguji persoalan-persoalan khusus yang ditimbulkan oleh studi
Kitab Suci. Sinode juga merasakan adanya kebutuhan untuk melihat keadaan
studi-studi Alkitab saat ini dan kedudukannya dalam bidang teologi. Efektivitas
pastoral dari kegiatan Gereja dan kehidupan rohani umat beriman sangat
bergantung pada keberhasilan hubungan antara eksegese dan teologi. Karena
alasan ini, saya memandang perlu untuk mengangkat kembali beberapa refleksi
yang muncul dalam diskusi mengenai topik ini selama sesi-sesi Sinode.
Perkembangan studi alkitabiah dan magisterium Gereja
32. Pertama-tama, kita perlu mengakui manfaat yang telah diberikan
oleh eksegese historis kritis dan metode-metode lain yang baru-baru ini
berkembang mengenai analisis teks kepada kehidupan Gereja. Bagi pemahaman
Katolik mengenai Kitab Suci, perhatian kepada metode-metode demikian sangat
penting, terkait dengan realisme Inkarnasi: “Kepentingan ini adalah konsekuensi
dari prinsip Kristiani yang dirumuskan dalam Injil Yohanes 1:14: Verbum caro factum est. Fakta historis
adalah dimensi konstitutif iman Kristiani. Sejarah keselamatan bukanlah
mitologi, melainkan sungguh-sungguh sejarah yang benar, dan oleh karenanya hal
itu harus dipelajari dengan metode-metode riset historis yang serius.” Studi
Alkitab menuntut pengetahuan mengenai metode-metode penyelidikan tersebut dan
penerapannya yang sesuai. Memang benar bahwa pengetahuan ini telah semakin
dihargai sifat pentingnya di zaman modern, meskipun tidak di semua tempat pada
tingkatan yang sama, namun tradisi gerejawi yang sehat selalu memperlihatkan
suatu perhatian kepada studi “huruf”. Di sini kita perlu mengingat budaya
monastik yang merupakan fondasi utama kebudayaan Eropa; pada akarnya terdapat
perhatian terhadap kata. Kerinduan akan Allah mencakup kecintaan pada kata
dalam segala dimensinya: “Karena dalam Sabda Alkitab Allah datang kepada kita
dan kita datang kepada-Nya, kita harus belajar menyelami bahasa rahasia, untuk
memahaminya dalam strukturnya dan cara pengungkapannya. Dengan demikian, karena
mencari Allah, ilmu-ilmu sekular yang mengantar pada pemahaman lebih besar
mengenai bahasa menjadi penting.”
33. Magisterium Gereja yang hidup, yang bertugas untuk “menafsirkan
secara autentik sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu,” turut campur
dengan cara yang bijak dan seimbang berkaitan dengan jawaban yang tepat
terhadap pengenalan metode baru dari analisis historis. Saya berpikir terutama
tentangEnsiklik Providentissimus Deus dari Paus Leo XIII dan Divino Afflante
Spiritu dari Paus Pius XII. Pendahulu saya yang terhormat Yohanes Paulus II
mengingatkan pentingnya dokumen-dokumen ini pada peringatan seratus tahun dan
lima puluh tahun pengumuman resmi dokumen-dokumen tersebut. Intervensi dari Paus
Leo XIII telah berjasa melindungi penafsiran Katolik mengenai Alkitab dari
serangan rasionalisme, namun, tanpa mencari perlindungan pada makna spiritual
yang terlepas dari sejarah. Bukan dengan menghindari kritik ilmiah, Gereja
hanya waspada terhadap “pendapat-pendapat praduga yang mengklaim berdasarkan
pada ilmu, tetapi yang kenyataannya secara diam-diam menyebabkan ilmu menyimpang dari bidangnya.” Paus Pius XII, di
pihak lain, dihadapkan pada serangan dari mereka yang mengusulkan apa yang
disebut eksegese mistik yang menolak setiap bentuk pendekatan ilmiah. Ensiklik
Divino Afflante Spiritu dengan
hati-hati menghindari setiap gejala dikotomi antara “eksegese ilmiah” untuk
digunakan dalam apologetik dan “penafsiran spiritual yang dimaksud untuk
penggunaan intern”; melainkan menegaskan baik “makna teologis dari makna
harfiah, yang dirumuskan secara metodologis” maupun fakta bahwa “menentukan
makna rohaniah... menjadi ranah ilmu eksegese.” Dengan cara ini, kedua dokumen menolak “suatu pemisahan antara yang
manusiawi dan yang ilahi, antara penyelidikan ilmiah dan hormat terhadap iman,
antara makna harfiah dan makna rohaniah.” Selanjutnya, keseimbangan ini
dipertahankan oleh dokumen tahun 1993 dari Komisi Kitab Suci Kepausan: “Dalam karya
penafsiran mereka, para ekseget
Katolik hendaknya tidak pernah lupa bahwa apa yang mereka tafsirkan adalah
Sabda Allah. Tugas mereka tidak selesai ketika mereka sudah sekadar menetapkan sumber-sumber, menentukan
bentuk-bentuk atau menjelaskan prosedur sastra. Mereka mencapai tujuan
sesungguhnya dari karya mereka hanya bila mereka telah menjelaskan makna dari
teks alkitabiah sebagai Sabda Allah bagi masa kini.”
Hermeneutika
alkitabiah Konsili: petunjuk yang harus ditaati
34. Dengan latar belakang ini, orang dapat menghargai dengan
lebih baik prinsip-prinsip besar penafsiran sesuai dengan eksegese Katolik yang
dikemukakan oleh Konsili Vatikan Kedua, terutama dalam Konstitusi Dogmatis Dei
Verbum: “Adapun karena Allah dalam Kitab Suci berfirman melalui manusia dengan
cara manusia, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah mau disampaikan kepada
kita, penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya
mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah
dengan kata-kata mereka.” Di satu sisi, Konsili menekankan studi jenis sastra
dan konteks historis sebagai unsur dasariah untuk memahami makna yang
dimaksudkan oleh penulis suci. Di pihak lain, karena Kitab Suci harus
ditafsirkan dalam Roh yang sama, yang di dalam-Nya itu dituliskan, Konstitusi
Dogmatis menyebutkan tiga kriteria dasariah untuk menghargai dimensi ilahi dari
Alkitab: 1) teks harus ditafsirkan dengan memperhatikan kesatuan dari seluruh
Kitab Suci, yang sekarang disebut eksegese kanonik; 2) harus diperhatikan Tradisi
hidup dari seluruh Gereja; dan akhirnya, 3) sikap hormat harus ditunjukkan
terhadap analogi iman. “Hanya bila dua tataran metodologis, historis-kritis dan
teologis dihormati, orang dapat berkata mengenai eksegese teologis, suatu
eksegese yang sesuai dengan Kitab itu.”
Para Bapa Sinode secara tepat menegaskan bahwa buah positif yang
diperoleh dengan penggunaan riset historis-kritis modern tak dapat disangkal.
Sementara eksegese akademik masa kini, termasuk dari ahli-ahli Katolik, sangat
kompeten dalam bidang metodologi historis-kritis dan perkembangannya yang
mutakhir, harus dikatakan bahwa perhatian yang sama hendaknya diberikan kepada
dimensi teologis dari teks alkitabiah, sehingga teks itu dapat dimengerti secara lebih mendalam sesuai dengan tiga unsur yang
ditunjukkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Verbum.
Bahaya dualisme dan hermeneutika sekular
35. Dalam kaitan ini kita hendaknya menyebut risiko serius
dari pendekatan dualistik saat ini terhadap Kitab Suci. Dengan membedakan dua
tingkatan pendekatan terhadap Alkitab sama sekali tidak bermaksud untuk
memisahkan atau memperlawankannya, atau sekadar menyejajarkan keduanya.
Keduanya berada hanya dalam hubungan timbal balik. Sayangnya, pemisahan yang mandul kadang-kadang menciptakan tembok
pemisah antara eksegese dan teologi, dan ini “terjadi bahkan juga dalam tingkat
akademik yang paling tinggi.” Di
sini saya akan menyebutkan konsekuensi-konsekuensi yang paling mengkhawatirkan, yang harus dihindari.
a) Pertama-tama dan terutama, jika karya eksegese dibatasi
hanya pada tataran pertama, Kitab suci berhenti hanya sebagai teks masa lampau:
“Orang dapat menarik konsekuensi-konsekuensi moral darinya, orang dapat mempelajari sejarah, tetapi Buku seperti itu
hanya berbicara mengenai masa lampau, dan eksegese tidak lagi sungguh teologis,
melainkan menjadi ilmu sejarah semata, sejarah sastra.” Jelaslah bahwa,
pendekatan reduktif demikian tidak pernah dapat memungkinkan untuk memahami
peristiwa pewahyuan diri Allah melalui Sabda-Nya, yang diwariskan kepada kita
dalam Tradisi hidup dan dalam Kitab Suci.
b) Kurangnya
hermeneutika iman yang berkaitan dengan Kitab Suci menimbulkan lebih dari
sekadar suatu ketiadaan, sebagai gantinya tak dapat dihindari muncul
hermeneutika lain: hermeneutika yang positivistis dan tersekularisasi yang
akhirnya berdasar pada keyakinan bahwa Yang Ilahi tidak campur tangan dalam
sejarah manusiawi. Menurut hermeneutika ini, bilamana suatu unsur ilahi tampak
hadir, itu harus dijelaskan secara lain, dengan mereduksi segala hal kepada
unsur manusiawi. Ini
menyebabkan penafsiran yang menyangkal historisitas unsur-unsur ilahi.
c) Sikap demikian hanya dapat merugikan kehidupan Gereja,
meragukan misteri dasariah dari Kekristenan, dan nilai sejarahnya – seperti, misalnya penetapan Ekaristi
dan kebangkitan Kristus. Suatu hermeneutika filosofis dengan demikian
diterapkan, yaitu yang menyangkal kemungkinan bahwa yang Ilahi dapat masuk dan hadir
dalam sejarah. Penggunaan hermeneutika seperti itu dalam studi-studi teologi,
secara tak terhindarkan mendatangkan dikotomi yang tajam antara eksegese yang
terbatas hanya pada tataran pertama dan suatu teologi yang condong kepada suatu
spiritualisasi makna Kitab Suci, yang akan gagal menghormati sifat historis
wahyu.
Semua itu mempunyai pengaruh negatif pada kehidupan rohani dan
kegiatan pastoral; “sebagai akibat tidak adanya tataran metodologis yang kedua,
terbukalah suatu celah yang dalam antara eksegese ilmiah dan lectio divina. Ini
dapat menimbulkan kekurangjelasan dalam persiapan homili.” Harus dikatakan juga
bahwa dikotomi ini dapat menciptakan kebingungan dan kurangnya stabilitas dalam
formasio intelektual para calon pelayan gerejawi. Dengan kata lain “di mana
eksegese bukan teologi, Kitab Suci tidak dapat menjadi jiwa teologi, dan
sebaliknya, di mana teologi, secara
mendasar bukan penafsiran Kitab Suci dalam Gereja, teologi demikian tidak lagi
mempunyai dasar.” Maka dari itu,
kita perlu lebih hati-hati memperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikanoleh
Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dalam hal itu.
Iman dan akal budi dalam pendekatan Kitab Suci
36. Saya percaya bahwa apa yang ditulis oleh Paus Yohanes
Paulus II mengenai masalah ini dalam Ensikliknya Fides et Ratio dapat mengantar
kepada pemahaman yang lebih penuh akan eksegese dan dalam hubungannya dengan
seluruh teologi. Ia menegaskan bahwa kita hendaknya jangan memandang rendah
“bahaya yang melekat pada usaha menjabarkan kebenaran Kitab suci dari penggunaan
satu metode semata-mata, sambil diabaikan keperluan akan eksegese yang lebih
komprehensif, dan memampukan ekseget, bersama dengan seluruh Gereja, mencapai
makna sepenuhnya yang ada pada teks-teks. Mereka, yang membaktikan diri kepada
studi Kitab Suci, hendaklah selalu mengingat, bahwa berbagai pendekatan
hermeneutik memiliki landasan-landasan falsafinya sendiri, yang perlu
dievaluasi secara saksama sebelum itu semua diterapkan pada teks-teks suci.”
Refleksi yang berpandangan jauh ini memampukan kita untuk melihat
bagaimana suatu pendekatan hermeneutik pada Kitab Suci tak dapat disangkal
menggerakkan hubungan yang sesuai antara iman dan akal budi. Sesungguhnya,
hermeneutika sekular Kitab Suci adalah produk dari penggunaan akal budi yang
secara struktural menyingkirkan setiap kemungkinan bahwa Allah bisa masuk ke
dalam kehidupan kita dan berbicara kepada kita dengan bahasa manusia. Juga di
sini, kita perlu mendesak perluasan dari cakupan akal budi. Dalam menerapkan metode-metode analisis
historis hendaknya tidak digunakan kriteria yang mengesampingkan pewahyuan-diri
Allah dalam sejarah manusia. Kesatuan dari dua tataran dalam karya penafsiran
Kitab Suci dengan singkat mengandaikan, keselarasan antara iman dan akal budi.
Di satu sisi, itu menuntut iman yang, dengan mempertahankan hubungan yang tepat
dengan akal budi yang benar, tak pernah turun derajat menjadi fideisme, yang dalam hal Kitab Suci akan berakhir dengan
fundamentalisme. Di sisi lain, itu menuntut akal budi yang, dalam penyelidikan
mengenai unsur-unsur historis yang ada dalam Alkitab, ditandai oleh keterbukaan
dan tidak menolak secara apriori sesuatu yang melampaui ukurannya sendiri.
Bagaimana pun juga, agama dari Logos yang Menjelma hampir tidak dapat gagal untuk
tampak sangat masuk akal bagi setiap orang yang dengan tulus mencari kebenaran
dan makna tertinggi dari hidup dan sejarahnya sendiri.
Makna harfiah dan makna rohaniah
37. Sumbangan penting bagi pemulihan hermeneutika alkitabiah
yang memadai, seperti ditegaskan oleh Sidang sinodal, dapat juga datang dari
perhatian yang baru kepada para Bapa Gereja dan pendekatan eksegesis mereka.
Para Bapa Gereja menyajikan suatu teologi yang masih mempunyai nilai tinggi
pada masa kini karena pada intinya adalah studi Kitab Suci sebagai keseluruhan.
Sungguh, para Bapa pertama-tama dan terutama adalah “para komentator tentang
Kitab Suci,” Teladan mereka dapat mengajarkan kepada “para ekseget modern suatu
pendekatan terhadap Kitab Suci yang sungguh religius, begitu juga suatu
penafsiran yang selalu selaras dengan kriteria persekutuan dengan pengalaman Gereja,
yang mengadakan perjalanan melalui sejarah di bawah bimbingan Roh Kudus.” Meskipun jelas tidak mempunyai
sumber-sumber filologis dan historis yang dimiliki eksegesis modern, tradisi
para Bapa Gereja dan abad pertengahan dapat mengenal berbagai makna Kitab Suci,
mulai dengan makna harfiah, yaitu “arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab
Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks
secara tepat.” Santo Thomas Aquinas, misalnya, menegaskan bahwa “semua makna
Kitab Suci berdasarkan makna harfiah.” Namun, perlulah diingat bahwa pada zaman
Patristik dan abad pertengahan, setiap bentuk eksegese, termasuk bentuk sastra,
dilaksanakan atas dasar iman, tanpa perlu ada pembedaan antara makna harfiah
dan makna rohaniah. Dapat disebutkan di sini satu bait dari abad pertengahan yang
mengungkapkan hubungan antara berbagai macam makna Kitab Suci:
“Littera gesta docet, quid credas allegoria, Moralis quid agas, quo tendas anagogia”
(Huruf
bicara mengenai perbuatan; alegori mengenai iman; moral mengenai tindakan kita;
anagogi mengenai tujuan kita.”)
Di sini kita dapat mencatat kesatuan dan saling berkaitan
antara makna harfiah dan makna rohaniah, yang pada gilirannya dibagi ke dalam
tiga makna yang berbicara mengenai isi iman, hidup moral, dan aspirasi
eskatologis kita. Dengan kata
lain, sementara mengakui keabsahan dan kebutuhan maupun keterbatasan metode historis kritis, kita belajar dari
para Bapa Gereja bahwa eksegese “sungguh setia kepada maksud sesungguhnya dari
teks alkitabiah jika tidak hanya masuk ke dalam inti perumusannya untuk
menemukan realitas iman yang di[1]ungkapkan, tetapi juga
berusaha untuk menghubungkan realitas ini dengan pengalaman iman dalam dunia
kita sekarang. Hanya dalam cara
pandang ini kita dapat mengakui bahwa Sabda Allah hidup dan ditujukan kepada
masing-masing dari kita di sini dan saat ini dalam hidup kita. Dalam arti ini
definisi dari Komisi Kitab Suci Kepausan mengenai makna rohaniah, seperti
dipahami oleh iman Kristiani, tetap sepenuhnya berlaku: yaitu “makna yang diungkapkan
oleh teks alkitabiah bila dibaca, di bawah kuasa Roh Kudus, dalam konteks
misteri Paskah Kristus dan hidup baru yang mengalir dari pada-Nya. Konteks ini
sungguh-sungguh ada. Di dalamnya Perjanjian Baru mengakui pemenuhan Kitab Suci.
Maka, cukup dapat diterima untuk membaca kembali Kitab Suci dalam terang
konteks baru ini, yang adalah terang hidup dalam Roh.”
Perlunya mengatasi
“huruf”
38. Dalam menemukan kembali jalinan antara makna yang berbeda-beda dari Kitab Suci,
pentinglah untuk memahami peralihan
dari huruf ke roh. Ini bukanlah peralihan yang otomatis dan spontan; sebaliknya,
huruf perlu dilampaui: “Sabda Allah tidak pernah bisa sekadar disamakan dengan
huruf teks. Untuk mencapai hal itu melibatkan suatu kemajuan dan proses
pemahaman yang dibimbing oleh gerakan batiniah dari seluruh tubuh, dan karenanya
menjadi proses yang sangat penting.” Di sini kita melihat alasan mengapa proses
penafsiran autentik tidak pernah melulu sebagai sebuah proses intelektual,
tetapi juga proses yang dihidupi, yang menuntut keterlibatan penuh dalam hidup
Gereja, yakni hidup “sesuai dengan Roh” (Gal 5:16). Kriteria yang dikemukakan
dalam Konstitusi dogmatik Dei Verbum
nomor 12 menjadi lebih jelas: “kemajuan
ini tidak bisa terjadi pada suatu fragmen sastra individual jika tidak dilihat
dalam hubungannya dengan seluruh Kitab Suci. Memang, tujuan yang seharusnya
kita capai adalah satu Sabda. Ada suatu drama batiniah dalam proses ini, karena
peralihan yang terjadi dalam kuasa Roh secara tak terhindarkan menyangkut
kebebasan setiap pribadi. Santo Paulus menghayati peralihan ini sepenuhnya
dalam hidupnya sendiri. Dalam kata[1]katanya: “Hukum yang
tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2Kor. 3:6). Ia mengungkapkan
dalam istilah-istilah radikal pentingnya proses melampaui huruf ini dan
mencapai pemahamannya hanya dalam keseluruhan istilah. Paulus menemukan bahwa: “Roh
kebebasan memiliki nama, dan karenanya kebebasan memiliki kriteria batiniah
‘Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.’
(2Kor. 3:17). Roh kebebasan bukan hanya gagasan ekseget sendiri. Roh adalah Kristus
dan Kristus adalah Tuhan yang menunjukkan jalan kepada kita.”Kita tahu bahwa
bagi Santo Agustinus peralihan ini dramatis tetapi sekaligus membebaskan: ia
percaya Kitab Suci –yang pada pandangan pertama mengejutkannya karena terpotong[1]potong dan di tempat lain
begitu kasar – melalui proses sesungguhnya yang melampaui huruf yang ia
pelajari dari Santo Ambrosius dalam penafsiran tipologis, di situ seluruh
Perjanjian Lama merupakan jalan kepada Kristus. Bagi Santo Agustinus, dengan melampaui
makna harfiah, huruf sendiri menjadi bisa dipercaya. Hal itu pada akhirnya
memampukannya menemukan jawaban atas kegelisahan
batinnya yang mendalam dan juga menjawab kehausannya akan kebenaran.
Kesatuan Alkitab secara intrinsik
39. Dalam peralihan dari huruf ke roh, kita juga belajar,
dalam tradisi besar Gereja, untuk memahami kesatuan semua Kitab Suci, yang
didasarkan pada kesatuan Sabda Allah, yang menantang hidup kita dan
terus-menerus memanggil kepada pertobatan. Di sini kata-kata Hugo dari Santo
Viktor tetap merupakan panduan yang pasti: “Semua Kitab Suci ilahi merupakan
satu buku, dan buku yang satu ini adalah Kristus, berbicara
mengenai Kristus dan mendapat pemenuhannya dalam Kristus.” Dilihat dalam aspek yang murni historis dan sastra, tentu
saja, Alkitab bukan satu buku, melainkan suatu kumpulan dari teks-teks
sastra yang disusun dalam kurun waktu ribuan tahun atau lebih, dan tiap-tiap
kitab tidak mudah dilihat memiliki kesatuan
internal; sebaliknya, kita melihat adanya inkonsistensi yang jelas
di antara kitab-kitab itu. Ini sudah nampak dalam kasus Alkitab
Israel, yang kita orang Kristiani menyebutnya Perjanjian Lama. Semua akan
nampak lebih jelas demikian ketika, sebagai orang Kristiani, kita
menghubungkannya dengan Perjanjian Baru dan tulisan-tulisannya sebagai semacam kunci
hermeneutik kepada Alkitab Israel, dengan demikian me[1]nafsirkan
Alkitab ini sebagai jalan menuju Kristus. Umumnya Perjanjian Baru tidak
menggunakan istilah “Kitab Suci” (bdk. Rm. 4:3; 1Ptr. 2:6), tetapi “Kitab-kitab
Suci” (bdk. Mat 21:42; Yoh. 5:39; Rm. 1:2; 2Ptr. 2:16), yang meskipun demikian
dilihat secara keseluruhan sebagai satu Sabda Allah yang ditujukan kepada kita.
Dengan ini tampak jelas bahwa Pribadi Kristuslah yang memberi kesatuan kepada
semua “Kitab-kitab Suci” dalam kaitan[1]nya dengan “Sabda”
satu-satunya. Dengan cara ini kita dapat memahami kata-kata dalam Konstitusi
Dogmatis Dei Verbum 12, yang menunjukkan kesatuan internal dari seluruh Alkitab
sebagai kriteria yang menentukan bagi suatu
hermeneutika iman yang benar.
Hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
40. Dengan latar belakang kesatuan Kitab-kitab Suci dalam
Kristus, para teolog dan para Pastor perlu menyadari hubungan antara Perjanjian
Lama dan Baru. Pertama-tama, sudah jelas bahwa Perjanjian Baru sendiri mengakui
Perjanjian Lama sebagai Sabda Allah
dan dengan demikian menerima kewibawaan Kitab-kitab Suci bangsa Yahudi.
Perjanjian Baru secara implisit mengakui Kitab-kitab Suci itu dengan menggunakan
bahasa yang sama dan dengan kerap
mengacu bagian-bagian dari Kitab-kitab suci itu. Secara eksplisit Perjanjian
Baru mengakuinya dengan mengutip banyak bagian dari Kitab-kitab suci itu sebagai dasar argumen. Dalam Perjanjian
Baru, suatu argumen yang berdasar pada teks-teks Perjanjian Lama mempunyai
kualitas definitif, lebih tinggi dari sekadar argumentasi manusia biasa.
Dalam Injil Keempat, Yesus menyatakan bahwa “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan”
(Yoh. 10:35) dan Santo Paulus secara khusus menjelaskan bahwa wahyu Perjanjian
Lama tetap berlaku bagi kita orang-orang Kristiani (bdk. Rm. 15:4; 1Kor. 10:11).132
Kita juga menegaskan bahwa “Yesus dari Nazaret adalah seorang Yahudi dan Tanah
Suci adalah tanah air Gereja”; akar dari Kekristenan terdapat dalam Perjanjian
Lama, dan Kekristenan terus-menerus mendapat pemeliharaan dari akar ini.
Akibatnya, ajaran Kristiani yang sehat selalu menentang segala bentuk baru
Marcionisme yang, dengan cara berbeda, cenderung mempertentangkan Perjanjian
Lama dengan Perjanjian Baru.
Selanjutnya, Perjanjian Baru sendiri menegaskan untuk selalu
konsisten dengan Perjanjian Lama dan mewartakan bahwa dalam misteri kehidupan,
kematian dan kebangkitan Kristus, Kitab-kitab suci bangsa Yahudi telah menemukan pemenuhannya yang sempurna.
Namun, harus diperhatikan, bahwa konsep pemenuhan dari Kitab Suci adalah
sesuatu yang kompleks, karena konsep itu memiliki tiga dimensi: aspek dasariah
kontinuitas dengan wahyu Perjanjian Lama, aspek diskontinuitas serta aspek
pemenuhan dan transendensi. Misteri Kristus berada dalam kontinuitas tujuan dengan
upacara kurban dari Perjanjian Lama, tetapi berlangsung dengan cara yang sangat
berbeda, yang sesuai dengan sejumlah pernyataan kenabian dan karena itu
mencapai suatu kesempurnaan yang belum pernah didapat sebelumnya. Perjanjian
Lama sendiri penuh dengan ketegangan antara aspek institusional dan kenabian.
Misteri Paskah Kristus sangat sesuai – meskipun dengan cara yang tidak
diantisipasi sebelumnya – dengan nubuat-nubuat dan pratanda-pratanda dari Kitab
Suci; meskipun ia
menghadirkan aspek-aspek diskontinuitas yang jelas terkait dengan penetapan-penetapan Perjanjian Lama.
41. Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukkan arti penting yang
tak tergantikan dari Perjanjian Lama bagi orang Kristiani, sementara pada saat
yang sama menampilkan kebaruan penafsiran Kristologis. Dari zaman rasuli dan
Tradisinya yang hidup, Gereja telah menekankan kesatuan dari rencana Allah
dalam kedua Perjanjian melalui penggunaan tipologi; prosedur ini bukan mana[1]suka, tetapi intrinsik bagi
peristiwa-peristiwa yang terkait dengan teks suci dan dengan demikian mencakup
seluruh Kitab Suci. Tipologi “menemukan dalam karya-karya Allah dalam
Perjanjian Lama prabentuk dari apa yang dilaksanakan Tuhan dalam kepenuhan
waktu dalam pribadi Putra-Nya yang menjadi manusia.” Kemudian, orang-orang
Kristiani membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang disalibkan dan
bangkit. Sementara penafsiran
tipologis memperlihatkan isi yang
tak habis-habisnya dari Perjanjian Lama dari sudut pandang Perjanjian Baru,
namun kita tidak boleh lupa bahwa Perjanjian Lama mempertahankan nilainya
sendiri yang melekat sebagai wahyu, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Tuhan
kita sendiri (bdk. Mrk. 12:29-31). Oleh karenanya, “Perjanjian Baru juga perlu
dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu
menggunakan Perjanjian Lama (bdk. 1Kor. 5:6-8; 10:1-11).” Karena alasan ini para
Bapa Sinode menekankan bahwa “pemahaman orang Yahudi mengenai Kitab Suci dapat
membantu orang-orang Kristiani dalam memahami dan mempelajari Kitab Suci.”
“Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Lama ditampilkan oleh Perjanjian Baru”, seperti ditulis dengan tepat oleh Santo
Agustinus. Maka, pentinglah baik dalam konteks pastoral maupun akademik untuk
menampilkan hubungan erat antara kedua Perjanjian, menurut ucapan Santo Gregorius
Agung bahwa “apa yang dijanjikan Perjanjian Lama, diperlihatkan oleh Perjanjian
Baru; apa yang diberitakan Perjanjian Lama secara tersembunyi, Perjanjian Baru
dengan terang-terangan mewartakannya sebagaimana sekarang ini. Maka dari itu, Perjanjian
Lama merupakan nubuat mengenai Perjanjian Baru, dan komentar terbagus mengenai
Perjanjian Lama adalah Perjanjian Baru.”
Bagian-bagian “gelap” dari Alkitab
42. Dalam membahas hubungan antara Perjanjian Lama dan Baru,
Sinode juga mempertimbangkan bagian-bagian dalam Alkitab, yang, oleh karena
kekerasan dan tindak asusila yang kadang-kadang termuat di dalamnya, kelihatan gelap dan sulit. Di sini haruslah
diingat pertama-tama dan terutama bahwa wahyu alkitabiah berakar secara
mendalam di dalam sejarah. Rencana Allah diperlihatkan secara bertahap dan
diselesaikan secara perlahan-lahan, dalam tahap-tahap yang berturutan, terlepas
dari perlawanan manusiawi. Allah memilih sebuah bangsa dan dengan sabar
berkarya untuk membimbing dan mendidik mereka. Pewahyuan disesuaikan dengan
tingkat budaya dan moral dari zaman dulu dan dengan demikian melukiskan
fakta-fakta dan kebiasaan-kebiasaan, misalnya kecurangan dan pembohongan, dan tindakan kekerasan serta pembunuhan,
tanpa secara eksplisit mengecam
pelanggaran susila dari hal-hal demikian. Hal ini dapat dijelaskan oleh konteks
sejarah, namun dapat menyebabkan pembaca modern terkaget-kaget, terutama jika
mereka gagal mempertimbangkan banyaknya perbuatan “gelap” yang dilakukan selama
berabad-abad dan juga pada zaman kita. Dalam Perjanjian Lama, khotbah para nabi
dengan keras menentang setiap jenis ketidakadilan dan kekerasan, entah kolektif
entah perorangan, dan dengan demikian menjadi cara Allah melatih umat-Nya
memper[1]siapkan Injil. Maka,
mengabaikan bagian-bagian Kitab Suci yang kita anggap bermasalah adalah keliru.
Sebaliknya, kita hendaknya menyadari bahwa penafsiran yang benar atas
bagian-bagian ini menuntut tingkat keahlian, yang didapat melalui suatu
pelatihan yang menafsirkan teks-teks dalam konteks historis-literernya dan dalam
perspektif Kristiani yang memiliki sebagai kunci hermeneutika utamanya “Injil
dan perintah baru dari Yesus Kristus yang terpenuhi dalam misteri Paskah.” Saya
mendorong para ahli dan para Pastor untuk membantu semua kaum beriman untuk mendekati
bagian-bagian tersebut melalui suatu tafsiran yang mampu memunculkan maknanya
dalam terang misteri Kristus.
Orang Kristiani, Yahudi, dan Kitab-kitab suci
43. Sesudah memperhatikan hubungan erat antara Perjanjian
Baru dan Perjanjian Lama, kita sekarang beralih kepada ikatan khusus yang
muncul dari hubungan antara orang-orang Kristiani dan Yahudi, suatu ikatan yang
tidak pernah bisa diabaikan. Paus Yohanes Paulus II ketika berbicara kepada orang-orang
Yahudi, menyebut mereka “’saudara-saudara terkasih kami’ dalam iman Abraham,
bapa bangsa kita.” Untuk mengakui fakta ini tidak berarti bahwa kita sama
sekali tidak memedulikan adanya diskontinuitas yang ditegaskan Perjanjian Baru
dalam kaitan dengan penetapan Perjanjian Lama, apalagi pemenuhan Kitab Suci
dalam misteri Yesus Kristus, yang diakui sebagai Mesias dan Anak Allah. Namun,
perbedaan yang mendalam dan radikal ini sama sekali tidak mengandung
pertentangan timbal balik antara keduanya. Teladan Santo Paulus (bdk. Rm. 9-11)
menunjukkan sebaliknya bahwa “suatu sikap hormat, penghargaan dan kasih bagi
bangsa Yahudi adalah satu-satunya sikap orang Kristiani pada saat ini, yang
merupakan bagian misterius dari seluruh rencana Allah yang positif.” Tentu
saja, Santo Paulus mengatakan tentang orang-orang Yahudi bahwa: “mengenai
pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. Sebab Allah tidak
menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya”(Rm. 11:28-29).
Santo Paulus juga menggunakan gambaran yang bagus mengenai pohon
zaitun untuk melukiskan hubungan yang sangat erat antara orang-orang Kristiani
dan Yahudi: Gereja Bangsa-bangsa kafir adalah seperti tunas zaitun liar yang
muncul, dicangkokkan kepada pohon zaitun sejati yang adalah umat Perjanjian
(bdk. Rm. 11:17-24). Dengan kata lain, kita mengambil makanan kita dari akar rohani
yang sama. Kita menjumpai satu dengan yang lain seperti saudara-saudara yang
pada waktu tertentu dalam sejarah mereka telah mengalami hubungan yang tegang,
tetapi sekarang dengan teguh bertekad membangun jembatan persahabatan kekal. Seperti
dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada kesempatan lain: “Kita memiliki
banyak kesamaan. Bersama-sama kita dapat berbuat banyak bagi perdamaian,
keadilan dan bagi dunia yang lebih bersaudara dan lebih manusiawi.”
Saya ingin menekankan sekali lagi betapa Gereja menghargai sungguh
dialognya dengan bangsa Yahudi. Bila keadaan me[1]mungkinkan,
baiklah menciptakan kesempatan perjumpaan dan pertukaran baik secara umum
maupun secara pribadi, dan dengan demikian mendorong pertumbuhan dalam
pengenalan timbali balik, dalam penghargaan dan kerjasama satu sama lain, juga
dalam studi Kitab-kitab suci.
Penafsiran fundamentalis atas Kitab Suci
44. Perhatian yang telah kita curahkan kepada berbagai aspek
tema hermeneutika alkitabiah sekarang memungkinkan kita untuk membahas pokok
masalah yang beberapa kali muncul dalam Sinode, yaitu penafsiran fundamentalis
Kitab Suci. Komisi Kitab Suci Kepausan dalam dokumennya Penafsiran Kitab Suci
dalam Gereja telah merumuskan beberapa ketentuan penting. Di sini saya ingin secara
khusus berbicara mengenai pendekatan-pendekatan yang gagal menghargai
otentisitas teks suci, tetapi mempromosikan penafsiran yang subjektif dan
sesuka hati. “Literalisme” yang didukung oleh pendekatan fundamentalis
sesungguhnya memperlihatkan suatu pengkhianatan baik terhadap makna harfiah maupun makna rohaniah, dan membuka
jalan kepada berbagai macam manipulasi, seperti, misalnya menyebarkan
penafsiran Kitab suci yang anti-gerejawi. “Masalah mendasar dengan penafsiran
fundamentalis adalah, bahwa dengan menolak memperhitungkan sifat historis wahyu
Alkitab, membuat dirinya tidak mampu menerima kebenaran penuh dari inkarnasi
sendiri. Berkaitan dengan relasi dengan
Allah, fundamentalisme berusaha melepaskan diri dari setiap kedekatan yang
ilahi dan yang manusiawi… Untuk alasan ini, fundamentalisme cenderung untuk memperlakukan
teks alkitabiah seolah-olah didiktekan kata demi kata oleh Roh. Ia gagal
mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan yang
dipengaruhi oleh berbagai zaman.” Di sisi lain, Kekristenan memahami bahwa dalam kata-kata adalah Sabda itu
sendiri, Logos yang memperlihatkan misteri-Nya melalui kompleksitas dan
realitas sejarah manusia. Jawaban benar kepada pendekatan fundamentalis adalah
“penafsiran Kitab Suci yang penuh iman.” Cara penafsiran demikian, “yang
dipraktikkan dari zaman kuno dalam Tradisi Gereja, mencari kebenaran yang
menyelamatkan bagi kehidupan individu orang Kristiani dan bagi Gereja. Hal ini
mengakui nilai historis dari tradisi alkitabiah. Justru karena nilai
tradisional sebagai kesaksian historis, bacaan ini berusaha menemukan makna hidup
dari Kitab Suci bagi kehidupan orang-orang beriman saat ini,” sementara tanpa
mengabaikan perantaraan manusiawi dari teks yang diilhami dan dari jenis
sastranya.
Dialog antara para imam, teolog, dan ekseget
45. Suatu hermeneutika iman yang autentik memiliki beberapa konsekuensi
penting bagi kegiatan pastoral Gereja. Para Bapa Sinode sendiri menyarankan,
misalnya, suatu hubungan kerja lebih erat di antara para pastor, ekseget dan
teolog. Konferensi-konferensi
para Uskup dapat mendorong pertemuan-pertemuan demikian itu dengan “tujuan
untuk mengembangkan persekutuan lebih besar dalam pelayanan Sabda Allah.” Kerja
sama demikian akan membantu semua untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara
lebih efektif bagi kebaikan seluruh Gereja. Bagi para ahli juga, orientasi
pastoral ini melibatkan pendekatan
teks suci dengan kesadaran bahwa inilah pesan yang ditujukan Tuhan kepada kita bagi
keselamatan kita. Dalam kata-kata dari Konstitusi Dogmatis Dei Verbum: “Para
ahli Kitab Suci Katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama erat harus
berusaha supaya mereka di bawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan
dengan upaya-upaya yang
tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab Suci sedemikian rupa, sehingga sebanyak
mungkin pelayan Sabda Allah dengan hasil yang baik dapat menyajikan
santapan Kitab Suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan
kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah.”
Alkitab dan Ekumenisme
46. Menyadari bahwa Gereja memiliki fondasinya di dalam
Kristus, Sabda Allah yang Menjelma, Sinode ingin menekankan sentralitas studi
alkitabiah dalam dialog ekumene yang bertujuan pada ungkapan penuh dari
kesatuan semua kaum beriman dalam Kristus.151 Kitab Suci sendiri berisi doa
Yesus yang penuh semangat kepada
Bapa, supaya para murid-Nya menjadi satu, supaya dunia menjadi percaya (bdk.
Yoh. 17:21). Semua ini dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa dengan
mendengarkan dan merenungkan bersama-sama Kitab Suci, kita mengalami suatu
persekutuan yang nyata, meskipun belum penuh; “Maka, mendengarkan Kitab Suci secara
bersama mendorong kita kepada dialog kasih dan memungkinkan perkembangan kepada
dialog kebenaran.” Mendengarkan bersama Sabda Allah, terlibat dalam lectio
divina Alkitab, membiarkan diri
kita tersentuh oleh kesegaran yang tak habis-habisnya dari Sabda Allah yang
tidak pernah menjadi tua, mengatasi ketulian kita terhadap kata-kata itu yang
tidak cocok dengan pendapat atau prasangka kita sendiri, mendengarkan dan mempelajari
dalam persekutuan kaum beriman dari segala abad: semua hal ini melukiskan suatu
cara untuk mencapai kesatuan iman sebagai jawaban mendengarkan Sabda Allah.
Kata-kata Konsili Vatikan II jelas dalam hal ini “dalam dialog (ekumenis) sendiri
Kitab Suci adalah alat berharga di tangan Allah yang mahakuasa untuk mencapai
kesatuan yang diulurkan sang Juru Selamat kepada semua.” Oleh karena itu,
hendaknya ada perkembangan dalam studi ekumenis, diskusi dan perayaan Sabda Allah, dengan menghormati norma-norma
yang ada dan berbagai macam tradisi. Perayaan-perayaan ini mendorong alasan ekumenisme dan, bilamana dilaksanakan
dengan baik, menghadirkan saat-saat intens doa sejati yang memohon kepada Allah
untuk mempercepat hari yang dinanti-nanti, ketika kita pada akhirnya semua
dapat duduk pada satu meja dan minum dari satu piala. Namun, meskipun layak
dipuji dan tepat untuk memajukan pelayanan-pelayanan demikian, perlulah
diperhatikan untuk tidak menganjurkan hal-hal itu kepada kaum beriman sebagai
alternatif pengganti untuk merayakan Misa Kudus pada hari Minggu atau hari raya
yang diwajibkan.
Dalam karya studi dan doa, kita dengan tenang mengakui bahwa
aspek-aspek ini masih tetap perlu didalami lebih lagi dan dalam hal apa saja kita tetap berbeda, seperti
pemahaman mengenai subjek yang berwenang untuk penafsiran dalam Gereja dan
peranan menentukan dari Magisterium.
Akhirnya, saya ingin menekankan pernyataan Bapa-bapa Sinode mengenai
pentingnya, dalam karya ekumenis ini, penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai
bahasa. Kita tahu bahwa penerjemahan sebuah teks bukan sekadar pekerjaan
mekanis, melainkan dalam arti tertentu menjadi karya penafsiran. Dalam kaitan
ini, Venerabilis Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “Siapa pun yang mengenangkan,
betapa besar pengaruh diskusi-diskusi tentang Kitab Suci atas
perpecahan-perpecahan, terutama di Barat, dapat menghargai langkah maju yang
relevan, yang ternyata dari terjemahan-terjemahan bersama itu.” Mendorong
terjemahan bersama Alkitab adalah bagian dari usaha-usaha ekumenis. Saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dalam karya yang penting
ini, dan saya mendorong mereka untuk bertekun dalam usaha mereka.
Berbagai konsekuensi bagi studi teologi
47. Konsekuensi lebih lanjut dari hermeneutika iman yang memadai
berkaitan dengan implikasi-implikasi penting bagi pendidikan eksegese dan
teologi, terutama bagi para calon imam. Hendaknya diperhatikan untuk memastikan
bahwa studi Kitab Suci sungguh menjadi jiwa teologi sejauh diakui sebagai Sabda
Allah yang ditujukan kepada dunia masa kini, kepada Gereja dan kepada masing-masing
dari kita secara pribadi. Pentinglah bahwa kriteria yang disebut dalam
Konstitusi Dogmatis Dei Verbum 12 mendapat perhatian sungguh dan menjadi obyek
studi yang lebih mendalam. Hendaklah dihindari suatu gagasan penelaahan ilmiah
yang menganggap diri netral berkenaan dengan Kitab Suci. Sambil mempelajari
bahasa-bahasa asli yang digunakan untuk menulis Alkitab dan metode-metode
penafsiran yang sesuai, para mahasiswa perlu memiliki hidup rohani mendalam,
supaya mereka dapat menghargai
bahwa Kitab Suci hanya dapat dipahami jika itu dihayati.
Oleh karena itu, saya mendesak supaya studi Sabda Allah,
baik yang dalam bentuk tradisi maupun
yang tertulis, hendaknya tetap dilaksanakan dengan semangat gerejawi yang
mendalam dan supaya pendidikan akademis memperhitungkan intervensi Magisterium
pada tema-tema itu, yang “tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya,
yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Firman itu,
karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan
khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia.” Maka, hendaknya diperhatikan bahwa
pengajaran-pengajaran yang diberikan mengakui bahwa “Tradisi suci, Kitab Suci
dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling
berhubungan dan terpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada
tanpa kedua lainnya.” Saya berharap bahwa dalam kesetiaan terhadap ajaran
Konsili Vatikan II, studi Kitab Suci, yang
dibaca dalam persekutuan dengan Gereja universal, akan sungguh-sungguh menjadi
jiwa studi teologi.
Para kudus dan penafsiran Kitab Suci
48. Penafsiran Kitab Suci akan tetap tidak lengkap bila
tidak mencakup mendengarkan mereka yang sungguh telah menghayati Sabda Allah:
yaitu para kudus. Sungguh, “viva lectio est vita bonorum (kehidupan para Kudus
adalah bacaan yang hidup).” Penafsiran
Alkitab yang paling mendalam justru berasal dari mereka yang membiarkan diri
dibentuk oleh Sabda Allah dengan mendengarkan, membaca dan merenungkannya
dengan tekun.
Tentu saja tidak secara kebetulan bahwa aliran-aliran
spiritualitas besar dalam sejarah Gereja berasal dengan referensi eksplisit pada Kitab Suci. Saya berpikir misalnya pada
teladan Santo Antonius Abas, yang tergerak hati dengan mendengarkan kata-kata
Kristus: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat. 19:21).164 Tidak
kurang mengesankan adalah pertanyaan yang diajukan oleh Santo Basilius Agung
dalam Moralia: “Apakah tanda distingtif iman? Kepastian yang penuh dan tanpa ragu-ragu
bahwa Sabda yang diilhamkan oleh Allah adalah benar… Apakah tanda distingtif
orang beriman? Menyesuaikan hidupnya dengan kepastian penuh yang sama pada
makna kata-kata Kitab Suci, tidak berani menghilangkan atau menambahkan
apa-apa.” Santo Benediktus dalam
Regulanya, mengacu kepada Kitab suci sebagai “Norma yang paling sempurna bagi
hidup manusia.” Santo Fransiskus
dari Asisi – kita tahu hal itu dari Thomas Celano –“ketika mendengar bahwa para
murid Kristus hendaklah tidak memiliki emas, atau perak, atau uang, atau
membawa kantong, atau roti, tongkat bagi perjalanan, atau sandal atau dua
jubah… dengan bersuka riadalam Roh
Kudus, tiba-tiba berteriak: Inilah apa yang saya kehendaki, inilah apa yang
saya minta, inilah yang ingin saya lakukan dengan sepenuh hatiku!” Santa Clara
dari Asisi membagikan secara penuh pengalaman Santo Fransiskus: “Bentuk kehidupan
dari Ordo Suster-suster Miskin – ia menulis – adalah demikian: menaati Injil
suci Tuhan kita Yesus Kristus.” Demikian juga, Santo Dominikus “di mana-mana
menunjukkan dirinya sebagai manusia Injil, dalam perkataan dan perbuatan” dan menginginkan
para biarawannya juga menjadi “manusia Injil.” Santa Theresia Avila seorang Karmelit, yang di dalam tulisan-tulisannya terus-menerus
menggunakan gambaran alkitabiah untuk menjelaskan pengalaman mistiknya,
mengatakan bahwa Yesus sendiri mewahyukan kepadanya bahwa “semua kejahatan di dunia
disebabkan karena tidak mengetahui dengan jelas kebenaran Kitab Suci.” Santa Theresia
Kanak-kanak Yesus menemukan bahwa kasih adalah panggilan pribadinya karena
membaca Kitab Suci dengan rajin, terutama bab 12 dan 13 Surat Pertama kepada Jemaat
Korintus; Santa yang sama melukiskan daya tarik Kitab Suci: “Tidak lama setelah
aku menatap Injil, tiba-tiba aku menghirup keharuman kehidupan Yesus dan aku
tahu kemana aku harus lari.” Setiap orang kudus adalah seperti seberkas cahaya yang
memancar dari Sabda Allah: kita dapat membayangkan Santo Ignatius dari Loyola
dalam pencarian kebenarannya dan dalam disermen rohaninya; Santo Yohanes Bosco
dalam hasratnya bagi pendidikan orang-orang muda; Santo Yohanes Maria Vianney dalam kesadarannya akan keagungan
imamat sebagai karunia dan tugas; Santo Pius dari Pietrelcina dalam
pelayanannya sebagai alat belas kasih Ilahi; Santo Jose Maria Escriva dalam
khotbahnya mengenai panggilan universal kepada kekudusan; Beata Teresa dari
Kalkuta, misionaris belas kasih Allah terhadap orang-orang paling miskin dari
yang miskin, dan kemudian para martir Nazisme dan Komuni, yang diwakili Santa
Theresa Benedikta dari Salib (Edith Stein), seorang biarawati Karmelit, dan
Beato Aloysius Stepinac, Kardinal Uskup Agung Zagreb.
49. Kekudusan yang dijiwai oleh Sabda Allah dituliskan,
dengan cara tertentu, dalam tradisi kenabian, di mana Sabda Allah membawa hidup
para nabi kepada pelayanan. Dalam arti ini, kesucian dalam Gereja merupakan suatu penafsiran Kitab Suci yang tak
boleh dilalaikan. Roh Kudus yang mengilhami para penulis suci adalah Roh yang
sama yang mendorong para kudus untuk menyerahkan hidup mereka bagi Injil. Dalam
usaha untuk belajar dari teladan mereka, kita memulai jalan pasti menuju
hermeneutik yang hidup dan efektif dari Sabda Allah.
Kita melihat suatu kesaksian langsung yang menghubungkan kesucian
dan Sabda Allah selama Sidang Sinode ke-12 ketika empat santo baru dikanonisasi
pada 12 Oktober di Lapangan Santo Petrus; Gaetano Errico, imam dan pendiri dari
Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus dan Maria; Ibu Maria Bernarda Bütler, kelahiran Switzerland dan seorang misionaris
di Ekuador dan Kolombia; Suster Alfonsa dari Immaculata Conceptio, santa pertama
kelahiran India yang dikanonisasi; dan seorang perempuan awam muda dari Ekuador
Narcisa de Jesús Martillo Morán. Dengan kehidupan mereka, mereka memberi
kesaksian di hadapan dunia dan Gereja tentang kesuburan abadi Injil Kristus.
Melalui perantaraan para kudus yang dikanonisasi pada waktu sidang sinode
mengenai Sabda Allah ini, marilah kita mohon kepada Tuhan agar hidup kita bisa
menjadi “tanah yang subur” di mana penabur ilahi menanamkan Sabda, sehingga
Sabda itu dapat menghasilkan buah kekudusan dalam diri kita “tiga puluh kali
lipat, enam puluh kali lipat, seratus kali lipat” (Mrk. 4:20).
|Bersambung|