Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Hidup sesudah kematian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hidup sesudah kematian. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Desember 2022

KONSEKUENSI INKARNASI (2)

 



Memahami Pengalaman Religius

Juga ada suatu perbedaan mendasar antara seorang yang beriman kepada Tuhan dengan seorang Kristiani dalam caranya secara aktif mencari Tuhan dan memahami pengalaman keagamaan. Suatu contoh.

            Beberapa tahun yang diselenggarakan suatu seminar tentang doa. Wanita yang memimpin seminar itu adalah seorang pakar dalam metode doa Gereja Timur. Dia menjelaskan macam-macam metode meditasi dan pada titik tertentu berbagi dengan mengenai kehidupan doanya pribadi. Ia melukiskan bagaimana dia, dengan menggunakan metode tertentu yang meliputi duduk diam selama dua jam setiap hari, mengalami pengalaman akan Allah yang sangat menggerakkan hati. Pada waktu tanya-jawab, kepadanya ditanyakan bagaimana pengalaman akan Allah yang didapatnya di dalam doa itu jika dibandingkan dengan pengalamannya atas hidup sehari-hari, pengalamannya berbicara bersama, melakukan pekerjaan, dan makan bersama keluarga dari hari ke hari. “Tidak bisa dibandingkan,” jawabnya. “Berkumpul dan makan bersama dengan keluarga saya merupakan (pada umumnya) pengalaman manusiawi yang baik, tetapi tidak bersifat keagamaan. Hanya insani. Di dalam meditasi saya mendapatkan pengalaman yang sungguh religius.”

BACA JUGA: KONSEKUENSI INKARNASI 1

            Seorang Kristiani perlu menjadi seorang yang kafir sekaligus cukup bersifat inkarnatoris untuk membahas jawaban itu. Tanpa harus membahas pentingnya doa dan meditasi pribadi (yang kebanyakan dari kita harus lebih banyak melakukannya) yang harus dipertanyakan di sini, jika seseorang adalah orang Kristiani, adalah perspektif yang lebih bersifat teistik daripada bersifat inkarnatoris. Allah yang menjadi manusia dengan daging insani ditemukan, pertama-tama dan terutama, bukan di dalam meditasi dan juga bukan di dalam biara-biara, walaupun Allah juga berada di sana, tetapi di dalam rumah-rumah keluarga. Nikos Kazantzakis menyatakan: “Di mana anda menemukan suami dan isteri, di sanalah anda menemukan Tuhan; di mana ada anak-anak dan rebutan mainan dan penganan, di mana ada pertengkaran dan perdamaian di antara mereka, di situlah Tuhan berada juga.”[i] Allah dalam Inkarnasi lebih bersifat domestik (di dalam rumah keluarga) ketimbang bersifat monastik (di dalam biara).

            “Allah itu kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah” (1Yoh 4:7-16). Jika Kitab Suci menegaskan ini, kasih yang dibicarakannya bukan kasih yang terlalu romantis melainkan yang mengalir dalam kehidupan di suatu keluarga. Allah bukannya “jatuh cinta”, namun keluarga yang berbagi keberadaan. Allah yang ber-Inkarnasi hidup dalam suatu keluarga, suatu trinitas, suatu komunitas yang berbagi keberadaan. Maka perkataan Allah adalah kasih menyatakan bahwa Allah merupakan komunitas, keluarga dan cara keberadaan bersama, dan siapapun yang ikut berbagi keberadaannya di dalam suatu keluarga dan komunitas mengalami Allah dan kehidupan yang sesungguhnya dari Allah mengalir melalui dia, pria maupun wanita.

            Jika ini benar dan memang demikian, maka banyak yang harus berubah dalam cara mengalami Allah. Jika Tuhan berinkarnasi dalam kehidupan sehari-hari maka kemudian kita harus mencari Tuhan terutama dalam kehidupan sehari-hari. Namun begitu sering walaupun kita secara teori sudah tahu tentang ini, secara praktek kita tetap mencari Tuhan dengan cara yang tidak biasa.

            Misalnya: mengapa kita pergi berziarah ke tempat-tempat suci, bukannya dengan kaki telanjang duduk dan merasakan kesucian tanah dunia ini? Mengapa kita pergi ke tempat seperti Lourdes dan Fatima, melihat tempat Perawan Maria yang terberkati itu menangis, dan tidak melihat air mata pada anggota keluarga yang pada meja makan kita sendiri, duduk di seberang kita? Kita begitu terkesan membelalak pada Padre Pio, yang membawa luka-luka Yesus pada tangan dan kakinya, namun mata kita meram terpejam terhadap luka-luka Kristus pada wajah emosional orang-orang yang membutuhkan, yang malahan dengan sangat kita hindari? Tidak ada yang salah dengan berziarah, tempat suci Maria dan Padre Pio, namun bukan melalui mereka Tuhan mau menyatakan hal yang paling penting bagi kita. Seorang teman cerita bahwa ia biasa main golf secara berkala dengan seorang Kristiani Evangelis yang tulus dan penuh semangat, yang selalu berdoa mohon kepada Tuhan agar memeroleh penglihatan, visiun. Suatu ketika teman itu berkata kepadanya: “Anda mau melihat penglihatan atau visiun? Besuk bangunlah pagi-pagi dan lihatlah matahari terbit. Sungguh baik karya Allah itu!”

            Itulah suatu perspektif Kristiani tentang pengalaman keagamaan. Tuhan yang adalah kasih dan keluarga, yang lahir di suatu palungan, adalah Tuhan yang ditemukan pertama-tama dalam rumah kita, dalam keluarga kita, di meja makan kita, pada matahari terbit, dalam kegembiraan kita, dan dalam percakapan kita. Terlibat dalam aliran kehidupan yang normal, menerima dan memberi, betapapun banyak salahnya dan penuh derita pada waktu-waktu tertentu dalam hubungan-hubungan, adalah menghayati aliran hidup Tuhan melalui kita. Spiritualitas Kristiani bukanlah terutama untuk mengagumi Tuhan atau bahkan untuk meniru Tuhan, melainkan mengalami Tuhan dan ikut serta dengan ambil bagian dalam pasang surutnya hubungan sehari-hari dalam aliran hidup Tuhan. Tuhan yang menjadi daging, menjadi manusia agar dapat dialami oleh indera yang biasa sehari-hari, sekarang pun masih punya daging dan terutama dapat dialami melalui indera biasa sehari-hari.

 Memahami Misi

Beberapa tahun yang lalu susatu majalah Kristiani memuat keluhan seorang wanita, yang dengan nada pahit menjelaskan, mengapa ia tidak percaya kepada Tuhan. Dalam penjelasannya itu ia tidak pernah menyinggung soal dogma, moral atau wewenang gereja. Baginya, bahwa Tuhan atau Kristus dapat dipercaya itu bergantung pada sesuatu yang lain, yaitu wajah-wajah orang Kristiani. Keluhannya seperti berikut:

Tak perlu datang padaku dan bicara tentang Tuhan, jangan mengetuk pintuku membawa pamflet agama, jangan pula bertanya padaku apakah aku diselamatkan. Neraka bukan lagi merupakan ancaman dibanding dengan kenyataan hidupku yang keras dan mengerikan. Api neraka tampaknya lebih menarik daripada dinginnya hidupku yang menggigit hingga ke tulang. Dan tak usah bicara padaku tentang Gereja. Apa yang diketahui Gereja tentang rasa putus asa yang kualami – jika Gereja mengurung diri di balik kaca-kaca berwarna terhadap orang-orang seperti aku? Suatu ketika aku mencari pengampunan dan persahabatan komunitas dalam dinding-dinding kalian, tapi aku melihat Tuhanmu yang terpancar pada wajah kalian yang melengos dari orang-orang sepertiku. Ampunan tak pernah diberikan kepadaku. Kasih yang menyembuhkan yang kucari-cari disembunyikan rapat-rapat, hanya tersedia bagi kawan-kawan anda saja. Jadi pergilah dariku dan tak usah omong lagi tentang Tuhan. Aku sudah melihat Tuhanmu mewujud dalam dirimu dan dia adalah seorang Tuhan yang tak punya belas kasihan. Selama Tuhanmu tak mau memberikan sentuhan manusiawi yang hangat padaku, aku akan tetap menjadi orang yang tak percaya.[ii]

 

Hal terakhir yang dikatakan Yesus kepada kita adalah supaya kita pergi kepada orang-orang dan bangsa-bangsa dan mewartakan kehadiran-Nya (Mat 28:29-30). Namun hal itu seharusnya dipahami dengan tepat secara inkarnatoris, bukan secara teistik. Tantangannya (seperti yang dengan jelas dikatakan wanita itu) bukanlah menyampaikan aturan-aturan agama, membuat siaran televisi keagamaan untuk membuat Yesus terkenal, atau bahkan berusaha membaptis orang menjadi Kristiani. Tugas ini adalah untuk memancarkan kasih sayang dan cinta dari Tuhan, sebagaimana mewujud dalam Yesus, dalam wajah dan tindakan kita.

            Ketika nabi-nabi besar bangsa Israel dipanggil, Allah melakukan inisiasi pada mereka melalui ritual yang menarik. Mereka disuruh secara fisik memakan gulungan yang berisi Taurat, memakan Kitab Suci mereka (Yeh 3:1-3). Alangkah kuatnya perlambangan itu! Gagasannya adalah bahwa mereka harus mencerna kata-kata dan mengubahnya menjadi daging mereka sendiri, supaya orang dapat melihat sabda Allah dalam suatu tubuh yang hidup daripada tertulis dalam perkamen yang mati. Tugas menyampaikan Tuhan kepada orang lain bukanlah memberikan Kitab Suci atau bahan bacaan keagamaan lainnya, melainkan dengan melakukan transubstansiasi (mengubah substansi) Tuhan, seperti yang kita lakukan pada makanan yang kita santap. Kita harus mencerna sesuatu dan mengubahnya secara fisik menjadi daging pada tubuh kita dan menjadi bagian dari diri kita sebagaimana dilihat orang. Jika hal ini kita lakukan pada sabda Tuhan, maka orang lain tidak perlu membaca Kitab Suci untuk melihat seperti apa Tuhan itu, tetapi mereka tinggal melihat wajah dan hidup kita untuk melihat Tuhan.

            Jean Paul Sartre, yang filsuf eksistensialisme ateis itu dari perspektifnya menambahkan suatu pemahaman yang berharga di sini. Ia menyatakan bahwa manusia menciptakan wajahnya sendiri. Bagi Sartre, kita lahir tanpa wajah, maksudnya tanpa wajah yang bicara banyak. Ketika bayi lahir, ada tiga ciri pada wajahnya: wajahnya menunjukkan betapa sedikitnya aspek individualitas.  Kendati ibu-ibu protes, semua bayi tampak sangat serupa satu sama lain. Kedua, wajah bayi hanya sedikit menunjukkan kepribadian si anak. Jika memandang wajah bayi, hanya sedikit yang kita dapatkan sebagai petunjuk tentang karakter macam apa yang dipunyainya dan akan dikembangkannya. Akhirnya, wajah bayi menunjukkan keindahan yang bersifat genetik. Apakah bayi tampan, cantik atau tidak bergantung pada gen yang menurun kepadanya.

            Memang seperti itulah bayi yang baru lahir. Namun dengan berlalunya jam, hari dan tahun dalam hidupnya, keadaan awal ini berubah, dan menurut Sartre perubahan itu akan mencapai titik kulminasi pada umur empat puluh tahun, ketika akhirnya seseorang mendapatkan garis-garis yang esensial pada wajahnya. Pada umur empat puluhlah kita punya wajah. Pada umur itu kita tampak unik, lain dari orang lain di dunia (sekalipun kita dilahirkan kembar identik), wajah kita bicara banyak tentang siapa diri kita dan keindahan fisik kita mulai berbaur dengan keindahan umum kita sehingga apakah kita tampan atau tidak dinilai dari siapa kita, bukan dari sekedar aspek fisik dasar belaka. Dari umur empat puluh dan selanjutnya, wajah kita mewujudkan individu kita, karakter dan suatu keindahan-melebihi-aspek-genetik.

             Yang penting dalam hal ini pada akhirnya adalah apa yang membentuk wajah kita. Hingga umur empat puluh, unsur genetika pegang peranan paling utama, dan itulah sebabnya hingga umur itu kita dapat mementingkan diri sendiri dan masih tampak tampan. Namun berangkat dari usia itu, kita tampak seperti apa yang kita yakini. Jika saya cemas, kikir, mementingkan diri sendiri, pahit hati, sempit, dan memusat pada diri sendiri, wajah saya akan menunjukkannya. Sebaliknya, jika saya hangat, murah hati, rendah hati, dan memerhatikan orang lain, wajah saya juga akan menunjukkan hal itu. Suatu pikiran yang menakutkan; tidak ada wajah yang menyembunyikan rahasia sesudah usia empat puluh.

            Misi kita sebagai kaum beriman tepatnya adalah membentuk wajah kita dengan cara yang tepat. Sabda sudah mulai menjadi daging dan masih harus berlanjut menerima daging yang oleh Tuhan diubah bukan saja menjadi roti ekaristi, namun yang lebih penting lagi, adalah menjadi wajah manusia. Yesus mengajar bahwa Kerajaan Allah bekerja seperti ragi. Kita diminta memersilakan ajaran-Nya membentuk kita, dari dalam seperti ragi mengubah adonan, seperti musim panas mengubah pohon. Bagaimana kita mencerna Sabda Tuhan tentu membuat wajah kita secara fisik pun berbeda (Mrk 13:28). Maka, tugas kita yang pertama di dalam pewartaan adalah tanpa kata. Kita mengubah substansi Tuhan, supaya menampilkan wajah manusia pada belas kasih dan kerahiman ilahi. Jarang sekali kita perlu melakukan pewartaan dengan kata-kata.

 

Memahami hubungan dengan orang yang kita kasihi sesudah kematian mereka

Akhirnya juga ada suatu perbedaan besar antara seseorang yang sekedar bertuhan dan seseorang yang Kristiani dalam memahami hubungan dan keakraban dengan orang-orang yang dikasihi sesudah mereka itu meninggal. Baik orang bertuhan maupun orang Kristiani percaya akan kehidupan setelah kematian dan mereka juga percaya bahwa ada banyak kontak di antara kita yang masih hidup dan orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal. Namun, jika orang menerima kenyataan Inkarnasi, Tuhan yang menjadi manusia, adalah perbedaan spiritual mengenai caranya kontak-kontak itu terjadi.

            Bagi seorang yang bertuhan, pemahamannya akan hal ini sejauh-jauhnya terjadi kontak secara mistik, antar jiwa, melalui kehadiran imajinatif (kendati nyata) dari orang yang kita kasihi itu dalam diri kita. Sedangkan orang Kristiani yang tidak bertentangan dengan paham di atas bergerak lebih jauh lagi. Bagaimana orang Kristiani tetap berhubungan, mengasihi, berkomunikasi dan melakukan persekutuan hidup yang nyata dengan orang yang dikasihi sesudah kematian?   Bgaimana kita menemukan lagi orang yang kita kasihi itu setelah berpisah karena kematian? Melalui sabda yang menjadi daging. Dengan memberikan ungkapan konkret dalam hidup kita pada keutamaan dan kualitas di mana mereka diinkarnasikan sejauh mungkin. 

            Hal itu dijelaskan kepada kita pada kebangkitan Yesus. Pada Minggu Paskah, Maria dari Magdala pergi ke makam Yesus, hendak mengurapi jasad-Nya dengan rempah-rempah. Tapi ia menemukan makam itu kosong dan seorang malaikat berkata kepadanya: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Luk 24:5). Apakah dia sok tahu? Tidak. Sesungguhnya malaikat itu memberitahu Maria dari Magdala bahwa makam bukanlah tempat yang sesungguhnya untuk bertemu dengan orang yang telah meninggal dunia namun kini hidup dengan cara baru. Kita tidak menemukan orang yang kita kasihi dalam kubur mereka, walaupun mengunjungi makam itu suatu perbuatan baik. Malaikat yang tidak tampak ada di sana, di kubur dia yang kita kasihi, dan mengirim kita kembali pada hidup untuk mencari kekasih kita itu di sana. Di mana kita menemukan mereka?  Kita akan menemukan dia yang tak dapat lagi kita sentuh itu dengan menempatkan diri kita dalam situasi di mana jiwa-jiwa mereka pernah terkembang dulu. Mereka yang kita kasihi itu hidup di mana mereka selalu hidup dan di sanalah kita menemukan mereka. Apa artinya? Secara sederhana, kita menemukan mereka yang telah meninggal itu dengan memasuki kehidupan, dalam arti kasih dan iman, yang paling khas bagi mereka. Kita melakukan kontak dengan mereka dan menghubungkan diri kita sendiri dengan mereka, ketka dalam hidup kita kita memberi bentuk pada kekayaan hidup dan kasih sayang  yang tidak terbatas dengan cara yang dulu mereka lakukan, ketika kita mencurahkan hidup kita pada kehidupan yang mereka jalani dulu.

            Ayah saya sendiri sudah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Kadang-kadang saya mengunjungi makamnya. Dan itu pengalaman yang baik. Saya merasa mendapatkan suatu dasar di sana, sesuatu yang mengakar dalam-dalam, yang membantu saya memusatkan perhatian. Namun itu sesungguhnya bukan kontak yang nyata dengan mereka. Tetapi saya menemukan ayah di antara orang-orang hidup. Ayah dulu seorang juru penerang (istilah untuk karayawan Departemen Penerangan). Ia memberi banyak penerangan di desa-desa tentang program pemerintah dan dunia pertanian. Saya bertemu dengan ayah jika dalam hidup saya sendiri saya menghayati apa yang paling khas sehubungan dengan kasih, iman dan keutamaan yang dulu ia lakukan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Jadi misalnya, ibu saya almarhum adalah wanita yang sungguh tidak mementingkan diri sendiri, murah hati terhadap kesalahan siapa pun, dan selalu mau memberi. Jika saya murah hati dan memberikan diri saya seperti yang dilakukan ibu, saya berjumpa dengan ibu saya. Ia hadir dan hidup dalam sikap dan tindakan saya itu. Pada saat-saat seperti itu, saya mengalami dia sama sekali bukan sebagai orang mati. Begitu juga dengan ayah dan ibu saya. Kualitas yang paling hebat dari ayah adalah integritas moralnya, suatu ketegaran iman yang unik, suatu pemahaman yang tanpa kompromi, di mana tak ada tempat sekecil apa pun disediakan untuk melakukan kompromi moral. Pada saat-saat saya dapat menjadi anaknya dalam hal-hal seperti itu, yaitu ketika saya dapat mengatasi godaan kecil dan besar dalam hidup saya, ayah saya hadir, hidup, terhubung dengan saya dalam suatu komunitas hidup dengan saya.

            Jika yang terjadi sebaliknya, nah, itu agak susah. Ketika saya mementingkan diri sendiri dan tidak mau berkorban, ibu saya terasa tidak ada, jauh; sangat terasa bagi saya bahwa dia sungguh mati. Begitu juga dengan ayah: Ia sungguh tak ada jika saya tidak bicara atau menulis memberi sesuatu pencerahan. Bila saya melakukan kompromi moral, walaupun dalam masalah yang kecil, ayah saya tidak hidup bagi saya. Ia surut menjauh seperti gelombang balik. Tidaklah ada gunanya saya mengunjungi makam mereka di saat-saat ketika dalam kehidupan yang nyata ini, saya hidup di antara orang-orang mati. Jika saya berseru kepada mereka dalam doa di saat-saat seperti itu, satu-satunya jawaban yang saya peroleh dari malaikat kebangkitan dengan lembut adalah sama seperti yang dikatakan kepada Maria dari Magdala itu, mengapa kamu mencari dia yang hidup di antara orang-orang mati?

            Setiap orang yang baik memberi bentuk pada kasih sayang dan hidup Tuhan dengan caranya yang unik. Ketika orang itu mati, kita harus mencari dia di antara orang-orang hidup. Dengan demikian, jika kita menginginkan kehadiran dia yang kita kasihi, kita harus mencari dia dalam caranya yang paling khas bagaimana ia mengasihi, beriman, dan melakukan keutamaan. Jika ibu anda ramah, anda bertemu dengan dia ketika anda ramah pada orang lain; jika sahabat anda sangat gigih memerjuangkan keadilan, anda bertemu dengan dia ketika anda terjun memerjuangkan keadilan; jika bibi anda sangat bersemangat dalam memersiapkan makan bagi keluarga dan suka bercanda riang, anda kan menemui dia ketika makan bersama keluarga anda dan bercanda tawa di rumah anda.

            Begitulah caranya orang Kristiani menemukan orang yang dikasihinya yang telah meninggal. Orang bertuhan mengunjungi makam (orang Kristiani juga mengunjungi makam karena mereka juga orang bertuhan), namun karena Inkarnasi, karena kita semua adalah bagian dari sabda yang menjadi daging, sebagai orang Kristiani, kita mencari kekasih kita yang telah meninggal di luar makam, di antara orang-orang hidup – di meja makan kita, dalam pub, di tempat kerja, dalam membuat keputusan besar atau pun kecil dalam hidup sehari-hari.

 

Inti Spiritualitas seorang Kristiani

Dalam pendahuluan bukunya tentang Yesus, John Shea menyampaikan komentar ini:

      Ketika suku kata terakhir dari uraian tentang Yesus telah diucapkan, seorang pria botak, kecil yang sedari tadi diam saja, berkata, “Tunggu dulu, aku....” Sesudah dua ribu tahun orang masih berziarah pada Yesus. Mereka membawa ego mereka yang melembung dan codet tahun lalu, harapan yang liar dan beberapa ketakutan yang tak berdasar, kegembiraan yang palsu dan hati yang ragu dan memohon agar Yesus merapikannya. Kita hanya sedikit demi sedikit menyadari kaitan dari janji Yesus, “Aku akan menyertai kamu hingga sampai di akhir zaman.” Ini bukan hanya berarti bahwa Dia tidak akan pergi jauh, tetapi juga bahwa kita tidak dapat menolak Dia. Ia terus menggulirkan hingga terbuka batu penutup kubur di mana kita memakamkan Dia.[iii]

 

Ketika kita berusaha keras menyalurkan eros semangat dan hasrat kita, kita dapatkan disiplin spiritual yang memberikan hidup pada kita, kita perlu membawa ego kita, bilur-bilur kita, harapan kita, kecemasan kita, kegembiraan dan keraguan kita pada Yesus agar ditata oleh-Nya. Namun spiritualitas Kristiani adalah lebih dari itu. Energi yang kuat dari Allah begitu besar menyala dalam diri kita akan membawa kita pada kedewasaan, kreativitas dan ketenangan, jika kita membentuk hidup kita dan tubuh kita sesuai dengan cara Yesus membentuk hidup dan tubuh-Nya, ketika kita membantu Dia melaksanakan Inkarnasi maju lebih jauh lagi. Spiritualitas seperti itu bukanlah suatu hukum, melainkan suatu kehadiran untuk dirangkul, dilaksanakan dan diwujudkan.

 

 Baca juga: SPIRITUALITAS INKARNASI



[i] Nikos Kazantzakis, The Last Temptation of Christ, Simon & Schuster, 1960.

 

[ii] Naskah ini diubah sedikit dari aslinya yang ditulis oleh Marie Livingston Roy, dalam Alive Now, 1975, hal 44.

 

[iii] John Sea, The Chalengge of Jesus, Chicago, Thomas More, 1976. hal 11.