Pada tanggal 11 Oktober kita akan memeringati Paus St Yohanes XXIII, terutama perannya dalam Konsili Vatikan II. Tanggal 11 Oktober dipilih untuk mengenang dia karena pada hari itu terlaksanalah cita-citanya untuk menyelenggarakan Konsili Vatikan II. Pada 11 Oktober 1962 Konsili Ekumenis Vatikan II dibuka.
Paus St Yohanes XXIII yang sebelum terpilih menjadi penerus Paus Pius XII berkesempatan menjadi duta besar Vatikan di
banyak tempat (Bulgaria, Turki, Paris, UNESCO)
merasakan tuntutan besar yang berbeda terutama berkaitan dengan
perdamaian dunia dan persatuan umat kristiani, dan menginginkan masa
kepausannya sebagai masa transisi.
Paus St Yohanes XXIII menggagas Konsili baru, sebab menurut
Paus Yohanes XXIII dalam 50 tahun terakhir, telah terjadi perubahan yang sangat
besar di dunia yang membutuhkan suluh iman dari Gereja. Konsili Vatikan IIbaginya harus menjawab tantangan baru yang dihadapi Gereja dari perkembangan situasi dunia yang
membutuhkan tuntunan iman. Di satu pihak hidup Gereja Katolik dalam ajaran dan tindakan sejak pertengahan
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 berhadapan dengan gelombang Protestanisme yang marak dengan perpecahan di
sana-sini serta berhadapan dengan paham-paham rasionalisme, liberalisme,
komunisme, sosialisme, modernisme, fasisme, dan kristianitas semakin
mengandalkan sentralisasi ke Vatikan, sehingga Gereja semakin terkonsentrasi bagaikan
benteng tertutup yang aman. Di pihak lain perkembangan dunia pasca Revolusi
Rusia 1917, Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1945 memerlukan panduan yang
sesuai dengan situasi dan kondisi: Perang Dingin antara blok Komunisme dan
blok Demokrasi; munculnya gerakan non-blok,
Perang Korea dan Perang Vietnam; Krisis Hungaria; Krisis Sino-Soviet dan
kosekuensinya atas Perang India; dekolonisasi Afrika dan maraknya nasionalisme
dengan munculnya negara-negara yang baru merdeka, bahaya kelaparan di Afrika
dan Asia, semua itu menyadarkan bahwa
Gereja perlu keluar dari bentengnya
dan membuka pintu-pintunya, memperbarui kehadiran dan misinya di dunia untuk
dapat berdialog dan aktif terlibat dalam kehidupan dunia sebagai sakramen
keselamatan bagi dunia. Suatu aggiornamento, pembaruan, dengan meneguk kembali
dari sumber-sumber imannya yang asli.
Kehendak Paus Yohanes XXIII itu lalu dikemukakan di hadapan
17 Kardinal yang berkumpul di Aula Utama
Biara Benediktin, setelah di Basilika St
Paulus merayakan peringatan pertobatan St. Paulus. Terutama karena merebaknya krisis iman dan
moral yang serius, Gereja dirasa jauh dari kehidupan sehari-hari dan pergumulan
dunia, terpusat hanya dalam ritual saleh dalam Misa berbahasa Latin yang tidak
dimengerti sebagian besar umat di dunia.
Maka seperti St Paulus yang disapa Kristus, bertobat dan melaksanakan amanat perutusan,
demikianlah Gereja juga. Pernyataan Paus itu di kemudian hari
digambarkan sebagai “ilham dari Allah, bunga musim semi yang tak terduga” (Motu
propio Superno Dei Nutu, 5-6 1960:
Acta et Documenta Concilio Oecumenico Vatican II apparando, Series I, vol. I,
Typis Polyglottis Vaticanis 1960, p. 93.)
Maklumat Paus St Yohanes XXIII tentang penyelenggaraan
Konsili Vatikan II itu sangat mengejutkan. Dan selanjutnya baik di dalam Gereja
untuk teologi maupun di luar Gereja
untuk sisi moral sosial politik dan ekonomi,
gema maklumat itu bergaung sampai jauh, di satu pihak menimbulkan
harapan dan optimisme baru, di pihak lain membangkitkan spekulasi mengenai apa
yang akan terjadi, termasuk praduga-praduga yang keliru.
Melanjutkan gagasan tentang Konsili, dengan penuh iman setia
kepada Tuhan, tanpa menunda-nunda lagi, Paus St Yohanes XXIII pada 15 Mei 1959
membentuk panitia pra-persiapan Konsili Vatikan II dipimpin Kardinal D. Tardini, dan
memerintahkan konsultasi seluas-luasnya
untuk menentukan tema-tema yang perlu dipersiapkan untuk Konsili.
Pada hari Pentakosta, 18 Juni 1959, disebarkan kuesioner
konsultasi kepada para Uskup di seluruh dunia, tentang materi apa yang perlu
dibicarakan dalam Konsili Vatikan II.
Bahan-bahan (Quaestiones
Commissionibus praeparatoriis Concilii Oecumenici Vaticani II positae) dikumpulkan
Panitia Persiapan dari Komisi Teologi tentang Sumber Wahyu, tentang Gereja (Tubuh
Mistik Kristus, Uskup, Awam), tentang Tertib Moral Adikodrati (berhadapan
dengan materialisme, komunisme, naturalisme, laikisme), tentang lembaga
Perkawinan, dan tentang Ajaran Sosial Gereja. Dari para Uskup berkenaan dengan
pembagian dan batas keuskupan, tentang wewenang dan kuasa Uskup (dalam hubungan
dengan Kuria Roma, pastor-pastor di bawahnya, dan dengan ordo/tarekat), tentang
pastoral teritorial (dan kemungkinan mendirikan paroki personal), dan tentang
para pendatang (imigran). Tentang Imam dan Umat Awam: penyebaran imam,
pemindahan imam, busana imam, Hari Raya Gerejawi, Katekese, Kesejahteraan
Gereja, dan tentang serikat persaudaraan
seiman. Dari Komisi Hidup Bakti, tentang pembaruan hidup bakti (penyesuaian konstitusi,
pedoman dll), tentang persatuan dan konfederasi antar-tarekat, tentang
privilegi dan karya kerasulan, tentang busana para religius. Dari Komisi
Sakramen, tentang penguatan, pengakuan, tahbisan (minor, diakonat dan praktek
kuno), tentang perkawinan, tentang imam yang sudah tidak berfungsi. Dari Komisi
Liturgi, tentang perubahan kalender liturgi, tentang Misa, tentang Ritus-ritus,
tentang Sakramen, tentang Ibadat Harian dan tentang bahasa Liturgi. Dari Komisi
Studi dan Seminari, tentang panggilan, tentang kurikulum pembinaan calon imam,
tentang pembinaan rohani para imam, tentang pembinaan pastoral, tentang
disiplin, tentang sekolah katolik. Dari Komisi Gereja Timur: tentang peralihan
ritus, tentang ibadat bersama, tentang rekonsiliasi. Dari Komisi Misi, tentang
karya misi, tentang panggilan misionaris, tentang misionaris, tentang imam
pribumi, tentang relasi Keuskupan dan karya misi. Dari Komisi Awam, tentang
kerasulan awam, tentang Aksi Katolik, tentang serikat-serikat awam. Akhirnya
tentang pers dan media: tentang ajaran Gereja, tentang pembinaan hati-nurani
melalui media, tentang keselarasan iman dan moral dengan karya seniman, tentang
media dan karya kerasulan.
Keseluruhan lebih dari 2700 uskup dan superior general serta
62 lembaga akademis dihubungi. Jawaban diterima dari 2100 pihk atau 76.4% dari
sebaran. Dari jawaban yang diperoleh Komisi Persiapan Konsili lalu membuat agenda
skema-skema tema dan jadwal pembahasan, yang hasilnya akan dituangkan dalam
dokumen-dokumen. Komisi Persiapan Konsili diperbarui mengingat meluasnya harapan-harapan yang diterima.
25 Desember 1961 Paus St Yohanes XIII menerbitkan surat apostolik, Humanae Salutis, suatu pernyataan resmi mengundang Konsili Vatikan II. Beliau menyatakan alasan yang mendesak: “Dewasa ini Gereja menyaksikan suatu krisis yang menerpa masyarakat. Sementara manusia berada di ambang zaman baru, suatu tugas yang sungguh berat dan luas menunggu Gereja , sebab dalam masa-masa yang paling tragis dalam sejarahnya, yaitu bagaimana menyampaikan daya kekuatan Injil yang memberikan hidup kekal kepada dunia modern, dunia yang sedang mengagungkan penguasaan teknik dan ilmiah yang membawa konsekuensi membutuhkan tatanan fana tanpa Tuhan. Karenanya masyarakat modern diwarnai oleh kemajuan besar secara material namun tidak disertai kemajuan moral. Dengan demikian melemahlah penghargaan pada nilai-nilai kerohanian, semakin besarlah kecondongan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi semata yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi yang dapat dengan mudah dijangkau semua orang; dari situ tampillah fakta baru yang yang sungguh mengganggu: adanya suatu ateisme militan yang bekerja di seluruh dunia.”
“Keprihatinan yang menyesakkan ini mengingatkan agar kita
selalu berjaga dan senantiasa membangunkan rasa tanggungjawab kita. Sementara
jiwa-jiwa yang tidak beriman hanya melihat kegelapan yang menyelimuti dunia ,
kita memilih menguatkan iman kita pada Sang Penyelamat, yang tidak meninggalkan
begitu saja dunia yang telah ditebus olehNya. Sesungguhnya, dengan mengindahkan
nasihat Yesus agar kita membaca “Tanda-tanda zaman” (Mat 16:4), kiranya niscaya
bagi kita di tengah kegelapan yang sedemikian pekat ini, untuk mendapatkan lebih banyak petunjuk yang
memberikan harapan atas nasib Gereja dan umat manusia. Perang-perang
pertumpahan darah yang terjadi silih berganti di zaman kita, kehancuran rohani
yang disebabkan berbagai ideologi, serta pahit getir yang kita alami adalah
pelajaran yang sungguh mahal. Kemajuan ilmiah melulu justru telah memberikan
kemampuan kepada manusia untuk menghasilkan bencana yang menyebabkan kehancuran
sehingga sungguh patut diragukan; memaksa manusia berpikir keras; lebih menyadari keterbatasan mereka,
merindukan damai, dan lebih menyadari pentingnya nilai-nilai rohani; terjadi
percepatan untuk memajukan kerjasama erat dan integrasi timbal balik antara
pribadi-pribadi, golongan-golongan masyarakat dan bangsa-bangsa ke arah mana,
kendati di tengah ribuan ketidakpastian, keluarga manusia tampak sudah bergerak. Semua ini niscaya memudahkan
tugas kerasulan Gereja, sebab banyak orang yang di masa lalu tidak menyadari
betapa penting misi perutusannya, sekarang setelah belajar dari pengalaman,
lebih siap untuk menerima ajarannya.”
“Berhadapan dengan dua sisi pemandangan—suatu dunia yang
berada dalam situasi kemiskinan rohani dan Gereja Kristus yang tetap ceria oleh
daya hidup –kami, sewaktu, oleh karena penyelenggaraan ilahi kendati merasa
kurang pantas, diangkat kepada jabatan kepausan, serta merta merasakan tugas
mendesak mengumpulkan putra-putra untuk
berhimpun demi kemungkinan bagi Gereja memberi sumbangsih yang lebih efektif
guna memecahkan masalah-masalah zaman modern.
Untuk itulah, dengan menyambut datangnya suara batin dari atas dari Roh
kita, kami kira sudah tibalah saatnya untuk memberikan kepada Gereja Katolik
dan dunia suatu Konsili ekumenis baru, sebagai tambahan dan kelanjutan dari
rangkaian dua-puluh Konsili yang
sepanjang berabad-abad terdahulu merupakan karunia rahmat penyelenggaraan
ilahi bagi kemajuan umat kristiani. Gema
penuh sukacita yang timbul dari maklumat tentang Konsili ini, dilanjut peran
serta penuh doa dari segenap Gereja dan kerja keras dalam menyiapkannya yang sungguh
menambah semangat, serta minat besar atau setidaknya perhatian yang penuh
penghargaan dari pihak-pihak bukan-katolik dan bukan-kristiani, telah
menunjukkan dengan jelas bahwa Konsili yang penting dalam sejarah ini tidak
akan dilewatkan oleh siapa pun.”