Dalam dua WAG yang saya ikuti beberapa hari yang lalu ramai dibicarakan "Pembenaran". Saya coba mencari suatu ikhtisar ajaran tentang "Pembenaran" baik menurut Kitab Suci maupun dari sejarah kristiani. Semoga berguna.
Pembenaran
Salah satu cara untuk mengungkapkan ajaran tentang
keselamatan dalam Perjanjian Baru. Dapat merujuk (1) tindakan ilahi maupun (2) proses
perkembangan rohani. Sebagai suatu tindakan ilahi, pembenaran adalah saat di mana
Allah membenarkan orang yang percaya kepada Kristus dan menempatkan dia dalam
suatu hubungan perjanjian dengan DiriNya. Sebagai suatu proses, pembenaran
adalah pertumbuhan dalam kebenaran dan rahmat
yang terjadi pada orang beriman yang mengikuti tuntutan Injil dan
memercayakan dirinya dalam bimbingan Roh.
I. Terminologi
II. Dalam Perjanjian Lama
III. Dalam Perjanjian Baru
A. Injil
B. Surat-surat Paulus
C. Surat Yakobus
IV. Pentingnya Ajaran
I. Terminologi
Kosa kata pembenaran merupakan antar-hubungan Bahasa Ibrani
dan Yunani dalam cara tertentu yang dapat mengaburkan terjemahan dalam bahasa
lain. Dalam bahasa Kitab Suci ada suatu hubungan antara kata kerja
“membenarkan” (bahasa Ibrani hisdiq; Yunani dikaioĊ), kata benda “keadilan,
kebenaran” (Ibrani sedaqa; Yunani dikaiosyne) dan kata sifat “adil, benar”
(Ibrani saddiq; Yunani dikaios). Kata-kata ini, yang digunakan untuk
menggambarkan tindakan dan hasilnya pembenaran, mempunyai akar yang sama dalam
kedua bahasa. Bahasa Inggris hanya sebagian saja dapat mengungkapkannya dengan
trio “justify, justice dan just” (mengadili, keadilan, adil) tetapi penerjemah sering menghindari
dua kata terakhir karena hubungan yang berasal dari filsafat dan yurisprudensi
klasik. Mereka cenderung lebih menyukai “kebenaran” dan “benar” karena lebih
merupakan padan kata yang lebih cocok.
Sementara itu bahasa Inggris kekurangan kata kerja yang sepadan yang
berintikan kata dasar “---right—“ untuk mengisi trio “........(?),
righteousness (kebenaran), right (benar)”, [sehingga yang terjadi adalah gado-gado
“justify, righteousness, right”]. Tapi sisihkan saja dulu soal teknis
terjemahan, yang penting kita menyadari adanya kesatuan konseptual yang
mendasari kosa kata alkitabiah mengenai pembenaran itu.
II. Dalam
Perjanjian Lama
Pembenaran mendapat tempat istimewa di dalam Perjanjian
Baru, namun dasar-dasar ajarannya diletakkan dalam Perjanjian Lama. Awalnya
dapat dilacak pada tatanan dan pelaksanaan hukum dan keadilan di Israel kuno,
di mana kata kerja “membenarkan, justifikasi” berarti ”membuktikan kebenaran”
atau ”membebaskan seseorang dari tuduhan” dengan menyatakan bahwa dia benar
(secara negatif = tidak bersalah). Dalam arti ini pembenaran adalah suatu
pernyataan resmi mengenai kebenaran atau ketidakbersalahan seseorang, oleh
Allah di surga (Kel 23:7; 1 Raj 8:32; Yes 50:8) atau oleh seorang hakim yang
sah di dunia (Ul 25:1; Ams 17:5; Yes 5:23).
Tolok
ukur penilaian adalah perjanjian antara Allah dan umatNya. Kebenaran dalam
Kitab Suci tidak secara kaku disetarakan dengan nosi atau artian “keadilan”
dalam zaman kuno klasik, yang menyangkut soal memberikan kepada seseorang di
dalam masyarakat apa yang menjadi haknya, walaupun kedua gagasan itu bukannya
terpisah sama sekali. Kebenaran adalah suatu situasi selaras dengan perjanjian,
dan bertindak dalam kebenaran berarti memenuhi kewajiban dengan melaksanakan
perintah-perintah perjanjian (Ul 6:25; 24:13; Yes 48:18; Luk 1:6). Ketika Allah
disebut benar, itu berarti Ia bertindak dalam kesetiaan pada perjanjian yang
dibuatNya – memenuhi janji-janji, memberkati yang benar, menghukum yang jahat
(Neh 9:8.33; Mzm 119; 137; Dan 9:14; Za 8:8). Inilah sebabnya Pemazmur,
sekalipun menderita karena dosa-dosanya sendiri, mengakui bahwa Allah benar
dalam menghukum orang yang bersalah (Mzm 51:4).
Konteks
yang utama dan asli dari pembenaran adalah perjanjian historis antara Tuhan
Allah dan Israel. Tetapi dalam satu ayat kunci, hal itu diproyeksikan kepada
masa depan eskatologis. Kidung Hamba yang keempat dari Yesaya merupakan visi
tentang seseorang yang ditolak dan dilecehkan oleh bangsanya sendiri (Yes
52:13-53:12). Kendati ia tidak bersalah, ia menyerahkan diri pada kekerasan
yang mereka lakukan dengan cara menjadikan dirinya kurban persembahan demi
kejahatan mereka semua. Sang nabi kemudian menyatakan bahwa hamba itu bukan
saja akan menanggung ”dosa orang banyak” (Yes 53:12), tetapi ia juga akan
membenarkan banyak orang (Yes 53:11); maksudnya, ia akan membuat banyak orang
diperhitungkan sebagai benar. Hal ini niscaya tidak akan terlewatkan begitu
saja oleh pembaca Kristen, karena di sini, pengertian pembenaran terkait erat
dengan Mesias yang menderita, yang menyerahkan jiwanya bagi pengampunan para
pendosa, yang hasilnya adalah situasi kebenaran yang baru bagi banyak orang.
III. Dalam
Perjanjian Baru
A. Injil
Pembenaran tidak banyak dibicarakan oleh Yesus di dalam
Injil-injil, sekurang-kurangnya tidak secara eksplisit. Namun ada dua ayat di
mana soal ini dikemukakan secara langsung. Pada yang pertama, Yesus berkata:
“Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada
hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut
ucapanmu pula engkau akan dihukum'' (Mat 12:36-37). Di sini Ia membicarakan
pembenaran akhir para kudus, keputusan yang dijatuhkan pada Pengadilan Terakhir
yang membebaskan orang benar dari kata-kata dosa dan memastikan mereka masuk ke
dalam Kerajaan. Pada kesempatan yang kedua, Perumpamaan tentang Orang Farisi
dan Pemungut Cukai, Yesus menyampaikan cerita tentang dua orang yang berdoa di
Bait Allah; yang satu seorang Farisi yang mengenal dirinya sendiri sebagai
orang benar dan sambil berdiri memaparkan bukti-buktinya di hadapan Allah (Luk
18:9-12), dan yang lain adalah seorang pemungut cukai yang menyatakan dirinya
sebagai orang berdosa menengadah ke langit, memukuli dirinya dan memohon belas
kasihan Allah (Luk 18:13). Sambil merujuk kepada pemungut cukai itu, Yesus
menyatakan: “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah
dan orang lain itu tidak” (Luk 18:4). Pelajarannya adalah bahwa pembenaran
merupakan belas kasih Allah yang diberikan dengan murah hati kepada pendosa
yang mengakui kesalahan, tetapi
pembenaran tidak diberikan kepada mereka yang menganggap dirinya benar
karena kesalehan-kesalehan lahiriah.
B. Surat-surat
Paulus
Pembenaran dibahas secara mendalam dan rinci di dalam
beberapa surat Paulus. Pada dasarnya itulah cara Paulus dalam membicarakan
keselamatan. Bagi Paulus, pembenaran hanyalah mungkin berkat “darah” Kristus
(Rm 5:9). Dan itu berarti bahwa kaum beriman “menjadi orang benar” (Rm 5:19)
oleh ”kasih karunia” dariNya (Rm 3:24). Mereka yang dibenarkan “hidup dalam
damai sejahtera” dengan Allah (Rm 5:1) karena mereka “telah bebas dari dosa”
(Rm 6:7). Lebih dari itu, mereka yang dibenarkan “berhak menerima hidup yang
kekal, sesuai dengan pengharapan” (Tit 3:7). Ini persisnya adalah karena
Kristus telah memberikan kepada mereka “Roh yang menjadikan [mereka] anak
Allah” (Rm 8:15) dan dengan demikian membuat mereka “anak-anak Allah” (Rm
8:16). Itulah rencana induk dari Allah sejak awal mula, karena rasul Paulus
percaya bahwa Allah “mengutus Anak-Nya...supaya kita diterima sebagai anak”
(Gal 4:4-5; bdk Ef 1:5).
Karena
berbagai alasan, Paulus terdesak untuk menjelaskan makna pembenaran melawan
berbagai kemungkinan salah pengertian. Di satu pihak ia menyatakan iman sebagai
dasar yang pokok: “Sebab kita yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman,
bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3:28). Bahwa iman merupakan unsur
pokok adalah sesuatu yang sering ia tegaskan di dalam ajarannya (Rm 3:21-26;
4:5; 5:1; Gal 2:16; 3:25-26; Ef 2:8; Flp 3:9). Namun, ia tidak pernah
menyatakan bahwa hanya iman yang merupakan sarana pembenaran. Sesungguhnya,
Paulus dengan lantang menyatakan bahwa iman tanpa kasih sama dengan kosong (1
Kor 13:2); yang sebenarnya adalah bahwa “iman bekerja melalui kasih” (Gal 5:6).
Maka pengertian iman menurut Paulus hendaklah tidak direduksi sampai pada
persetujuan atau kepercayaan secara batiniah saja, melainkan mencerminkan suatu
tanggapan total dari kaum beriman kepada Kristus, dan itu termasuk “ketaatan” kepada
Kristus (Rm 1:5; 16:26). Lebih-lebih, pembenaran karena iman adalah efektif
dalam konteks liturgi baptis. Paulus menunjukkan hal itu ketika ia berbicara
kepada jemaat Korintus: “Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah
dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh
Allah kita” (1 Kor 6:11). Baptis sebagai sakramen iman dengan demikian
merupakan sakramen pembenaran (Tit 3:5-7).
Begitu
juga, karena rahmat yang membenarkan adalah “suatu kelimpahan kasih karunia dan
anugerah” (Rm 5:17), Paulus menegaskan bahwa manusia tidak bisa menjadi
pengarang pembenarannya sendiri, baik dengan melakukan perbuatan baik pada
umumnya (Tit 3:5) maupun dengan menaati pekerjaan khusus dari Hukum Taurat (Rm
3:28). Seandainya demikian, niscaya orang akan lebih membanggakan dirinya sendiri (Rm 4:2; Ef 2:8-9) ketimbang memuji Allah
(1Kor 1:30-31).
C. Surat
Yakobus
Penjelasan penting dari ajaran pembenaran ini ditemukan
dalam Surat Yakobus (Yak 2:14-26). Banyak ahli yakin bahwa Yakobus membahas
soal ini karena adanya salah pengertian mengenai penekanan yang dilakukan
Paulus atas pembenaran karena iman. Yakobus mengungkapkan aspek yang terus
berlangsung dari pembenaran sebagai suatu proses – suatu gagasan yang juga apa
pada Paulus tetapi kurang menonjol dibanding dengan gagasan pembenaran awal
bagi kaum beriman.
Tampaknya
ada sebagian umat Kristiani dalam Gereja awal yang kelitu tafsir atas tekanan
yang diberikan Paulus pada “iman”, sehingga baginya “hanya iman” saja yang
membenarkan. Ini tidak tepat dan mengandung bahaya, terutama karena bisa
mengurangi penghargaan pada pentingnya usaha memajukan karya-karya amal kasih
(Yak 2:14-17). Maka Yakobus menegaskan bahwa kaum beriman juga “dibenarkan
karena pekerjaan” (Yak 2:21). Untuk menunjukkan maksud pokoknya, ia berkata
bahwa bukan saja Abraham dibenarkan karena imannya, sehingga ia berada di dalam
suatu persahabatan dengan Allah (Yak 2:23), tetapi Abraham juga mewujudkan
imannya dalam tindakan ketika Allah menghendaki dia mengorbankan Ishak (Yak
2:21). Tindakan ini juga menjadi suatu peluang pembenaran bagi Abraham: hanya
saja tindakan bukanlah pernyataan awal mengenai pembenaran, melainkan suatu
langkah lebih maju di dalam kebenaran yang dimungkinkan oleh iman yang aktif
bekerja. Maka Yakobus menyimpulkan dari contoh alkitabiahnya: “Jadi kamu lihat,
bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena
iman” (Yak 2:24).
Paulus
tentu setuju dengan pernyataan ini. Sebab ia terus menyatakan pentingnya
pekerjaan, bukan sebagai suatu sarana untuk menjadikan seseorang berada di
dalam hubungan perjanjian yang benar dengan Allah, melainkan sebagai sarana
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perjanjian itu dan dengan demikian semakin
berkembang dalam kebenaran (Rm 6:13.16). Baginya, iman yang menyelamatkan
haruslah iman yang sedang bekerja, sebab “bukanlah orang yang mendengar hukum
Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah
yang akan dibenarkan” (Rm 2:13). Selain itu, satu-satunya jalan untuk mengikuti
perintah Allah dan hidup sebagai anak-anak Allah adalah menyerahkan diri kita
kepada rahmat Roh Kudus (Rm 8:1-7). Roh Kuduslah yang menuangkan kasih Allah ke
dalam hati setiap umat beriman (Rm 5:5), dan membuat dia mampu mengasihi
seperti yang diperintahkan Hukum Taurat (Rm 13:8-10).
IV. Pentingnya
Ajaran
Ajaran tentang pembenaran tidaklah lagi merupakan pokok
perdebatan yang heboh dalam abad-abad terakhir, tidak seheboh yang terjadi pada zaman
para rasul. Salah satu kekecualian adalah pada abad kelima, sebab pada waktu
itu Santo Agustinus Uskup Hipo harus menghabiskan banyak sekali tenaga berkutat
dengan ajaran ini dan menegaskan pemahaman asli tentang pengertiannya. Ia
mengerjakan hal ini melawan bidat Pelagius, yang terlalu berlebihan menilai
daya keinginan manusia untuk berbuat baik dan meremehkan kebutuhan manusia akan
rahmat yang mengubah dirinya dan memberdayakannya untuk menghayati hidup
Kristiani.
Kekecualian
yang kedua adalah abad keenam belas dengan timbulnya Protestantisme dan
meluasnya pemahaman baru akan ajaran itu. Dalam tulisan-tulisan awal komponen
reformasi, soal pembenaran disusutkan pada akibat kebenaran Kristus yang
menjadikan pendosa “benar di hadapan Allah” tanpa mengubah dia dari dalam.
Selain itu, para reformer mengajarkan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman
saja, dan bukan oleh tindakan “keagamaan, moral atau apa saja” sebab jika tidak
demikian, tindakan niscaya bisa mengubah pembenarannya atau mengurangi
kepastian penyelamatannya.
Gereja
Katolik menanggapi teologi baru ini dengan Dekrit Mengenai Pembenaran yang
dikeluarkan Konsili Trente 13 Januari 1547. Di sini pembenaran diterangkan
sebagai “peralihan dari keadaan di mana seseorang dilahirkan sebagai anak Adam
yang pertama kepada suatu keadaan rahmat dan diangkat menjadi anak Allah
melalui Adam yang kedua, Yesus Kristus.” Ajaran ini dengan demikian harus
dipahami dari segi keputeraan ilahi, dan ini berdasarkan penyuntikan rahmat
dari dalam, bukan sekedar tempelan luar mengenai status benar dari luar pada
kaum beriman. Konsili dengan demikian menyatakan sebab-sebab pembenaran sebagai
berikut: sebab terakhirnya adalah adalah kemuliaan Allah, dan sebab yang
sekunder keselamatan kekal manusia; yang merupakan sebab efisien dari
pembenaran adalah belas kasih Allah, sedang sebab yang bersifat jasa adalah
Yesus Kristus, yang melakukan penghapusan dosa dan mendapatkan rahmat
pengudusan bagi kita; sebab instrumentalnya adalah sakramen baptis, dan bersama
itu iman dari mereka yang mampu melaksanakannya; dan sebab formalnya adalah kebenaran
Allah, yaitu rahmatNya yang membuat kita menjadi benar. (KGK 654, 1987-1995).