Memahami doa
Wartakanlah Sabda Tuhan kemana
saja kamu pergi, gunakan kata-kata, jika perlu
Fransiskus Asisi
Kita punya banyak jawaban untuk itu. Mungkin karena iman kita tidak cukup. Mungkin karena kita memohon hal yang salah, sesuatu yang tidak baik bagi kita. Mungkin Tuhan sudah mengabulkan apa yang kita mohon, tetapi dengan cara yang berbeda. Tuhan adalah Bapa yang penuh kasih, yang mengetahui apa yang baik bagi kita (bdk Mat 7:11) – dan orang tua macam apa yang memberikan pisau kepada anaknya untuk bermain-main? Suatu ketika di kemudian hari kita akan memahami kebijaksanaan Allah yang sangat dalam, mengapa Ia tidak menjawab doa tertentu. Ada kebijaksanaan dan kebenaran di dalam semua alasan di atas, namun tidak satu pun dari alasan-alasan itu merupakan alasan yang sesungguhnya, dan dalam Injil Matius pun dikatakan mengapa doa permohonan sering tidak dijawab. Di antara para penulis Injil, Matius adalah satu-satunya yang mengaitkan doa permohonan dengan tindakan nyata di dalam komunitas Kristiani. Dia adalah seorang teolog Kristiani, bukan sekedar seorang yang percaya kepada Tuhan. Dengan demikian baginya doa permohonan mempunyai kekuatan sejauh terkait dengan tindakan yang nyata di dalam suatu komunitas iman dan kasih – dan sebaliknya. Sebagai orang Kristiani kita berdoa kepada Allah “dengan perantaraan Kristus” dan, di dalam berusaha menjawab doa itu, Allah menghormati Inkarnasi, yaitu bahwa kuasa Allah kini sebagian bergantung kepada tindakan manusia.[i]
Sebagai orang Kristiani, kita punya seperangkat kata rumusan, untuk mengakhiri doa-doa kita, yaitu: “Doa permohonan ini kami sampaikan dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami.” Rumusan kata-kata ini lebih dari sekedar formalitas, suatu tanda ritual bagi Allah bahwa doa kita sudah selesai. Jika kita berdoa “dengan perantaraan Kristus” kita berdoa melalui Tubuh Kristus yang maknanya meliputi Yesus, Ekaristi dan persekutuan kaum beriman (yaitu kita sendiri) yang ada di dunia. Kita berdoa melalui semuanya ini. Maka bukan hanya Allah di surga yang menjadi alamat doa permohonan kita dan diharapkan untuk bertindak. Kita sendiri juga mendapat bagian untuk bertanggungjawab mengabulkan doa itu, sebagai bagian dari Tubuh Kristus. Maka berdoa sebagai orang Kristiani menuntut suatu keterlibatan konkret untuk berusaha mewujudkan apa yang kita mintakan dalam doa itu. Berikut suatu contoh:[ii]
Seorang
suster biarawati tua mengunjungi pembimbing rohaninya. Ia berbagi cerita
tentang seorang suster muda yang baru saja keluar dari tarekat. Suster senior
itu sangat menyukai suster muda itu dan menghargai keceriaan dan
kekuatan yang dibawa suster muda itu ke dalam komunitas. Tetapi setahun
kemudian ia memerhatikan suster muda itu jelas tertekan hatinya, bergumul
dengan persoalan apakah dia akan terus tinggal bersama atau pergi meninggalkan
komunitas, dan apakah komunitas benar-benar membutuhkan dirinya. Maka
suster senior itu berdoa bagi suster yang muda, mendoakan agar suster muda itu
tetap tinggal dalam komunitasnya, berdoa agar suster muda itu dapat mewujudkan
keinginan dan apa yang bernilai baginya, berdoa agar Tuhan memberi kekuatan
kepada suster muda itu sehingga dapat mengatasi keragu-raguannya. Namun suster
tua itu tidak pernah meluangkan waktu untuk menemui suster yang muda itu dan
bicara dengannya. Sebagai seorang senior dia tidak pernah memberi-tahu yuniornya itu betapa ia menghargai bakat yang dibawa suster muda itu
kepada komunitasnya. Sekarang ia sedih karena gadis muda itu keluar
meninggalkan tarekat.
Pokok
ceritanya jelas. Suster senior itu berdoa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan,
tetapi dia tidak berdoa sebagai orang Kristiani. Ia tidak pernah memberi kulit
pada doa-doanya. Dia tidak pernah secara konkret melibatkan diri di dalam upaya
mewujudkan apa yang dimohonkannya kepada Tuhan agar dilakukan. Bagaimana
mungkin Tuhan memberi tahu kepada suster yunior itu bahwa kehadirannya di dalam
komunitas itu dihargai, jika komunitas itu sendiri tidak pernah menyatakan
penghargaannya? Ketika kita berdoa “dengan pengantaraan Kristus”, doa itu lebih
dari sekedar memohon campur tangan Allah di surga agar melakukan karya
pemeliharaan ilahi saja. Namun di dalam doa itu pun terkandung keharusan diri
kita sendiri untuk ikut terlibat di dalam upaya mewujudkan apa yang kita
mintakan itu, dan bukan sekedar memohon belaka.
Maka,
jika ibu saya sakit dan saya berdoa memohon agar dia cepat sembuh tetapi saya
tidak membawa dia berobat, saya berdoa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan,
tetapi bukan sebagai orang Kristiani. Saya tidak memberikan daging inkarnasi,
kulit, pada doa saya itu. Maka adalah lebih sulit bagi Tuhan untuk menjawab doa
semacam itu. Jika saya melihat seorang rekan atau teman yang tampak tertekan
hatinya dan berdoa baginya tetapi tidak bicara dan mendengarkan dia, maka doa
saya lebih merupakan doa orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi bukan doa
orang Kristiani. Bagaimana Tuhan akan memberikan penghiburan kepada teman itu?
Mengirimkan e-mail dari surga? Suara dan perhatian sayalah yang dipanggil untuk
itu, karena saya anggota dari Tubuh Kristus, dan saya berdoa tepatnya
melalui Tubuh Kristus, dan saya berada dalam Tubuh Kristus itu, dan tersedia
untuk bicara dengan dia. Jika saya berdoa untuk seorang teman dekat hari ini,
tetapi tidak mengirimkan sesuatu yang menyatakan pada teman itu bahwa saya
memikirkannya, bagaimana mungkin doa saya itu menyentuh dia? Jika saya berdoa
untuk perdamaian dunia, namun dalam diri saya sendiri saya tidak mengampuni
mereka yang menyakiti hati saya, bagaimana Tuhan memberikan damai-Nya atas
planet kita ini? Doa kita memerlukan daging sebagai penunjangnya.
Di
dalam film Ingmar Bergman, The Serpent’s
Egg, ada suatu adegan yang melukiskan hal ini dengan sangat kuat. Ceritanya
begini: Seorang imam baru saja mengakhiri persembahan Misa dan berada dalam
sakristi dan melepaskan jubah upacara ketika seorang wanita masuk di sana.
Wanita setengah baya yang punya kebutuhan besar, kesepian dalam perkawinannya,
sangat menderita perasaan bersalah yang berlebihan secara keagamaan itu mulai
terisak-isak menangis dan menyatakan dirinya tidak dikasihi Tuhan: “Saya merasa
ditinggalkan sendirian, Pastor, tak seorang pun mengasihi saya! Tuhan begitu
jauh rasanya! Saya tidak bisa membayangkan Tuhan mengasihi saya! Saya tidak
bisa memikirkan hal semacam itu berdasarkan situasi saya sekarang! Segala
sesuatu begitu gelap bagi saya!” Pada mulanya pastor itu agak marah ketimbang
berbelas kasihan, tetapi pada saat itu ia berkata kepada wanita itu:
“Berlututlah dan akan kuberikan berkat padamu. Tuhan terasa jauh. Beliau tidak
dapat menyentuhmu sekarang, aku tahu itu, tetapi aku akan kutumpangkan tanganku
di atas kepalamu dan kusentuh kamu – supaya kamu tahu bahwa kamu tidak
sendirian, dan bahwa kamu dikasihi, dan bahwa kamu tidak berada dalam
kegelapan. Tuhan ada di sini, dan Tuhan sungguh mengasihi kamu. Ketika aku
menyentuhmu, Tuhan pun menyentuh kamu.”[iii]
Ini adalah gambaran seseorang yang berdoa secara Kristiani, seseorang yang
memberikan daging inkarnasi, kulit, kepada doanya.
Rekonsiliasi dan pemulihan
Ketika Yesus melawat di bumi,
orang disembuhkan dan didamaikan dengan Allah hanya dengan menyentuh Dia atau
disentuh oleh-Nya. Motif dari sentuhan fisik ini terjadi di mana-mana dalam
pekerjaan pelayanan Yesus. Banyak orang selalu berusaha menyentuh Dia dan Yesus
sering menyembuhkan orang dengan menyentuh mereka.
Salah
satu contohnya di dalam Injil
Markus kita dapatkan cerita ini (Mrk 5:25-34). Ada seorang wanita yang
menderita karena pendarahan selama dua belas tahun. Ia sudah mengusahakan
segala macam cara pengobatan dan mengunjungi setiap macam tabib, namun tidak
sembuh juga. Akhirnya, ia berkata pada dirinya sendiri: ‘Jika aku menyentuh
ujung jumbai jubah Yesus, aku pasti sembuh.’ Ia mengikuti Yesus dari belakang
di tengah-tengah kerumunan banyak orang dan menyentuh jubah-Nya. Seketika itu
juga pendarahannya berhenti, dan ia pun sembuh. Namun Yesus yang merasakan ada
kuasa yang mengalir dari diri-Nya berpaling dan bertanya: ‘Siapa yang menyentuh
Aku?’ Murid-murid-Nya menjawab: ‘Orang banyak berdesak-desakan di sekeliling
Guru. Tentu saja banyak orang menyentuh Guru.’ Namun Yesus terus memandang
berkeliling. Akhirnya, wanita yang ketakutan itu, yang merasa bahwa dirinya
telah disembuhkan, maju ke depan, dan Kitab Suci mengisahkan, ia ‘dengan tulus
memberitahukan segala sesuatu kepada-Nya.’ Yesus kemudian berkata kepadanya,
‘imanmu telah menyembuhkan kamu – pergilah dengan selamat.’
Perhatikan
bahwa di dalam cerita ini wanita itu disembuhkan semata-mata dengan menyentuh
Yesus, bahkan sebelum ia bicara pada Yesus. Di sini ada dua momen penyembuhan:
yang pertama, ketika terjadi sentuhan tanpa bicara, dan selanjutnya ketika
terjadi pembicaraan eksplisit di antara dia dengan Yesus. Mengada dua momen?
Apa yang ditambahkan oleh pembicaraan eksplisit itu pada momen dasar berupa
sentuhan itu? Dengan membawa risiko berupa penafsiran atas kategori penyembuhan
lainnya, seseorang mungkin berkata bahwa ketika wanita itu menyentuh ujung
jumbai jubah Yesus, ia sebenarnya
telah disembuhkan, dan ketika ia berbicara secara eksplisit dengan Yesus dan
memberitahukan kepada-Nya seluruh kebenaran, wanita itu lalu disembuhkan sepenuhnya.
Teks ini merupakan teks yang mengandung suatu paradigma (struktur atau rumus sempurna dari sesuatu). Dibentangkan suatu pola di dalamnya. Kita lihat dalam hubungan dengan Inkarnasi, di dalam teks cerita itu bagaimana penyembuhan dan rekonsiliasi bekerja di dunia. Pendeknya, dalam pola penyembuhan dan rekonsiliasi, sama seperti wanita itu, kita akan mendapatkan kesembuhan dan kepenuhannya dengan menyentuh Tubuh Kristus, dan sebagai anggota Tubuh Kristus, kita dipanggil untuk menyampaikan kesembuhan dan kepenuhannya dari Allah dengan menyentuh orang lain juga.
Apakah inti pokok dari sakramen
rekonsiliasi atau pengampunan dosa? Bagaimana dosa-dosa kita membuat kita
diampuni?
Umat
Katolik Roma dan umat Protestan sudah lama berdebat mengenai soal ini.
Sementara umat Katolik Roma menekankan pentingnya pengakuan dosa baik mengenai
jenis dosa yang bersangkutan maupun frekuensi terjadinya dosa, kepada seorang
imam, kebanyakan umat Protestan menyatakan bahwa suatu penyesalan yang
sungguh-sungguh di hadapan Tuhan saja sudah cukup memadai. Bahasan
tentang itu saja bisa panjang lebar,
namun cukuplan dikatakan bahwa keduanya menekankan hal yang sangat
penting, dan keduanya secara sangat mendasar, menekankan kebenaran yang makin radikal
dari Inkarnasi, yaitu pertama-tama sakramen pengampunan itu adalah menyentuh
jumbai jubah Yesus, Tubuh Kristus. Dosa-dosa kita diampuni dalam cara yang sama
dengan wanita yang di dalam Injil Markus itu sembuh dari pendarahannya setelah
menyentuh Tubuh Kristus, yaitu Ekaristi dan persekutuan (komunitas) umat.
Bayangkanlah gambaran berikut: Anda pada suatu malam duduk di tengah-tengah keluarga anda.
Anda merasa marah, terlalu lelah, tetapi kurang dihargai. Sesuatu menyebabkan
anda hilang sabar dan anda meledak marah. Anda berteriak kepada setiap orang,
menyatakan bahwa mereka itu mementingkan diri sendiri, anda
membanting cangkir kopi anda, lalu sebagai penutup anda pergi dan membanting pintu keras-keras. Lalu anda duduk di dalam kamar anda
sendirian mengasingkan diri. Berangsur-angsur hati anda sembuh dan rasa sesal
mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri, namun harga diri yang terluka dan kekasaran
yang telah terjadi mencegah anda masuk lagi ke ruang keluarga dan minta maaf.
Akhirnya anda tertidur, membiarkan segala sesuatu tanpa rekonsiliasi. Pagi
berikutnya, jelas menunjukkan penyesalan dan agak malu-malu, sekalipun masih
membawa beban harga diri yang terluka, anda menggabungkan diri di meja makan
keluarga. Semuanya duduk di sana dan sedang sarapan. Anda mengambil lagi
cangkir kopi anda (yang ternyata tidak pecah ketika anda banting, telah dicuci
dan digantungkan kembali ke tempatnya!), menuang kopi dan tanpa bilang apa-apa
duduk di meja itu – penyesalan dan harga diri anda yang terluka bisa dilihat
oleh setiap anggota keluarga anda dari setiap gerak-gerik anda. Dan mereka
bukanlah bodoh, begitu pula anda. Mereka semua tahu apa maksud semuanya itu.
Tanpa kata-kata, hal yang mendasar telah disampaikan. Anda sedang menyentuh
jumbai jubah, anda sedang melakukan gerakan dasar menuju rekonsiliasi, tubuh
anda dan tindakan anda mengatakan sesuatu yang lebih penting daripada kata-kata
apapun: “Aku ingin menjadi bagian dari kalian semua.” Pada saat itu
pendarahan pun berhenti (sekalipun hanya untuk saat itu). Seandainya anda jatuh mati di tempat itu saat
itu, anda mati dalam perdamaian dengan keluarga anda.
Namun
ini lebih dari sekadar analogi gambaran tentang caranya rekonsiliasi bekerja
dalam Inkarnasi. Ini adalah kenyataan. Apa yang dilukiskan itu, sekalipun kasar, dalam bentuknya yang tanpa basa-basi, adalah sakramen
rekonsiliasi, sakramen perdamaian. Dosa-dosa kita dimaafkan dengan berada di
dalam persekutuan dengan satu sama lain, berada di meja bersama satu dengan
yang lain. Pendek kata, kita tidak akan masuk neraka sejauh kita bersentuhan
dengan komunitas persekutuan – menyentuhnya dengan tulus dan dengan rasa
penyesalan akan apa yang telah terjadi. Agar jelas sekalipun caranya rada
kasar, jika saya melakukan dosa serius pada Sabtu malam dan, bagaimana pun
keadaan fisik saya pada Minggu paginya, jika saya masuk gereja dengan tulus dan
menyesal di hati, dosa-dosa saya diampuni. Sebab saya telah menyentuh jubah
Kristus.
Santo
Agustinus (yang Uskup Hippo, bapa gereja, 354-430) tentang Tubuh Kristus, di dalam beberapa homili yang
disampaikannya di hari Minggu Paskah
kepada orang dewasa yang baru dibaptis, menyatakan, bahwa
ketika mereka berada di sekeliling altar sebagai suatu persekutuan, suatu
komunitas, dan mendoakan Doa Tuhan (Bapa Kami), maka dosa-dosa yang telah
mereka perbuat diampuni.[iv]
Santo Agustinus benar. Sedemikian itulah daya kekuatan Inkarnasi. Demikian
besarnya kekuatan dan tanggungjawab yang diberikan Allah kepada kita dalam
Kristus. Sebagaimana dikatakan oleh Yesus sendiri: “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga
pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
besar daripada itu” (Yoh 14:12).
Apa yang kita lakukan jika mereka
yang kita sayangi tidak lagi seiman dengan kita, tidak lagi menghargai
nilai-nilai dan moral yang mendalam seperti kita?
Misalkanlah,
sebagai contoh yang paling umum, sebagai orangtua anda kehilangan anak-anak
anda, dalam arti bahwa mereka tidak lagi melaksanakan iman yang sama dengan
anda. Anak anda sendiri tidak lagi pergi ke gereja, tidak berdoa, tidak
mematuhi hukum Gereja (terutama yang bersangkutan dengan seks dan perkawinan),
dan menganggap praktek iman anda entah sebagai sesuatu yang naif, entah suatu
kemunafikan belaka (pura-pura atau hipokret). Anda sudah bicara dengan mereka,
berdebat dengan mereka, dan sudah mengusahakan segala cara untuk meyakinkan
mereka, namun tidak berhasil. Pada akhirnya anda mengalami keadaan yang tidak
membahagiakan dalam hidup anda sekarang. Anda melaksanakan iman, anak-anak anda
tidak. Salah satu ikatan yang paling dalam di antara anda telah diputuskan.
Lebih-lebih jika anda lalu mengkhawatirkan mereka yang tampaknya menghayati
kehidupan tanpa Tuhan. Apa yang anda lakukan?
Yang
jelas anda dapat terus mendoakan mereka dan menghayati hidup anda sendiri
sesuai dengan keyakinan anda, dengan harapan dapat lebih meyakinkan mereka
dengan hidup anda ketimbang dengan kata-kata. Namun anda dapat berbuat lebih
dari itu. Anda dapat terus menyayangi dan mengampuni mereka dan, sejauh mereka
menerima kasih dan pengampunan dari anda, mereka juga tetap menerima kasih dan
pengampunan dari Tuhan. Anda adalah bagian dari Tubuh Kristus dan mereka
menyentuh anda. Di dalam misteri Inkarnasi yang luar biasa itu, anda melakukan
perintah Yesus yang disampaikan-Nya lewat perkataan: “Apa yang kauikat di dunia
ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas
di surga” (Mat. 16:19). Dan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya
diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa itu tetap ada, dosanya tetap ada”
(Yoh 20:23).[v]
Jika
anda seorang anggota Tubuh Kristus, ketika anda mengampuni seseorang, maka ia
diampuni; jika anda tetap mengikat dia dalam kasih, ia tetap terikat dengan
tubuh Kristus. Neraka hanya mungkin ketika seseorang menempatkan diri sama sekali
terpisah jauh dari jangkauan kasih dan ampunan, kasih dan ampunan insani,
ketika orang itu sama sekali tidak bisa dicintai dan menolak ampunan dengan
secara aktif menolak hal-hal yang tidak terlalu eksplisit merupakan praktek dan
ajaran yang bersifat keagamaan dan moral, seperti kasih kemanusiaan yang tulus.
Secara lebih konkretnya: Jika seorang anak, atau saudara lelaki atau perempuan
atau siapa pun yang anda kasihi memisahkan diri dari Gereja sehubungan dengan
pelaksanaan iman dan moralitas, namun selama anda terus mengasihi orang itu dan
mengikat dia dalam kebersamaan dan ampunan satu sama lain, dia menyentuh jumbai
jubah dan terikat pada Tubuh Kristus, dan karenanya diampuni oleh Tuhan tanpa
memandang hubungan resmi lahiriahnya pada Gereja dan moralitas Kristiani.
Sentuhan anda adalah sentuhan Kristus. Jika anda mengasihi seseorang, kecuali
jika dia secara aktif menolak kasih dan ampunan anda, dia tetap terikat pada
keselamatan. Dan ini benar, sekalipun sudah melalui kematian. Jika seseorang
yang dekat dengan anda meninggal di dalam situasi yang secara lahiriah terpisah
dari Gereja yang kelihatan baik secara iman maupun moral, kasih dan ampunan
anda terus mengikat orang itu kepada Tubuh Kristus dan terus mengalirkan
pengampunan kepadanya, sekali pun sesudah kematian.
Salah
seorang apologet (yang membela iman dan memberi penjelasan tentang iman yang
diyakini) yang terbesar dalam zaman kita, G.K. Chesterton (penulis dari Inggris
yang sangat berpengaruh, 1876-1936), suatu ketika menulis parabel kecil tentang
ini:
Seorang
lelaki yang sama sekali tidak peduli pada hidup rohani mati dan pergi ke
neraka. Dia sangat diratapi di bumi oleh teman-teman lamanya. Agen-agen
bisnisnya pergi ke gerbang neraka untuk melihat-lihat apakah ada peluang untuk
membawanya pulang. Namun, sekalipun sudah meminta-minta agar gerbang itu
dibuka, gerbang besi itu tidak pernah membuka. Bahkan pastornya juga datang dan
memberi pembelaan: ‘Dia pada dasarnya bukanlah orang jahat, berilah waktu dan
dia akan menjadi lebih baik lagi. Biarlah dia keluar, tolonglah!’ Namun gerbang
neraka itu tetap saja tertutup tak peduli pada suara-suara mereka. Akhirnya
ibunya datang, ia tidak meminta anaknya untuk dibebaskan. Dengan tenang, dan
dengan nada suara yang asing, ia berkata kepada iblis penjaga gerbang itu:
“Biarkan aku masuk.” Dengan segera pintu besar itu terbuka. Karena kasih turun
menembus pintu neraka dan di sana menebus mereka yang mati.[vi]
Di
dalam Inkarnasi, Allah mengambil rupa manusia dalam Yesus, dalam Ekaristi, dan
dalam semua orang yang tulus beriman. Rahmat kemurahan yang berlimpah-limpah,
kuasa dan kerahiman yang datang ke dunia dalam Yesus masih berada di dunia ini,
sekurangnya secara potensial demikian. Dalam diri kita, Tubuh Kristus. Apa yang
dulu dilakukan Yesus juga dapat kita lakukan sekarang; dan sesungguhnya, itulah
yang diminta agar kita laksanakan.
Di dalam film, Dead Man Walking, terdapat suatu adegan
yang sangat mengesan: Suster Helen Prejean, seorang biarawati Roma Katolik yang
membantu Patrick Sonnier, seorang terpidana mati, menyiapkan diri untuk
mendapatkan gilirannya dieksekusi. Ia berkata kepada si terpidana itu, agar
ketika didudukkan di kursi eksekusi dan disuntik dengan zat yang mematikan, dan
menunggu maut, terpidana itu harus memandang wajah sang suster, “dengan cara
itu maka hal terakhir yang kamu lihat sebelum kematian adalah wajah seseorang
yang mengasihi kamu.” Terpidana itu melakukannya dan ia mati dalam kasih, bukan
dalam kepedihan.
Di
dalam Injil-injil ada suatu peristiwa di mana seorang wanita yang bernama
Maria, sebenarnya melakukan hal seperti itu pada Yesus. Di Betania, beberapa
hari menjelang kematian Yesus, Maria mengurapi kaki Yesus dengan munyak wangi
yang mahal harganya dan Yesus berkata: “Ia membuat suatu persiapan untuk
penguburan-Ku” (Mat 26:12; Mrk 14:8; dan dalam versi yang agak lain dalam Luk
7:38.47). Ada bermacam-macam makna dari pernyataan ini, namun antara lain,
Yesus berkata: “Karena hal ini jadi makin mudah untuk tidak menyerah kalah kepada
kepahitan, dan lebih mudah untuk mati. Karena tahu bahwa Aku begitu dicintai
maka akan lebih mudah untuk meninggalkan dunia ini tanpa kemarahan di hati.”
Inilah maknanya mendapat pengurapan.
Kita mengenal suatu ritus yang kita sebut sakramen untuk orang
sakit. Yaitu pengurapan minyak yang dimaksudkan untuk memenuhi seruan Kitab
Suci:
Tetua dalam gereja adalah seseorang yang dalam rahmat iman berkelimpahan dan dewasa, seperti Sr Helen Prejean, sehingga dapat berkata kepada orang lain: “Jika kamu pahit hati dan marah, lihatlah wajahku dan akan kamu lihat muka seseorang yang mengasihi kamu. Peganglah tanganku dan tolaklah kepahitan. Berilah maaf dan pergilah dalam damai.” Maka setiap orang dari kita yang mengunjungi orang sakit atau orang yang hendak meninggal, tanpa peduli betapa kurang mampunya kita menyusun kata-kata dan berbicara, hendaklah mengoleskan minyak, seperti seorang imam dalam sakreamen orang sakit. Sentuhan pada orang sakit atau mengucapkan kata-kata penghiburan atau kasih sayang pada seseorang yang hendak meninggal, dengan caranya sendiri, adalah melakukan apa yang dilaksanakan oleh wanita di Betania itu untuk Yesus (dan seperti apa yang dilakukan suster Helen Prejean bagi Patrick Sonnier). Suatu pengurapan untuk mempersiapkan kematian. Inkarnasi memberikan kepada kita daya kuasa yang luar biasa ini.
Beberapa catatan penutup menanggapi beberapa keberatan
Sekalipun benar, sungguh sulit dipercaya!
Beberapa karangan pendek tentang Inkarnasi mengungkapkan dasar-dasar
yang sudah disampaikan secara garis besarnya di sini. Banyak orang yang
berkeberatan atas dasar ini: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa kita dapat
mengampuni dosa-dosa dan melakukan segala sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh
Kristus sendiri?” Dasar penolakan itu sungguh benar, kecuali untuk pandangan
tentang Inkarnasi yang dinyatakan di sini, yang tak pernah menyatakan bahwa kita sendiri mampu mengampuni dosa, mengikat dan melepas,
menyembuhkan satu sama lain, atau bahwa kita saling mengurapi. Adalah Kristus
yang bekerja melalui kita melaksanakan semua ini. Kuasa itu adalah kuasa Tuhan,
bukan kuasa kita, namun di dalam Inkarnasi dengan cara yang luar biasa Tuhan
telah berkenan memilih untuk melimpahkan kuasa itu mengalir melalui kita,
sehingga daging kita mewujudkan kuasa-Nya itu.
Namun
juga ada keluhan yang menggelitik dan menyatakan:
“Ini tentu tidak benar, sebab begitu bagusnya hingga sulit dipercaya
kebenarannya!” Jawaban pada komentar itu hanyalah : Begitulah hebatnya Inkarnasi. Begitu hebat hingga kita sulit percaya, apakah sesungguhnya
begitu. Tepat karena hakekatnya yang baik luar biasa dan tak terbayangkan
itulah maka kita menyanyikan dengan gembira lagu-lagu Natal kita: “Joy to the
world, the Lord has come!” (Sukacita bagi dunia, Tuhan telah datang!). Dengan
kelahiran Yesus, sesuatu yang mendasar telah berubah. Tuhan telah memberi kita
kuasa harafiah untuk saling menjauhkan satu sama lain dari neraka.
Jika dosa-dosa kita mendapat
pengampunan hanya dengan menyentuh persekutuan (komunitas) dan dengan
menghadiri Ekaristi, lalu apa ada perlunya atau adakah tempat bagi pengakuan
dosa eksplisit di hadapan seorang pastor? Di mana tempatnya pengakuan yang eksplisit dari pribadi ke
pribadi?
Bagaimana pun inilah yang sekurang-kurangnya dapat disampaikan dalam konteks
pembicaraan kita. Yang baru saja kita bicarakan mengenai pengampunan dosa
dengan menyentuh Tubuh Kristus sama sekali tidak mengecilkan pentingnya
pengakuan eksplisit. Jika dipahami dengan benar, justru sebaliknya. Jika
seseorang memahami dirinya sebagai bagian dari Tubuh Kristus dan yang
bersentuhan dengan Tubuh Kristus, bisa timbul pemikiran individualis yang tepatnya
mencobai kita, agar tidak mengaku dosa kepada pribadi lain, terutama kepada pejabat
yang mewakili Gereja. Gagasan semacam itu justru runtuh dan kita sebenarnya malah spontan mulai merasakan
kewajiban yang mendesak (jauh dari hukum gereja yang mewajibkan)
untuk mengaku dosa. Namun harapan dalam pengakuan eksplisit itu
bukanlah apakah Tuhan mengampuni dosa kita atau tidak.
Secara
mendasar di semua tingkatan, pengakuan eksplisit kepada seorang imam bukanlah
supaya dosa kita diampuni – itulah kebenaran yang secara utuh diajarkan dalam
Kitab Suci, dalam tulisan para bapa gereja, di dalam teologi segala ragam, di
dalam tradisi dogmatik (bahkan dalam Konsili Trente dan teologi dan katekismus
pendukungnya sekalipun), dalam tradisi gereja, dan khususnya dalam praktek
pelaksanaan iman[vii]. Dasar
dari sakramen rekonsiliasi selalu kesungguhan dan penyesalan ketika sesorang
menyambut Ekaristi dan menyentuh persekutuan (komunitas) Kristiani. Namun itu tidak menyatakan bahwa pengakuan adalah
tidak penting dan perlu.
Di
dalam cerita tentang wanita yang menyentuh jumbai jubah Yesus ada dua saat
penyembuhan, yaitu sentuhan dan pengakuan eksplisit. Pengakuan kepada seorang
imam dan pengampunan semata-mata dengan menentuh persekutuan (komunitas)
terkait dengan cara yang sama seperti pembicaraan eksplisit antara wanita itu
dengan Yesus terkait dengan sentuhannya pada jumbai jubah Yesus. Percakapan
dari pribadi-ke-pribadi itu melengkapkan sesuatu yang sangat penting dan
merupakan bagian dari gerakan oraganik menuju rekonsiliasi yang sepenuhnya,
damai dan sikap yang dewasa. Pengakuan eksplisit dalam kaitan dengan sakramen
rekonsiliasi adalah merupakan permohonan maaf secara eksplisit demi kesembuhan.
Tindakan memang bicara lebih kuat ketimbang kata-kata, dan bagian dasar dari
rekonsiliasi terjadi melalui suatu tindakan. Namun kata-kata pada titik
tertentu juga menjadi sangat penting. Orang yang dewasa meminta maaf secara
eksplisit dan kita menjadi dewasa dengan meminta maaf. Selain itu, sebagaimana
akan dikatakan oleh mereka yang pernah diperlakukan secara keliru oleh orang
lain, pengakuan eksplisit, yakni pengakuan kesalahan secara tulus adalah
diharapkan, sebab tanpa itu masih dirasakan sesuatu yang tidak lengkap. Maka
demikian pula, seseorang yang akrab dengan penyembuhan orang yang kecanduan,
yang memahami cara bekerjanya program dua belas langkah, niscaya dapat
menyatakan kepada anda, bahwa barulah jika seseorang menghadapi dosa-dosanya
dengan jujur dan mengatakannya dengan berhadapan muka pada seseorang yang lain,
terjadi penyembuhan yang sejati dan diperoleh kedamaian. Jika seseorang percaya
bahwa dirinya pada dasarnya telah didamaikan dengan menyentuh persekutuan
(komunitas) iman hal ini tidaklah mengurangi perlunya pengakuan secara pribadi.
Dari situlah berawal suatu proses yang dalam kaitan dengan kedewasaan membuat
orang memahami, seperti yang dialami wanita yang menyentuh jumbai jubah Yesus
itu, bahwa kini sungguh penting sekali untuk melaksanakan perjumpaan dan
pembicaraan secara sangat pribadi, bersemuka, dan tulus.
Memahami Bimbingan
Apakah perbedaan cara bagaimana
kita mencari bimbingan dari Allah, bergantung dari situasi kita apakah kita
orang Kristiani atau bukan, atau semata-mata orang yang percaya kepada Tuhan?
Di dalam hal ini pertobatan Santo Paulus menjadi Kristiani sangat banyak
memberi petunjuk, sebagaimana Inkarnasi pada umumnya. Pertobatan Santo Paulus
ini diceritakan dalam Kitab Kisah Para Rasul (Kis 9:1-19).
Paulus
(sebelumnya bernama Saulus) adalah seorang yang percaya kepada Allah, tulus dan
saleh. Begitu matangnya dia di dalam imannya maka ia memburu dan menganiaya
umat Kristiani, karena yakin bahwa mereka itu tersesat dari jalan iman yang
(baginya) benar. Namun pada suatu hari, ketika ia melakukan perjalanan (dari
Yerusalem) ke Damaskus untuk menangkap dan memenjarakan kaum Kristiani ia jatuh
dari kudanya karena tertimpa cahaya yang menyilaukan dan mendengar suatu suara
berkata: “Saulus, Saulus, mengapa kamu menganiaya Aku?” Paulus tidak pernah
bertemu dengan Yesus, tetapi ia dituduh menganiaya Kristus, maka karena ingin
tahu ia bertanya: “Siapa Tuhan?” Ia mendapat jawaban : “Akulah Yesus yang kamu
aniaya.” Perhatikan bahwa Yesus sejarah adalah dinyatakan identik dengan tubuh
umat beriman sebagai suatu kesatuan.
Dan
Paulus disentuh hatinya dan di sana, di tempat itu juga, ia memberikan hidupnya
kepada Kristus, namun dengan segera ia menerima pelajaran pertamanya sebagai
implikasi dari sentuhan itu. Ia bukannya menerima petunjuk yang jelas dari
surga harus pergi ke mana dan melakukan apa, namun ia diperintahkan agar
membiarkan dirinya dituntun dan dibimbing masuk ke dalam kota Damaskus di mana
komunitas Kristiani akan memberitahukan kepadanya apa yang harus dilakukan.
Sebagai seorang Kristiani Paulus harus menerima bimbingan bukan hanya dari
Tuhan yang di atas sana, tetapi juga dari komunitas iman di bumi.
Sebagai
orang Kristiani kita mencari bimbingan “dengan pengantaraan Kristus”. Namun
karena Kristus merujuk baik kepada Yesus yang historis yang sudah diangkat
ke surga, maupun bebadan kaum beriman yang konkret dan historis di sini di
dunia, maka bila kita mencari bimbingan dalam arti berbagai pertimbangan dan
keputusan kita memandang bukan hanya Tuhan di surga, namun juga yang
ditunjukkan kepada kita sebagai Tubuh Kristus, yakni keluarga, teman-teman,
gereja dan komunitas kristiani.
Seorang pembimbing rohani bagi para
seminaris menyampaikan pengalamannya. "Sangat sering seorang pria muda datang pada saya, sedang bergumul
dengan keputusan apakah hendak menerima tahbisan atau meninggalkan seminari.
Pada umumnya di dalam usaha mempertimbangkan hal ini ia menyandarkan diri
nyaris secara eksklusif pada suatu perasaan hati yang dialaminya berdasarkan
doa dan renungan pribadi. Jarang sekali ia bersedia dengan bobot pertimbangan
yang setara, meminta pendapat komunitas
seminari dan mereka yang telah menyertainya di dalam berbagai situasi kebersamaan.
Pendek kata, ia melakukan pertimbangan sebagai seorang yang percaya kepada
Tuhan – “Apa yang Tuhan di surga kehendaki agar saya lakukan?” – dan tidak
melakukan apa yang diperintahkan kepada Paulus agar dilakukan, yaitu membiarkan
dirinya dituntun oleh sesama dan mendengarkan perkataan mereka mengenai
persoalannya.
Yohanes
dari Salib (Pujangga gereja dan mistikus, 1542-1591) suatu ketika pernah
berkata bahwa bahasa Tuhan adalah pengalaman yang dituliskan Tuhan dalam hidup
kita.[viii]
Ini merupakan komentar Inkarnasi yang bagus. Tuhan tidak bicara kepada kita
melalui mimpi-mimpi dan penglihatan dan yang paling penting ialah bahwa apa
yang hendak Tuhan katakan tidak disampaikan secara luar biasa dalam visi
mistikus. Tuhan Inkarnasi mempunyai tubuh nyata di bumi dan bicara kepada kita
dalam tetek-bengek hidup keseharian, melalui semua yang punya kulit -- situasi historis, keluarga kita, tetangga
kita, gereja kita, dan bahkan teman-teman yang mungkin berada di ambang
setengah gila yang dengan caranya mengingatkan bahwa kita ini bukanlah Tuhan.
Jika kita mencari bimbingan Tuhan maka niscayalah suara-suara dari dunia ini
melengkapi suara dari surga.
Memahami Komunitas
Fakta bahwa Allah menjadi manusia
dengan daging dan darah mempunyai konsekuensi yang agak berat sehubungan dengan
spiritualitas dan komunitas. Spiritualitas, setidaknya spiritualitas Kristiani,
bukan merupakan sesuatu yang anda lakukan sendiri. Komunitas merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari bagian inti Kristianitas, dan maka dari itu juga dari
spiritualitasnya. Allah memanggil kita menempuh pemuridan, bukan sendirian,
melainkan dalam kelompok.
Di
dalam setiap Injil ada pola tertentu : khotbah Yesus pada awalnya menyebabkan
Dia jadi sangat populer. Orang berkumpul untuk mendengarkan Dia, menjadikan Dia
idola dan ingin menjadikan-Nya seorang raja. Namun akhirnya sesuatu terjadi,
suatu pemahaman lain akan pesan-pesan-Nya mulai meresap, lalu popularitasnya
turun dan kian memburuk sampai titik di mana orang malahan mau dan
sungguh-sungguh membunuh Dia. Injil Yohanes memberikan alasan yang sangat jelas
mengapa pada titik tertentu itu kerumunan orang buyar ilusinya dan marah pada
Yesus. Di mana titik puncaknya, seperti yang dilukiskan Yohanes? (Yoh 6:41-71).
Di
dalam Injil Yohanes, Yesus mencapai titik puncak popularitas-Nya segera sesudah
Ia menggandakan roti dan ikan. Pada titik itu, ia harus memisahkan diri dari
kerumunan orang karena mereka mau menjadikan diri-Nya seorang raja. Namun
segera setelah itu ia mulai memberi penjelasan lebih dalam apa maksudnya roti
hidup itu, dan ini membuat-Nya mengalami kesulitan. Ia berkata kepada mereka:
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, jikalau kamu tidak makan daging Anak
Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (Yoh
6:53). Dan reaksi mereka mengejutkan. Sesudah itu mereka pergi meninggalkan Dia
dan berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh
6:60).
Apakah
yang dikatakan Yesus sedemikian keras dan tajam, sehingga orang-orang yang
tadinya hendak menjadikan diri-Nya raja berbalik menjadi orang yang mau
membunuh Dia? Bagaimana seseorang yang sangat populer tiba-tiba menjadi persona non grata (orang yang tidak
berharga) hanya karena suatu homili? Jawabannya adalah karena ajaran Yesus,
yaitu bahwa, “jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya,
kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Apa maksudnya?
Debat
yang sengit terjadi karena kalimat ini. Sebagian komentator menyatakan bahwa
kalimat ini begitu mengecewakan pendengar Yesus karena berkaitan dengan
kanibalisme (manusia makan manusia). Siapapun akan kecewa atas ajaran agar
memakan daging manusia. Yang lain menerjemahkan Ekaristi di dalam kalimat ini
dan menyatakan bahwa orang-orang kecewa karena Yesus memberikan implikasi bahwa
Dia secara fisik, daging dan darah, hadir dalam Ekaristi dan menerima Dia
berarti secara harafiah makan daging-Nya.
Pada
akhirnya kedua penafsiran itu meleset. Mereka benar hanya dalam arti bahwa
masalah Tubuh fisik Kristus bagaimana pun menjadi suatu persoalan di sini.
Namun, baik soal kanibalisme maupun penerimaan wafer yang dikonsekrasikan
sama-sama tidak dimaksudkan di sini. Apa yang membedakan gandum dari ilalang
bukanlah kemampuan atau ketidakmampuan orang menyusuri lorong gereja untuk
menerima komuni suci. Tantangan Yesus di sini jelas lebih besar lagi.
Kunci
pemahaman atas tuntutan Yesus di sini terletak pada kata yang digunakan-Nya.
Yesus menggunakan kata Yunani sarx
untuk menyebut tubuh-Nya. Suatu pilihan kata yang mengherankan. Perjanjian Baru
di dalam teks aslinya yang bahasa Yunani menggunakan dua kata untuk tubuh,
yaitu keseluruhan diri manusia – sarx
dan soma. Kata soma digunakan untuk menyebut orang sejauh dia itu baik atau
netral. Kata sarx di pihak lain
selalu merujuk orang sejauh dia itu dalam situasi tidak menyenangkan. Maka
sebagai misal saya adalah sarx sejauh
saya sakit, berbau, berdosa dan mati, namun saya adalah soma sejauh saya ini sehat, menarik, melakukan hal-hal yang mulia,
dan bangkit dari mati.
Dengan
menggunakan latar belakang ini – fakta bahwa tubuh Kristus bukan hanya manusia
historis Yesus dan kehadiran nyata dari Tuhan di dalam Ekaristi, tetapi juga
tubuh kaum beriman yang konkret historis di dunia ini juga – kita lihat dengan
lebih jelas apa maksud Yesus di sini, dan mengapa perkataan-Nya jadi sangat
kuat dan akibatnya menceraikan. Dengan menggunakan kata sarx itu, Yesus memaksudkan tubuh-Nya yang tepatnya yang bukan
tanpa dosa, yang dimuliakan di surga, tetapi juga bukan yang dimurnikan sebagai wafer komuni yang putih di gereja.
Yang disuruh “dimakan” adalah bagian dari tubuh-Nya yang lain, yaitu komunitas,
persekutuan kaum beriman yang bernoda di sini di dunia.
Pada
intinya, Yesus mengatakan : Kamu tidak dapat berurusan dengan Allah di surga
yang sempurna, maha-kasih, maha-pengampun dan maha-tahu, jika kamu tidak dapat
mengurus komunitas di dunia yang kurang sempurna, kurang memaafkan dan kurang
pengertian ini. Kamu tidak dapat berpura-pura berurusan dengan Tuhan yang tidak
kelihatan jika kamu menolak berurusan dengan keluarga yang kelihatan.
Mengajarkan kebenaran ini dapat dengan cepat menghancurkan popularitas
seseorang. Orang-orang dengan demikian mendapatkan ajaran ini sebagai
“perkataan yang sangat keras” dan menjumpai penolakan yang sama dewasa ini.
Untuk
lebih mengonkretkan hal ini, marilah kita bayangkan suatu contoh: Anda
bergabung dengan suatu komunitas paroki baru. Mula-mula, ketika berjumpa dengan
orang-orang ini pertama kalinya, anda mendapatkan mereka itu baik-baik dan anda
suka pada mereka. Anda begitu terkesan dalam fakta bahwa anda ikut terlibat
baik dalam dewan paroki maupun dalam paduan suara. Namun pada akhirnya ketika
anda mengenal setiap orang lebih mendalam, ilusi anda buyar. Anda tahu bahwa
pastor anda punya beberapa kelemahan dan kesalahan yang nyata, bahwa visi dewan
paroki anda remeh dan sempit, bahwa komunitas itu sendiri sangat mementingkan
diri sendiri dan tidak peduli pada kebutuhan pihak di luar dirinya. Lalu
tibalah pada suatu malam ketika dalam rapat dewan seseorang menuduh anda
terlalu sombong dan terlalu memaksakan kehendak. Semangat anda merosot drastis
dan anda walk-out, keluar tidak lagi
mengikuti rapat itu, kata anda pada diri sendiri: “Ini tak bisa diterima! Aku
tak mau berurusan dengan hal seperti ini! Aku keluar dari sini!”
Anda
menjauhkan diri dari sarx, karena
selalu seperti itulah kelihatannya tubuh Kristus yang konkret di dunia ini.
Berkata, “aku tak mau berurusan dengan hal seperti ini” adalah bertentangan
dengan ajaran Kristus sebab inilah tepatnya yang mau disampaikan-Nya ketika Ia
berkata: “jikalau kamu tidak makan daging-Ku kamu tidak punya hidup dalam
dirimu.” Yesus, sekurangnya di dalam Injil Yohanes, begitu jelas. Kita tidak
dapat melompati, “by-passing”,
keluarga yang punya cacat di dunia ini untuk berhubungan dengan Tuhan yang
tanpa cacat di surga. Komunitas yang konkret merupakan elemen yang tidak bisa
ditawar di dalam persoalan spiritual karena tepatnya kita ini orang Kristiani,
bukan sekedar orang yang percaya kepada Tuhan. Tuhan bukan hanya berada di
surga, tetapi juga ada di dunia.
Ini
mempunyai banyak konsekuensi yang jauh jangkauannya. Di antaranya lalu
menggugurkan salah paham populer yang utama (suatu bidat yang bagaikan virus)
yang begitu negatif pengaruhnya pada pemikiran populer dewasa ini. Salah paham
ini punya bermacam-macam ungkapan yang berbeda, namun dapat diikhtisarkan dalam
satu perkataan yang sederhana: “Aku orang Kristiani yang baik, seorang yang
tulus mengabdi Tuhan, tetapi aku tidak membutuhkan gereja – aku dapat berdoa
sama baiknya di rumah saja.” Itu memang benar tepatnya karena anda seorang yang
beriman kepada Tuhan, tetapi tidak benar bagi orang Kristiani (juga bagi
penganut Yudaisme juga). Sebagian dari esensi Kristianitas adalah bersekutu, berhimpun
bersama di dalam suatu komunitas yang konkret, dengan segala cacat kesalahan
yang manusiawi yang ada di sana, dan segala ketegangan dan keruwetan yang
diakibatkannya. Bagi seorang Kristiani, spiritualitas tak pernah merupakan
suatu usaha yang bersifat individualistis, mau mengejar Tuhan di luar keluarga,
komunitas dan gereja. Tuhan yang ber-Inkarnasi menyatakan bahwa barang siapa
yang berkata bahwa dia mencintai Tuhan yang tidak kelihatan di surga dan tidak
mau berurusan dengan sesama yang kelihatan di dunia adalah seorang pembohong,
sebab tak seorang pun dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihat jika ia
tidak mengasihi sesama yang kelihatan (1Yoh 4:20). Maka spiritualitas Kristiani
selalu menyangkut baik hubungan antar orang
maupun hubungan dengan Tuhan.
Baca juga: SPIRITUALITAS INKARNASI
[v] Salah satu catatan lain
diperlukan di sini: Adalah mudah untuk menerima fakta bahwa Tuhan dapat
meratifikasi, mengesahkan, pengampunan kita satu sama lain, namun tidaklah
mudah menerima bahwa Tuhan juga meratifikasi
dendam dan ketidaksediaan kita untuk mengampuni. Dapatkah kita menahan
dosa orang seperti kita mengampuni dosa mereka? Jawabannya jelas, tidak. Logika
rahmat hanya berjalan satu arah – rahmat hanya dapat melimpah dengan murah
tetapi tidak dapat dalam hal ini sekaligus pelit dan semena-mena. Allah hanya
meratifikasi apa yang kita lakukan sejauh kita bertindak seperti yang dilakukan
oleh Yesus. Namun ini merupakan pembicaraan yang rumit dan seperti ladang yang
mengandung banyak ranjau. Untuk pembahasan yang ebih penuh, silakan baca: “In
exile”, Ronald Rolheiser, ‘Our Power to Bind and Loose’, dalam Western
Catholic Reporter, 13 Mei 1996; dan dalam Catholic Herald, 23 April 1996.
[viii] John of the Cross, “The Living
Flame of Love”, komentar atas Stanza satu no.7. Lihat The Collected Works of John of the Cross, terjemahan K. Kavanaugh,
Washington DC, ICS Publications, 1991 hal 643.