Di
antara beberapa kata yang dengan sangat tepat menggambarkan cara hidup dan
sikap kebanyakan dari kita yang memerlukan editan adalah kata pragmatisme. Bagi banyak orang kata itu
sungguh merupakan gambaran yang sepadan dari cara hidup Barat, terutama Amerika.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani: Pragma, yang artinya
“kesibukan”, namun juga mengandung konotasi efisien (hemat), masuk-akal, dan
praktis bisa dilakukan.
Pragmatisme bisa diuraikan secara singkat sebagai suatu filsafat
dan cara hidup yang mengakui kebenaran dari sesuatu gagasan terletak pada
kemungkinan praktisnya. Artinya, apa yang
benar adalah apa yang dapat dilaksanakan. Batu uji kebenaran bukannya
apakah sesuatu gagasan itu cocok dengan fakta realitas, melainkan apakah
gagasan itu punya kegunaan konkret, apakah punya konsekuensi praktis, dan
apakah dapat atau tidak dapat digunakan untuk mengolah dunia secara
menguntungkan. Nilai sesuatu terletak pada apa yang bisa dicapai, pada
prestasi. Sesuatu adalah baik jika dapat dijalankan, dan apa yang dapat jalan
dan dijalankan dalam ari bisa bekerja dianggap bagus. Gagasan pragmatisme ini
terdapat di setiap pikiran yang mendasari masyarakat teknologi, dan disucikan
dengan sungguh-sungguh di dalam sistem dan struktur pendidikan, lalu tampak di
dalam ketidaksabaran kita kepada apa pun (atau siapa pun) yang tidak tampak
praktis, berguna dan efisien. Nilai-nilai diletakkan atas dasar kepraktisan!
Banyak bagian dari sistem ini
memang baik. Tak disangkal bahwa banyak hal dalam dunia modern telah membantu
menjadikan hidup ini lebih baik – kedokteran, wahana dan sistem perjalanan,
kemajuan teknologi dan komunikasi – sebagian besar adalah hasil dari
pragmatisme. Tidaklah adil jika kita ikut menikmati manfaat dari semua ini dan
secara semena-mena mengecam filsafat dan cara hidup yang menghasilkannya.
Namun, dengan segala pengakuan dan penghargaan itu, perlu juga diketahui bahwa
pragmatisme selain menghasilkan hal-hal yang baik juga membawa pengaruh yang
merugikan.
i)
Karena nilai diletakkan pada prestasi, kita cenderung
menilai orang dari apa yang dilakukan ketimbang siapa sebenarnya dia
Dengan
menerapkan prinsip pragmatis, yang baik adalah yang bekerja/berjalan, maka
dapat juga dikatakan : siapa pun hanya baik sejauh ia bekerja... dan seberapa
kebaikan orang diukur dari pekerjaan yang dilakukan. Sayangnya dalam suatu
masyarakat pragmatik, orang merasa sudah nyaman aman dan mapan dengan diri
sendiri ketika berprestasi, menghasilkan dan menyumbangkan sesuatu dengan cara
yang prgamatik. Ini berarti bahwa seseorang merasa baik dan penting jika melakukan hal-hal yang dihargai masyarakat
sebagai baik dan penting; sebaliknya orang merasa tidak berguna dan tidak
penting jika melakukan pekerjaan yang oleh masyarakat dianggap tidak berguna
dan tidak penting. Penghargaan dan penghormatan diberikan, baik kepada diri
sendiri maupun kepada orang lain, lebih dari dasar prestasi pragmatis daripada dari
dasar keutamaan moral dan kualitas pribadi. Di dalam masyarakat pragmatik, bekerja diperhitungkan, sedangkan berada tidak diperhitungkan.
Pengaruh dari sikap ini dapat
dirasakan di mana-mana: prestasi dari pencapaian tujuan profesional/pekerjaan
lebih didahulukan dari pada kehidupan keluarga, keutamaan pribadi dan
kesenggangan; mereka yang telah pensiun, yang tidak bekerja, atau berada di
rumah dengan anak-anak, merasa tidak bernilai dan tidak berguna; tak ada tempat
bagi mereka yang cacat, yang sudah tua, yang sakit; kita mengorbankan apa pun demi
untuk mempunyai riwayat hidup profesional yang ideal (karena kita tahu apa yang
dianggap bernilai oleh masyarakat, maka nilai diri kita bergantung pada
penilaian masyarakat itu); akhirnya kita menjadi bagian dari cara hidup seperti
balapan tikus (yang serba mau cepat bergerak, tergesa-gesa), tak punya waktu,
tak punya kesenggangan; tekanan darah tinggi, dan cita-rasa kegembiraan (terkait
menikmati hidup) yang berkurang, dan tak tahu lagi bagaimana kita terjerumus
dalam situasi seperti itu atau bagaimana menjauhkan diri dari tekanan seperti
itu; dan akhirnya, jika bekerja adalah segalanya dan berada tidak dihargai, tak
ada sesuatu yang perlu disiapkan untuk menyongsong kematian, untuk melepas dan
merelakan pergi, karena yang berharga bagi kita adalah kemampuan kita untuk
menghasilkan, sehingga kita memeluk kuat-kuat karir dan pekerjaan seolah-olah hanya
itu saja hidup ini.
ii)
Karena pikiran untuk
memecahkan persoalan, kita tidak sabar kepada gagasan-gagasan yang tidak
praktis
Di
dalam dunia pragmatik, tujuan pikiran manusia bersifat instrumental. Gagasan-gagasan
dimaksudkan untuk membantu kita menyesuaikan diri agar lebih nyaman pada
lingkungan yang bergejolak. Konsekuensinya, kita belajar menjadikan diri lebih
sebagai alat, bukan tujuan. Pendidikan lebih diarahkan pada upaya mempelajari
ketrampilan hidup ketimbang mempelajari kebijaksanaan hidup. Sistem pendidikan,
pemberian dana penelitian, dan semua pendekatan yang kita lakukan dalam
pembelajaran, memperlihatkan prioritas itu. Disediakan banyak uang untuk
melakukan penelitian bagi pengembangan karet yang lebih baik bagi ban mobil
kita daripada untuk meneliti sejarah atau kebudayaan. Laju perkembangan
teknologi lebih cepat dari pada kapasitas produksi untuk menghasilkan hal-hal yang baru, dan
serentak dengan itu tak dapat ditemukan cara yang lebih baik untuk hidup
bersama di dalam perkawinan, berkomunitas, bernegara dan di dunia sebagai
keseluruhan. Prioritas dalam pendidikan yang digariskan oleh suatu budaya yang
pragmatik memang terbukti sangat berguna dalam menghasilkan nilai-nilai yang
membantu menciptakan kehidupan yang baik, tetapi terbukti kurang berguna di
dalam menghasilkan nilai-nilai yang dapat kita bagikan secara merata dan secara
bersahabat satu sama lain, dan di dalam memberikan alasan kepada anak-anak
untuk menghargai kehidupan.
iii)
Karena tujuan pemikiran adalah pragmatik, hanya metode
yang ilmiah saja yang dihargai.
Jika
tujuan pikiran adalah agar dapat secara pragmatik mengolah segala sesuatu demi
kemaslahatan bagi manusia, maka metode ilmiah menempati tempat sentral di
panggung kita, dan akhirnya, menguasai seluruh panggung gagasan itu. Di dalam
masyarakat yang sedemikian pragmatik, hanya ilmulah yang mendapat hak untuk
menentukan fakta. Temuan-temuan ilmu dianggap obyektif. Sedang yang diajukan
oleh disiplin pengetahuan yang lain, dengan menggunakan metode yang berbeda
untuk mencapai pengetahuan: metafisika, filsafat, mistisisme, puisi atau
teologi – dianggap murni subyektif, persoalan iman pribadi dan pilihan buta. Pada
hal, tak seorang ilmuwan profesional maupun seorang awam pun pernah melihat
atom. Namun mereka tak meragukan keberadaannya. Ilmu tidak hanya meyakinkan
kita bahwa atom itu ada, namun ilmu juga secara positif menggunakan atom untuk
menciptakan energi nuklir. Siapa yang dapat meragukan keberadaannya? Begitu
pula, tak seorang mistikus profesional atau pun orang biasa, pernah melihat
Tuhan di dunia ini. Mengapa keberadaan Tuhan diragukan, kendati faktanya para
mistikus meyakinan kita akan realitas keberadaan Tuhan itu, dan kita melihat
dalam kehidupan banyak orang yang percaya (entah kepada Kristus, Buddha dan
Muhammad) adanya bukti yang sangat konkret, bahwa mereka mengalami sesuatu yang
nyata di dalam apa yang mereka nyatakan sebagai pengalaman akan Tuhan. Seperti
para ilmuwan, mereka itu juga memecahkan atom yang melepaskan energi. Namun, di
dalam suatu masyarakat yang bersifat teknologis, kita hanya mengenal dan memahami
satu macam energi saja, yaitu pragmatik. Penyusutan kenyataan kepada hanya satu
segi ini seperti yang akan kita lihat nanti, merupakan suatu pemiskinan yang
melumpuhkan.
Banyak dari pemiskinan semacam
itu berkaitan dengan berkurangnya kemampuan daya kemampuan rohani kita.
Bagaimana pragmatisme merugikan kesadaran hidup rohani?
Suatu ketika Thomas Merton* ditanyai oleh seorang wartawan, apa
yang menurut dia menjadi penyakit rohani yang utama di zaman kita. Di antara
banyak hal yang dapat dikatakannya (kurangnya doa, kurangnya cita-rasa
berkomunitas, kurangnya perhatian untuk keadilan dan kemiskinan) Merton
menyampaikan jawaban dengan satu kata saja, efisiensi. Mengapa? Ia melanjutkan,
“sebab dari biara sampai ke Pentagon (markas besar militer Amerika Serikat) semuanya
harus terus bekerja... dan hanya tersisa sedikit waktu atau energi saja untuk
melakukan hal-hal yang lain.” Yang hendak ditunjukkan Merton ialah bahwa
sehubungan dengan Tuhan dan agama, masalah-masalah kita tidak diperlakukan
setara soal pekerjaan. Pendek kata, kita kurang mengembangkan hidup rohani,
karena tuntutan hidup menyerap seluruh waktu dan energi kita.
Suatu ketika majalah Time menurunkan laporan utama yang
diberi tajuk “Rat Race, How America is
Running Itself Ragged” (“Cara hidup serba sibuk seperti balapan tikus,
Bagaimana Amerika Memiskinkan Diri”)[i]. Laporan itu
menunjukkan bagaimana waktu menjadi komoditi yang paling berharga di dunia
sekarang ini, bagaimana para orangtua harus membuat janji pertemuan lebih
dahulu untuk meluangkan waktu dengan anak-anak mereka sendiri, bagaimana
teknologi memacu irama jantung generasi sekarang, bagaimana bagi banyak orang
tuntutan untuk tetap berada di puncak
karir mereka menyerap seluruh waktu dan energi mereka, dan bagaimana orang yang
menelepon kantor-kantor mengeluh karena semua mesin fax mereka begitu sibuk
terus menerus! Laporan itu menyatakan bahwa wujud gejala yang paling jelas dari
segala tekanan dan ketergesaan akibat tuntutan-tuntutan di tempat kerja
(kelelahan yang luar biasa, ketergantungan pada alkohol dan pada narkotika)
belumlah merupakan akibat yang paling parah. Namun semua tekanan ini menurut
laporan itu menyebabkan orang makin gelisah, makin tidak sabar, dan makin tidak
mampu berkonsentrasi agak lama. Karena kita sedemikian sibuknya maka yang terjadi
adalah kita tak punya waktu senggang untuk dinikmati, tetapi kita
menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang tidak menuntut pemikiran dan
sekedar mengalihkan perhatian saja. Tidak ada lagi energi yang tersisa untuk
soal lain.
Akibat dari semua ini atas
kontemplasi sudah jelas. Tak ada lagi waktu dan energi (dan pada titik tertentu
bahkan tak ada lagi kemampuan) untuk berdoa atau mengembangkan hidup rohani.
Ungkapan “terperangkap dalam cara hidup seperti balap tikus yang serba sibuk”
menyatakan hal itu. Kata majalah Time,
“hanya ada sedikit waktu untuk tidur, dan makin sedikit lagi waktu untuk
bermimpi”.
Di luar akibat yang jelas pada menurunnya
hidup rohani itu bisa dilihat juga suatu cara yang pelik di mana pragmatisme
menghalangi dan berlawanan dengan kontemplasi. Jika nilai diri seseorang
bergantung kepada prestasi kerja, maka hanya sedikit saja orang yang akan
meluangkan waktu untuk berdoa dan melakukan kontemplasi, karena doa dan
kontemplasi dianggap tidak menghasilkan manfaat nyata, dari sudut pandang
pragmatik tidak berguna, suatu pemborosan waktu, suatu waktu yang tidak
menghasilkan apa-apa. Salah satu alasan utama mengapa kita tidak menjadi lebih
kontemplatif, mengapa kita tidak lebih banyak berdoa, dan mengapa tidak punya
waktu lagi untuk mencium semerbak harum bunga, ialah bahwa semua kegiatan ini
tidak menghasilkan sesuatu yang nyata, tidak mencapai sesuatu, atau praktisnya
tidak menambahkan sesuatu pada hidup. Kita merasa nyaman jika kita melakukan
sesuatu yang berguna. Kegiatan kontemplatif berdasarkan pengertiannya adalah
tidak berguna menurut sudut pandang pragmatik.
Waktu kita hanya sedikit untuk
apa yang dianggap tidak berguna dan karena itu dari sudut kontemplasi kita
menjadi makin miskin. Kita begitu terperangkap di dalam efisiensi yang dituntut
oleh suatu budaya pragmatik, sehingga kita seperti mereka yang menolak undangan
raja untuk menghadiri pesta perjamuan nikah dalam perumpamaan dari Yesus[ii]. Mereka tidak
ikut dalam perjamuan bukan dengan menolak undangan itu karena mereka tidak
saleh, tidak religius atau secara moral kekurangan. Mereka sebenarnya tidak
sungguh-sungguh eksplisit menolak undangan itu. Mereka hanya tidak datang,
karena mereka begitu sibuk membeli lembu, menikah, dan mengukur tanah. Di dalam
pragmatisme, matinya kontemplasi dan hidup rohani bukan karena
keburukan-keburukan, melainkan karena orang terlalu sibuk.
* Thomas Merton lahir pada tahun 1915, menjadi katolik pada 1938. Pada
tahun 1941 menjadi biarawan trappist dan
ditahbiskan menjadi imam pada 1949. Ia menulis lebih dari 60 buku keagamaan
yang bersifat mistik dan sangat berpengaruh dewasa ini. Ia cinta perdamaian dan
menentang perang mempengaruhi banyak aktivis katolik. Ia meninggal pada 1968.
[i] Marguerite Michaels dan James
Willwerth, “How America Has Run Out of Time,” dalam Time Magazine, 24 April
1989, hal 48-55.
[ii] Luk 14:16-24 dan Mat 22:1-14.