Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Tafsir Sesuka Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir Sesuka Hati. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Oktober 2022

Persoalan dan Serangan Fundamentalis Terhadap Gereja Katolik


 


                Fundamentalisme menganggap Kitab Suci sebagai dasar iman mereka. Paham mereka tentang inspirasi dan sifat tidak bisa salahnya Kitab Suci berasal dari pengertian Benjamin Warfield tentang inspirasi verbal-sepenuhnya, yang berarti bahwa para pengarang Kitab Suci mendapat ilham dan ilham itu meliputi tidak hanya berkenaan dengan pesan yang hendak disampaikan Allah saja, tetapi juga setiap kata-kata yang dipilih oleh para penulis suci. Bagi banyak orang fundamentalis, khususnya mereka yang tidak mempunyai kecenderungan intelektual, inspirasi disusutkan menjadi teori dikte – yaitu bahwa para pengarang insani itu hanya semata-mata tukang steno, yang tugasnya hanya membuat alih-tulisan atas Suara.  Tentu saja ini menyiratkan pengertian bahwa Kitab Suci bukan saja tanpa kesalahan, yang juga merupakan pendirian Katolik asli, tetapi juga bahwa Kitab Suci sama sekali tidak mengandung bias makna (ambiguitas) dan juga kiasan-kiasan, sehingga kata-kata dipahami dalam arti kata yang harfiah, dan sering baru bisa dimengerti jika kata-kata itu dilepaskan dari konteksnya. (salah satu kekecualian adalah Yoh 6, di mana Ekaristi dijanjikan. Bab ini anehnya tak pernah diterima harafiah apa adanya oleh kaum fundamentalis, melainkan oleh umat Katolik).

                Persoalan pokok pada pemahaman fundamentalis atas Kitab Suci ialah bahwa mereka tidak punya dasar rasional untuk apa yang mereka yakini. Kedengarannya penilaian ini kasar sekali, namun memang begitulah yang sebenarnya, dan kaum fundamentalis mengakuinya. E.J. Young berkata, “Jika Kitab Suci sendiri bukan saksi yang dapat dipercaya karakternya, kita tak punya jaminan bahwa iman Kristiani didasarkan pada kebenaran.”Ia menyatakan bahwa penolakan menjadikan Kitab Suci satu-satunya norma niscaya mencakup “hasil-hasil yang bertentangan dengan Kekristenan yang adi-kodrati.”  Kitab Suci harus diterima sebagai satu-satunya penentu iman karena adanya pendirian yang lain akan menyelewengkan Kekristenan, dan karenanya, menggunakan kata-kata Churchill, sesuatu terjadi tanpa bisa kita kendalikan. Kita percaya bahwa Kitab Suci pasti benar, kata kaum Fundamentalis, karena berpendirian lain berarti menyangkal kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Tidaklah sulit melihat pendirian ini lalu jarang menimbulkan pemikiran intelektual selanjutnya, karena ada implikasi bahwa orang tetap diselamatkan meskipun menerima pengertian yang keliru tentang Kitab Suci sejauh kebenaran-kebenaran dasar Kristen, apa pun isi yang dipikirkan, tetap dipertahankan.

                Walaupun ajaran tentang inspirasi dan kebenaran mutlak Kitab Suci adalah yang pertama dikatakan oleh orang yang paling fundamentalis, ajaran yang mendahului logisnya adalah keilahian Kristus. Bagi umat Katolik, keilahian ini diterima baik menurut ajaran yang berwenang dan tak dapat salah dari Gereja maupun karena pemeriksaan yang cermat atas Kitab Suci dan sejarah umat Kristiani awal menunjukkan bahwa Kristus tentulah sungguh seperti yang dinyatakan, yaitu Allah. Secara praktis, kebanyakan umat Katolik mengikuti cara yang pertama [menerima ajaran Gereja]; namun banyak juga yang menggunakan cara yang kedua [mempelajari Kitab Suci] tanpa menyangkal cara yang pertama [menerima ajaran Gereja]. Apologet Arnold Lunn  adalah contoh yang baik. Manapun cara yang ditempuh melibatkan penalaran tertentu. Namun bagi fundamentalis, jaminan keilahian Kristus bukan berdasarkan penalaran, juga bukan melalui iman dalam arti kata yang dipahami umat Katolik, tetapi dari suatu cara yang lain.

                Warfield menyatakan, “Bukti utama bagi setiap orang Kristen mengenai keilahian Tuhan terdapat dalam pengalaman batin masing-masing atas daya kuasa Tuhan yang mengubah hati dan hidupnya.”  Salah satu konsekuensi dari pendirian ini jelas menjadi payah bagi kaum fundamentalis. Jika orang jatuh ke dalam dosa, atau jika semangat pertobatannya memudar, daya pengubah dari Kristus serasa pergi juga, dan bersamanya hilang pula kepercayaan orang itu pada keilahian Kristus. Adalah persoalan lain jika dikatakan bahwa kepercayaan harus mewujud sendiri dalam diri orang Kristen sehingga orang lalu “melihat bagaimana mereka itu saling mengasihi”. Adalah hal yang berbeda menyatakan kebenaran tentang keilahian Kristus berdasarkan kekudusan dan penghiburan rohani manusiawi. Ini menyebabkan banyaknya pengikut yang meninggalkan fundamentalisme. Malam gelap jiwa, yang menghinggapi banyak orang, menyebabkan goyahnya pendirian fundamentalis, dan kemudian yang sering diikuti bukanlah bentuk lain dari Kekristenan, melainkan sikap agnostisisme yang ragu.

                Salah satu tambahan pada ajaran keilahian Kristus dan dianggap sama pentingnya dalam seri buku The Fundamentals adalah Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan. (Sebagian fundamentalis meyisihkan soal ini tersendiri, sehingga ajaran dasar mereka bukan lima, melainkan enam). Jika soal realitas surga dan neraka atau keberadaan Allah Tritunggal bisa dikemudiankan, soal Kelahiran dari Seorang Perawan merupakan keyakinan yang vital, karena keyakinan itu melindungi keyakinan akan keilahian Kristus. Namun perlu diingat, bahwa jika kaum fundamentalis bicara tentang kelahiran Kristus dari Seorang Perawan, yang mereka maksudkan adalah bahwa keadaan perawan itu hanya bertahan sampai Kristus dilahirkan saja. Pada umumnya mereka punya pengertian bahwa Maria nantinya punya anak-anak lain, yang oleh semua murid disebut sebagai “saudara-saudara” Kristus.

                Menanggapi ajaran aliran Injil Sosial yang menyatakan bahwa Kristus tidak lebih hanya memberikan teladan moral yang baik, kaum fundamentalis awal mengajukan butir ketiga dari fundamental mereka, yaitu bahwa Kristus wafat sebagai silih dosa. Dia tidak hanya memikul dosa-dosa kita; Dia juga benar-benar menanggung hukuman yang  seharusnya kita terima. Dia dihukum Bapa menggantikan kita.

                Dalam hal Kebangkitan kaum fundamentalis tidak berbeda dari kepercayaan asli Katolik. Kristus bangkit dari mati dengan ragaNya, bukan hanya simbolis. KebangkitanNya bukanlah hasil halusinasi bersama dari para pengikut atau sesuatu yang ditemukan oleh para penulis suci beberapa tahun kemudian. Kebangkitan itu sungguh terjadi dan menyangkal kebenaran kebangkitan berarti menyangkal kebenaran Kitab Suci.

                Topik yang paling banyak diperdebatkan di antara kaum fundamentalis sendiri adalah Kedatangan yang Kedua. Kalaupun ada kesepakatan hanyalah berkenaan dengan kembalinya Kristus secara fisik di dunia. Kapan terjadinya masih diperdebatkan. Kelompok pramilenialis menyatakan bahwa saatnya adalah sebelum milenium, yaitu pemerintah seribu tahun. Aliran pasca-milenialis menyatakan saatnya sesudah masa pemerintahan seribu tahun itu. Sedang tentang apa yang dimaksud dengan masa pemerintahan seribu tahun itu saja pun masih belum ada kesepakatan yang memadai pula. Juga ada perdebatan tentang Pengangkatan ke Surga para kudus dalam keadaan hidup (Rapture) dan tentang Penghakiman. Sehubungan dengan yang terakhir, ada perbedaan yang luas tentang sifat dan saatnya dalam kaitan dengan pemerintahan seribu tahun (milenium). Ada yang berpendapat bahwa hal itu sudah dekat sekali, dengan  Rusia yang berperan sebagai kekuatan dari utara di dalam Kitab Daniel.  Yang lain menyatakan bahwa masih jauh di masa depan. Jika umat Katolik sebagian tertarik kepada nubuat Santo Malakius tentang para Paus dan kepada tiga rahasia dari Fatima, kaum fundamentalis dapat dikatakan terserap dalam membuat tawarikh Hari-Hari Akhir, dengan satu-satunya kesulitan tidak ada dari setiap dua orang yang sependapat tentang apa yang akan terjadi dan kapan terjadinya. 

                Itulah lima atau enam pokok masalah yang dibicarakan di dalam buku-buku yang menyebabkan fundamentalisme mendapatkan nama sebutannya.  Semua itu bukanlah hal-hal khas yang paling membedakan fundamentalisme dewasa ini. Misalnya sudah jarang sekali dibicarakan soal Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan. Tentu saja tidak ada persoalan mengenai kepercayaan kaum fundamentalis pada ajaran itu (bukan tentang keperawanan yang lestari dari Maria), namun bagi umum, dan bagi kebanyakan kaum fundamentalis sendiri, fundamentalisme sekarang mempunyai tekanan yang lain.

Yang paling menyolok adalah sikap fundamentalis dalam mengandalkan Kitab Suci  sama sekali mengesampingkan wewenang apapun dari Gereja. Yang kedua adalah pernyataan iman mereka akan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. “Apakah saudara menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi?” tanya mereka. “Sudahkah saudara diselamatkan?” Tanpa tedeng aling-aling itulah individualisme Kristiani. Individu diselamatkan sama sekali tanpa memandang gereja, jemaat, atau apa pun yang lain. Suatu hubungan satu-satu, tidak ada pengantara, tidak ada sakramen, hanya orang Kristen perorangan dengan Tuhan.  Orang Kristen tahu bahwa ia telah diselamatkan, hingga jam dan menit penyelamatannya, karena keselamatan itu tiba ketika ia “menerima” Kristus. Datangnya seperti kilat, tak akan terlupakan, seperti yang dialami Paulus di jalan menuju Damaskus.

                Dalam sekejab, keselamatan fundamentalis sudah terjamin. Tidak ada sesuatupun yang dapat membatalkannya. Tanpa saat itu, ia pasti celaka. Itulah sebabnya hal ketiga yang menyolok dari fundamentalisme adalah pewartaan Injil mereka. Jika para pendosa tidak mendapatkan pengalaman keselamatan seperti para fundamentalis, mereka akan masuk neraka. Fundamentalis menganggap penyebaran iman sebagai suatu tugas kewajiban – kasih mana lagi yang lebih besar dari memberi peluang kepada orang lain untuk lepas dari neraka? – dan dalam hal itu mereka sangat sukses.

                Keberhasilan mereka sebagian adalah karena ketekunan mereka. Seluruh pembicaraan mereka tentang Gereja Katolik adalah bahwa mereka itu “budak-aturan”, namun mungkin tak ada orang Kristen dewasa ini yang lebih diatur sedemikian ketat daripada kaum fundamentalis. Aturan-aturan mereka – mungkin dapat dibilang tidak alkitabiah – bukan hanya menyangkut soal agama dan praktek keagamaan yang tepat, tapi meluas sampai seluruh segi kehidupan sehari-hari. (Yang biasanya segera diingat adalah larangan minum minuman keras, berjudi, berdansa dan merokok) . Selain itu, fundamentalis sangat ketat terlibat dengan aktivitas jemaat setempat.

                Banyak orang yang kembali lagi ke pangkuan Gereja Katolik setelah sempat mengikuti fundamentalisme mengeluh, karena sebagai fundamentalis mereka tak punya waktu untuk diri sendiri; segala sesuatu memusat di sekitar Gereja. Semua teman-teman mereka adalah anggota Gereja; semua kegiatan sosial mereka diselenggarakan oleh Gereja. Mangkir dari ibadat Rabu Malam sebagai tambahan untuk satu atau dua ibadat hari Minggu, tidak hadir dalam Pelajaran Kitab Suci atau kumpulan Kaum Muda, tidak mengenakan pakaian seperti teman-teman satu jemaat – semua ini dengan segera dapat mendatangkan kecaman keras, dan di Gereja yang kecil (hanya sedikit saja Gereja fundamentalis yang anggotanya lebih dari seratus orang) ini sudah menyebabkan pengasingan dari jemaat.

                Banyak pengaruh yang mencuat pada fundamentalisme termasuk perpecahan dalam unit-unit baru dari Protestantisme abad kesembilan-belas, yang merupakan tanda-tanda puritanisme – tentu saja bukan puritanisme dari Kaum Puritan abad ketujuh-belas, namun sikap yang merupakan inti setiap pemisahan diri dari Kekristenan tradisional, yaitu hasrat untuk kembali pada kemurnian Gereja perdana. Ragam puritanisme ini tetap menjadi daya dorong fundamentalisme, seperti yang diperlihatkan oleh salah satu tuduhan pokok mereka terhadap Gereja Katolik, yaitu mengaburkan kemurnian Kristen karena memberikan berbagai tambahan berlapis-lapis yang dianggap tidak alkitabiah selama berabad-abad. Bagi fundamentalis, salah satu tugas utama adalah menangkap esensi Kekristenan dari apa yang diucapkan Pendirinya – dan tidak mengakui satupun ”penemuan pembaruan”.

                Banyak orang Katolik yang menulis mengenai fundamentalisme keliru memahaminya. Dengan teori psikologi mereka memandang fundamentalisme sebagai gumpalan perlawanan emosional. Mereka menerima pandangan media populer bahwa fundamentalisme bukanlah suatu teologi melainkan gejala patologis (penyimpangan keseimbangan mental). Dikatakan bahwa orang yang mengikuti pendirian fundamentalisme adalah karena malu menjadi orang miskin, atau karena tidak berpendidikan, atau karena pastor atau pendeta dari Gerejanya yang terdahulu keliru memperlakukan dia, dan dia keluar untuk membalas sakit hatinya atau mencari elusan yang menghibur pada punggungnya. Fundamentalisme tidak diterima seperti cara orang liberal yang mendapat pencerahan menerima liberalisme, dengan pertimbangan dan wawasan panjang. Sementara pengecam bahkan sangat nyaris menyimpulkan setiap orang fundamentalis sebagai orang bodoh yang tak berguna. Memang sebagian demikian – tetapi sebagian orang Katolik juga seperti itu, begitu pula sebagian kecil sekularis.

                Peggy L. Shriver, asisten sekretaris umum pada Dewan Nasional Gereja-gereja Kristus di Amerika Serikat menyatakan bahwa “karena ego yang merasa tidak aman dapat ditopang oleh perancah iman fundamentalis, tidaklah mengherankan bahwa banyak orang yang ‘terpinggirkan’ dalam masyarakat tertarik kepada fundamentalisme. Berbagai kajian menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang kaya dan terdidik menganggap diri fundamentalis, namun sejumlah besar orang yang berpenghasilan kecil dan kurang berpendidikan loncat ke sana.”  Pendapat yang meremehkan secara lembut ini tanpa sikap hati-hati digemakan oleh para penulis Katolik, yang mungkin terperangah ketika tahu bahwa orang-orang fundamentalis seperti Loraine Boettner di dalam bukunya Roman Catholicism, melontarkan tuduhan yang sama terhadap agama Katolik, dengan menyatakan bahwa masyarakat Katolik adalah terbelakang dibanding dengan masyarakat Protestan, seperti kelihatan di Spanyol dan Irlandia, lalu di Inggris dan Amerika Serikat. Gereja Katolik, kata mereka, dipeluk oleh golongan masyarakat miskin, suatu tanda bahwa Katolisisme tidak diberkati oleh Tuhan, karena pilihan ilahi mewujud sendiri melalui kemakmuran material.

                Apapun kekuatan yang mengantar orang menjadi fundamentalis, (memang harus diterima bahwa faktor emosional memainkan peran, seperti umumnya dalam pelbagai pertobatan, ke arah manapun) pertama-tama ia tetap menjadi fundamentalis karena alasan-alasan ajaran. Walaupun mungkin seseorang meninggalkan Gerejanya yang lama karena marah atau frustasi, mungkin ia tertarik kepada kelompok fundamentalis karena pendeta di sana pengkhotbah yang bagus atau anggota Gereja itu bersikap baik kepadanya.

                Dorongan dan tarikan emosional ini berlangsung hanya sebentar, dan dalam sebagian besar kasus hanya membantu orang yang berganti keyakinan melakukan kehendaknya. Ia mungkin dapat menemukan para pendeta yang fasih bicara atau anggota gereja yang baik dalam salah satu gereja arus utama Protestan atau dalam suatu kultus yang eksentrik, namun mungkin yang penting dengan faktor-faktor itu adalah bahwa mereka bukanlah alasan pokok untuk ganti haluan. Perubahan keyakinan itu terjadi karena ajaran. Pelbagai ajaran yang sudah dianutnya bukanlah ajaran yang ditemukannya sendiri, dengan membaca Kitab Suci di larut malam selagi isteri dan anak-anaknya tidur. Ajaran-ajaran itu mula-mula diajarkan kepadanya, dan Kitab Suci digunakan untuk membenarkannya.



                Fundamentalisme menggunakan Kitab Suci untuk melindungi rumus kepercayaan mereka yang adanya mendahului Kitab Suci, dan Kitab Suci ditafsirkan sedemikian sehingga membenarkan apa yang sudah mereka yakini, walaupun sebagian besar fundamentalis mengira bahwa keyakinan mereka langsung berasal dari teks Kitab Suci dan bahwa mereka semata-mata mengetahui makna dari teks itu. Kerancuan dari pihak mereka ini bertemu dengan kerancuan dari pihak sebagian besar non-fundamentalis yang mengira bahwa bahwa kaum fundamentalis menafsirkan Kitab Suci dengan cara yang sungguh harfiah. Ini keliru. Fundamentalis tidak memaknai setiap kata dalam Kitab Suci dengan arti kata yang harfiah, meskipun umum mengira mereka berlaku demikian. Untuk membenarkan sebagian dari ajaran mereka, fundamentalis harus mendapatkan dalam suatu kiasan tafsiran Kitab Suci yang secara “harfiah” baru, dan mereka sering mendapatkan diri saling bertentangan sehubungan dengan kata yang makna harfiahnya justru bersifat perlambang yang berbahaya. Mereka cepat mengenali bacaan mana yang diperlukan untuk mempertahankan pendirian mereka – pendirian yang adanya mendahului tafsiran Kitab Suci mereka.

                Dengan cara yang sama, fundamentalis melibatkan diri dalam kegiatan anti-katolik, menafsirkan bukan saja Kitab Suci, namun juga sejarah kekristenan dan kepercayaan Katolik dan karya apologetik dengan cara apapun yang perlu untuk membuktikan pendirian utama mereka, bahwa agama Katolik hanya mempunyai kemiripan-kemiripan saja dengan agama yang didirikan oleh Kristus, dan bahwa Katolik adalah agama yang didirikan oleh manusia, bukan oleh Tuhan.


Bagaimana menanggapi Kaum Fundamentalis?