Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Oleh Iman dan Tindakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oleh Iman dan Tindakan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Oktober 2022

SOLA FIDE, HEBOH SOAL "PEMBENARAN"

 Dalam dua WAG yang saya ikuti beberapa hari yang lalu ramai dibicarakan "Pembenaran". Saya coba mencari suatu ikhtisar ajaran tentang "Pembenaran" baik menurut Kitab Suci maupun dari sejarah kristiani. Semoga berguna.

 


Pembenaran   

Salah satu cara untuk mengungkapkan ajaran tentang keselamatan dalam Perjanjian Baru. Dapat merujuk (1) tindakan ilahi maupun (2) proses perkembangan rohani. Sebagai suatu tindakan ilahi, pembenaran adalah saat di mana Allah membenarkan orang yang percaya kepada Kristus dan menempatkan dia dalam suatu hubungan perjanjian dengan DiriNya. Sebagai suatu proses, pembenaran adalah pertumbuhan dalam kebenaran dan rahmat  yang terjadi pada orang beriman yang mengikuti tuntutan Injil dan memercayakan dirinya dalam bimbingan Roh.

I.                    Terminologi

II.            Dalam Perjanjian Lama

III.           Dalam Perjanjian Baru

A.            Injil

B.            Surat-surat Paulus

C.            Surat Yakobus

IV.          Pentingnya Ajaran

 

I.             Terminologi

Kosa kata pembenaran merupakan antar-hubungan Bahasa Ibrani dan Yunani dalam cara tertentu yang dapat mengaburkan terjemahan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Kitab Suci ada suatu hubungan antara kata kerja “membenarkan” (bahasa Ibrani hisdiq; Yunani dikaioĊ), kata benda “keadilan, kebenaran” (Ibrani sedaqa; Yunani dikaiosyne) dan kata sifat “adil, benar” (Ibrani saddiq; Yunani dikaios). Kata-kata ini, yang digunakan untuk menggambarkan tindakan dan hasilnya pembenaran, mempunyai akar yang sama dalam kedua bahasa. Bahasa Inggris hanya sebagian saja dapat mengungkapkannya dengan trio “justify, justice dan just” (mengadili, keadilan,  adil) tetapi penerjemah sering menghindari dua kata terakhir karena hubungan yang berasal dari filsafat dan yurisprudensi klasik. Mereka cenderung lebih menyukai “kebenaran” dan “benar” karena lebih merupakan padan kata yang lebih cocok.  Sementara itu bahasa Inggris kekurangan kata kerja yang sepadan yang berintikan kata dasar “---right—“ untuk mengisi trio “........(?), righteousness (kebenaran), right (benar)”, [sehingga yang terjadi adalah gado-gado “justify, righteousness, right”]. Tapi sisihkan saja dulu soal teknis terjemahan, yang penting kita menyadari adanya kesatuan konseptual yang mendasari kosa kata alkitabiah mengenai pembenaran itu.

II.            Dalam Perjanjian Lama

Pembenaran mendapat tempat istimewa di dalam Perjanjian Baru, namun dasar-dasar ajarannya diletakkan dalam Perjanjian Lama. Awalnya dapat dilacak pada tatanan dan pelaksanaan hukum dan keadilan di Israel kuno, di mana kata kerja “membenarkan, justifikasi” berarti ”membuktikan kebenaran” atau ”membebaskan seseorang dari tuduhan” dengan menyatakan bahwa dia benar (secara negatif = tidak bersalah). Dalam arti ini pembenaran adalah suatu pernyataan resmi mengenai kebenaran atau ketidakbersalahan seseorang, oleh Allah di surga (Kel 23:7; 1 Raj 8:32; Yes 50:8) atau oleh seorang hakim yang sah di dunia (Ul 25:1; Ams 17:5; Yes 5:23).

                Tolok ukur penilaian adalah perjanjian antara Allah dan umatNya. Kebenaran dalam Kitab Suci tidak secara kaku disetarakan dengan nosi atau artian “keadilan” dalam zaman kuno klasik, yang menyangkut soal memberikan kepada seseorang di dalam masyarakat apa yang menjadi haknya, walaupun kedua gagasan itu bukannya terpisah sama sekali. Kebenaran adalah suatu situasi selaras dengan perjanjian, dan bertindak dalam kebenaran berarti memenuhi kewajiban dengan melaksanakan perintah-perintah perjanjian (Ul 6:25; 24:13; Yes 48:18; Luk 1:6). Ketika Allah disebut benar, itu berarti Ia bertindak dalam kesetiaan pada perjanjian yang dibuatNya – memenuhi janji-janji, memberkati yang benar, menghukum yang jahat (Neh 9:8.33; Mzm 119; 137; Dan 9:14; Za 8:8). Inilah sebabnya Pemazmur, sekalipun menderita karena dosa-dosanya sendiri, mengakui bahwa Allah benar dalam menghukum orang yang bersalah (Mzm 51:4).

                Konteks yang utama dan asli dari pembenaran adalah perjanjian historis antara Tuhan Allah dan Israel. Tetapi dalam satu ayat kunci, hal itu diproyeksikan kepada masa depan eskatologis. Kidung Hamba yang keempat dari Yesaya merupakan visi tentang seseorang yang ditolak dan dilecehkan oleh bangsanya sendiri (Yes 52:13-53:12). Kendati ia tidak bersalah, ia menyerahkan diri pada kekerasan yang mereka lakukan dengan cara menjadikan dirinya kurban persembahan demi kejahatan mereka semua. Sang nabi kemudian menyatakan bahwa hamba itu bukan saja akan menanggung ”dosa orang banyak” (Yes 53:12), tetapi ia juga akan membenarkan banyak orang (Yes 53:11); maksudnya, ia akan membuat banyak orang diperhitungkan sebagai benar. Hal ini niscaya tidak akan terlewatkan begitu saja oleh pembaca Kristen, karena di sini, pengertian pembenaran terkait erat dengan Mesias yang menderita, yang menyerahkan jiwanya bagi pengampunan para pendosa, yang hasilnya adalah situasi kebenaran yang baru bagi banyak orang.



III.           Dalam Perjanjian Baru

A.            Injil

Pembenaran tidak banyak dibicarakan oleh Yesus di dalam Injil-injil, sekurang-kurangnya tidak secara eksplisit. Namun ada dua ayat di mana soal ini dikemukakan secara langsung. Pada yang pertama, Yesus berkata: “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum'' (Mat 12:36-37). Di sini Ia membicarakan pembenaran akhir para kudus, keputusan yang dijatuhkan pada Pengadilan Terakhir yang membebaskan orang benar dari kata-kata dosa dan memastikan mereka masuk ke dalam Kerajaan. Pada kesempatan yang kedua, Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai, Yesus menyampaikan cerita tentang dua orang yang berdoa di Bait Allah; yang satu seorang Farisi yang mengenal dirinya sendiri sebagai orang benar dan sambil berdiri memaparkan bukti-buktinya di hadapan Allah (Luk 18:9-12), dan yang lain adalah seorang pemungut cukai yang menyatakan dirinya sebagai orang berdosa menengadah ke langit, memukuli dirinya dan memohon belas kasihan Allah (Luk 18:13). Sambil merujuk kepada pemungut cukai itu, Yesus menyatakan: “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak” (Luk 18:4). Pelajarannya adalah bahwa pembenaran merupakan belas kasih Allah yang diberikan dengan murah hati kepada pendosa yang mengakui kesalahan, tetapi  pembenaran tidak diberikan kepada mereka yang menganggap dirinya benar karena kesalehan-kesalehan lahiriah.

 

B.            Surat-surat Paulus

Pembenaran dibahas secara mendalam dan rinci di dalam beberapa surat Paulus. Pada dasarnya itulah cara Paulus dalam membicarakan keselamatan. Bagi Paulus, pembenaran hanyalah mungkin berkat “darah” Kristus (Rm 5:9). Dan itu berarti bahwa kaum beriman “menjadi orang benar” (Rm 5:19) oleh ”kasih karunia” dariNya (Rm 3:24). Mereka yang dibenarkan “hidup dalam damai sejahtera” dengan Allah (Rm 5:1) karena mereka “telah bebas dari dosa” (Rm 6:7). Lebih dari itu, mereka yang dibenarkan “berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan” (Tit 3:7). Ini persisnya adalah karena Kristus telah memberikan kepada mereka “Roh yang menjadikan [mereka] anak Allah” (Rm 8:15) dan dengan demikian membuat mereka “anak-anak Allah” (Rm 8:16). Itulah rencana induk dari Allah sejak awal mula, karena rasul Paulus percaya bahwa Allah “mengutus Anak-Nya...supaya kita diterima sebagai anak” (Gal 4:4-5; bdk Ef 1:5).

                Karena berbagai alasan, Paulus terdesak untuk menjelaskan makna pembenaran melawan berbagai kemungkinan salah pengertian. Di satu pihak ia menyatakan iman sebagai dasar yang pokok: “Sebab kita yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3:28). Bahwa iman merupakan unsur pokok adalah sesuatu yang sering ia tegaskan di dalam ajarannya (Rm 3:21-26; 4:5; 5:1; Gal 2:16; 3:25-26; Ef 2:8; Flp 3:9). Namun, ia tidak pernah menyatakan bahwa hanya iman yang merupakan sarana pembenaran. Sesungguhnya, Paulus dengan lantang menyatakan bahwa iman tanpa kasih sama dengan kosong (1 Kor 13:2); yang sebenarnya adalah bahwa “iman bekerja melalui kasih” (Gal 5:6). Maka pengertian iman menurut Paulus hendaklah tidak direduksi sampai pada persetujuan atau kepercayaan secara batiniah saja, melainkan mencerminkan suatu tanggapan total dari kaum beriman kepada Kristus, dan itu termasuk “ketaatan” kepada Kristus (Rm 1:5; 16:26). Lebih-lebih, pembenaran karena iman adalah efektif dalam konteks liturgi baptis. Paulus menunjukkan hal itu ketika ia berbicara kepada jemaat Korintus: “Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11). Baptis sebagai sakramen iman dengan demikian merupakan sakramen pembenaran (Tit 3:5-7).

                Begitu juga, karena rahmat yang membenarkan adalah “suatu kelimpahan kasih karunia dan anugerah” (Rm 5:17), Paulus menegaskan bahwa manusia tidak bisa menjadi pengarang pembenarannya sendiri, baik dengan melakukan perbuatan baik pada umumnya (Tit 3:5) maupun dengan menaati pekerjaan khusus dari Hukum Taurat (Rm 3:28). Seandainya demikian, niscaya orang akan lebih membanggakan  dirinya sendiri  (Rm 4:2; Ef 2:8-9) ketimbang memuji Allah (1Kor 1:30-31).

C.            Surat Yakobus

Penjelasan penting dari ajaran pembenaran ini ditemukan dalam Surat Yakobus (Yak 2:14-26). Banyak ahli yakin bahwa Yakobus membahas soal ini karena adanya salah pengertian mengenai penekanan yang dilakukan Paulus atas pembenaran karena iman. Yakobus mengungkapkan aspek yang terus berlangsung dari pembenaran sebagai suatu proses – suatu gagasan yang juga apa pada Paulus tetapi kurang menonjol dibanding dengan gagasan pembenaran awal bagi kaum beriman.

                Tampaknya ada sebagian umat Kristiani dalam Gereja awal yang kelitu tafsir atas tekanan yang diberikan Paulus pada “iman”, sehingga baginya “hanya iman” saja yang membenarkan. Ini tidak tepat dan mengandung bahaya, terutama karena bisa mengurangi penghargaan pada pentingnya usaha memajukan karya-karya amal kasih (Yak 2:14-17). Maka Yakobus menegaskan bahwa kaum beriman juga “dibenarkan karena pekerjaan” (Yak 2:21). Untuk menunjukkan maksud pokoknya, ia berkata bahwa bukan saja Abraham dibenarkan karena imannya, sehingga ia berada di dalam suatu persahabatan dengan Allah (Yak 2:23), tetapi Abraham juga mewujudkan imannya dalam tindakan ketika Allah menghendaki dia mengorbankan Ishak (Yak 2:21). Tindakan ini juga menjadi suatu peluang pembenaran bagi Abraham: hanya saja tindakan bukanlah pernyataan awal mengenai pembenaran, melainkan suatu langkah lebih maju di dalam kebenaran yang dimungkinkan oleh iman yang aktif bekerja. Maka Yakobus menyimpulkan dari contoh alkitabiahnya: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yak 2:24).

                Paulus tentu setuju dengan pernyataan ini. Sebab ia terus menyatakan pentingnya pekerjaan, bukan sebagai suatu sarana untuk menjadikan seseorang berada di dalam hubungan perjanjian yang benar dengan Allah, melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perjanjian itu dan dengan demikian semakin berkembang dalam kebenaran (Rm 6:13.16). Baginya, iman yang menyelamatkan haruslah iman yang sedang bekerja, sebab “bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan” (Rm 2:13). Selain itu, satu-satunya jalan untuk mengikuti perintah Allah dan hidup sebagai anak-anak Allah adalah menyerahkan diri kita kepada rahmat Roh Kudus (Rm 8:1-7). Roh Kuduslah yang menuangkan kasih Allah ke dalam hati setiap umat beriman (Rm 5:5), dan membuat dia mampu mengasihi seperti yang diperintahkan Hukum Taurat (Rm 13:8-10).



IV.          Pentingnya Ajaran

Ajaran tentang pembenaran tidaklah lagi merupakan pokok perdebatan yang heboh dalam abad-abad terakhir, tidak seheboh yang terjadi pada zaman para rasul. Salah satu kekecualian adalah pada abad kelima, sebab pada waktu itu Santo Agustinus Uskup Hipo harus menghabiskan banyak sekali tenaga berkutat dengan ajaran ini dan menegaskan pemahaman asli tentang pengertiannya. Ia mengerjakan hal ini melawan bidat Pelagius, yang terlalu berlebihan menilai daya keinginan manusia untuk berbuat baik dan meremehkan kebutuhan manusia akan rahmat yang mengubah dirinya dan memberdayakannya untuk menghayati hidup Kristiani.

                Kekecualian yang kedua adalah abad keenam belas dengan timbulnya Protestantisme dan meluasnya pemahaman baru akan ajaran itu. Dalam tulisan-tulisan awal komponen reformasi, soal pembenaran disusutkan pada akibat kebenaran Kristus yang menjadikan pendosa “benar di hadapan Allah” tanpa mengubah dia dari dalam. Selain itu, para reformer mengajarkan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman saja, dan bukan oleh tindakan “keagamaan, moral atau apa saja” sebab jika tidak demikian, tindakan niscaya bisa mengubah pembenarannya atau mengurangi kepastian penyelamatannya.

                Gereja Katolik menanggapi teologi baru ini dengan Dekrit Mengenai Pembenaran yang dikeluarkan Konsili Trente 13 Januari 1547. Di sini pembenaran diterangkan sebagai “peralihan dari keadaan di mana seseorang dilahirkan sebagai anak Adam yang pertama kepada suatu keadaan rahmat dan diangkat menjadi anak Allah melalui Adam yang kedua, Yesus Kristus.” Ajaran ini dengan demikian harus dipahami dari segi keputeraan ilahi, dan ini berdasarkan penyuntikan rahmat dari dalam, bukan sekedar tempelan luar mengenai status benar dari luar pada kaum beriman. Konsili dengan demikian menyatakan sebab-sebab pembenaran sebagai berikut: sebab terakhirnya adalah adalah kemuliaan Allah, dan sebab yang sekunder keselamatan kekal manusia; yang merupakan sebab efisien dari pembenaran adalah belas kasih Allah, sedang sebab yang bersifat jasa adalah Yesus Kristus, yang melakukan penghapusan dosa dan mendapatkan rahmat pengudusan bagi kita; sebab instrumentalnya adalah sakramen baptis, dan bersama itu iman dari mereka yang mampu melaksanakannya; dan sebab formalnya adalah kebenaran Allah, yaitu rahmatNya yang membuat kita menjadi benar. (KGK 654, 1987-1995).